Monday, December 31, 2007

Mesin Pendongkrak Penjualan?

Oleh Moh Samsul Arifin


PERNAHKAH Anda membaca Leviathan, salah satu karya masyhur Thomas Hobbes yang merupakan buku wajib bagi negarawan dan politisi? Sebelum ini, barangkali kita harus bersusah payah ke perpustakaan—dan dijamin perpustakaan di Indonesia jarang atau tak ada yang mengoleksinya—untuk menelisik filsafat politik Hobbes yang terbit tahun 1629 tersebut. Tapi, saat ini kita tak perlu melakukannya lagi. Cukup ketik kata tertentu di google.com atau books.google.com. Belum setarikan nafas, Anda akan disuguhi sejumlah website atau tulisan yang berhubungan dengan topik tersebut.

Yang lebih "revolusioner" Anda akan dimanjakan dengan layanan buku digital lewat menu baru sang mesin pencari ajaib ini atau disebut Google Book Search (GBS). Kini, Leviathan yang sudah di-entry dalam GBS, dapat diunduh (download) dan bahkan dicetak (print) secara gratis. Ini disebut layanan full view, berlaku bagi buku-buku yang copyright-nya kedaluwarsa atau penerbit/pemegang hak ciptanya memberi izin bagi publik untuk mengakses isi buku dari halaman pertama hingga akhir (lihat mizan.com). Ada lagi limited preview (preview halaman tertentu), snippet view (menjelaskan sekilas buku) dan no preview available (tak ada preview, tapi disajikan info tentang buku ini ditambah link menuju toko buku atau tempat perpustakaan, tempat Anda bisa membeli/meminjam).

Saat membuka Leviathan dalam bentuk digital dari menu GBS ruang serasa memiuh. Saya tak hendak memuji teknologi—yang menjadi basis search engine Google—tapi inovasi tanpa henti dari Google Incorporation yang ditopang Larry Page dan Sergey Brin. Sudah pasti teknologi berperan penting, sebab lembar demi lembar Leviathan tak mungkin dapat dibaca dengan baik jika scanner yang digunakan Google tidak prima.

Konon, scanner untuk menu GBS ini dikembangkan sendiri oleh Google, sehingga halaman-halaman Leviathan cukup jelas dibaca. Ratusan ribu buku digital yang dikoleksi GBS sebagian besar hasil scanning, sebab buku-buku ini majoritas diperoleh—lebih tepatnya dipinjam--dari perpustakaan universitas terkemuka di Amerika Serikat seperti University of California, University Complutense of Madrid, Harvard University, The New York Public Library, dan Stanford University. Masuk akal, karena tak mungkin mengetik ulang ratusan ribu buku itu dalam program PDF misalnya. Selain bertele-tele, cara itu tak seturut dengan semangat zaman ini yang berkejaran dengan waktu.

Terobosan Google Inc. ini menegaskan Ekonomi The Long Tail (Ekor Panjang) seperti diperkenalkan Chris Anderson makin menjadi kebutuhan di masa depan. Secara jitu ekonomi ekor panjang diterapkan dengan baik toko buku online semacam Amazon atau Equator, Khatulistiwa, Inibuku, Bukukita di tanah air. Toko buku Borders di Amerika Serikat rata-rata memajang seratus ribu judul. Namun, sekitar seperempat penjualan buku Amazon berasal dari luar kelompok judul seratus ribu buku tersebut.

Menurut Chris Anderson, jika statistik Amazon jadi panduan, pasar untuk buku yang tidak terjual di kebanyakan toko buku sudah sepertiga ukuran pasar yang ada. Dan lebih dari itu, pertumbuhannya akan meningkat cepat. Google, masih kata Chris Anderson, memperoleh sebagian besar uang mereka bukan dari pemasang iklan perusahaan besar, melainkan dari pemasang-pemasang iklan kecil (Long Tail periklanan).

Ringkasnya, Ekonomi The Long Tail (Gramedia Pustaka Utama, 2007) membidik pasar yang tak tersedia atau tak bisa ditampung toko buku umum. Sekalipun permintaan terhadap produk kita kecil dan terbatas, pelaku ekonomi Long Tail menyediakan produk tersebut. Ia tahu bahwa ada konsumen tertentu yang memerlukan produk (buku atau apa pun) di luar yang kini menjadi best seller atau angka penjualannya (hit) tinggi.

GBS yang mengoleksi ratusan ribu buku memperkuat ekonomi jenis ini. Penerbit yang menjalin kerja sama dengan Google mendapat manfaat dari segi penjualan, sebab buku-bukunya langsung terhubung (di-link) dengan kata tertentu (topik) yang diketik pemakai mesin pencari yang pertama kali diperkenalkan pada 1996 ini.

Di tanah air, Mizan menjadi premium partner pertama GBS. Saya pun mencoba memasukkan "Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat" karya Jostein Gaarder ke GBS. Salah satu terbitan Mizan dengan angka penjualan tinggi ini sudah masuk entry GBS. Namun, jangan harap Anda bisa mengunduh dan mencetaknya secara gratis. Maklum, buku ini baru masuk dalam layanan no preview available. Tapi, jangan putus asa. Sebab, GBS masih memberi informasi sejumlah toko buku online yang menjual buku tersebut.

Dalam websitenya, Mizan menyebut kerjasama dengan GBS itu merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan Mizan New Media. Yakni menyediakan layanan Phonovela (novel digital yang bisa diakses lewat perangkat seluler), digital book, talking book dan GBS.

Langkah Mizan dapat mendorong iklim intelektual di Indonesia, sebab bagaimanapun publik (akademisi, cendekiawan, jurnalis hingga mahasiswa) membutuhkan buku-buku yang bisa diakses kapan saja tanpa membayar untuk pelbagai macam keperluan.

Lantas, apakah kehadiran GBS bakal mematikan dunia penerbitan? Tentu saja tidak. Nyaris tak ada kerugian sedikit pun dari penerbit buku, bahkan jika ia membolehkan buku-buku terbaru atau best sellernya diakses publik lewat layanan full preview.

Pertama, sekalipun pemakai (user) internet terus tumbuh, namun mereka yang searching dan kemudian mengunduh dan mencetak buku di GBS persentasenya pasti kecil. Artinya, tak mungkin pengunduh dan pencetak buku di GBS akan menggerogoti angka penjualan konvensional (buku cetakan) yang dipajang di toko buku atau toko buku online.

Kedua, mencetak buku di GBS ditaksir justru lebih mahal ketimbang membeli buku cetakan di toko buku atau tokoh buku online. Hitung saja berapa biaya yang diperlukan untuk mencetak "Ensiklopedia Nurchlish Madjid" setebal ribuan halaman. Andaipun pun dicetak, hasilnya dipastikan tidak lebih rapi dari buku cetakan. Kemasan, dari cover, perwajahan, jenis kertas, ukuran kertas hingga ukuran dan jenis huruf dari buku cetakan jauh lebih bagus dan berkualitas. Selain itu, siapapun pasti lebih tertarik mengoleksi buku cetakan ketimbang buku digital. Jadi, mereka yang suka mengoleksi buku pasti akan berkunjung ke toko buku dan memesan secara online buku-buku yang mereka lihat di GBS.

Buat saya, GBS dan sejenisnya justru merupakan promosi tepat bagi setiap penerbit untuk memasarkan buku-bukunya, tak hanya di tingkat lokal, tapi menjangkau skup nasional dan global. Google mencatat, saat ini setiap hari mesin pencarinya menerima lebih dari 5.000 pencarian buku dari Indonesia. Dari 5.000 buku itu, jumlah halaman yang dilihat sekitar 125 ribu halaman. Potensi ini pasti akan terus tumbuh. Sejumlah penerbit lokal di Amerika telah mendapat berkah setelah bergabung dengan GBS. Di tanah air, projek Mizan ini akan mengujinya. [Grha SCTV, November 2007]

Thursday, December 6, 2007

KumengingatMu

Di tepi danau kutengok purna wajahMu
membentuk garis persilangan
tegak lurus langit

Ini waktu kala pendar-pendar harap mengapung di permukaan
lalu hilang ditiup angin puyuh

Tuhan mengingatMu tak harus bertasbih di masjid
di riuh-rendah pun hadirMu niscaya

Aku selalu menyapaMu
Bahkan di genting letih kalbu

Cinere, Ramadhan 1428 Hijriah

Monday, December 3, 2007

Ibu

Ini seperti keinginan Ibu, selepas kuliah mendapat pekerjaan. Pas sekali. Kamu harus syukuri ini. Soalnya ini tidak mudah. Kamu mendapat kemudahan, benar-benar pantas bersyukur.

Namanya mengawali. Jelas harus dimulai dengan “tidak enak”. Itu sudah biasa. Kamu, menginginkan itu khan?

Nasihat tampak bertenaga dengan derai tawa ria yang sumringah.
Aku menemukan kesegaran dari seorang Ibu yang baru ‘recovery’ dari sakit.
Kulihat kegembiraan dari seorang Ibu yang tengah mengantarkan seorang anaknya.
Barangkali impiannya telah jadi kenyataan, seperti “A Dream Come True”.

Sungguh, Tuhan aku kembali punya tenaga untuk berbuat lebih banyak daripada sekadar ‘Aku hari ini’.
Aku memperoleh “air susu” pemberi kehidupan dari seorang Ibu

Meski aku di sini, tidak melihat secara kasat mata kegembiraan Ibu.
Hampir pasti aku bersama dengan kegembiraan itu, lebih dari sekadar penembusan terhadap “keterjarakan ruang-waktu”.
Ibu telah mengirimkan impuls-impuls kebahagiaan melalui kesadaranku.

Aku, kini, punya tugas mengubah harapan-harapan Ibu.
Dan itu karena syukurku terhadap proses penempuhan hidupku bertajuk “Pencarian, Menuju Keyakinan Jilid Terakhir”.

Matraman-Jakarta Timur, 12 Desember 1999

*) Melihat-lihat Jakarta: Utan Kayu, Pasar Rumpur, Melawai, Blok M
Di desaku, orangtuaku tasyakuran

Tuesday, November 27, 2007

Aku Memilihmu

Oleh Moh Samsul Arifin

Hatiku menunjukmu sayang sebagai calon kekasih *)

Pelan namun pasti menggumpal sebagai mutiara

Aku merasakan bisikan-bisikan halus
Dari bibirmu yang tipis bersahaja

Meski jauh berjarak ruang
Hadirmu terus intens dalam jaga dan tidurku

Memikul kangen
Barisan kata yang keluar dari mulutmu

Celahku kuingin ditambal dengan pengetahuanmu yang berasa dan berpendirian

Aku telah memilih kamu
Untuk semua dan bersiap dengan tanggung jawab di pundak

Hingga untuk seluruh waktu

Salemba-Jakarta Timur, 17 September 2000

*) Bekas pacarku, sekarang istri

Monday, November 26, 2007

Sebuah Pribadi:

Kutenteng sebungkus nasi & beberapa buku

Oleh Moh Samsul Arifin

Malam itu badanku kurang tegak
Sejenis ‘keletihan’ yang aku tahu pasti dari mana berasal mengganggu

Maklum, nafas hidupku—baru itu yang belum dimiliki
Terus terang saja, sebetulnya pemenuhannya harus segera

Tapi isi kepalaku terus menyemburkan banyak pertimbangan
Hingga aku tak tahu harus mendahulukan yang mana: tubuh atau isi?

Sebungkus nasi barangkali telah cukup untuk membuat tubuh berdiri
Hanya saja, beberapa buku mungkin membuatku tidak kunjung selesai memahami dunia

Lalu, aku harus bagaimana?

--Matraman, 22 April 2000 pukul 20.00 WIB lebih


Sunday, November 25, 2007

Pemberontak Harus Dibunuh?

Oleh Moh Samsul Arifin

--Catatan terserak dalam “Hikayat Kadiroen” karya Semaoen

Pilihannya cuma satu, jika ingin mengabulkan semangat zaman
Yaitu maju ke medan laga

Pertandingan ide dan gagasan
Perebutan emosi massa
Pertarungan logika dan retorika
Adalah kesunyataan untuk bergema

Tapi, banyak orang malah membunuh pemberontakan dalam dirinya
Mereka kurang pintar merawatnya
Hingga kehilangan akal, dan punya satu pilihan, “membunuhnya.”

Seorang yang tak punya maksud membunuh, tentu saja cinta pada kehidupan
Galibnya, setiap ide tak perlu dibunuh

Ide yang nyantol pada satu kepala
Oleh karena ide itu hidup

Maka, tak sepantasnya jika pembawa ide harus disebut sebagai pemberontak terhadap kehidupan
Dan karenanya perlu dibunuh

Matraman-Jakarta Timur, 16 Mei 2000
[Presiden Abdurrahman Wahid mengusulkan pencabutan TAP MPRS tentang pelarangan Marxisme dan Leninisme]

Pencarian tanpa Akhir Goenawan Mohamad

Oleh Moh Samsul Arifin

Judul: Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai
Penulis: Goenawan Mohamad
Penerbit: Kata Kita, Jakarta, Oktober 2007
Tebal: 166 halaman

***

NUN jauh tahun 1969 silam, pemuda udik asal Sampang, Madura, menulis di buku hariannya bertitel “Tuhan, Maklumilah Aku.” Pemuda itu, Ahmad Wahib mencoba berkata jujur dan tanpa tedeng aling-aling.

“Tuhan, bisakah aku menerima hukum-hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu? Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan-Mu dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak yang Engkau sendiri telah berikan padaku dengan kemampuan-kemampuan bebasnya sekali?

Tuhan, aku ingin berbicara dengan Engkau dalam suasana bebas. Aku percaya bahwa Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran-pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri” [Pergelokan Pemikiran Islam, 1981].

Pengembaraan atau pencarian seperti dilakukan Wahib itu juga terjadi pada Goenawan Mohamad—sastrawan, wartawan, aktivis politik dan sosial serta filsuf yang menjadi saksi penting sejumlah pergolakan bangsa ini sejak 1960-an hingga sekarang. Jika pencarian Wahib terikat pada Islam, artinya ia ingin membuktikan kebenaran Islam yang pertama kali diperkenalkan ayahnya di Sampang. Maka ranah pencarian GM atau Mas Goen, jauh lebih lebar dan luas. Ia meliuk-liuk dari spektrum pemikiran kiri (ekstrem) hingga kanan (ekstrem). Sebagai jurnalis, ia mencatat segala hal—dan karena itu—memberi tempat kepada yang dicatat dan dipikirkannya itu. Catatan Pinggirnya di TEMPO, membuktikan bahwa GM seorang filsuf yang menggunakan pena (jurnalisme) untuk mempengaruhi cara pandang publik atas sejumlah hal yang dibahasnya.

GM tak menolak kemungkinan atau kebenaran lain di luar yang diyakininya saat ini atau istilah orisinal khas tokoh kelahiran Batang, Jawa Tengah ini, liyan [bahasa Jawa] atau the others. Pada GM, kepastian ataupun kemutlakan adalah sesuatu yang tengah dicari atau bahkan dibentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa sekarang. Jangan kaget, jika ia menyeberang—dan bahkan berenang—dari ekstrem satu ke ekstrem lain. Namun, berbeda dengan sufi yang menceburkan diri ke sungai lantaran terdorong rasa cinta dan mengalami ekstase kehadiran Tuhan. Berenang gaya GM, adalah menceburkan diri tanpa baju, di mana tubuh menyediakan diri untuk mencecap kebenaran.

Dengan cara itu, kenisbian kadang melambari pergolakan pemikiran GM. Abdurrahman Wahid menyebut Ahmad Wahib berpikir nisbi didorong ketundukannya yang penuh pada Yang Mutlak. Akan tetapi cara berpikir nisbi yang digunakan GM tersandera keterpikatannya pada yang lain atau liyan tersebut. Di sinilah, pencarian GM terbungkus pada semacam agnostik—menunda mengambil keputusan apakah menerima atau menolak adanya Tuhan.

Perhatikanlah pengantar GM dalam buku Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Paramadina, 1994). Di situ, GM mengapresiasi Cak Nur tentang jalan menuju Tuhan. Katanya, Tuhan tidak mungkin dicapai oleh dan dengan kondisi nisbi. Tuhan tidak mungkin dicapai dengan bahasa yang terbatas dan waktu yang sambung-menyambung. Tuhan tidak akan dipahami, seperti kita memahami rumus matematika, dalam proses dari suatu titik awal dan sampai tiba di suatu titik akhir.

Lalu, GM terpikat dengan cara Chairil Anwar memahami Tuhan. "Susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh." Menurut GM, “mengingat” mengandung faktor waktu, sedang Tuhan datang dengan “penuh seluruh” melalui sesuatu yang mengatasi waktu: melalui wahyu. Persoalannya, bagaimana Tuhan akan dihadirkan dalam kesadaran manusia?

GM menjawabnya sendiri. Manusia mau tak mau menggunakan pikiran, suatu proses diskursif yang berjalan setapak demi setapak untuk sampai kepada suatu kesimpulan. Dan karena wahyu hanya turun kepada Rasulullah SAW, beliau harus merumuskan dan menggunakan bahasa dan komunikasi. Tak bisa tidak, lanjut GM, wahyu harus masuk ke dalam kurun waktu. Di sini, saya kira, GM seorang rasionalis—ia lebih berada di kubu Ibn Rusyd (pemancang rasionalitas di dunia Muslim dan Barat) ketimbang Al-Ghazali (hujjat al-Islam). Yang terakhir ini, dalam Ihya Alum al-Din (masterpiece Al-Ghazali), tegas-tegas memberi batas pada pikiran: Mengungkapkan misteri (kuasa) Allah adalah kufur.

Buku Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai ini merupakan percikan permenungan GM yang belum tertampung dalam buku-buku terdahulunya. Sebagian adalah pokok atau intisari dari catatan pinggir, selebihnya adalah pikiran-pikiran terserak saat ia berada di New Haven, Connecticut, Amerika Serikat, Jakarta dan pojok-pojok dunia lain. Berisi 99 percikan, sebagian tersambung dalam satu tema yang membentuk benang merah dan sebagian lagi merupakan tema yang berdiri sendiri-sendiri.

Dalam percicikan pertama, GM takjub dengan cara Walisongo membangun masjid. Pada abad ke-16, sembilan wali mendirikan masjid pertama di kota pantai utara Jawa, Demak dari serpihan kayu dan lapisan yang lepas dari papan. “Sebuah masjid yang ditopang oleh yang terbuang, yang remeh dan yang tak bisa disusun rata—bukan sebuah rumah Tuhan yang berdiri karena pokok yang lurus dan kukuh, dengan lembing dan tahta” (hal. 9).

Ada kontras di situ, Masjid Agung Demak dibangun dengan kesederhanaan dan kesahajaan, sedangkan di banyak tempat di masa modern ini rumah ibadah dibangun dengan “lembing” dan “tahta”—simbol senjata dan kekuasaan. Bukankah di London sana, saat ini warga Muslim yang kebetulan anggota Jamaah Tabligh yang dicap garis keras dilarang membangun masjid?

Di Banyuwangi, Jawa Timur, beberapa waktu lalu warga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah hampir bentrok karena warga Muhammadiyah berinisiatif melaksanakan salat Jumat di masjid mereka. Percikan ini seperti menyeru, jika Tuhan tak bisa ditolak dan agama bertambah penting, seyogianya ekspresi keberagamaan tak menggunakan kekerasan—apalagi jika harus dengan membunuh sesama. Dengan nada geram, GM menyebut zaman modern ditandai dengan para algojo yang dengan dalih agama, membunuh beratus-ratus orang sekaligus. GM menyeru agar manusia keluar tindakan brutal semacam itu. Sebab, Tuhan—khususnya bagi para filsuf—adalah Tuhan yang tak menyebabkan pembunuhan terjadi (lihat percikan ke-22, hal. 39-40).

Masih berkaitan dengan masjid, GM menukilkan kenyelenehan Al-Mutawakkil, khalifah yang bertahta tahun 847. Konon khalifah yang digambarkan sejarah Syiah sebagai “tiran berdarah” ini sering menaiki tangga menara masjid yang dibangunnya di Samarra. Mutawakkil merasa dengan menaiki tangga dengan keledai dirinya tengah dalam perjalanan yang khidmat tapi terhormat mendekati Tuhan (hal. 67-68). Lewat percikan ini, tersingkap bahwa kekudusan pada masing-masing individu bisa berbeda, meskipun pada akhirnya berhulu pada Yang Satu.

Di tempat lain, percikan ke-21, GM kembali kepada cara pandang nisbi. Ia yang begitu terpukau pada rasionalitas ternyata juga mengkritik Sultan Akbar yang memandang akal sebagai soko guru agama barunya, Din Illahi, pada abad ke16 di India. Pantas jika Sultan Akbar gagal, sebab menurut GM, iman bukanlah mempercayai apa yang terang tanpa mempercayai apa yang gelap. Tuhan tak datang ke dalam hati kita dengan jaminan bahwa yang akan datang hanya ketenteraman dan semua hal bisa dimengerti (hal. 17). Ini menegaskan GM sebetulnya tak kuasa menolak bahwa Tuhan tak benar-benar dapat dicecap dengan rasio.

Di atas segalanya, GM menolak monopoli tafsir dan makna seperti diklaim oleh Sayyed Qutb, yang menyatakan Alquran menampilkan Islam sebagaimana adanya. Sebab, di antara Alquran dan Qutb hadir bahasa (lihat percikan ke-55, hal. 90-91). Karena bahasa tak mengikuti hukum geometris, bahasa dapat dibelokkan oleh manusia, termasuk para penafsir. Dalam panggung sejarah, bahasa sarat cerita sesat, makna yang berkelok dan ambigu serta rambu-rambu palsu.

Apa yang terjadi pada kaum Wahabi yang menghalalkan kekerasan, saya kira, sebagian besar disumbang monopoli makna tersebut. Penolakannya pada tafsir lain menyebabkan agama diterima sebagai hal yang menakutkan. Juga, tindakan para pemuda Ikhwanul tatkala merusak alat musik, membakar film, merobek kanvas lukisan, menghancurkan patung lantaran keyakinan mereka bahwa keindahan hanya ada pada Tuhan.

Ke-99 percikan dalam buku ini tentu saja tak membahas Tuhan (dan agama) di bawah payung Islam. Tapi juga Kristen, Yahudi, Konghucu hingga Kejawen. Di samping itu dikupas tema semacam demokrasi dalam kotak suara, moralitas dalam sepakbola, filsafat di balik lawakan (Srimulat), hukuman mati, sampai Kali Ciliwung. Seluruhnya menggunakan tatapan mata elang, menghunjam ke akar dan memberi perspektif yang mencerahkan.

Membaca percikan GM, kita tersadar banyak pekerjaan yang harus kita cicil untuk memahami Tuhan dengan syahdu dan sekaligus tetap memuliakan kemanusiaan. Sayang, penerbit Kata Kita tak menyertakan glosari untuk menjelaskan selaksa nama yang disebut GM dalam percikannya. Itu berguna bagi pembaca, khususnya yang tidak familiar dengan nama-nama tersebut. [Edisi Lengkap dari yang dimuat Media Indonesia, 24 November 2007]

Friday, November 2, 2007

Sutiyoso dan Marketing Politik

Oleh Moh Samsul Arifin

LETNAN Jenderal (Purnawirawan) Sutiyoso mendeklarasikan diri untuk maju dalam pemilihan presiden/wakil presiden tahun 2009 mendatang di sebuah hotel berbintang di Jakarta, awal Oktober lalu. Sutiyoso atau Bang Yos memasang target tinggi, sebab yang disasar adalah jabatan tertinggi di republik ini dibawah tajuk “Sutiyoso for President”. Setidaknya ada dua hal mengapa pencalonan Bang Yos menjadi “istimewa”.

Pertama, ia tak memiliki kendaraan politik (baca: partai politik) untuk mengantarnya ke politik elektoral, Pilpres 2009. Kedua, pencalonan itu diumumkan saat yang bersangkutan masih menjabat gubernur DKI Jakarta. Para pengkritik mengaitkannya dengan problem politik riil dan moral-etis, sesuatu yang memang absen di balik pencalonan Bang Yos tersebut.

Dalam satu dasawarsa politik di masa reformasi, pencapresan selalu identik dengan partai politik. Sejumlah tokoh yang berkeinginan memimpin Indonesia, mengawali langkahnya dengan mendirikan parpol. Teori ini hampir menjadi absolut, sebab parpol—setidaknya hingga kini—ditempatkan sebagai pintu satu-satunya untuk berkiprah dalam seleksi kepemimpinan nasional (baca: pilpres dan pemilu legislatif) dan seleksi pejabat eksekutif di daerah (provinsi, kabupaten dan kota) lewat pilkada secara langsung. Sutiyoso menubruk pakem tersebut dengan rasa percaya diri tinggi.

Bagi Sutiyoso, saat ini parpol sudah begitu banyak, sehingga ia memilih tak mendirikan parpol baru. Justru, ia hendak “memasarkan diri” untuk dicalonkan parpol-parpol yang sudah ada. “Saya tidak punya partai. Partai sudah sangat banyak. Kalau saya layak pasti ada kereta. Di samping saya melakukan pendekatan, saya harap ada kereta yang mendekat,” ujarnya (Sinar Harapan, 2/10).

Saya menangkap kepercayaan diri begitu besar, meski belum secara definitif didukung parpol tertentu. Berkaitan dengan parpol, Sutiyoso pernah dihubungkan dengan Partai Solidaritas Nasional (PSN). Partai ini mengingatkan saya pada Partai Solidaritas Polandia yang mengantarkan Lech Walesa menjadi presiden Polandia tahun 1990. Konon, PSN akan menjadi kendaraan Sutiyoso untuk berlabuh ke perhelatan Pilpres 2005. Kabar ini telah meruak sejak 2005 lalu dan belakangan mengempis.

Dengan modal jaringan di lingkungan TNI (ingat Jenderal purn. Try Soetrisno berada di belakang Sutiyoso) dan modal kapital yang cukup, sesungguhnya tak sulit bagi Sutiyoso mendirikan parpol sendiri. Tapi, Sutiyoso memilih cara baru untuk pencapresan dirinya. Ada sejumlah kemungkinan mengapa Sutiyoso begitu percaya diri. Pertama, ia sesungguhnya telah mendapat konsesi dari sejumlah parpol bahwa ia berpeluang dicalonkan. Konon Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Solidaritas Nasional (PSN) telah menyatakan komitmen mendukung Sutiyoso. Masalahnya, PIS dan PSN belum tentu ikut serta Pemilu 2009 serta memperoleh suara signifikan.

Kedua, Sutiyoso terus menjaga kontak dengan sejumlah parpol. Fenomena Fauzi Bowo yang diusung koalisi besar parpol pada Pilkada Jakarta menjadi referensi bagi Sutiyoso, betapa parpol dapat “disewa” untuk pencalonannya tersebut.

Ketiga, faktor purnawirawan TNI tentu merupakan faktor plus sekaligus sokongan politik yang melambungkan kepercayaan dirinya. Sutiyoso tampaknya akan menjadi calon alternatif dari kalangan eks militer, selain Susilo Bambang Yudhoyono dan Wiranto. Dua tokoh ini telah berpartisipasi dalam Pilpres 2004 lalu. Sutiyoso dianggapkan sanggup mengumpulkan kekuatan eks militer atau keluarga tentara.

Karakter Sutiyoso sendiri beradu punggung dengan SBY. Sutiyoso, setidaknya dalam 10 tahun menjabat Gubernur Jakarta, terkenal tegas, berani dan bahkan kontroversial dengan melawan kehendak publik. Projek mercusuarnya, yang mengintegrasikan pola transportasi makro (Busway, subway, monorel dan waterway) adalah contoh betapa ia berani bertindak sekalipun ditentang.

Keempat, Sutiyoso sadar betul bahwa ia termasuk “hijau” dalam politik nasional, karenanya ia mendeklarasikan pencapresannya sejak dini, dua tahun sebelum perhelalatan politik elektoral digelar. Apalagi di sejumlah survei, popularitas Sutiyoso masih kalah jauh dengan politisi atau tokoh yang melintang di belantara politik nasional.

Menurut jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI), dari tujuh nama yang disigi, Sutiyoso menempati urutan terbawah dengan perolehan satu persen. Berdasarkan survei yang diadakan antara September-Oktober 2007 itu, Sutiyoso kalah jauh dengan dua eks militer seperti SBY (35,5 persen) dan Wiranto (7 persen).

Empat nama sipil, Megawati Soekarnoputri (28 persen), Amien Rais (6,5 persen), Hidayat Nur Wahid (5 persen) dan Jusuf Kalla (4 persen) juga belum dapat disainginya. Pencapresan dini Sutiyoso dapat dimaknai sebagai sebentuk marketing politik untuk mengerek popularitasnya di hadapan calon pemilih. Dari sisi ini, dapat dimaklumi jika Sutiyoso mengumumkan pencapresannya di akhir masa jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta. Prinsip marketing mengajarkan orang yang memiliki jabatan (big name) akan lebih mendapat perhatian publik ketimbang sudah tidak menjabat.

Peran marketing dalam politik telah diakui sejak dasawarsa kedua abad ke-20. Partai Konservatif di Inggris memanfaatkan jasa agen biro iklan (Holford-Bottomley Advertising Service) dalam mendesain dan mendistribusikan poster dan pamflet di Pemilu 1929. Sebelumnya, Partai Buruh menerapkannya tahun 1917.

Aktivitas marketing tak hanya efektif mentransfer pesan politik ke publik, tapi mengantarkan sejumlah individu ke panggung kekuasaan. Bill Clinton berhasil ke Gedung Putih berkat kemampuan tim kampanye Partai Demokrat menyerap aspirasi masyarakat dan menuangkannya dalam slogan kampanye yang positif dan elegan ketimbang pesaingnya, Dole dari Republik di tahun 1992. Hal sama dialami Partai Buruh di Inggris, ketika agen publikasi Saatchi and Saatchi menciptakan slogan “Labour isn’t Working” untuk mendongkrak tingkat kepercayaan massa tradisionalnya terhadap partai tersebut.

Seperti halnya dunia bisnis, produklah yang ditawarkan kandidat capres atau parpol. Adapun masyarakat menjadi konsumen yang menentukan dan memilih produk semacam party platform, past record (catatan tentang hal-hal yang dilakukan di masa lampau) dan personal characteristic (ciri pribadi) yang dijual parpol dan individu.

Namun, diingatkan Firmanzah (2007), di masa mendatang kandidat atau parpol hendaknya menerapkan prinsip marketing dalam rangka membuat program yang berhubungan dengan permasalahan aktual serta berorientasi terhadap konstituen, publik dan rakyat—mereka yang selama ini sekadar menjadi objek dalam sejarah politik Orde Baru.

Bak bekerja dari titik nol, Sutiyoso memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat untuk bisa bersaing dalam Pilpres 2009 mendatang. Apabila tak sanggup menaikkan popularitas, Sutiyoso harus realistik dengan hanya menjadi cawapres. [November 2007]

Friday, October 26, 2007

Politik Lokal Politisi Jakarta

Oleh Moh Samsul Arifin

NAMA Agum Gumelar tiba-tiba menjulang di Jawa Barat akhir September lalu. Bekas calon wakil presiden kelahiran Tasikmalaya ini menurut hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) menangguk popularitas tertinggi dibandingkan tokoh Sunda lain yang berdiam di Jawa Barat dan Jakarta. Popularitas Menkopolsoskam di masa Abdurrahman Wahid ini meroket hingga 83,4 persen. Jauh meninggalkan Nurul Arifin (65,2 persen), Dede Yusuf (72,3 persen) dan bahkan gubernur aktif, Danny Setiawan (50,5 persen). Tokoh lain semacam Ajat Sudrajat, Nu'man Abdul Hakim, Letjen Pur Adang Ruchiyatna, Uu Rukmana, Irjen Pol Dadang Garnida, Tutty Hayati Anwar, Sofyan Yahya, Mayjen TB. Hasanuddin, Agus Gumiwang Kartasasmita, Rudi Harsa Tanaya dan Yudi Widiana di bawah 27 persen.

LSI juga melacak tingkat kemungkinan nama tokoh terpilih (elektibilitas) dalam Pilgub Jawa Barat jika dilaksanakan saat berlangsung jajak pendapat. Maka digunakanlah framing (pembingkaian) dengan pertanyaan tertutup dan terbuka. Hasilnya, Agum Gumelar menjadi kandidat serius bagi Danny Setiawan, gubernur yang diperkirakan menjadi incumbent pada Pilgub 2008 mendatang.

Dari 25 nama yang disodorkan LSI kepada 820 responden (sampel) di seluruh kabupaten/kota di Jabar, Agum dipilih 33,2 persen, sedangkan Danny 11,5 persen. Dede Yusuf, Nurul Arifin, Ajat Sudrajat, H.A.M. Ruslan, Adang Ruchiyatna atau Nu’man Abdul Hakim angka elektibilitasnya antara 0,7-4,3 persen.


Saat diciutkan menjadi enam mana (Dede Yusuf, Danny Setiawan, Nu'man Abdul Hakim, Agum Gumelar, Uu Rukmana, H.A.M. Ruslan), majoritas responden, sebanyak 44,7 persen memilih Agum. Danny dipilih 16,8 persen responden, Dede Yusuf (8 persen), H.A.M. Ruslan (4,2 persen), Uu Rukman (1,9 persen), Nu'man Abdul Hakim (1,7 persen). Sedangkan 22,6 persen responden mengaku tidak tahu/tidak menjawab. Jika diciutkan lagi menjadi dua nama (Danny Setiawan dan Agum Gumelar), Agum “menang” dengan perolehan 55,6 persen berbanding 23,5 persen. Selebihnya tidak tahu/tidak jawab 20,9 persen.

Lain cerita jika pertanyaan terbuka yang digunakan. Danny unggul atas Agum, dengan perolehan 7,3 persen berbanding 4,2 persen. Selebihnya memilih lainnya (4,5 persen), Dede Yusuf (0,7 persen), Irianto M.S. Syafiudin (0,6 persen), Ajat Sudrajat dan Agus Gumiwang Kartasasmita (0,4 persen). Sedangkan majoritas (81,9 persen) warga Jabar belum tahu tentang calon kandidat yang akan didukung menjadi Gubernur. Berarti saat ini majoritas warga Jabar masih belum menetapkan tokoh yang akan mereka pilih pada Pilgub mendatang.

Muncul dan meroketnya nama Agum Gumelar tidaklah datang dari langit. Dengan pembacaan kritis, kemunculan Agum merupakan bentuk telanjang dari “politik survei”. Mengapa nama Agum Gumelar yang “muncul” dan bukan Ginandjar Kartasasmita, Muhammad Surya atau Mayjen TNI. TB. Hasanuddin?

Survei adalah cara paling efektif melacak arus pendapat publik secara temporal. Namun, pada saat sama survei memiliki potensi digunakan untuk menggiring opini publik riil. Hasil survei memotret sebuah tren, kecenderungan dan tak memastikan kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Survei bukanlah sesuatu yang absolut, sekalipun pada saat sama tak boleh dinafikan. Siapapun, partai politik, kandidat atau warga yang telanjur terpaku pada survei sedikit banyak akan jatuh pada kenisbian. Seorang tokoh akan kelewat percaya diri, atau justru takut bersaing dalam perhelatan politik di tingkat lokal.

Saya menangkap “harga” Agum Gumelar demikian tinggi menuju Pilgub 2008 di Jabar lantaran diuntungkan oleh survei yang melambungkan namanya. Selain itu, parpol ikut menyumbang terhadap gejala terjunnya politisi Jakarta ke pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah, termasuk Jawa Barat. Belum jelas benar alasan DPD PDIP Jabar hampir pasti mengusung Agum Gumelar untuk diduetkan dengan Rudi Harsa Tanaya. Apakah deal itu dipicu oleh hasil survei atau memang terjadi pertemuan kepentingan (berikut visi dan misi) sekaitan Pilgub Jabar.

Untuk menyebut contoh, selain Agum Gumelar saat ini sejumlah politisi Jakarta terus memburu pilkada. Bibit Waluyo (eks militer yang gagal menjadi cagub pada Pilgub Jakarta) tengah mendekati parpol di Jawa Tengah untuk berpartisipasi dalam Pilgub di sana. Politisi Partai Golkar Akil Mochtar mencalonkan di Pilgub Kalimantan Barat. Bekas Menneg Pembangunan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf mengincar Pilgub Jawa Timur.

Daftar ini bakal kian berderet apabila nama yang sudah menggenggam jabatan eksekutif (gubernur, bupati dan walikota) disebut. Nurmahmudi Ismail (walikota Depok), Fadel Muhammad (gubernur Gorontalo), Agustin Teras Narang (gubernur Kalimantan Tengah) kembali terjun ke politik lokal setelah malang–melintang di jagad politik nasional. Dan, sayangnya, politisi lokal dan parpol tak menunjukkan resistensi terhadap gejala yang sudah terjadi sejak pilkada langsung diterapkan pada 2005 lalu.

Ada sejumlah kemungkinan mengapa fenomena itu terus berlangsung? Pertama, parpol sebagai kendaraan politik tak memiliki desain jenjang karier yang terarah dan pasti bagi setiap kadernya. Kader parpol akhirnya bergerak sendiri-sendiri untuk merengkuh jabatan-jabatan di eksekutif. Saat peluang tersedia, mereka pun balik kanan terjun ke pentas politik lokal demi memenuhi tujuan mendapat jabatan eksekutif.

Kedua, kaderisasi di tingkat parpol mandek. Kondisi ini tak pelak membuat parpol tak punya pilihan, selain memberi tempat kepada tokoh dari luar parpol untuk mendapat dukungan mereka. Fenomena politisi Jakarta terjun ke politik lokal, memanfaatkan kekosongan tersebut. Daripada memunculkan tokoh lokal yang kurang teruji, parpol berpikir tokoh nasional atau politisi Jakarta lebih menjual. Apalagi jika dukungan yang diberikan parpol tersebut dikompensasi dengan sejumlah dana.

Ketiga, parpol tersedot untuk menggarap tujuan-tujuan jangka pendek sehingga politik pragmatis tak terelakkan. Buntutnya, alih-alih menjadi saluran bagi kader sendiri meraih jabatan publik, parpol justru menjadi “perahu” bagi orang lain untuk tampil di ajang politik lokal semacam pilgub, pilbup dan pilkot.

Jika kondisi ini tak segera dikoreksi, hemat saya, perhelatan politik lokal (pilkada) akan kehilangan warna “kelokalannya”. Apa jadinya jika politik lokal membuat orang daerah menjadi “tamu” di daerah mereka sendiri? Mereka terus terdesak, bahkan oleh orang daerah yang sudah berkecimpung di tingkat nasional. Sudah pasti ini akan mengganjal mobilitas vertikal politisi lokal. Seyogianya dilakukan penelitian kualitatif oleh lembaga kajian untuk meneropong seberapa jauh dampak negatif fenomena terjunnya politisi nasional itu bagi politik lokal.

Saya kira politik demokratis juga berurusan dengan topik berbagi ruang (space). Inilah yang berlaku dalam tradisi politik di Amerika Serikat. Di sana, seorang bekas gubernur melirik perhelatan pemilu presiden (sebutlah Bill Clinton atau George Walker Bush). Dari tingkat lokal, politisi di sana berikhtiar menembus politik nasional. Tradisi ini sedikit meruak di Tanah Air ketika Sutiyoso (saat itu masih gubernur Jakarta) mendeklarasikan diri menjadi capres pada Pilpres 2009 beberapa waktu lalu. Saya mengimpikan tren semacam menjadi kata umum dalam politik kita di masa mendatang. [Pikiran Rakyat, 26 Oktober 2007]

Sunday, October 7, 2007

Membaca Terbalik StAR Initiative

Oleh Moh Samsul Arifin


STOLEN Asset Recovery (StAR) Initiative yang merupakan kerjasama Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia menerbitkan harapan besar di tengah mati anginnya upaya pengembalian aset yang diduga diselewengkan Soeharto saat berkuasa. Pada akhir Mei 2006, Kejaksaan Agung telah mengeluarkan SKP3, yang berarti menamatkan upaya hukum (pidana) terhadap bekas presiden kedua Republik Indonesia tersebut. Saat ini Kejaksaan Agung tengah menuntut perdata Soeharto dan Yayasan Supersemar yang diduga menyelewengkan dana negara triliunan rupiah.

Di sinilah StAR Initiative dapat mengkatalisasi upaya pemerintah mendapatkan kembali aset negara yang diselewengkan selama 32 tahun kekuasaan Soeharto. StAR Initiative pada 16 September lalu mengumumkan Soeharto sebagai koruptor nomor wahid dengan total aset antara 15 miliar hingga 35 miliar dolar AS.

Kebijakan antikorupsi telah dikembangkan Bank Dunia, IMF, United Nations Development Programme (UNDP), lembaga bantuan bilateral dan bank pembangunan regional untuk membangun kepercayaan terhadap integritas lembaga mereka. Pada 1997, Bank Dunia menerbitkan Helping Countries Combat Corruption (Bantuan terhadap Negara-negara untuk Memerangi Korupsi). Sasaran yang dituju bukan hanya melindungi projek bantuan terhadap iklim korup suatu negara atau terhadap permintaan bayaran (suap) yang telah menjadi biasa di beberapa negara bagian dari usaha internasional. Tapi, juga kerja sama antara organisasi internasional dan negara-negara yang berminat untuk membina suatu program menyeluruh.

StAR Initiative dinilai sebagai kelanjutan upaya memerangi korupsi tersebut. Ini setidaknya pembacaan pertama yang dihembuskan banyak kalangan dan media massa di Tanah Air. Tapi, fakta ini melupakan adanya andil Bank Dunia di balik maraknya korupsi di dalam projek-projek yang didanai mereka di negara-negara berkembang.

Jefrey A. Winters mensinyalir dana pinjaman dari Bank Dunia kepada pemerintah Orde Baru antara 1966 -1998 mencapai angka 30 miliar dolar AS. Sekitar sepertiganya atau 10 miliar dolar AS “dijarah” secara sistematis atas sepengetahuan Bank Dunia.

Begitu juga John Perkins, seorang the economic hitman (bandit ekonomi) yang digunakan Bank Dunia, IMF dan lembaga keuangan internasional untuk memuluskan sejumlah projek mereka di negara-negara berkembang. Dalam Confession of an Economic Hitman dan The Secret History of the American Empire, Perkins menyatakan dirinya diutus perusahaan konsultan MAIN asal Boston, AS—yang disewa Bank Dunia—untuk menaksir potensi ekonomi projek sistem kelistrikan terpadu di Indonesia pada 1971 silam. Menurut Perkins, data yang dikumpulkannya sengaja digelembungkan agar dapat dimanfaatkan Soeharto dan kroni-kroninya menggerakkan industrialisasi di tanah air dan menambah kekayaannya.

Pembacaan kedua, dan ini tak begitu terungkap di ruang publik dan diskursus publik, adalah seberapa efektif StAR Initiative mengkatalisasi upaya pengembalian aset yang diduga “diambil” Soeharto tersebut? Benarkah bangsa ini boleh optimistik dengan StAR Initiative?

Presiden Yudhoyono berujar, Bank Dunia (lewat StAR Initiative) tak menemukan informasi tentang dugaan pencurian aset negara oleh Soeharto. Bahkan, lanjut Presiden, program pengembalian kekayaan curian (StAR) sebenarnya tak membidik orang tertentu. “Bank Dunia mengatakan kepada saya tak pernah dan memang tak bermaksud membidik sasaran pihak tertentu, orang tertentu. Konsep itu akan dilakukan dengan negara mana pun yang memang menginginkan kerja sama dengan Bank Dunia dalam kerangka StAR,” jelas Presiden Yudhoyono (Kompas, 29/9).

Dua hal penting yang disitir Presiden Yudhoyono membatalkan harapan yang tiba-tiba menggelembung saat StAR Initiative mengumumkan datanya. Pertama, prakarsa StAR tak menjanjikan datanya akurat dan kemungkinan memverifikasi data dimaksud. Artinya sinyalemen bahwa Bank Dunia dapat mempermudah pencarian aset yang diduga “diambil” Soeharto tak sepenuhnya benar.

Kedua, anasir bahwa PBB dan Bank Dunia tengah menyasar secara khusus korupsi yang dilakukan Soeharto ketika berkuasa kelewat dibesar-besarkan. Pada gilirannya, StAR Initiative hanya dapat dijalankan jika negara yang bersangkutan menginginkan kerja bareng dengan Bank Dunia. Dalam konteks itu upaya pengembalian aset yang diduga dicuri Soeharto berada di pundak Presiden Yudhoyono. Di titik ini selaksa tanya menyeruak.

Selain komitmen dari Presiden Yudhoyono, dua lembaga yang memegang peran penting adalah lembaga peradilan dan kejaksaan. Menurut Susan Rose-Ackerman (2000), di dunia ini banyak negara mempunyai Undang-Undang Antikorupsi yang hebat, tapi tak berpengaruh terhadap penanggulangan korupsi. Andai para penuntut umum getol, masih tetap tidak banyak artinya jika negara itu tak memiliki sistem pengadilan yang jujur. Pengadilan yang korup atau terikat secara politis dapat melancarkan korupsi tingkat tinggi, merongrong reformasi dan mengesampingkan norma-norma hukum.

Ini juga yang dikatakan almarhum Baharuddin Lopa ketika ditanya Presiden Abdurrahman Wahid (tahun 2000) tentang cara mengembalikan harta negara yang diduga diambil Soeharto. Bekas Jaksa Agung itu mengatakan pengadilan lah pilar penting untuk menyelesaikan aspek hukum terhadap Soeharto.

Lembaga peradilan yang jujur dan disegani adalah niscaya dalam usaha melawan pemerintahan yang korup dan sekaligus menegakkan hukum. Di sinilah letak persoalan laten pemberantasan korupsi di Indonesia. Di negeri ini pengadilan tidak efektif lantaran sebagian besar orang percaya bahwa banyak hakim korup. Lembaga yudikatif yang korup memang mahal bagi demokrasi lantaran tak dapat memainkan perannya sebagai penjaga nilai-nilai konstitusi atau mengawasi kejujuran dari cabang pemerintahan lainnya.

Beda dengan Italia, Brasil, atau India. Masih kata Susan Rose-Ackerman, di Italia misalnya, petugas hukum yang independen gigih melacak dan menuntut pelaku korupsi. Mahkamah Agung India mendorong maju pemeriksaan korupsi yang ingin “dipeti-eskan” oleh pemerintah. Mahkamah Agung Brasil bersikeras bahwa tuduhan terhadap Presiden Collor harus dilakukan di depan umum secara terbuka dan setiap anggota parlemen memberi suara secara terbuka pula. Itulah yang membuat persidangan berjalan jujur dan berakhir dengan dipecatnya presiden yang kelewat korup tersebut.

Dalam kerangka pemberantasan korupsi, PresidenYudhoyono memiliki banyak pilar. Mulai dari Kejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi hingga Tim Pemburu Aset Koruptor. Seluruh kekuatan ini dapat dikonsolidasikan untuk menumpas kelor korupsi, termasuk memproses secara adil dugaan korupsi Soeharto.

Pertanyaannya, apakah Yudhoyono—yang di masa Abdurrahman Wahid pernah ditunjuk menjadi negosiator pengembalian harta negara yang diduga “diambil” Soeharto—menerima misi utama reformasi, memberantas korupsi di pundaknya? Sebagaimana dimaklum, pada 2000, Gus Dur mempercayakan kepada Yudhoyono (saat itu Mentamben) untuk menegosiasikan kemungkinan pengembalian aset negara yang diselewengkan Soeharto.

Kepada pers, setelah bertemu keluarga Soeharto (konon pihak Cendana diwakili Siti Hardiyanti Rukmana), Yudhoyono saat itu menyatakan dirinya secara tersirat menyaksikan keinginan pihak keluarga Soeharto untuk menyumbangkan sebagian harta yang dimiliki kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Yudhoyono berharap sekaligus menuntut kesadaran pihak keluarga Soeharto untuk memiliki dorongan moral logis untuk menyumbangkan sebagian dari harta mereka kepada rakyat dan bangsa Indonesia (Kompas, 20 Juni 2000).

Sekali lagi program PBB dan Bank Dunia lewat Prakarsa StAR cuma katalis. Ia hanyalah panduan dan penunjuk rute, seperti peran yang dimainkan Kresna dalam Perang Baratayudha. Justru di tangan Presiden Yudhoyono lah nasib pengembalian aset negara yang diselewengkan Soeharto berada. [Oktober 2007]

Wednesday, October 3, 2007

Mencari Nama Allah dalam Diri

Judul: Mencari Nama Allah yang Keseratus
Penulis: Muhammad Zuhri
Penerbit: Serambi, Jakarta, Juli 2007
Tebal: 215 halaman

Oleh Moh Samsul Arifin


CARILAH nama Sekarjalak di peta. Andai ditemukan pun, ia pastilah berupa noktah kecil yang kurang tersambung dengan sebuah ingatan besar. Tapi, gandengkan nama Sekarjalak dengan Muhammad Zuhri, kita akan mendapati sebuah "dentuman besar" yang menyambungkan Muslim dengan tasawuf sosial yang aktual sekaligus kontekstual.

Peter G. Riddel pernah membahas Muhammad Zuhri—atau karib dipanggil Pak Muh—dalam Islam in The Malay-Indonesian World (2001). H.K. Lee—seorang asal Korea Selatan—menjadikannya objek disertasinya di Universitas Brunel Inggris tahun 1999 lalu. Lee menulis disertasi bertajuk "Sainthood and Modern Java: a Window into the World of Muhammad Zuhri".

Sekarjalak hanyalah sebuah desa di Pati, Jawa Tengah, tempat Pak Muh menggauli tasawuf. Di situ ia bercengkerama dengan penduduk setempat, juga tamu-tamu lainnya yang datang dari luar kota. Pak Muh menerima para tamunya itu sama dan sederajat kendatipun dari latar belakang yang kontras.

Baginya, para tamu itu adalah "Utusan Tuhan". "Mereka adalah orang-orang yang didatangkan Tuhan untuk dipertemukan dengan saya di suatu tempat pada suatu saat. Dan kebetulan tempat itu adalah rumah saya," ujar Pak Muh. Di rumahnya itu Pak Muh membentuh halaqah kecil bernama "Pesantren Budaya Barzakh" yang bertemu dua pekan sekali. Dari Sekarjalak, pengajian Pak Muh merembet ke Bandung dan Jakarta. Di dua kota ini, terbentuk Keluarga Budaya Barzakh dan Yayasan Barzakh. Pak Muh menjadi pusat di pengajian-pengajian tersebut, karena dialah guru sufi yang mengajarkan tasawuf kepada jamaah.

Pengajian Pak Muh menangkap persoalan-persoalan mutakhir dengan bening jiwa, menjurah ke akar, namun tetap berkorespondensi dengan realitas. Saya menangkap kesan itu saat hadir dalam peluncuran buku "Mencari Nama Allah yang Keseratus" di sebuah cafe di Kebayoran Baru, Jakarta, awal September lalu.

Terus terang saya terprovokasi dengan judul bukunya itu yang merangsang mata sekaligus menghunjam dalam ke lubuk kalbu. Apakah ada nama Allah yang keseratus setelah asmaul husna yang berjumlah 99? Mengapa ada satu lagi nama Allah yang belum tersingkap? Begitu tanya yang semburat di relung pikir sebelum saya membaca buku ini.

Menurut Pak Muh, 99 nama Allah yang diajarkan Rasulullah SAW menuju kebulatan alias nyaris sempurna (unfinished). Untuk sempurna, menjadi seratus, setiap manusia perlu mencari satu nama yang tersisa itu lewat pengabdian sepanjang hidup. Itulah sebutir mata tasbih yang lepas dari untaiannya, ism al a'zham atau nama Tuhan yang keseratus (hal. 20).

Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin adalah contoh pribadi yang menemukan nama keseratus Allah itu dalam dirinya. Nabi bergelar al-Amin, Abu Bakar (al-Shiddiq), Umar ibn Khaththab (al-Faruq), Utsman ibn Affan (Dzu al-Nurayn) dan Ali ibn Abi Thalib (al-Murthada). Ini yang disebut Pak Muh menjadi saksi (syahadat) kehadiran Allah itu di muka bumi. Ditemukannya nama Allah yang keseratus itulah yang membuat nama Nabi dan empat sahabat itu harum dalam peradaban Islam. Mereka menulis nama dalam sejarah lantaran dirahmati Allah.

Bagaimana menemukan nama yang keseratus itu? Sang pencari harus menetapkan jalan sejak awal yang bersifat permanen. Dalam hal ini, ujar Pak Muh, tak ada metode atau jalan untuk menempuh dan memeluk kebenaran, selain Islam. Setelah itu, sang pencari harus "menggarap dirinya" secara total.

Istilah "menggarap diri" ini adalah genuine Pak Muh dan bukan menjalankan segenap amalan seperti galibnya melekat pada gerakan tarekat. Menggarap diri ini menyerupai sebuah aktivitas mengenali diri, mengakui kelemahan-kelemahan sambil menggali potensi-potensi kreatif yang belum aktual di dataran personal dan komunal.

Tanda bahwa sang pencari telah menemukan nama Allah yang keseratus adalah saat ia dapat berlaku aktual dalam kehidupannya. Pencari itu telah memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah agen Allah di muka bumi. Ia sedapat mungkin menjadi saksi bahwa Allah itu ada. Ketika ada tetangga sakit, lapar, atau teraniaya, maka sang pencari itu harus menjadi "orang pertama" yang memberikan bantuan. Paling tidak, kendatipun kecil dan terbatas, sang pencari itu senantiasa berupaya menghadirkan Tuhan di muka bumi.

Dengan cara itu, sebut Pak Muh, sang pencari telah menghalau syak wasangka hambanya di muka bumi. Bukankah kita sering mendengar seorang hamba berujar, "Saya merintih, meminta, tapi Dia (Tuhan) tidak mengutus siapa pun dari hamba-hambanya untuk menyelamatkan saya."

Cara pandang Pak Muh terhadap kehadiran Tuhan ini mirip dengan aliran wujudiah, sebuah monisme ontologis dari Ibn Arabi. Menurut aliran ini, mengatakan "tiada Tuhan selain Allah" berarti bahwa hanya ada Tuhan. Dan konsekuensinya, segala sesuatu adalah Tuhan. Saat melihat pengemis di jalan, korban bencana alam, atau para pemadat, sesungguhnya kita menyaksikan hamba Allah yang perlu uluran tangan.

Pak Muh menyeru agar sang pencari mengambil peran yang unik, tapi bermakna di lingkungan terkecil dari keluarga, masyarakat hingga negara. Medannya adalah orang-orang yang berada dibawah garis kondisi kita; kepandaiannya, kekayaannya, kekuatan fisiknya, hingga keluasan persepsinya terhadap kenyataan (hal. 38-39).

Sufisme yang dikembangkan Pak Muh ini tampak peduli pada sesuatu yang bersifat komunitarian seperti disebut Peter G. Riddel. Aktivitasnya dirancang untuk membebaskan orang lemah dan membutuhkan. Suatu yang amat selaras dengan ideologi-ideologi aksi sosial akhir abad ke-20.

Namun, sedikit ganjil yang kurang diperhatikan adalah Pak Muh tidak mengikat jamaahnya dalam sebuah tarekat. Ia melepaskan jamaahnya bak buih, bisa mengumpul dan memisahkan diri setiap saat tanpa ikatan apa pun. Ihwal ini Miranda Risang Ayung (penulis Cahaya Rumah Kita) berujar, "Dalam kerangka tradisi tasawuf yang kini dominan, saya mungkin tidak pernah resmi menjadi muridnya. Tapi, saya ternyata sudah mengikutinya sekian lama, baik sebagai pengikut yang kagum lagi patuh maupun sebagai pengikut yang marah dan berontak" (Kata Pengantar "Hidup Lebih Bermakna", Agustus 2007).

Terbitnya buku ini, paling kurang dapat mengantarkan pembaca untuk menyelami tasawuf sambil tak melupakan sisi-sisi sosial yang melekat pada manusia sebagai human being. [Oktober 2007]

Monday, September 24, 2007

Skenario Penghabisan di Iran?

Oleh Moh Samsul Arifin

***

Judul: Iran Skenario Penghabisan
Penulis: Musa Kazhim & Alfian Hamzah
Penerbit: Ufuk Press, Jakarta, Juli 2007
Tebal: 190 halaman

***

PERNYATAAN Menteri Luar Negeri Perancis, Bernard Kouchner agar dunia bersiap menghadapi kemungkinan perang dengan Iran jika negeri Mullah itu tak menghentikan aktivitas program nuklirnya menaikkan ketegangan politik di Timur Tengah. Ini diucapkan Kouchner menjelang konferensi tahunan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di Vienna (16/9), Austria membahas program nuklir Iran.

Spekulasi beredar, Perancis di bawah Presiden Nicolas Sarkozy kini tengah mengubah bandul politik terhadap Washington. Ucapan Kouchner dinilai sebagai dukungan tak langsung kepada Pemerintahan George Walker Bush untuk memaksa Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan sanksi lebih berat kepada Iran, dan bahkan menyerang negeri tersebut sebagai “skenario terakhir”. Dan sudah rahasia umum jika pasukan dan pangkalan militer Amerika Serikat berada di sekitar Iran. Pangkalan militer Amerika tersebar di semua penjuru, dari Saudi Arabia hingga Suriah, dari Yordania hingga Qatar. Sekali Bush memerintahkan penyerangan terhadap Iran, perang bakal berkobar kembali.

Tapi, bukan Iran kalau tak bisa membalas “provokasi”. Pejabat elite Garda Revolusi Iran memastikan, militer Iran mampu menyerang semua target dan kepentingan AS di Timur Tengah. Misil jarak jauh Shahab-3 bisa menjangkau sasaran hingga 2.000 kilometer, termasuk Israel dan sejumlah pangkalan AS di Semenanjung Arab. Pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Ahmad Khatami mengingatkan Perancis tidak mengikuti AS yang memusuhi Iran.

Secara lebih lantang, pada 22 September lalu, Iran memamerkan kekuatan militer dan senjatanya dalam parade untuk mengenang perang Iran-Irak, 1980-1988. Dalam parade itu, Teheran meluncurkan Ghadr-1—sebuah rudal versi terbaru Shahab-3 melengkapi persenjataan Iran. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad berujar parade itu disengaja untuk menunjukkan kepada negara-negara penentangnya seberapa besar kekuatan militer Iran. “Mereka yang berpikir bahwa perang psikologis dan sanksi ekonomi bisa menghentikan kemajuan nasional (baca: nuklir) sedang membuat kesalahan,” ujar Ahmadinejad.

Buku “Iran Skenario Penghabisan” karya Musa Kazhim & Alfian Hamzah ini mengungkap kemungkinan Amerika menjadikan Iran sebagai “pelampiasan” setelah kegagalan invasi di Irak. Di dalam negerinya, Bush kini dipaksa untuk menarik mundur seluruh pasukannya di Irak pada Maret-April tahun mendatang. Menarik pasukan berarti mengumumkan kekalahan di Irak. Tak ada pilihan bagi elite penguasa di Amerika kecuali menghabiskan semua kartu yang tersisa. Para ahli strategi neokonservatif bisa mengambil langkah ekstrem: menyerang Iran.

Kalangan neokonservatif itu menilai Iran bakal menjadi semakin berbahaya jika tidak dihentikan saat ini. Mereka percaya hanya Pemerintahan Bush yang berani melakukan sesuatu kepada Iran. Bagi kalangan neokonservatif, sepanjang Iran masih merupakan Republik Islam, negeri itu akan berambisi memiliki senjata nuklir. Karena itu Amerika-Israel dan Barat akan memaksa Iran memenuhi tuntutan penghentian program nuklirnya atau menghadapi serangan militer.

Keberatan terhadap program nuklir Iran hanya dalih. Ditengara Bush sudah mengincar Iran sejak WTC dan Pentagon diserang pada 11 September 2001. Nuklir disebut-sebut hanya titik tolak, karena yang diincar sebetulnya penguasaan minyak di Timur Tengah di masa mendatang.

Michel Chossudovsky, salah seorang kontributor Global Research, menyatakan dunia sedang berada di persimpangan jalan menuju krisis paling serius pada milenium kedua ini. Amerika telah melangkahkan kaki menuju suatu petualangan militer, suatu perang panjang yang membahayakan masa depan umat manusia setara serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Agustus 1945.

Masih kata Chossudovky, ada bukti kuat bahwa AS bekerjasama dengan Israel dan NATO tengah merencanakan perang nuklir terhadap Iran. Jika sampai meletus, perang akan mengurung keseluruhan kawasan Timur Tengah. Bahkan, sebagian analis mengkhawatirkan perang itu bisa mencakup wilayah di luar kawasan itu dan menggiring pada skenario Perang Dunia III (hal 134-141).

Namun, Iran memiliki kekuatan tersembunyi. Iran tak sepenuhnya “David” di tengah “Goliath” yang bernafsu perang. Buku ini memerinci projek militer Iran yang dirahasiakan dari media massa. Padahal sejak 1992, Iran telah memproduksi tank, angkutan perang, rudal, kapal selam dan pesawat tempur. Iran mengembangkan senjata misil Fajr-3 (MIRV), Hoot, Kowsar, Fateh-110, Shahab-3 dan pesawat udara tanpa orang. Kekuatan angkatan bersenjata Iran bertumpu pada angkatan bersenjata reguler dan Kesatuan Garda Revolusi Islam (Sepah Pasdaran) dengan personel 545.000 tentara. Belum lagi milisi sukarelawan (Basij), mencakup 90.000 anggota aktif dan 300.000 anggota cadangan dan sekitar 11 juta orang yang siap dimobilisasi setiap saat (terbesar di dunia).

Seluruh kekuatan ini plus program nuklir (untuk perdamaian) dikonsolidasikan Ahmadinejad dalam apa yang disebut diktum “Revolusi Ketiga”. Ahmadinejad menghendaki revolusi tersebut menjadi gerakan global untuk memotong akar-akar ketidakadilan. Itulah kenapa dalam beberapa hal Ahmadinejad berkongsi dengan pemimpin dunia di Dunia Ketiga, semacam Hugo Chavez (Presiden Venezuela) atau Daniel Ortega (Presiden Nikaragua). Ia mengonsolidasi koalisi kecil yang relatif kritis terhadap Washington.

Kekokohan Ahmadinejad mengendalikan Revolusi Ketiga itu tegak ditopang spiritualitas ala Syiah yang ditiup Imam Khomeini dalam revolusi tahun 1979. Khomeini selalu menyanggah mental rakyat Iran merespons segala nestapa yang melanda negerinya, sejak kediktatoran Syah Muhammad Reza Pahlevi, perang dengan Irak dan intimidasi serta provokasi Amerika belakangan. Kalimat Khomeini “Perjuangan ini sifatnya suci, bertujuan menegakkan keadilan dan menentang penindasan Timur dan Barat atas dunia Muslim” dianggap selalu aktual dan karenanya menjiwai bangsa Iran.

Sebagai upaya memerikan kekuatan Iran, buku ini berhasil. Penulisnya dekat sekali dengan objek dan data-data yang dipaparkan menerangkan “sisi lain” yang kurang tersingkap seputar Iran selama ini. Dengan gaya bertutur (khas jurnalisme sastrawi), buku dengan topik amat berat ini, bisa lebih mudah dicerna dan dipahami.

Namun demikian, buku ini abai pada satu hal. Penulis sama sekali tidak membahas solusi untuk keluar dari kemelut ketegangan antara Amerika (pendukungnya) dengan Iran. Misalnya, jika program nuklir menjadi faktor pemantik, adakah skenario alternatif untuk memecahkan lobi Amerika di Dewan Keamanan PBB dan Badan Energi Atom Internasional. Atau apa pula proposal Iran untuk mencegah krisis sehubungan projek nuklirnya itu. Bagaimana sebaiknya, negara-negara di dunia bersikap. Sekalipun tampak normatif, seyogianya dibuat rumusan atau usulan untuk menghalau kemungkinan serangan Amerika terhadap Iran tersebut. [24 September 2007]

*) Praktisi pertelevisian.

Monday, September 17, 2007

Setelah Megawati Capres PDIP

Oleh Moh Samsul Arifin

LEWAT dua forum yang terbilang extravaganza, rapat kerja nasional (rakernas) dan rapat koordinasi nasional (rakornas), PDIP secara resmi mendaulat kembali Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden mereka. Jika dalam rakernas, Megawati masih malu-malu untuk menerima permintaan itu, dalam pidato penutupan rakornas di Kemayoran, Jakarta (10/9), Megawati mengumumkan kesediaannya maju dalam pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung tahun 2009 mendatang.

Saya mendapat kesan kesediaan Megawati ini adalah kelanjutan keinginannya yang tak kesampaian pada Pilpres 2004. Dalam sebuah wawancara dengan Liputan 6 SCTV (8/9), Megawati mengaku dirinya tidak kalah dalam Pilpres 2004. "Kalau kalah itu knock out. Rakyat memberikan suara kepada saya. Hanya, kurang dari 50 persen plus satu," jelas Mega. Memang, pada Pilpres 2004, Megawati yang saat itu berpasangan dengan Hasyim Muzadi hanya mendulang 39,38 persen suara. Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono-M. Jusuf Kalla menangguk 60,62 persen.

Ada nada ketidak-legowo-an di balik pernyataan tersebut. Mungkin itu sebabnya, ia sudah menabuh genderang persaingan dua tahun sebelum perhelatan politik yang sesungguhnya digelar. Artikel ini mencoba memaknai pencalonan Megawati dan pengaruhnya bagi persaingan politik di masa mendatang.

Percepatan pengumuman pencalonan Megawati ini bisa produktif, tetapi juga dapat menjadi bumerang, setidaknya dengan beberapa alasan. Pertama, di tingkat internal, kesediaan Megawati itu akan mengonsolidasi secara cepat pengurus PDIP (dari pusat hingga cabang dan ranting) dan pendukung mereka. Dan ini disadari Megawati saat ia meminta seluruh struktur partai mulai bekerja sejak saat ini.

Bagi politisi PDIP di Jakarta dan daerah, kesediaan itu membuyarkan satu hipotesis yang menyatakan partai tersebut akan pecah jika Megawati tidak bersedia. Sebagai sosok karismatik, harus diakui Megawati masih merupakan faktor pemersatu dan belum tergantikan, bahkan oleh Taufiq Kiemas yang kian memerankan diri sebagai "presiden" PDIP.

Bagaimanapun, banyaknya kader partai yang keluar dan membentuk Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Desember 2005 lalu mengkhawatirkan PDIP. Seperti diketahui, kader berpengaruh mereka seperti Abdul Madjid, Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, Roy Binilang Bawatanusa Janis, Sukowaluyo Mintorahardjo, hingga Engelina Pattisiana, kini bergabung dengan PDIP.

Kedua, secara demikian langkah cepat Megawati menerima pinangan partainya menggunting kans tokoh dan kader PDIP lainnya yang memiliki motif maju pada Pilpres 2009. Bahkan, spekulasi bahwa Taufiq Kiemas akan maju sebagai capres atau cawapres PDIP terpatahkan. Tidak mungkin lagi PDIP menggadang Kiemas sebagai cawapres, seperti isu yang beredar sejak PDIP dan Partai Golkar mesra di silaturahmi Medan dan Palembang, untuk diduetkan dengan capres dari partai lain. Saat ini koalisi dengan PDIP hanya mungkin jika kawan koalisi PDIP mengusung cawapres. Kesediaan Megawati mengunci calon kawan koalisi untuk hanya menjadi "orang kedua". Dan itu berarti membatasi potensi partai yang hendak merapat ke PDIP.

Ketiga, yang mungkin saja bakal memberatkan, lawan politik tradisional Megawati dan PDIP memiliki waktu lebih panjang untuk meng-counter pencalonan tersebut. Dari politik gender, sosok Megawati menjanjikan untuk "dijual" kepada kaum perempuan. Akan tetapi, pengalaman di dua kali pemilu, 1999 dan 2004, mengabarkan bahwa aktivis dan gerakan perempuan tidak secara langsung mendukung Megawati.

Sebaliknya, lawan politik tradisionalnya, menggunakan fikih yang tidak familiar kepada perempuan untuk mengganjal langkah Megawati. Kekalahan Megawati pada 1999 adalah contoh baik, kendatipun fenomena itu terkoreksi pada 2001 saat partai Islam semacam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) tak memasalahkan Megawati menjadi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid yang diberhentikan MPR lewat Sidang Istimewa.

PDIP boleh jadi percaya diri karena tren dukungan publik kepadanya merangkak naik seperti dikonfirmasi jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia, Maret 2007. Menurut jajak pendapat itu, dukungan terhadap PDIP mencapai 22,6 persen. Jauh lebih besar dari dua partai yang kini "memerintah" (the ruling party), Partai Golkar dan Partai Demokrat, yang sebesar 16,5 persen dan 16,3 persen.

Demikian pula dengan Megawati. Survei Indo Barometer pada Mei 2007 menunjukkan popularitas Megawati jauh lebih tinggi ketimbang tokoh politik lain seperti Jusuf Kalla, Sri Sultan Hamengkubuwono, Surya Paloh, dan Aburizal Bakrie. Megawati didukung 22,6 persen responden, hanya kalah dari SBY yang masih bertengger di tempat teratas dengan dukungan 35,3 persen. Bahkan, Wapres Jusuf Kalla hanya mendapat dukungan 2,9 persen.

Di atas segalanya, terompet yang ditiup Megawati dikhawatirkan mengilhami partai-partai lain berbuat senada, terjebak untuk mengambil langkah praktis dengan mengusung ketua umum partai dan tokoh lama sebagai capres atau cawapres menuju Pilpres 2009.

Gelagat ini bukannya tak kentara. Pertama, Partai Golkar, seperti dikonfirmasi Ketua FPG DPR, Priyo Budi Santoso, lewat rapat pimpinan partai di rumah Jusuf Kalla pada Selasa malam (18/9) menyepakati tak menggunakan konvensi untuk penentuan calon presiden (Koran Tempo, 20/9).

Sebagai pengganti digelar rapimnas atau rapat pimpinan nasional khusus (rapimnasus). Caranya, sejumlah kandidat diusulkan pengurus yang mempunyai hak suara. Lantas, calon digodok dengan memerhatikan sejumlah parameter, misalnya hasil survei. Untuk memilih calon yang akan bertarung dalam bursa capres, forum rapimda ikut menentukan. Dari sini, opsi-opsi yang beredar di rapimda dikonversi ke rapimnas atau rapimnasus. Calon presiden dan wapres yang diusulkan bisa dari internal atau luar partai.

Dihapuskannya konvensi diprediksi akan memuluskan langkah Jusuf Kalla menjadi capres dari Partai Golkar pada Pemilu 2009 nanti. Ini tentu kabar buruk bagi Partai Golkar yang telah memulai lompatan politik demokratis menjelang Pemilu 2004 lalu. Akbar Tandjung, saat itu ketua umum, yang notabene sudah hampir pasti menjadi capres Golkar jika tanpa konvensi, dikalahkan Wiranto di putaran final konvensi.

Lewat Golkar, publik bisa tahu bagaimana demokratisasi di internal parpol bersemi. Kita tahu saat itu, ada Surya Paloh, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Prabowo Subijanto, Jusuf Kalla hingga Nurcholish Madjid ikut berpartisipasi dalam konvensi tersebut. Sedangkan partai lain semacam Partai Amanat Nasional (PAN), PPP, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan PDIP tak beranjak dari cara konvensional, memilih ketua umum dan tokoh utama di intern partai sebagai capres atau cawapres.

Kedua, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menyatakan kesediaan menjadi capres Partai Kebangkitan Bangsa. Gus Dur mengaku telah mengantongi dukungan dari dua kiai sepuh Nahdlatul Ulama (NU) untuk maju dalam Pilpres 2009. Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR segendang sepenarian, mereka akan mengawal kesediaan Gus Dur tersebut, terutama pembahasan persyaratan capres dalam RUU Pilpres yang tengah dibahas di DPR (Kompas, 20/9). Pada 2004 lalu, Gus Dur yang berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim terganjal persyaratan kesehatan jasmani sehingga urung berpartisipasi dalam pemilihan langsung pertama di tanah air.

Saya berharap politik Indonesia di masa mendatang lebih dinamis. Parpol mampu memerankan posisi penting sebagai institusi yang mampu melahirkan calon pemimpin bangsa yang berkualitas negarawan. Dan, itu hanya bisa terwujud jika parpol tidak abai dengan kaderisasi dan mengadaptasi pelbagai cara yang memungkinkan segenap kader partai memiliki hak sama untuk memimpin dan bahkan menjadi calon pemimpin bangsanya. Sayangnya, penulis belum menyaksikan tanda-tanda kebangkitan parpol dalam menyusun cara untuk melahirkan dan mencari calon-calon pemimpin bangsa tersebut. [Pikiran Rakyat, 28 September 2007]