Thursday, May 31, 2007

Buruh Melawan Absurditas

Oleh Moh Samsul Arifin

KERISAUAN selalu bermuka dua. Yang pertama akan melahirkan ketidakpercayaan dan kedua menerbitkan perlawanan. Inilah kurang lebih alasan mengapa kalangan buruh terus mengumandangkan penolakan atas rencana revisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meminta agar draf revisi dibicarakan kembali dalam sebuah forum Tripartit Nasional. Sebelumnya, draf tersebut bakal dikaji lima universitas papan atas: Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin dan Universitas Sumatera Utara.

Jalan keluar itu ternyata belum dapat menggeser bandul sikap kalangan buruh yang direpresentasikan sekian banyak serikat pekerja dan serikat buruh. Alih-alih memercayai pemerintah, kalangan buruh - terutama diaksentuasi oleh Aliansi Buruh Menggugat - bakal menggelar demonstrasi besar-besaran di Jakarta pada 1 Mei mendatang. Konsentrasi demo akan ditumpuk di Bundaran Hotel Indonesia dan memanjang hingga Istana Negara. Demo itu diperkirakan bakal berlangsung serempak di kota-kota besar lainnya semacam Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, hingga Medan.

Sudah rahasia umum, 1 Mei atau May Day adalah Hari Buruh Internasional. Bagi sementara kalangan buruh di banyak negara, May Day ditabalkan sebagai hari kemenangan. Sebuah hari yang baik untuk merefleksikan diri dan juga mengingat langkah-langkah dan pencapaian dalam rentang waktu yang mereka susuri. May Day ada kalanya merupakan titik kulminasi saat perjuangan meningkatkan kesejahteraan ditabuh ramai-ramai.

Demo 1 Mei ini - yang ditaksir akan melibatkan 30-50 ribu buruh - belum jelas benar akan mengambil skenario yang mana. Dalam konteks UU 13/2003 saja, kaum buruh belum mendapatkan apa yang seharusnya dipegang tangan. Tengok saja upah rata-rata provinsi atau upah minimum provinsi (UMP) 2006. Berdasarkan data Direktorat Pengupahan dan Jamsostek, Ditjen Binawas Depnakertrans, UMP tahun ini rata-rata sebesar Rp 602.150,67. UMP paling besar di Papua sebesar (Rp 822.500,00) dan terendah di Jawa Timur, yakni Rp 390.000,00 (Kompas, 29/4).

Menurut saya, demonstrasi kalangan buruh hari ini bukanlah merayakan kemenangan ataupun perjuangan meningkatkan kesejahteraan. Yang lebih menonjol adalah semacam tawar-menawar kepada pemerintah agar tidak terjadi sebuah kondisi yang justru melemahkan dan merugikan kalangan pekerja atau buruh. Alias ikhtiar agar tercipta kondisi status quo dalam regulasi-regulasi perburuhan.

Sejumlah paparan mengenai pasal-pasal (tertuang dalam draf revisi) yang digugat kalangan buruh telah dikupas dalam artikel saya terdahulu: Investasi Pro Buruh! Dengan cara pandang empati, saya dapat memahami mengapa kalangan buruh terus berteriak menolak revisi UU 13/2003. Namun, yang harus dicermati, hendaknya, gerakan turun ke jalan itu menyemai gerakan damai. Pengalaman 5 April lalu, ketika puluhan ribu kaum buruh mendatangi Istana Merdeka dan kemudian singgah di Istana Wapres harusnya dihindari sejauh mungkin. Selepas perwakilan buruh diterima Wapres Jusuf Kalla, kalangan buruh melampiaskan kemarahannya dengan merusak pot-pot bunga, pohon-pohon, rambu-rambu lalu lintas hingga bus Transjakarta. Yang dikerjakan oknum buruh itu, jelas-jelas sudah mendekati holiganisme dalam dunia sepak bola. Ini adalah kutub kelakuan yang kerap mendapat cibiran dari publik.

Buat saya, sah-sah belaka setiap komponen bangsa melakukan demonstrasi. Ini dapat dipahami dalam sistem demokrasi. Akan tetapi, penting dikemukakan bahwa gerakan buruh yang bakal menggelar demo besar-besaran itu adalah sekumpulan manusia yang tak diikat oleh kesadaran bersama. Masing-masing orang yang berkumpul itu tak memiliki ikatan satu sama lain. Ada memang tujuan bersama, yakni menolak revisi UU 13/2003. Namun cara menalar ujung dan pangkal persoalannya adalah berbeda. Saya sangsi betul, tak adanya nalar itu jangan-jangan mendepak demo buruh tersebut menjadi tak punya arti.

Bagaimanapun harus dipahami, gerakan buruh saat ini hanya semacam gerakan solidaritas dan karenanya tidak tampak pelabuhan yang hendak dituju. Ini dapat dimaklumi, karena belum ada satu pun partai politik berbasis buruh yang mampu bicara di level pemilu. Serikat pekerja atau buruh yang ada saat ini juga bekerja secara partikular. Seperti umat Islam yang sulit diikat dalam satu barisan, saya menduga barisan kaum buruh demikian pula. Karena sekadar solidaritas, apa yang bisa diwujudkan?

Di ruang publik, saya menyaksikan aksi saling gertak antara kalangan buruh di satu sisi dengan aparat keamanan serta organisasi kemasyarakatan di sisi lain. Serikat Pekerja Nasional (SPN) menggertak bakal menurunkan 120 ribu massa pada demo itu. Kapolda Metro Jaya Irjen (Pol) Firman Gani telah menetapkan Jakarta dalam kondisi Siaga I menyusul rencana demo buruh besar-besaran itu. Firman juga balik menggertak, anak buahnya di lapangan akan bertindak tegas.

Dalam apel Siaga di Silang Monas Jumat pekan lalu (28/4), Gubernur Sutiyoso memimpin apel yang diikuti 21 ribu personel keamanan gabungan, terdiri atas 12 ribu personel Polri, 5 ribu anggota TNI, dan 4 ribu anggota Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta. Belum cukup, mereka masih akan dibantu oleh 60 ribu massa ormas dan pemuda di Betawi. Demikian seperti diklaim Ketua Forum Betawi Rempug, Fadloli el Muhir.

Apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta berikut jajaran Polda Metro Jaya serta Kodam Jaya itu merupakan respons dari permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menghendaki Jakarta aman dan tertib sekalipun dihumbalang demo buruh massal. Apalagi dalam medio Mei, ditaksir bakal berlangsung demo dan pertemuan dengan menyedot massa dalam jumlah puluhan ribu di Ibu Kota. Persada Nusantara yang merupakan perkumpulan Pamong Desa berencana kembali memadati Istana Negara dan gedung DPR/MPR. Puncaknya, Amien Rais dkk., yang terkumpul dalam Kelompok Sembilan, akan mengundang seluruh elemen bangsa untuk mewanti-wanti dan mengingatkan pemerintah agar tidak terus menggadaikan kedaulatan dan aset nasional.

Di sinilah, seyogiyanya, kalangan buruh menata kembali tujuan dan misi mereka. Sekadar gagah-gagahan mengerahkan massa bisa menjadi percuma, jika tak ada semacam "buku bersama" di kalangan buruh tentang bagaimana UU 13/2003 dipahami. Diberlakukan sebagai hukum positif, dilakukan revisi terhadapnya, atau menyusun undang-undang yang sama sekali baru dengan catatan mengakomodasi kepentingan tiga pihak: buruh, pengusaha, dan pemerintah. Saya kira sekadar menyuarakan "tolak revisi UU 13/2003" dan berhenti pada titik tersebut bukan menyelesaikan persoalan.

Di atas segalanya, kalangan buruh memang harus mendapat jaminan dari pemerintah dan DPR bahwa draf yang ditolak mereka tak diungkit-ungkit lagi. Namun, yang lebih penting adalah menemukan suara yang tunggal dari sekian banyaknya serikat pekerja dan serikat buruh di tanah air. Secara samar-samar, saya menyaksikan ajakan SBY untuk menghidupkan Tripartit Nasional belum efektif karena rumah tangga serikat pekerja dan serikat buruh belum dapat membuat konsensus di antara mereka sendiri.

Ada sementara kalangan yang menyebutkan, cerai-berainya serikat pekerja dan serikat buruh itu akibat dari pemerintah dan pengusaha sendiri. Menurut saya, ini ada benarnya, sebab di kalangan serikat pekerja atau serikat buruh ada pula lapisan elite yang menempatkan dirinya sebagai majikan dan memiliki kepentingan yang bercabang.

Sungguh saya cemas. Biar pun Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar memastikan tak akan hadir provokator dalam demo buruh massal, kecenderungan saling gertak antara serikat pekerja atau serikat buruh dengan polisi dan ormas itu justru kontraproduktif bagi keinginan buruh memecahkan persoalannya. Kita mengimbau polisi untuk mengenyahkan personel dari ormas dan organisasi pemuda yang terlibat dalam pengamanan demo. Kehadiran mereka sangat ganjil, kalau bukan justru membuat persoalan baru. [Pikiran Rakyat, 1 Mei 2006]

Rekonsiliasi, Korban & Tanggungjawab Negara

PERJALANAN sebuah bangsa mengarungi peradaban memerlukan syarat yang tidak ringan, yakni mampu memaafkan masa lalu. Masa lalu itu, bisa jadi peristiwa-peristiwa yang menyimpan traumatik pada anak bangsa atau sejarah yang gelap gulita karena telah direkayasa oleh kepentingan perorangan, kelompok, atau penguasa. Sebagai sebuah memori, masa lalu itu tak mungkin dilupakan, ia hanya bisa ”dimaafkan”. Inilah yang menjadi ruh rekonsiliasi (ishlah). Seseorang (korban) boleh trauma atas kejadian yang menimpanya, tapi pelaku (individu, kelompok, atau negara) diberi kemungkinan untuk minta maaf atas apa yang pernah dibuat mereka.

Namun demikian, pekerjaan besar, penting, dan pokok itu belum terwujud hingga lima tahun reformasi ini. Kepemimpinan nasional sudah berganti tiga kali, tapi rekonsiliasi tetap sunyi-senyap. Pada era Habibie, secara elegan pemerintah telah memulai rekonsiliasi misalnya dengan menyudahi DOM di Aceh, serta melepas tapol/napol. Lebih substantif, Abdurrahman Wahid meneruskan langkah pendahulunya dengan mengusulkan pencabutan Tap MPRS XXV/1966. Tap ini dianggap memberangus eksistensi ajaran Marxisme di Tanah Air.

Dan saat ini rekonsiliasi bukan bertambah mulus, sebaliknya justru tersendat-sendat. Artikel ini berupaya mencari tahu ”batu sandungan” rekonsiliasi serta membabar syarat yang harus dipenuhi dalam rangka melaksanakannya.

Dalam kredo rekonsiliasi, pendefinisian siapa itu korban dan pelaku adalah niscaya. Sebab, ini menentukan langkah yang tak dapat mundur (point of no return). Istilah korban seperti termaktub dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, paragraf 1 dan 2 merujuk kepada orang yang secara perorangan atau kelompok menderita kerugian, termasuk cedera fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak dasar mereka.

Termasuk dalam istilah korban—sejauh yang dipandang tepat—keluarga langsung atau orang yang secara langsung berada di bawah tanggungan para korban dan orang-orang yang telah mengalami penderitaan dalam membantu para korban dan orang-orang yang telah mengalami penderitaan dalam membantu para korban yang sengsara atau dalam mencegah orang-orang agar tidak menjadi korban.

Korban berhak mendapatkan pemulihan (reparasi), restitusi, kompensasi, hingga rehabilitasi. Hal itu terutama berlaku pada para korban tindakan pelanggaran berat HAM (Hak Asasi Manusia). Reparasi adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material ataupun nonmaterial bagi para korban pelanggaran HAM. Restitusi merupakan kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang diderita, penggantian biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sendiri.

Kompensasi merupakan kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam bentuk seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah. Sedangkan rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan sosial.

Pakar HAM semacam Profesor Van Boven, malah memasukkan aspek kepuasan (satisfaction) dan jaminan tak terulangnya pelanggaran (guarantees of non-repetition) sebagai bagian dari bentuk-bentuk reparasi yang menjadi tanggung jawab pelaku, khususnya yang terkait dengan konflik vertikal negara dengan masyarakat.

Lantas apa yang harus dilakukan pelaku? Secara umum, pelaku wajib menyatakan penyesalan alias merasa bersalah. Pada kasus yang melibatkan negara, ada ”tanggung jawab negara” (state responsibility) yang langsung ikut serta pada setiap tindakan pelanggaran HAM. Yang dimaksud state responsibility adalah bentuk pertanggungjawaban negara kepada seluruh masyarakat internasional (erga omnes) dan bukan hanya tertuju kepada suatu negara yang dirugikan (injured state).

Pendefinisian di atas mengajak kita untuk senantiasa masuk wilayah hukum dalam penyelesaian konflik. Oleh karena itu, sebelum rekonsiliasi ditempuh, korban dan pelaku mesti dimediasi oleh hukum. Dengan demikian proses hukum harus berjalan, baik sebelum dilakukan rekonsiliasi atau bahkan ketika dua pihak sudah sepakat berdamai. Dalam semangat rekonsiliasi, kesepakatan berdamai antara kedua belah pihak tak boleh ”membeli” atau ”menyudahi” proses hukum. Karena itu, rekonsiliasi dapat dikatakan ”gentlement agreement” dari pihak pelaku dan korban bahwa kasus yang menimpa mereka sudah dapat diselesaikan dengan sama-sama menang (win-win solution).

Menyimak perjalanan reformasi di negeri kita, tampaknya rekonsiliasi belum dapat diwujudkan, karena empat hal. Pertama, persepsi atas rekonsiliasi masih belum mengerucut pada kesimpulan yang sama. Inilah yang membuat setiap usaha memulai rekonsiliasi oleh pemerintah menuai kritik, bahkan pro dan kontra. Presiden Abdurrahman Wahid pernah merasakan hal itu ketika dia menggagas rekonsiliasi dengan korban PKI justru menuai protes hebat, 2000 silam. Abdurrahman Wahid yang punya pretensi membangun kerukunan sesama anak bangsa gagal memahamkan publik luas, malah ia panen penolakan dari kalangan Islam.

Kedua, para pelaku yang diduga melakukan pelanggaran HAM bersikukuh menyatakan tidak terlibat—apalagi merasa bersalah atas beberapa peristiwa yang mencoreng sejarah bangsa. Coba perhatikan 12 peristiwa—yang menurut ELSAM mempertautkan konflik vertikal antara negara dan masyarakat—sepanjang 1959-1998 hampir semuanya masih ”gelap”.

Aksi sepihak dan penangkapan tokoh-tokoh Masyumi/PSI dengan korban dari pihak Islam; pembantaian terhadap warga sipil yang diduga terlibat PKI (G 30 S/PKI); penahanan politik di kamp Pulau Buru 1969-1979 (korban kelompok komunis); kasus Komando Jihad 1980-an (korban kelompok Islam); Kasus DOM Aceh 1989-1998 (korban sipil); kasus Tanjung Priuk (korban kelompok Islam); kasus Lampung (korban kelompok Islam); Peristiwa 27 Juli 1996 (korban simpatisan/warga PDIP), kasus Papua (korban sipil); kerusuhan Mei 1998 (korban masyarakat luas, terutama etnis Tionghoa); kasus Timor Timur (korban sipil) yang diduga melanggar HAM sejauh ini belum dapat diselesaikan.

Ketiga, perspektif korban nyaris dilupakan. Dalam polemiknya dengan Goenawan Mohamad, Pramudya Ananta Toer secara sinis menolak dilakukan rekonsiliasi menyangkut peristiwa 1965. Bagi Pengarang Bumi Manusia itu, rekonsiliasi sekadar basa-basi kalau justru menerjang keadilan dan hukum yang semestinya ditegakkan. Pram mendesak agar semua pelanggaran terhadap kemanusiaan diadili dan si pelaku dihukum sesuai dengan prinsip moral di mana setiap orang harus mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Perspektif korban seperti dituturkan Pram itu, sayang sekali jarang dipertimbangkan bangsa ini. Alih-alih mengakomodasinya, para pengkhotbah rekonsiliasi terjebak pada mitos bahwa bangsa ini adalah bangsa pemaaf, tanpa melakukan cross check bagaimana sebetulnya kenyataan yang hidup di tengah masyarakat. Di sinilah kita perlu membangun kepedulian kepada korban dengan cara yang simpatik dan empatik.

Keempat, terlampau bertumpu pada negara. Pelbagai pihak terkesan menganggapkan peran institusi seperti KKR sangat sentral dan tidak tergantikan. Padahal KKR hanya salah satu medium untuk melaksanakan rekonsiliasi nasional. Dalam KKR, penyelesaian hukum dapat diselesaikan secara sistematis dan terorganisasi dengan baik. Jadi, kedua belah pihak yang berkonflik bisa sama-sama puas atas keputusan yang ditetapkan lembaga tersebut.

Kendati demikian, keberadaaan KKR tidak lantas menihilkan bentuk rekonsiliasi lainnya yang dapat dimediasi oleh perorangan, kelompok atau civil society. Apabila seluruh hal diurus oleh KKR, itu sama dengan mengabsahkan etatisme—yang justru hendak diminimalkan oleh gerakan reformasi. Hemat penulis, selain lewat lembaga formal, pendekatan non-negara perlu pula dipertimbangkan. Rekonsiliasi di tingkat akar rumput, misalnya lewat dialog boleh jadi dapat menyembuhkan luka korban secara permanen.

Metode seperti ini pernah ditempuh NU (di Blitar) dan keluarga korban yang dicap PKI ketika mengadakan silaturahmi untuk saling memaafkan peristiwa 1965. Masuk akal kalau sebagian pihak menolak jika seluruh proses rekonsiliasi dilakukan melalui mekanisme KKR. Karena KKR, memang bukanlah malaikat yang bersih sama sekali dari kemungkinan intervensi pihak-pihak yang berkepentingan. [Sinar Harapan, 11 Juli 2003]

*) Peneliti pada Centre for Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta

Wednesday, May 30, 2007

Resistensi Bisnis Militer

MELETAKKAN militer atau the mens of the sword kata Niccolo Machiavelli di tataran (track) yang benar selalu tidak lebih mudah daripada memindahkan gerbong kereta api ke rel. Situasinya akan lebih pelik manakala militer terbiasa terjun di medan politik dan bisnis di negaranya. Kondisi ini barangkali yang membuat Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengatakan TNI dengan terpaksa tetap menjalankan bisnisnya.

"Kalau masalah itu belum tercapai maka saya dengan terpaksa harus melakukan itu (baca; berbisnis) dalam rangka menjadikan prajurit terbantu kesejahteraannya meskipun tidak maksimal," ujar Panglima dalam acara pertemuan bulanan dengan wartawan dalam dan luar negeri di Markas Besar TNI Cilangkap, bulan silam (Sinar Harapan, 31/8).

Benarkah militer berbisnis karena terpaksa? Adakah persinggungan antara politik militer dengan kepentingan bisnis mereka? Jikalau militer bersikukuh berbinis, apa pengaruhnya bagi demokratisasi di Tanah Air? Dalam studi tentang militer di banyak negara diketahui keterlibatan militer di dunia bisnis adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Di Argentina misalnya, perusahaan militer memproduksi sistem rudal canggih. Demikian pula di Brasil, Cile, Guetamala, dan Elsalvador militer berbisnis dengan memproduksiperlengkapan dinas ketentaraan.

Sedangkan di Ekuador, angkatan bersenjata tidak hanya memiliki perusahaan sendiri (Direccion de Industrial del Eljercito/DINE) yang memproduksi amunisi dan peralatan militer dalam jumlah besar, tetapi juga memproduksi bus dan kendaraan ringan, mesin dan peralatan industri, barang-barang konstruksi, pelat baja hingga pipa minyak. Bahkan kiprah mereka diatur dalam konstitusi nasional Ekuador.

Akan halnya, kiprah TNI di dunia bisnis di negeri kita berjalan seiring keterlibatan mereka dalam politik. Hal itu mereka kerjakan untuk mendapatkan perlindungan otonomi dan kepentingan korporat mereka. Sejak militer diabsahkan bermain politik lewat konsep "Jalan Tengah", aktivitas bisnis kaum militer tampil dengan dalih civic mission (misi kewargaan).

Civic mission alias ngobyek ini (mencari peruntungan ekonomi), mengutip Hermawan Sulistyo, dilakukan dengan dua "operasi". Pertama, "Operasi Bakti" yangbertujuan untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak akibat perang. Dan,kedua "Operasi Karya" yang bermaksud mempersempit jarak antara lokasi danayang diberikan kepada tentara dan kebutuhan ideal korps.

Ketika Orde Baru berkuasa, militer (TNI) boleh dikatakan mengalami dua " kenikmatan" sekaligus, yakni keleluasaan berpolitik dan preferensi untuk berbisnis. Militer bukan saja bertindak sebagai struktur penyangga kekuasaan Soeharto, tapi juga "aktor" dari imperium bisnis Orde Baru. Secara individu, para jenderal atau elite militer sering jadi broker bagi pengusaha tertentu untuk berkolaborasi dengan kekuasaan. Di lain pihak, posisi militer sebagai alat kekuasaan menjadi modal utama untuk menjalankan bisnis mereka (para jenderal atau institusi militer).

Kerap kali dijumpai korespondensi antara politik militer dengan kepentingan bisnis mereka. Maklumlah pola hubungan antara politik dengan ekonomi di Indonesi cenderung mengarah pada politisisme: Siapa yang punya power (politik) akan mudah memperoleh akses ekonomi. Maka dari itu, tak heran jika tuntutan akan perubahan politik dan ekonomi di masa Orde Baru selalu direspons militer secara negatif. Hal ini terkait dengan kepentingan militer, yakni melanggengkan status quo yang akan memberi kemudahan pada mereka mengakses sektor bisnis!

Tercatat pada tahun 1967, gurita bisnis militer, khususnya AD, menjalar ke banyak bidang usaha tatkala kelompok bisnis Diponegoro (dirintis Soeharto dikala menjadi Pangdam IV Diponegoro) melakukan merger dan memperluas bidang usahanya di sektor perkapalan dan stevodoring. Lambat laun, militer ikut pula menguasai kepemimpinan BUMN, mulai dari Pertamina (Ibnu Sutowo) hingga Bulog (Achmad Tirtosudiro).

Selain itu, militer juga merambah bisnis dengan mendirikan yayasan dan koperasi dengan core bussines yang beragam sejak kontraktor hingga perhotelan. Di antara institusi bisnis militer yang menonjol tersebutlah Yayasan Eka Paksi (YKEP), Yayasan Dharma Putra (milik Kostrad), Yayasan Kesejahteraan Korps Baret Merah (YK Kobame) atau Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad) yang dikembangkan oleh Kodim. Pada tahun 1990, YKEP membangun Kawasan Niaga Terpadu Sudirman (Sudirman Central Business Distric/SCBD) yang menelan biaya sekitar US$ 3,25 miliar. Tahun itu juga, bersama dengan Tommy Winata (PT Karya Nusantara) dan Santoso Gunara (PT Carana Karthapura), YKEP memiliki saham di Bank Artha Graha (sekarang mau dimerger bersama empat lainnya) sebanyak 40 persen (lihat Militer dan Gerakan Prodemokrasi: 2002).

Sampai saat ini, tak kurang 50 unit usaha bernaung di lingkungan TNI. Seperti dituturkan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, bisnis yang dikerjakan TNI antara lain dalam bidang perkayuan,perikanan, pertanian, perhubungan dan transportasi serta perbankan. Angka taksiran ini berdasarkan jumlah Kodam, sebanyak 17, ditambah dua Komando Operasional, dua armada, dan komando utama lain, seperti Marinir, Paskhas, Kopassus dan Kostrad.

Pada banyak kasus, militer diperkenankan berbisnis asal hal itu dilakukan dalam kondisi "transisional". Maksudnya, militer mengerjakan tugas non-tradisional apabila kondisi bangsa memaksa untuk itu dan kalau militer diperkirakan tidak turun mudharatnya jauh lebih besar bagi kehidupan bangsa dan negara.

Menurut pengamat militer asal AS, Louis W. Goodman (1995), setidaknya ada tiga pantangan yang tidak boleh diterobos oleh peran misi non-tempur (perang) militer. Pertama, keterlibatan militer akan menghalangi kelompok lain untuk mengambil peran dalam persoalan tersebut, sehingga menghambat organisasi sipil untuk mengembangkan kemampuan kritisnya dan menghambat perluasan peran sipil dalam masyarakat.

Kedua, pihak militer akan mendapat privilege tambahan sehubungan peran non-tempur tersebut, sehingga membuat enggan mereka untuk melepaskannya. Ketiga, angkatan bersenjata mungkin akan terlibat terlalu jauh dalam misi non-tempur itu, sehingga mengabaikan misi utamanya, yakni pertahanan. Bisnis militer di masa Orde Baru, menurut hemat penulis, sudah menerobos ambang yang ditolerir Goodman di atas. Kalaupun sekarang gencar upaya mereformasi peran militer yang ditunjukkan dengan kemauan internal TNI untuk redefinisi, reposisi dan reaktualisasi peran baru mereka dalam kehidupan bangsa.

Di sana-sini kita masih melihat resistensi kalangan militer, terutama yang menikmati manisnya bermain bisnis dengan diback-up kekuasaan (power) warisan Orde Baru. Tidak berhenti di situ, resistensi tersebut makin mengental setelah anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk operasional militer tak kunjung memadai. Disebut-sebut, dana yang disediakan pemerintah cuma 30 persen dari total yang dibutuhkan TNI. Tak heran karena kekurangan dana tersebut, TNI dan Polri menerima bantuan jutaan dolar dari AS untuk meningkatkan peralatan dan kemampuan tempurnya. Dengan lingkup persoalan seperti itu, argumentasi Panglima TNI, bahwa institusinya terpaksa menjalankan aktivitas bisnis sedikit banyak dapat dibenarkan. Selama pemerintah tak mampu menjamin biaya operasional TNI, termasuk kesejahteraan prajurit, kita bakal menyaksikan mereka malang-melintang di dunia bisnis.

Persoalannya, sekarang ini seluruh misi militer di luar misi tradisional yakni misi tempur, tidak bisa leluasa lagi. Demokrasi menghendaki misi tempur mesti menjadi tugas pokok mereka, sehingga aktivitas non-tempur harus pula dikurangi pada tingkat yang minimal, kalau perlu ditiadakan sama sekali. Dalam domain politik, kaum militer sebagai alat negara dituntut untuk menghormati supremasi sipil. Sedangkan di bidang bisnis, militer (terutama yang masih aktif) diminta menyerahkan tugas-tugas bisnis kepada golongan profesional. Boleh dikatakan, di satu sisi demokrasi telah membuat senjakala bisnis militer.

Di pihak lain, evaluasi terhadap misi militer menjadi keniscayaan di alaf baru. Kalaupun aktivitas bisnis di negeri kita saat ini belum dapat dihentikan, kita berharap militer melakoninya dengan kesadaran penuh, tidak serampangan dan menjalankan prinsip bisnis sebagaimana layaknya kaum pebisnis profesional. Kelak tidak ada lagi militer aktif (jenderal atau prajurit) yang aji mumpung memanfaatkan posisi kemeliterannya untuk menambang kekayaan. Demikian pula pensiunan militer menguasai betul persoalan bisnis, jikalau ingin terlibat mengurus unit usaha yang dimiliki TNI. [Sinar Harapan, 16 September 2002]

*) Pengkaji sosial politik Centre for Bureaucracy Studies Jakarta

Civil Society & Hemat Listrik

Oleh Moh Samsul Arifin

SATU hal yang sangat langka di negeri ini kemampuan untuk mensyukuri kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Itu juga yang tak terungkap di depan publik usai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan pembatalan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada 22 Maret lalu. Padahal, kebijakan itu pantas diapresiasi sebagai langkah populis (mungkin) pertama Pemerintahan SBY-JK sejak dilantik Oktober 2004 lalu.

Setelah mengambang hampir tiga bulan, pemerintah mengurungkan niatnya melakukan apa yang disebut electricity tariff adjustment (penyesuaian tarif listrik). Sepanjang tahun ini dipastikan berlaku harga status quo.

Pemerintah bersedia membahas kekurangan subsidi pengadaan listrik PT PLN (Persero) dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu pertimbangan mengapa pemerintah menempuh langkah populis-katakanlah demikian jika kita bandingkan dengan serangkaian kebijakan SBY-JK selama ini-karena pemerintah mempertimbangkan rekomendasi Komisi VII yang bersedia menambah subsidi terhadap PLN. Serta daya beli masyarakat yang terus melemah.

Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, di mana biaya pokok penyediaan listrik PLN sebesar Rp 93,2 triliun. PLN masih minus Rp 27,2 triliun. Atas kekurangan itu Komisi VII bersedia mengutak-atiknya. Karena sebelumnya, pemerintah telah menganggarkan dana Rp 15 triliun untuk menyubsidi PLN ditambah dana cadangan sebesar Rp 2 triliun, maka perlu Rp 10,2 triliun lagi untuk menambal kekurangan pengadaan listrik tersebut. Semula pemerintah, seperti disampaikan Menkominfo Sofyan Djalil sempat berancang-ancang menaikkan tarif listrik sebesar 10 persen.

Kenaikan ini tak berlaku untuk mereka yang mengonsumsi daya di bawah 900 watt. Dengan rumusan ini, masih dibutuhkan subsidi Rp 6,7 triliun. Menaikkan tarif listrik ibarat kiamat kecil, khususnya bagi rakyat kecil dan kalangan industri. Asosiasi Pengusaha Tekstil Indonesia dan Asosiasi Pengecoran Logam Indonesia menghitung, kenaikan sebesar 10 persen tarif listrik akan menurunkan produksi mereka sebesar 0,5 persen.

Dampaknya 0,84 persen atau 15.560 pekerja mereka harus di-PHK. Makin besaran persentase kenaikannya, angka PHK kian melambung. Belum dimasukkan ketidakberdayaan rakyat kecil yang ditunjukkan dengan makin rendahnya daya beli mereka. Untuk diketahui, total belanja listrik kalangan rumah tangga di tanah air mencapai 5 persen dari pengeluaran bulanan mereka. Setiap kenaikan tarif sebesar 10 persen akan membengkakkan pengeluaran hingga 0,1 persen.

Bagaimana dengan petani yang sempoyongan karena pendapatan mereka tak cukup lagi untuk menebus kebutuhan pokok yang meroket didorong inflasi. Juga nelayan yang sudah banyak menganggurkan perahu mereka karena tak sanggup membeli solar. Persoalannya bagaimana mencari dana untuk menombok subsidi listrik itu? Kita tahu, kebijakan populis itu harus dibayar dengan naiknya defisit anggaran.

Kemungkinan, target defisit anggaran sebesar 0,7 persen tak tercapai, sehingga defisit kembali ke level 1 persen. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh pemerintah untuk menambal kekurangan tersebut. Pertama, memakai anggaran sisa tahun lalu. Kedua, menyetop sejumlah projek yang telah dialokasikan anggarannya pada APBN tahun berjalan. Dan ketiga, menerbitkan surat utang baru. Dua opsi yang terakhir acapkali didengungkan Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta. Misalkan saja pemerintah memangkas anggaran di 15 departemen, maka akan dapat terkumpul uang antara Rp 12-15 triliun. Langkah ini berarti mengurangi dana untuk pembangunan.

Hal ini sama saja dengan mengorbankan kepentingan lain, yakni pembangunan sektor-sektor lain seperti-yang paling krusial-pendidikan dan kesehatan. Sekadar contoh, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan uji materiil (judicial review) dari Persatuan Guru Republik Indonesia pada 24 Maret lalu. Itu berarti, tak bisa tidak, pemerintah mesti menambah alokasi dana pendidikan. Apabila anggaran pendidikan harus diubah menjadi 12 persen dari total APBN 2006-seperti disepakati Komisi Pendidikan dengan 5 menteri kabinet pada 4 Juli 2005-maka pemerintah harus menambah dana pendidikan sekitar Rp 32,44 triliun.

Sebelumnya, pemerintah mengalokasikan 9, 1 persen alias Rp 45,2 triliun. Sekali lagi, dari mana dana itu harus dicari? Menimpakan semuanya ke pemerintah rasanya tak adil. Penting ditekankan di sini: bagaimana meningkatkan kinerja PT PLN (Persero) serta mengubah pola konsumsi listrik masyarakat. Sangat tidak masuk akal jika pemerintah harus terus menerus melakukan subsidi, sementara kinerja PLN dan pola konsumsi listrik tidak berubah. Gerakan hemat energi Negeri kita ini termasuk boros energi.

Lihat saja tingkat elastisitas pemakaian energinya. Indonesia mencapai 1,84, Malaysia (1,69), Taiwan (1,36), dan Thailand (1,16). Niscaya jika kita menggaungkan kembali gerakan hemat energi yang dipancang Presiden SBY, Juli tahun lalu. Jika saja konsumen listrik di tanah air-industri dan rumah tangga-dapat menghemat 14 watt setiap malamnya ditaksir beban penyediaan listrik bakal berkurang Rp 5 triliun per tahun. Di atas segalanya, hemat penulis, PLN dan pola konsumsi listrik masyarakat harusnya menjadi pengawasan semua kalangan, termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang selalu berteriak nyaring jika pemerintah berencana menaikkan tarif yang berhubungan dengan kepentingan publik.

Perlu diuji kemampuan organ masyarakat sipil (civil society) dalam membantu atau menyosialisasikan kampanye hemat listrik, sehingga menjadi kesadaran baru dan membatin kepada warga masyarakat. Bagaimana menjadikan slogan "So, Wattnya Dihemat Gitu Lho" tak sekadar perkara PLN? Juga, iklan si Oneng, "Ingat 17-22" menjadi tertanam dalam benak masyarakat. Organ civil society sangat banyak di tanah air dan sangat mungkin memerankan diri untuk kampanye hemat listrik. Jika kalangan partai politik saja sanggup menelusup ke ormas seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk menyosialisasikan-dan bahkan mempropagandakan-kepentingannya, mengapa kedua ormas yang menggurita ke seluruh pelosok desa Nusantara itu tidak turut serta mengampanyekan hemat listrik.

Bukankah tugas ini sama pentingnya dengan meminta masyarakat menjauhi pornografi atau tempat maksiat dan mesum. Ini adalah tugas sosial yang juga memiliki dampak religius.

Menggunakan sesuatu yang berlebihan itu dalam doktrin agama dapat dikategorikan sebagai tindakan mubazir yang dicela Tuhan. Demikian pula tindakan menghambur-hamburkan listrik, jelas tidak sehat bagi kantong dan keberlanjutan sumber energi negeri kita yang makin hari, kian berkurang. Sekali lagi kita diuji untuk hidup sederhana, hemat dan bersahaja.*** [Pikiran Rakyat, 22 April 2006]

Penulis, analis politik pada Centre for Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta.

Tuesday, May 29, 2007

Memeriksa Ide Penghapusan Nomor Urut

Oleh Moh Samsul Arifin

DI ANTARA diskursus politik yang menyita perhatian publik, perbincangan mengenai sistem pemilu legislatif jauh lebih maju. Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang melempar perlunya diadaptasi sistem pemilu yang memungkinkan peraih suara terbanyak dalam pemilihan anggota DPR dimenangkan dalam politik elektoral.

Caranya nomor urut dihapus dan siapa pun yang menangguk suara terbanyak berhak atas kursi yang diperebutkan di sebuah daerah pemilihan (DP). Ide perubahan itu dikemukakan SBY di depan peserta Seminar & Lokakarya Nasional Perempuan Parlemen di Jakarta akhir November 2006. Memang mesti diakui selama ini kalangan perempuan lah yang kerap dirugikan dengan diberlakukan nomor urut dalam pemilu legislatif.

Dalam dua pemilu pasca otoritarianisme, pemilik nomor urut papan atas sebagian kalangan menyebut nomor urut jadi˜mendominasi kursi DPR dan DPRD di seluruh Indonesia. Mereka ini adalah orang yang dipercayai atau lebih tepatnya dapat “membeli” kepercayaan pengurus partai (DPP, DPW hingga DPD) sehingga ditempatkan pada nomor urut jadi. Pada Pemilu 2004 memang telah diadaptasi sistem proporsional terbuka yang memungkinkan pemilih mencoblos nama calon yang dikehendaki. Namun, ironisnya nyaris hampir seluruh anggota DPR dan DPRD meraih kursi tanpa mampu menembus Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP).

BPP adalah bilangan yang diperoleh dari hasil pembagian antara total suara sah di sebuah daerah pemilihan (DP) dengan jumlah kursi yang tersedia di DP tersebut. Setiap DP pada Pemilu 2004 lalu memiliki alokasi antara 3-12 kursi. Bayangkan dari 550 anggota DPR, hanya dua orang yang sanggup memenuhi BPP. Sebanyak 548 anggota mengisi kursi DPR karena diuntungkan oleh nomor urut. Karena itu sementara pihak menyebut UU 12/2003 tentang Pemilu Legislatif masih tanggung.

Apabila tak ada caleg yang memenuhi BPP, kursi yang diraih sebuah partai politik di DP tertentu diberikan kepada pemilik nomor urut jadi. Andaikata sebuah partai menangguk 3 kursi di DP itu, pemilik nomor urut 1, 2 dan 3 melenggang ke DPR atau DPRD. Cara ini memakan korban perempuan politisi Nurul Arifin yang pada Pemilu 2004 lalu dicalonkan Partai Golkar di DP Jawa Barat VI (Karawang dan Purwakarta).

Bekas artis film itu meraih suara terbanyak di DP tersebut. Tapi, karena suara yang diperolehnya tak memenuhi BPP, dua kursi yang dipungut Golkar di DP itu diserahkan ke pemilik nomor urut 1 dan 2. Keringat Nurul, yang berada di nomor urut bontot atau bawah˜acapkali disebut nomor sepatu˜tak dapat dinikmatinya. Nurul gagal ke Senayan!

Secara empiris dapat disimpulkan sistem proporsional tertutup (Pemilu 1999) dan sistem proporsional terbuka dengan BPP (Pemilu 2004) sama-sama tak menghasilkan anggota legislatif yang populer dan
dikehendaki pemilih (voter). Partai Golkar, sebagai pemilik kursi terbanyak di DPR, tak lebih “progresif” dari Presiden SBY. Dalam Rapimnas terakhir Partai Beringin mengusulkan BPP masih diterapkan, namun dengan modifikasi.

Caleg yang mengantongi jumlah suara setara 25 persen BPP berhak atas satu kursi yang diperoleh parpol di DP bersangkutan. Seandainya tak ada yang memenuhi ketentuan ini, kursi yang diperoleh parpol di DP tersebut diberikan kepada pemilik nomor urut jadi. Sedikit ke belakang, Nurul Arifin dan ribuan lagi lainnya berhak atas kursi partai tempat mereka mencalonkan diri.

Pertanyaannya, mungkinkah usulan yang dilempar SBY menjadi kata umum bagi kalangan anggota DPR di Senayan? Apakah cara menghapus nomor urut itu mujarab dalam meningkatkan kualitas rekrutmen politik
anggota DPR? Dan seterusnya, apa lagi yang harus diubah untuk mencapai sistem pemilu legislatif yang berguna untuk menghidupi demokrasi Indonesia?

Sistem pemilu adalah sarana rakyat. Sebuah institusi yang digunakan untuk menyeleksi para pengambil keputusan ketika masyarakat telah menjadi terlalu besar bagi setiap warga negara untuk ikut terlibat setiap pengambilan keputusan yang mempengaruhi komunitas. Dengannya suara-suara yang diperoleh dalam pemilihan diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang dimenangkan dalam parlemen oleh partai-partai dan para kandidat.

Namun, menurut Andrew Reynolds (1998), justru institusi politik yang paling mudah dimanipulasi, untuk tujuan baik atau buruk, adalah sistem pemilu. Sebab dalam menerjemahkan suara-suara yang diperoleh
dalam suatu pemilihan umum menjadi kursi-kursi di badan legislatif, pilihan dari sistem pemilu dapat secara aktif menentukan siapa yang terpilih dan partai mana yang meraih kekuasaan.

Ujaran Reynolds ini sudah bak konstatasi yang berlaku umum di banyak negara. Itu artinya setiap langkah perubahan sistem pemilihan umum˜apalagi jika merugikan para pihak yang diuntungkan dengan sistem
pemilu lama˜akan mendapat tentangan pertama dari mereka. Kekuasaan untuk menggantinya berada di tangan mereka yang telah mendapatkan manfaat dari sistem tersebut.

Ide perubahan dari SBY akan menguap begitu saja jika “kepanjangan tangan” pemegang kekuasaan eksekutif itu tak mem-back up usulan tersebut dalam pembahasan paket UU Politik di Senayan. DPR menargetkan dapat mengesahkan paket UU Politik, termasuk revisi UU Pemilu, pada Agustus nanti.

Sejauh ini pembahasan UU Pemilu belum lagi menghangat. Sekarang belum ada kertas kerja atau draft yang dipublikasikan kepada khalayak. Karena itu dapat dimengerti jika Demokrat masih menyimpan rapat-rapat
sikap politik mereka ihwal ide yang ditabuh Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat tersebut. Demokrat akan berhati-hati, sebab fakta menunjukkan para wakil rakyat partai ini juga mendapat manfaat dari tetap bertahannya ketentuan nomor urut dalam sistem pemilu legislatif.

Istana jauh lebih getol mengembuskan ide perubahan ini. Juru Bicara Kepresidenan Andi Alfian Mallarangeng (yang berlatar belakang ilmu politik) termasuk yang kencang “menjajakan” penghapusan nomor urut. Penulis bisa memahami mengapa justru Istana yang getol. Kiranya ini berkaitan langsung dengan tindak-tanduk politik sang presiden yang gemar sekali merawat citra dan popularitas di depan publik.

Empirisme politik mengajarkan kepadanya bahwa dia memimpin negeri ini karena “dikerek” popularitasnya yang menjulang menjelang Pemilu 2004 lalu. Dalam hal ini terjadi perjumpaan manis antara idealisasi
politik sang presiden dengan empirisme.

Seperti diutarakan di muka, dominasi parpol dalam penentuan kandidat atau calon legislatif begitu kental di negeri ini. Ekspektasi SBY dan publik luas untuk mendapatkan anggota legislatif yang populer (baca: dikehendaki rakyat) lewat penghapusan nomor urut bakal gagal jika partai politik tetap menjadi satu-satunya pintu masuk bagi seorang warga negara untuk menjadi kandidat calon di pemilu legislatif.

Pasal 67 ayat 1 UU Pemilu menyebutkan “Calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang diajukan Partai Politik Peserta Pemilu (2004)…”.

Dalam pada itu, rekrutmen oleh parpol saat ini masih belum mencapai taraf yang membanggakan. Di sisi lain kader-kader yang berkecimpung di partai politik masih itu-itu saja. Dan para calon pemimpin alternatif sulit menampakkan diri karena digunting partai politik. Parpol pun menjadi kian mahal seolah tak ada politik tanpa
biaya yang menggunung.

Dominasi parpol itu bukan hanya dalam fase pencalonan, namun juga di bilik suara. Mengacu pada sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004, setiap pemilih diwajibkan mencoblos gambar partai politik. Pemilih boleh mencoblos nama/gambar kandidat, tapi harus tetap mencoblos gambar parpol (Pasal 84 ayat 1 UU Pemilu). Sedangkan pemilih yang hanya mencoblos nama/gambar kandidat, maka suara pemilih itu dianggap tidak sah.

Untuk itu penting dipikirkan mulai membatasi dominasi parpol dalam politik Indonesia. Sayangnya kesadaran semacam ini masih mewah. Para tokoh penggerak parpol yang kalah dalam perhelatan Pemilu 2004 masih saja menganggapkan parpol harus menjadi satu-satunya pintu masuk ke parlemen. Alih-alih mendesakkan ruang untuk calon non-parpol atau independen berkecimpung dalam parlemen, sejumlah tokoh mengubah
nama, melakukan merger dan membentuk parpol baru demi berpartisipasi dalam Pemilu 2009.

Harapan akan terbitnya sistem pemilu yang memberi akses kepada pihak-pihak di luar parpol seyogyanya juga didesakkan kalangan civil society. Jika tidak menjangkau dua aspirasi diatas, setidaknya dominasi parpol di ruang bilik suara diminimalisasi. [Februari 2007]

*) Staf Litbang sebuah stasiun televisi swasta.

Monday, May 28, 2007

Money Politics atau Financing Politics?

Oleh Moh Samsul Arifin

SUATU waktu, kira-kira pekan kedua Februari 2004, di Grha Pena Jakarta berkumpul sejumlah calon anggota legislatif (caleg). Mereka umumnya belia-muda secara usia dan 'belia' dalam hal pengalaman politik. Akan tetapi, mereka betul-betul muda dalam artian memiliki semangat pembaruan yang progresif. Teguh Santosa (Pelopor), Banyu Djarot (PNBK), Aditya Krisna Murti (PM), Awang (PBR), dan lain-lain tampak serius berdiskusi merumuskan apa yang tak boleh dilakukan seorang caleg terkait dengan money politics.

Bagi para caleg muda itu, haram hukumnya jikalau untuk memperoleh kursi legislatif, politisi bermain politik uang. Seseorang terindikasi money politics bila ia menggunakan uang sebagai alat paksa atau alat menarik simpati agar pihak lain (pemilih) mencoblosnya kala pemungutan suara. Asal-muasal uang yang digunakan juga menentukan apakah praktik politik yang dilakukan seorang politisi tergolong politik uang atau tidak.

Pemakaian dana publik (langsung atau tidak langsung) termasuk yang dikecam para caleg muda itu. Seorang caleg bisa mengakses dana ke staf atau menteri di departemen, tetapi jika dana itu berasal dari dana publik (bukan kantong pribadi staf/menteri) berarti sang caleg sudah membenarkan abuse of power jauh-jauh hari sebelum ia terpilih.

Memang pemakaian dana publik yang berasal dari departemen, BUMN, BUMD-seperti termaktub dalam Pasal 80 ayat 1c UU No 12 Tahun 2003-tidak diperbolehkan. Hanya saja ketentuan itu tidak memvonisnya sebagai praktik politik uang. Dalam pasal lain, yakni Pasal 78 Ayat 2 UU No12 Tahun 2003 disebutkan besar dana yang diperbolehkan adalah Rp 100 juta (perseorangan) dan Rp 750 juta (badan hukum swasta).

Penggalangan dana (fund raising) bisa saja terindikasi sebagai suap atau sogok bila uang yang disumbang oleh pihak luar itu bertendensi politis. Misalnya, seorang pengusaha mendonorkan sejumlah uangnya kepada kandidat DPR RI (caleg) agar ia diberi semacam lisensi atau kemudahan ekonomis ketika sang kandidat duduk di kursi DPR. Pengusaha itu sengaja menukar 'kekuasaan uang' yang dimiliki dengan 'kekuasaan politik' yang nanti bakal didapat sang kandidat kala menjabat. Karena jabatan legislatif merupakan amanat publik, praktik demikian dinilai menciderai moral.

Berbeda halnya, jikalau pengusaha tersebut menyumbangkan sejumlah uang kepada caleg tertentu karena mendukung visi dan program yang dicanangkan sang caleg. Dan si pengusaha menganggap hal itu sebagai bentuk partisipasi politik. Ketika nanti ia diuntungkan oleh kebijakan yang diperjuangkan anggota DPR yang dulu didukungnya, itu cuma implikasi positif dari kejernihan pengusaha tersebut dalam menetapkan pilihan kepada siapa ia akan menyumbangkan sebagian duitnya.

Tanpa transaksi politik antara sang pengusaha dengan caleg sumbangan tersebut tak dapat dikatakan sebagai bentuk suap atau sogok. Demikian pula si caleg yang menerima duit tersebut tak boleh disebut sudah berlaku licik atau bertindak amoral. Duit yang masuk ke kantong caleg dan kemudian digunakan selama proses politik menjadi legislator (DPR) itu termasuk pembiayaan politik (financing politics) yang absah.

Menulis Cek

Di Amerika Serikat yang relatif kaya, ujar Herbert E. Alexander (1980), banyak orang lebih suka menunjukkan dukungan mereka terhadap kandidat atau loyalitas mereka kepada partai tertentu dengan cara menulis sehelai cek daripada dengan cara mencurahkan waktu pada kampanye atau aktivitas politik. Uang telah memungkinkan warga negara di sana ambil bagian dalam sebuah energi yang menjadi persyaratan untuk dapat terjun ke dunia politik.

Politik dan uang adalah dua sisi dalam mata uang yang sama. Politik tanpa uang nyaris mustahil. Uang adalah sebuah medium atau alat yang sangat signifikan untuk menguasai energi dan sumberdaya. Ia dapat dipindahkan dan dipertukarkan (konvertibel) tanpa meninggalkan jejak tentang sumbernya. Ia dapat digunakan untuk membeli barang, juga energi, keterampilan dan jasa manusia.

Demikian pula berbagai sumber daya lain dapat ditukar dengan uang. Penggunaan secara cerdas ideologi, isu dan penghasilan atau janji-janji dukungan finansial akan mampu membangkitkan dukungan keuangan terhadap aktor-aktor politik-dalam bentuk yang sah atau dalam bentuk tidak sah dan tidak etis sebagaimana terjadi dalam skandal Watergate di AS.

Skandal itu mengubah sikap warga Amerika untuk lebih hati-hati dalam memberikan sumbangan-apalagi Undang-Undang Federal mempersyaratkan adanya keterbukaan atas setiap sumbangan terhadap kandidat presiden. Untuk mencegah agar para kandidat presiden tidak terikat pada kepentingan-kepentingan tertentu, batas maksimal sumbangan pun dikenakan. Dana-dana yang berasal dari sumber yang dicurigai atau industri-industri yang mendapatkan pengaturan secara ketat ikut pula dilarang. (Masih ingat ketika James Ryadi/Lippo Indonesia menyumbang sejumlah dana kepada Bill Clinton!).

Sejak tahun 1972-1976, sebanyak 49 negara bagian merivisi undang-undang mereka dalam kaitan uang politik. Negara-negara bagian di AS, menyediakan dirinya sebagai 'laboratorium pembaruan'. Tak mengherankan jika undang-undang revisi tersebut nantinya memiliki tiga bentuk dasar.

Pertama, keterbukaan publik (public disclosure) untuk memberikan informasi kepada publik-baik selama atau setelah kampenye presiden-tentang pengaruh uang terhadap pejabat-pejabat terpilih.

Kedua, pembatasan-pembatasan pengeluaran (expenditure limits) untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pembengkakan biaya dan oleh adanya beberapa kandidat yang mempunyai lebih banyak uang dari yang lainnya.

Ketiga, pembatasan pemberian sumbangan (contributions restrictions) untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh adanya kandidat yang mengikatkan diri pada kepentingan-kepentingan tertentu (Financing Politics, 2003:51).

Menonjol
Peran uang cukup menonjol, khususnya di masa-masa kampanye atau penggalangan massa. Politisi (caleg atau capres) yang memiliki helikopter pribadi jauh lebih leluasa daripada calon lain yang mesti keliling Indonesia dengan mencarter pesawat. Uang (telah dikonversi jadi helikopter) membuat kandidat itu leluasa bergerak cepat ke setiap titik sudut di mana ia perlu bertemu calon pemilih. Pendek kata, uang berpotensi mendekatkan kandidat dengan massa pemilih.

Bagi rakyat, uang yang diperoleh dari politisi (caleg atau capres) sangat berguna untuk membeli kebutuhan pokok yang kian membubung tinggi. Dalam belitan ekonomi yang menimpa mereka, rakyat tak mungkin berani menolak money politics yang disebar para politisi kotor atau busuk. Dalam konteks Indonesia, terjadinya politik uang tidak semata-mata karena politisi nir-moral, juga bersambungan dengan situasi psikolologis massa rakyat yang tertekan karena faktor ekonomi (miskin).

Hikayat sukses "uang" dapat disaksikan dari sejarah suksesi politik Amerika Serikat. Di sana uang kerap berhasil-walau bukan satu-satunya faktor-mengantar tokoh Partai Republik dan Partai Demokrat ke Gedung Putih.

Di tahun 1860 dan 1864, Abraham Lincoln (Republik) merontokkan Douglas dan McClellan (Demokrat) dengan perbedaan ongkos politik hingga dua kali lipat. Lincoln menghabiskan US$100 ribu dan US$125 ribu, sedangkan dua pesaingnya itu hanya mengeluarkan US$50 ribu.

Setidaknya hingga tahun 1976, guyuran dolar Partai Republik hampir selalu lebih besar daripada Partai Demokrat setiap kali penyelenggaraan pemilihan presiden. Dengan cara itulah Grant, Hayes, Garfield, Harrison, McKinley, Einsenhower hingga Nixon (Republik) melaju ke Gedung Putih. Dominasi Republik sesekali dipatahkan oleh Demokrat berkat kepiawaian Cleveland (1888 dan 1896), Wilson (1912-1920), F Rosevelt (1932-1948), Truman (1948), Kennedy (1960), Johnson (1964) dan Carter (1976).

Menjelang pemilu legislatif, diperkirakan praktik politik uang kian menggurita. Momen kampanye akan dimanfaatkan partai politik tertentu dengan membayar sejumlah orang agar hadir dalam kampaye partai atau kelompoknya. Sehari menjelang pemungutan suara, aktivis partai akan mendatangi rumah-rumah penduduk dan mengiming-imingi sejumlah uang dengan harapan mencoblos partai mereka.

Di hari pencoblosan, aktivis partai banyak berkeliaran di sekitar tempat pemungutan suara dengan menawarkan sejumlah uang untuk memelih partai atau caleg mereka. Tak ketinggalan para pejabat pemerintahan (camat, kepala desa, RW dan RT) akan jadi sasaran aktivis partai tertentu. Mereka akan dijanjikan jabatan atau posisi lebih tinggi jika mampu memobilisasi warganya memilih partai tertentu.

Pokok kata, money politics merupakan praktik liar yang memiliki aneka macam cara dan modus. Politisi busuk tak akan sungkan melakukannya. Semua pihak percaya, praktik tercela bakal jadi hantu di perhelatan Pemilu 2004. Untuk itulah KPU, sebagai penyelenggara pemilu, dituntut tegas dalam menindaklanjuti setiap temuan-terkait dengan politik uang-Panwaslu di setiap tingkatan. Pembatalan terhadap calon (caleg) yang terindikasi melakukan politik uang, seperti diatur Pasal 77 Ayat 3, jangan cuma macan kertas. Ketentuan itu mesti operasional dan berlaku efektif tanpa pandang bulu.

Panwaslu harus tegas dalam membedakan financing politics dan money politics. Sebab, ini berkaitan dengan persoalan etika, moral dan komitmen mematuhi aturan-aturan yang disepakati dalam mekanisme demokratis. Sikap para caleg muda yang dipelopori Teguh Santosa, dan kawan-kawan seperti disebutkan di awal, harus diapresiasi mengingat politik uang kerap diabaikan bangsa ini. [Suara Pembaruan, 15 Maret 2004]

*) Aktivis Center of Bureaucracy Studies Jakarta

Menuju Nasionalisme Substantif

Oleh Moh Samsul Arifin

DALAM khazanah bangsa ini, kita menyaksikan nasionalisme sebagai wujud cinta Tanah Air dilakukan dengan santun, elegan, dan beradab. Dapat dikatakan bentuk-bentuk kekerasan nyaris absen. Namun, dewasa ini kita menyaksikan ekspresi nasionalisme sudah diwujudkan dengan kekerasan.

Penyerbuan dan perusakan kantor hingga pemukulan terhadap aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) oleh sekumpulan massa pada 27 Mei 2003 secara telanjang mengabarkan itu semua. Dianggap tidak nasionalis karena menentang operasi militer di Aceh, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memperjuangkan HAM dan antikekerasan itu secara ironis justru menjadi korban tindak kekerasan. Adakah ini sebuah petaka "nasionalisme"?

Apa sejatinya nasionalisme Indonesia itu? Dan, bagaimana cara menyatakannya?

Peristiwa 27 Mei itu sangat menyesakkan tatkala massa berseragam ala militer itu memaksa Ketua Presidium Kontras Ori Rachman menyanyikan lagu Indonesia Raya di depan mereka. Karena gugup, akibat diintimidasi massa, si aktivis tidak fasih lagi menyanyikan lagu kebangsaan karya WR Supratman itu. Akibatnya, bogem dan pukulan massa mendarat ke tubuhnya. Pria bertubuh kecil itu tak berdaya karena dikerubungi massa.

Kita semua tahu bahwa Kontras termasuk salah satu pihak yang kontra terhadap operasi militer di Aceh kendatipun pemerintah juga menggelar operasi terpadu, yakni dengan operasi kemanusiaan, operasi penegakan hukum, dan operasi pemantapan roda pemerintahan di sana. Penolakan itu sebetulnya tidak bermasalah karena demokrasi menghalalkan keragaman pendapat.

Hak Kontras untuk menolak atau mendukung karena mereka punya basis argumentasi yang memadai sebagai pejuang HAM dan antikekerasan. Dan, massa tersebut juga punya hak yang sama untuk menyatakan setuju atau menolak operasi militer. Bahwa kemudian massa itu berada di pihak yang pro-operasi militer, tidak berarti mereka boleh memaksakan pendapatnya itu pada pihak lain.

Tidak dapat dibenarkan apabila atas nama "nasionalisme", suatu pihak memaksa pihak lain bersikap serupa. Bukankah kebebasan berbicara dan berekspresi merupakan hal yang paling inti dalam sistem demokrasi.

Aksi dan tindakan kekerasan dewasa ini bukanlah hal yang baru sama sekali di ruang publik kita. Seribu satu alasan bisa memantikkan kekerasan, entah karena problem ekonomi, sosial, politik, hingga agama. Teater kekerasan pentas setiap saat hingga membuat kita semua waswas dan prihatin.

Sangat disayangkan, ruang publik yang sepatutnya dipandang sebagai ruang bersama terkelupas menjadi semacam "ruang privat", tempat aneka nafsu kekerasan bertumbukan saling mencari panggung untuk pentas. Tidak ada kerelaan melepas otonomi pribadinya untuk diserahkan pada otoritas negara. Justru, masing-masing pihak saling mencaplok otonomi orang lain. Pada beberapa kasus, pencaplokan otonomi itu sudah tidak dapat ditolerir karena nyaris berimpitan dengan sikap dan tindak-tanduk kaum fasis.

DALAM keadaan di mana otonomi pihak lain sudah tidak dihormati, kekuatan argumentasi bukan lagi utama dan pokok. Siapa saja yang punya kekuatan otot (fisik) bisa menafikan otonomi pihak lain. Penyerbuan terhadap Tempo, atau UPC tahun lalu (dan terakhir perusakan terhadap Kontras), menurut hemat penulis, terjadi dalam sebuah logika seperti itu. Padahal, seperti dikemukakan oleh John Locke, dalam bernegara seyogianya rakyat mengikhlaskan hak-hak tertentu untuk dapat menciptakan kemaslahatan umum (common good).

Di atas segalanya, dalam menyatakan nasionalisme, tidak diperlukan syarat orang lain mesti sepaham dengan kita. Tak perlu pentungan, sangkur atau pisau. Nasionalisme adalah ide yang abstrak, kendatipun ia menyimpan magisme, yakni dapat menyatukan sebuah bangsa dalam satu memori yang sama. Memori atau kenanganlah yang menyatukan sebuah bangsa yang plural (majemuk) dalam satu identitas yang dimiliki bersama. Oleh karena itu, Bennedict Anderson memandang nasionalisme sebagai komunitas terbayang (imagined community).

Nasionalisme Indonesia sendiri dapat dikatakan dibentuk dalam satu kenangan (memori) yang sama antarbangsa-bangsa (etnis) yang mendiami nusantara ini sebagai bangsa terjajah (bekas koloni Belanda). Sejak 17 Agustus 1945, nasionalisme kita lebih dikonkretkan oleh para pendiri bangsa dengan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang melintang dari Sabang (Aceh) hingga Merauke (Papua). NKRI ini merupakan bentuk final negara kita dan semakin dikukuhkan ketika ST MPR Agustus 2002 memutuskan bentuk negara kesatuan tidak mungkin bisa diamandemen.

Ketika GAM merongrong wibawa NKRI, maka dalam perspektif ini gerakan separatis Aceh itu mesti ditumpas. Ini bukan saja pandangan militer yang punya tugas mempertahankan negara dari rongrongan/serangan dari dalam dan luar negeri. Tetapi juga menjadi basis argumentasi pemerintah dalam melakukan operasi militer di Tanah Rencong.

Dalam pandangan ini, mempertahankan NKRI sama dengan menyelamatkan nasionalisme Indonesia. Itulah yang dikritik oleh Kontras. Bagi Kontras, operasi militer bukan jawaban untuk menyelesaikan Aceh. Sebaliknya, dialog dianggapkan sebagai jalan terbaik karena cara ini dapat mengurangi potensi korban di pihak sipil yang tidak ikut-ikutan dalam konflik.

Menjadi tentara (militer) berarti harus siap perang setiap saat karena jiwa raga prajurit itu sejak awal memang diabdikan untuk Ibu Pertiwi. Kalau ada prajurit TNI yang membelot pada GAM itu berarti prajurit tersebut tidak nasionalis. Tapi, jika ada organ masyarakat sipil tidak setuju dengan operasi militer di Aceh, tidak dapat disimpulkan bahwa mereka tidak nasionalis.

Penarikan kesimpulan bahwa yang tidak setuju operasi militer adalah anasionalis merupakan kerancuan berpikir (intelectual cul-de-sac-"karena itu maka ini").

Masing-masing komponen bangsa di negeri ini punya media masing-masing untuk menyatakan kecintaannya. Sangat tidak mungkin segenap komponen bangsa mewujudkan nasionalisme dengan cara yang tunggal. Bukan karena sifatnya yang abstrak, tetapi karena nasionalisme itu mesti "longgar" sesuai dengan zaman dan konteks persoalan yang melingkupinya. Mengkritik tindakan pemerintah yang dinilai keliru juga karena terdorong rasa nasionalisme. Kalau tidak punya rasa itu, ya, cuek saja.

Apabila nasionalisme hanya diartikan sebagai tameng untuk melindungi wilayah (teritorial). Maka cara demikian, akan memudahkan setiap pihak "memanfaatkan" konsep ini untuk kepentingannya sendiri. Atas nama nasionalisme, pemerintah pusat berlaku sewenang-wenang kepada daerah yang menuntut pembagian ekonomi yang lebih adil. Nasionalisme Indonesia seharusnya mampu mengakomodasi aneka kepentingan setiap komponen bangsa di negeri ini. Dan, bukan sarana eksploitasi pusat terhadap daerah atau eksploitasi manusia atas manusia lain.

Semestinya kita memaknai nasionalisme Indonesia sebagai keinginan untuk terlibat dalam pembebasan orang-orang kecil di Tanah Air dari eksploitasi kaum kaya kuasa dalam segala bentuk oleh siapa pun, termasuk oknum atau lapisan bangsa Indonesia sendiri. Watak nasionalisme Indonesia adalah pemerdekaan, pembebasan, pertolongan, dan pengangkatan pihak yang dizalimi (YB Mangunwijaya, 1997). Kukuh dan kokohnya nasionalisme, sangat bergantung pada sejauh mana keadilan dapat diwujudkan di negeri ini. [Kompas, 12 Juni 2003]

*) Aktif di Center of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta

Sunday, May 27, 2007

HPP, Instrumen “Kosmetik” Petani

Oleh Moh Samsul Arifin

AKHIR Maret lalu, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Inpres 3/2007 tentang harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras. HPP untuk gabah kering panen (GKP) menjadi Rp 2000 per kilogram, gabah kering giling (GKG) Rp 2.575 per kilogram dan beras Rp 4.000 per kilogram atau rerata naik 17 persen dibandingkan HPP tahun lalu. Adakah perubahan HPP itu bermanfaat bagi petani di tanah air?

Data faktual di lapangan adalah jawaban sempurna bagaimana HPP bekerja. Para petani, termasuk petani di Karawang—yang notabene dekat Jakarta—kurang paham dengan instrumen pengganti harga dasar gabah dan beras tersebut. Bagi sementara petani, khususnya mereka yang tidak melek informasi, instrumen HPP diterima sebagai “makhluk baru”. Sebaliknya, yang dipahami petani sangat sederhana: apakah harga gabah yang diperoleh di sawah mereka di atas biaya produksi atau tidak. Atau apakah harga itu meningkatkan pendapatan mereka atau tidak.

Dalam konteks semacam ini, sangat wajar jika petani melepas gabah kepada tengkulak, pedagang atau spekulan yang “bermain” agresif dengan memburu gabah petani di sawah atau ladang-ladang dan menawarkan harga yang acapkali lebih tinggi ketimbang HPP. Di sini mekanisme pasar berlaku. Petani berpikir, daripada susah ke gudang Bulog, belum lagi harus mengeluarkan biaya transportasi, lebih baik menjual produk gabah ke tengkulak atau pedagang yang langsung terjun ke sawah. Transaksi dan tawar-menawar lebih equal, sebab kriteria yang ditetapkan tengkulak atau pedagang tidak rumit. Petani tak perlu mengkhawatirkan kriteria kadar air, butir hampa, butir kuning, butir hijau hingga butir merah gabah jika menjual produk mereka ke pihak-pihak di luar Bulog.

Harus diakui HPP bukanlah instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Tapi bias kepentingan untuk melindungi konsumen. Sama dengan kebijakan mencapai harga beras murah sehingga dapat dijangkau masyarakat perkotaan. Padahal, harga beras seharusnya diatur sedemikian rupa sehingga memberi efek keuntungan kepada produsen beras, yakni petani.

HPP hanya digunakan sebagai patokan bagi Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk membeli gabah dan beras produksi petani. Pembelian gabah dan beras atas dasar HPP itu pun tidak serta-merta membuat Bulog langsung kontak dengan petani.

Selama ini, Bulog menggunakan kelompok tani dan koperasi sebagai mediator untuk menyerap gabah petani. Perlu diketahui, sedikit daerah yang sudah memiliki sistem intermediasi bagus, seperti di Karawang (Jabar), Sidrap (Sulsel), dan di NTT. Jadi, sebenarnya Bulog pasif: mereka lebih banyak membeli gabah atau beras di gudang-gudang mereka yang tersebar di Divisi Regional Bulog yang tersebar di seantero Nusantara.

“Kebijakan menunggu” di gudang itulah yang membikin tingkat penyerapan gabah dan beras Bulog sangat minim. Lumrah jika selama ini Bulog hanya mampu menyerap tujuh persen produk gabah petani. Sejak tiga tahun terakhir, volume pengadaan gabah atau beras dalam negeri oleh Bulog selalu menurun. Tahun 2004 Bulog menyerap 2,096 juta ton setara beras. Tahun 2005 menurun hanya 1,529 juta ton, dan tahun 2006 menurun lagi hanya sebanyak 1,350 juta ton (Kompas, 24/3).

Tahun ini pun, Bulog hanya akan menyerap hasil panen sebanyak 1,5 juta ton setara beras. Atau minus 500 ribu ton dari target pemerintah. Angka ini pun jauh dari produksi petani gabah petani setara beras. Rendahnya daya serap Bulog tersebut, tak pelak menyebabkan stok milik Bulog minim dan membuat komoditas strategis tersebut mudah "hilang" sehingga harga acapkali berfluktuasi.

Lihatlah data ini. Bupati Indramayu Irianto Syafiuddin menyatakan, tahun lalu daya serap Bulog setempat hanya 12 persen dari produksi gabah kering panen (GKP) petani. Angka ini tak jauh berbeda dengan kondisi saat ini di Sulsel. Daya serap Bulog setempat cuma 10 persen dari total produksi petani di daerah tersebut. Selebihnya diserap pasar sebesar 90 persen untuk para pedagang (Bisnis Indonesia, 3/4).

Hingga 13 April 2007, Perum Bulog Divre Jawa Timur—salah satu sentra gabah di tanah air—lambat dalam menyerap gabah petani. Selama lima hari operasi, Bulog Jatim menyerap 8.900 ton GKP dan 12.200 ton beras. Sangat jauh dibandingkan dengan rencana pengadaan sebanyak 640.400 ton GKG atau setara 413.004 ton (Tempo Interaktif, 13/4). Alasannya, harga gabah yang berlaku di pasaran—ini harga yang ditawarkan pedagang dan tengkulak—diatas HPP yang ditetapkan pemerintah.

Namun, harga tak “seturut” HPP itu tak bekerja dalam satu kondisi saja. Kadang kala, petani memperoleh harga gabah di bawah HPP gara-gara pedagang atau tengkulak. Ini biasanya terjadi sebelum panen raya atau ketika pemerintah tak kunjung menetapkan HPP baru, seperti terjadi periode pra penetapan HPP 31 Maret lalu. Pedagang dan tengkulak menangguk keuntungan tersebut, baik mereka yang menjadi kepanjangan tangan Bulog (artinya menjual gabah atau beras ke perum ini) atau memiliki mata rantai penjualan hingga pasar-pasar beras seperti Cipinang, Jakarta.

Sekali lagi, mesti dikatakan, dalam sistem yang mengagungkan mekanisme pasar, petani tak memiliki daya tawar (bargaining) di hadapan pedagang, tengkulak atau bahkan spekulan tadi. Ingat para petani, termasuk di sentra-sentra padi semacam Karawang, Indramayu dan Cirebon, Lumajang hingga Sidrap (Sulsel) umumnya adalah petani gurem dengan tingkat kepemilikan sawah kurang dari 0,5 hektar. Dan mereka acapkali “dikejar” keperluan mendesak.

Bayangkan saja antara tiga sampai empat bulan (seturut usia padi), para petani itu harus menunggu panen. Selama itu petani harus mengeluarkan biaya produksi: dari menanam, merawat (pupuk dan racun) hingga masa panen. Di masa panen, petani berharap harga gabah atau padi berada di level yang menguntungkan mereka, paling kurang diatas biaya produksinya. Ironisnya, acapkali harga yang diperoleh petani jauh panggang dari api.

Jadi, jangan bayangkan petani bisa menahan produk mereka. Misalnya, karena harga masih di bawah level ekonomi yang menguntungkan, petani menjemur terlebih dulu produk padi atau gabahnya. Dan lalu menjual di waktu yang tepat ketika harga sudah lumayan bagus. Kebanyakan petani di tanah air tak mungkin melakukan itu. Mereka tak memiliki alat produksi dan biaya tambahan untuk menyiasati keadaan yang kurang menguntungkan.

Nalar dan siasat kreatif untuk menyiasati keadaan itu bukannya tak dimiliki kalangan petani. Namun karena terdesak kebutuhan, petani terpaksa menjual produknya sesuai dengan harga yang tersedia saat itu. Inilah ironi petani negeri kita yang berkubang dan intim dengan kemiskinan!

Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) punya temuan menarik. Menurut FPSI, mekanisme harga maksimal (ceiling price) yang diterapkan dalam Inpres 3/2007 kurang tepat. Merujuk dari praktik Bulog dan pasar domestik dalam tahun terakhir, pemerintah tak dapat melindungi pasar domestik dan membeli gabah langsung karena Inpres hanya membolehkan pembelian di bawah atau setara HPP. Seharusnya, pemerintah menetapkan harga dasar (floor price) untuk menutup ongkos produksi plus keuntungan petani. Sedangkan harga maksimal menjadi kontrol pemerintah terhadap pasar. Ide ini seturut dengan usulan sejumlah anggota DPR di Komisi Pertanian.

Agaknya, instrumen HPP yang tak bekerja efektif tidak berdiri sendiri. Ini berkaitan dengan fungsi Bulog itu sendiri. Seperti diketahui lewat PP 7/2003, Bulog berubah menjadi Perusahaan Umum. Inilah yang membuat Bulog harus mengejar rente alias menyetor pendapatan ke kas negara (Pasal 6 ayat 1). “Sifat usaha dari Perusahaan adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan Perusahaan”.

Namun, fungsi ini pula yang membikin Bulog serba tanggung, di satu sisi bertugas mengamankan stok pangan nasional. Pasal 6 ayat 2 menyatakan Bulog “menyelenggarakan usaha logistik pangan pokok yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak”. Di sisi lain diminta menghasilkan pundi-pundi bagi pemerintah. Kiranya cukup alasan bagi pemerintah untuk memikirkan agar Bulog dikembalikan ke fungsinya semula. Yakni menjadi Lembaga Pemerintah Non-Departemen (Kepres 114/U/KEP/1967). Dengan kemudi itu, Bulog bisa menjamin stok pangan nasional sekaligus lebih menjamin kesejahteraan petani. [Pikiran Rakyat, 3 Mei 2007]

*) Staf Litbang di sebuah stasiun televisi swasta.

Saturday, May 26, 2007

Suara Elektoral & Perolehan Kursi DPR

Oleh Moh Samsul Arifin

HASIL Pemilu legislatif telah diumumkan secara resmi oleh KPU 5 Mei lalu. Partai Golkar mengungguli PDIP dengan perolehan 24.480.757 suara (21,57 persen) atau setara dengan 128 kursi DPR RI (23,27 persen). PDIP menangguk 21.025.991 suara - setara dengan 109 kursi DPR RI. PKB (11.994.877 suara = 52 kursi), PPP (9.248.265 = 58 kursi), Partai Demokrat (8.455.213 suara = 57 kursi), PKS (8.324.909 = 45 kursi) dan PAN (7.302.787 = 52 kursi). Hanya tujuh partai ini yang lolos electoral threshold - syarat minimal 3 persen jumlah kursi DPR (Pasal 9 ayat 1 (a) UU No. 12 Tahun 2003).

Ketidakparalelan suara elektoral dengan jumlah kursi yang didapat masing-masing Parpol, membuat publik bertanya-tanya. Mengapa PAN yang suara elektoralnya hanya 7.302.787 menangguk 52 kursi DPR, sama dengan jumlah kursi yang didapat PKB yang memiliki suara elektoral sebesar 11. 994.877? Mengapa pula PPP dan Partai Demokrat yang suara elektoralnya lebih kecil daripada PKB, selisih 2,7 – 3,5 juta, mendapat kursi lebih banyak?

Para pendukung Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) pun sangsi, partainya yang memperoleh suara elektoral sebesar 2.398.117 hanya dapat 2 kursi, padahal Partai Damai Sejahtera (PDS) dengan 2.425.201 (selisih 27.084 suara) meraup 12 kursi.

Cetro jauh-jauh hari telah memprotes keras pengumuman sementara perolehan suara Pemilu legislatif lewat media cetak dan media elektronik. Itu didasari pertimbangan bahwa suara nasional yang didapat sebuah parpol tidak mencerminkan perolehan kursi legislatif. Pengumuman via media dianggap mendistorsi dan membingungkan rakyat. Sebab bagaimanapun orang awam tak tahu secara detail bagaimana mekanisme penghitungan dari suara elektoral menjadi kursi-kursi legislatif (DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota). Kekhawatiran lembaga yang diketuai Smita Notosusanto itu terbukti saat ini.

Berkonsentrasi di Jawa
Fondasi penghitungan kursi adalah bilangan pembagi pemilih (BPP, kuota)—yakni jumlah total suara sah dibagi jumlah kursi yang dialokasikan di sebuah daerah pemilihan. Parpol yang mencapai angka BPP atau kelipatannya langsung mendapatkan kursi. Jika di daerah pemilihan bersangkutan masih ada kursi yang tersisa, maka partai yang memiliki sisa suara terbanyak (berdasarkan peringkat) akan memeroleh kursi tersebut.

Mengapa PAN memperoleh kursi DPR sama dengan PKB? Diduga karena partai matahari terbit ini banyak memperoleh sisa suara di 69 daerah pemilihan. Hal sama berlaku pada PDS. Juga, PAN, PPP dan Partai Demokrat menangguk kursi di daerah pemilihan yang BPPnya jauh lebih kecil. Ingat BPP di setiap daerah pemilihan pasti berbeda sebab ada dua variabel yang mempengaruhinya; jumlah total suara sah dan jumlah kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan bersangkutan. Kursi yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan relatif tetap (tak bergerak), sementara jumlah total suara sah sangat ditentukan seberapa banyak surat suara yang dicoblos pemilih memenuhi kriteria sah menurut Undang-undang. Kemudian, tingkat partisipasi pemilih serta seberapa banyak pemilih yang terdaftar tidak datang ke TPS pada hari pencoblosan (karena Golput atau alasan lain).

Di beberapa daerah pemilihan (luar Jawa) ketiga partai ini berhasil tembus, karena BPP-nya kecil dan mereka juga diuntungkan adanya penghitungan tahap kedua - partai yang memiliki sisa suara terbanyak berhak atas kursi. Penghitungan kursi ada dua tahap. Pertama, berdasarkan BPP. Kedua, jika masih ada kursi yang belum habis dibagikan, maka dilakukuan penghitungan tahap kedua - pemilik sisa suara terbanyak berhak atas kursi tersebut.

Partai seperti PKB dan PKPB terlampau berkonsentrasi di Jawa di mana harga satu kursinya jauh lebih tinggi ketimbang di provinsi seberang. Mungkin saja karena dua partai tersebut tidak melihat peta politik geografis atau dua partai itu gagal meraup suara di luar Jawa. Sementara perolehan suara Partai Demokrat merata, tak hanya di Jawa tapi juga di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Demokrat berhasil memetik kursi kendati tidak meraup suara elektoral terbanyak di daerah pemilihan yang tersebar di pulau-pulau itu. Demokrat kebanyakan memperoleh sisa kursi - tak mencapai BPP, tapi suara yang didapat menduduki peringkat atas dalam perhitungan tahap kedua.

PAN dan PPP juga memiliki karakter seperti Demokrat, suara elektoral mereka lebih merata. Sementara PKB, nyaris 60 persen suaranya didapat dari Jawa Timur (basis mereka), 20 persen tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Selebihnya diperoleh dari luar Jawa. Di banyak daerah pemilihan, kursi DPR PKB diperoleh dari suara elektoral yang mencapai angka BPP. Hanya sedikit kursi yang berasal dari posisi sisa suara terbanyak.

Suara PKPB (partainya R Hartono dan Tutut) terkonsentrasi di Pulau Jawa (utamanya, Yogyakarta dan Jawa Tengah). Sementara PDS yang mewakili komunitas Kristen tembus sampai ke Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua. PKPB memperoleh 2 kursi DPR, sementara PDS yang hirau terhadap wilayah luar Jawa mendapat 12 kursi. Bayangkan hanya dengan selisih 27.084 suara, PDS menangguk kursi DPR enam kali lipat kursi yang diperoleh PKPB. Suatu yang membingungkan bagi awam, tapi punya rasionalitas tatkala sistem pemilu daftar terbuka menggunakan penghitungan berdasarkan BPP dan sisa suara terbanyak (last remainder).

Nurul Arifin
Cara perhitungan gaya kita (jurus kuota Hamilton) ini sebetulnya telah usang. AS telah meninggalkannya sejak 1901. Sebab metode ini menyimpan segudang ”keganjilan”. Pertama, jika kursi DPR ditambah, maka kursi parpol gurem akan dimakan parpol-parpol yang menguasai daerah tertentu dan memiliki sisa suara terbanyak (last remainder).

Kedua, pertumbuhan populasi di setiap provinsi tidak langsung memastikan bertambahnya kursi untuk provinsi bersangkutan. Ini dialami negara bagian Virginia AS tahun 1901. Saat itu, laju pertumbuhan penduduk Virginia 60 persen lebih tinggi ketimbang Maine. Namun, Virginia kehilangan satu kursi, sedangkan Maine ketambahan satu kursi. Ketiga, pemekaran wilayah cenderung menyunat kursi provinsi asal yang dimekarkan.

Di atas tahun 1900-an sampai sekarang, AS memakai cara perhitungan Jurus Divisor: mula-mula sampai tahun 1940-an gaya Webster dan pasca 1940 metode Huntington-Hill. Prosedur perhitungannya berkebalikan: jumlah penduduk diurut berjajar dan dibagi divisor tertentu, sampai ke urutan terendah jumlah kursi DPR. Bilangan pembaginya bersifat tetap. Jumlah kursi untuk provinsi akan ditentukan berdasarkan peringkat hasil bagi jumlah penduduk provinsi itu dengan divisornya. Demikian pula dalam pembagian kursi DPR terhadap parpol-parpol (Alokasi Kursi, 2003). Perhitungan seperti ini jauh lebih memenuhi rasa keadilan, sebab menempatkan parpol pemilik suara terbesar untuk memperoleh kursi jauh lebih banyak.

Kalau perhitungan seperti itu diadaptasi, Nurul Arifin (dan caleg pemilik suara terbanyak) tak harus jadi korban. Seperti diketahui, aktris yang menempati caleg Partai Golkar nomor urut 3 di Daerah Pemilihan Jawa Barat VI (Karawang dan Purwakarta) itu mendapatkan 86.576 suara. Angka itu di atas perolehan caleg nomor urut 1 dan 2, Ade Komaruddin (60.064 suara), Wasma Prayitno (78.513 suara), dan caleg lainnya.

Namun, karena suara Nurul tak mencapai BPP di Jabar VIII yang sebesar 239.355, dua kursi yang didapat Partai Golkar di DP tersebut, diberikan pada Ade dan Wasma (selaku pemilik nomor jadi) walaupun suaranya di bawah sang artis. Ini adalah ironisme dari pemberlakuan sistem proporsional terbuka ala Indonesia. Lebih tragis, hanya dua orang yang memenuhi BPP di antara 550 anggota dewan. Dua orang itu ialah Hidayat Nur Wahid (Partai Keadilan Sejahtera) dan Saleh Djasit (Partai Golkar). Ironi ini mengingatkan kita untuk segera berbenah. [Sinar Harapan, 17 Mei 2004]

*) Aktivis Center of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta.

Memperebutkan Jawa yang Letih

Oleh Moh Samsul Arifin

Sejumlah parpol besar mengaku bakal fight memperebutkan 303 kursi DPR (55 persen) yang tersedia di pulau Jawa. Enam provinsi di Jawa yang diincar partai-partai itu adalah DKI Jakarta yang menyediakan 21 kursi, Jawa Barat 90, Jawa Tengah 76, DI Yogyakarta 8, Jawa Timur 86, dan Banten 22 kursi.

Untuk mendulang suara di pulau ini, nyaris seluruh kontestan Pemilu 2004 menurunkan caleg-caleg nomor satunya, entah itu ketua umum parpol, jajaran pengurus pusat, figur kharismatis-populis, mantan aktivis mahasiswa, akademisi, cendekiawan, hingga artis. PDIP menargetkan rekor 50 persen suara di Jawa. Demikian pula Partai Golkar yang berjaya di Indonesia Timur (Iramasuka) dipemilu lalu menang di 18 provinsi tak akan melepas Jawa, khususnya Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur. Pemilu tahun 2004, partai beringin menargetkan memeroleh kursi dari seluruh provinsi yang ada.

Persaingan di Jawa tahun ini dipastikan bakal kian panas sebab partai lain semacam PKS, PBR, PPIB, PPDK, atau PNBK juga menargetkan memeroleh suara signifikan di pulau terpadat ini. Pertanyaannya, mengapa Jawa selalu sentral untuk diperebutkan? Apakah pulau-pulau lain tidak penting? Lebih jauh, adakah ini berkorelasi dengan sejarah bangsa ini yang kelewat Jawa (Jawasentris)? Apakah peta politik geografis itu punya peluang untuk berubah atau setidaknya bergeser?

Menjadi sejarah
Jika kita menggeledah sejarah Republik, tak disangsikan lagi pulau Jawa adalah daerah yang istimewa dalam politik Indonesia. Kecuali sebagai pusat kekuasaan (pemerintahan) dan konsentrasi penduduk, jauh sebelum Republik terbentuk, pulau ini menjadi pusat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Perlawanan yang digelorakan Pangeran Diponegoro (1825-1830) tercatat sebagai permulaan Perang Jawa yang nantinya menjadikan Belanda sebagai penguasa politik mutlak atas Jawa.

Di pulau inilah, dan Sumatera Barat, kolonialisme Belanda benar-benar menampakkan wajah hitamnya. Bukan kebetulan jikalau para pemimpin kita lahir dan besar di dua daerah ini; Jawa dan Sumatera Barat. HOS Tjokroaminoto, Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sjafrudin Prawiranegara, sedikit contohnya.

Gubernur Jenderal VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) Jan Pieterszoon Coen yang berhasil merampas Maluku dari Portugis tahun 1605 menjadikan Banten (pelabuhan utara Jawa) sebagai markas besarnya. Tahun 1609, markas perusahaan multinasional pertama di dunia itu lalu dipindahkan ke Batavia (Jakarta) oleh JP Coen. Tokoh ini tercatat sebagai orang bertangan besi.

Kesewenang-wenangannya memakan korban sedikitnya 15 ribu jiwa. Kongsi dagang bermodal awal 6,5 juta gulden ini, dalam sejarahnya diberi mandat kekuasaan yang luar biasa besar: wewenang mewakili pemerintah Belanda untuk membuat perserikatan dan perjanjian dengan suatu pemerintahan (diplomatik), menduduki suatu lokasi, membangun pemukiman dan pusat perdagangan, mengangkat gubernur dan pegawainya, serta membentuk militer sendiri. Hak monopoli dan pemerintahan ini berlangsung dua abad hingga akhirnya pingsan sekira paruh kedua abad ke-18. VOC meninggalkan tumpukan utang senilai tiga belas juta gulden (Negara-negara di Nusantara, 2001).

JP Coen berjasa besar membuka Batavia, yang lalu menjadi pusat pemerintahan Republik dan megapolitan yang kini dihuni 7,5 juta jiwa. Semasa revolusi 1945-1959, pusat pemerintahan Republik berpindah-pindah, dari Jakarta, Yogyakarta, dan Bukittingi. Dekade 1960-an ke atas, Jakarta memantapkan diri sebagai ibukota Republik, sekaligus pusat segala hal yang disebut politik di Tanah Air. Dari Jakarta, perlawanan-perlawanan daerah diselesaikan. Kekuasaan politik pun terkonsentrasi dan terpusat pada satu tangan yakni presiden (Sukarno dan Soeharto).

Semasa Orde Baru, fanatisme ke-Jawa-an bahkan telah diadaptasi Soeharto untuk berkuasa dan memerintah wilayah bekas jajahanBelanda (Sabang-Merauke). Oleh karena itu, banyak pihak memandang selama 32 tahun kekuasaannya, Soeharto lebih tampak sebagai sosok Raja Mataram ketimbang presiden Republik. Apabila Sultan Agung dari Mataram (1613-1645) gagal merontokkan kekuatan VOC di Batavia, maka tiga abad sesudahnya (1967) Soeharto berkuasa di daerah yang ditinggalkan kongsi dagang Belanda tersebut.

Dengan cuplikan historis di atas, saya ingin katakan bahwa Pulau Jawa memang strategis dan vital. Oleh karena itu, sangat beralasan apabila partai politik di Tanah Air menempatkan Jawa sebagai sentral dan target untuk menangguk perolehan politik yangoptimal setiap kali diadakan pemilihan umum. Menurut Kevin R Evans (2003), di tahun 1955, Jawa merupakan kantong nasionalis(PNI), komunis (PKI), dan Islam tradisionalis (Partai Nahdlatul Ulama). PNI dan PKI memperoleh hampir 50 persen suara di pulau ini.

Di luar Jawa perolehan suara untuk kedua partai ini di bawah 20 persen dari total suara. Sumatera mengatrol Masyumi ke peringkat kedua Pemilu 1955. Partai Kristen dan Katolik dalam pesta demokrasi pertama di Republik itu juga menambang suara dari luar Jawa, terutama Indonesia Timur (Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya).

Pada Pemilu 1999 lalu, partai berbasis nasionalis (PDIP) mengungguli kubu partai Islam di Jawa. Partai Golkar tak disangka-sangka nomor wahid dengan berjaya di 18 provinsi, kebanyakan di Indonesia Timur. Sementara, partai berbasis Islam secara partikular menguasai Jawa Timur (PKB). PBB, meski kalah dari Partai Golkar (nasionalis-sekuler), termasuk mendulang suara di SumateraBarat (konsentrasi eks Masyumi). Partai berbasis Nasrani terkonsentrasi di wilayah luar Jawa yakni Nias, Sulawesi, Sumba,Maluku, dan Papua.

Dalam hemat saya, kecuali jumlah kursi, konsentrasi sejumlah parpol di Jawa juga terkait dengan karakter pemilih yang tak kunjung rasional. Serangkaian polling menunjukkan dalam pemilu tahun ini rakyat cenderung memilih parpol berdasarkan kesamaan ideologi,faktor ketokohan (kharisma), atau hubungan kultural. Kendati pun kinerja parpol buruk, ingkar janji, serta tak memperhatikan kepentingan rakyat, publik kurang bergairah untuk mengoreksi parpol yang pernah dipilihnya. Massa nasionalis akan kembali mencoblos parpol nasionalis, warga Muslim bakal mencoblos parpol tertentu berdasarkan ideologi dan afiliasi kultural mereka.

Ditambah tren parpol yang enggan melakukan pendidikan politik, massa pemilih pun tak beranjak matang dalam menentukan pilihan politik mereka.

Bagi parpol yang memiliki kantong suara (massa) tradisional, misalnya, program tidak begitu penting. Toh ikatan ideologis dan kultural sudah cukup untuk membuat massa pemilih berafiliasi dan mencoblos parpol itu. Massa pemilih di Jawa, seperti pulau lain, diakui menyalurkan hak politiknya atas dasar itu semua.

Keniscayaan penggeseran
Adalah betul mayoritas kursi diperebutkan di Jawa Tapi, berhubung setiap parpol selalu menargetkan Pulau Jawa sebagai ladang emas mereka, tak pelak lagi persaingan merebut kursi di pulau ini sudah demikian jenuh. Saya kira Jawa mengalami keletihan yang sangat. Sebab, ruang politik yang tersedia di pulau ini sudah demikian sempit. Mengalihkan perhatian ke pulau lain adalah keniscayaan untuk menangguk perolehan politik yang lebih besar. Ingat masih ada sekira 247 kursi yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

Peluang pergeseran (keluar Jawa) bisa dibuka, setidaknya dengan dua syarat. Pertama, orientasi parpol ke depan bukan sekadar ideologis atau hubungan kultural, tapi berbasis program yang menarik minat publik di seantero negeri. Kedua, partai lokal diberi kesempatan untuk eksis. Dua hal ini akan bersinergi, sebab partai lokal pasti bersendikan program untuk menarik warga lokal.Mereka menyusun program sesuai daerah basis dan kepentingan aktual warga setempat. Sebaliknya, jikalau partai lokal tidak dimungkinkan, pulau Jawa tidak bisa tidak akan selalu menjadi sentral.

Dalam jangka pendek, perlu disadari sebetulnya sindrom selalu Jawa (Jawa sentris) tak berguna lagi untuk menangguk perolehan politik yang optimal.

Secara teknis, memperoleh satu kursi di Jawa jauh lebih susah ketimbang satu kursi di Papua. Dalam Pemilu 1999 terbukti PKB yang berjaya di Jawa Timur dengan total suara 13.336.963 hanya mendapat 51 kursi di DPR. Sebaliknya, PPP yang perolehan suaranya tersebar di luar Jawa, dengan total suara 11.330.387 memperoleh 58 kursi.

Menurut Pipit Rochijat Kartawidjaja (2003), satu kursi di Papua senilai dengan sekira 193.315,54 suara. Bandingkan dengan harga kursi di Banten atau DKI Jakarta. Di daerah berpenduduk padat tersebut satu kursi DPR senilai dengan 424.929,16 dan 420.705,11. Satu kursi di Banten berharga 2,2 kali satu kursi di Papua.

Soal yang satu ini, harus pula diperhatikan parpol, termasuk partai baru. Pengalaman Pemilu 1999, kejelian Golkar melihat soal alokasi kursi dan keterwakilan penduduk dan pemilih, mengantar mereka meraih posisi runner-up.

Di Jawa yang harga kursinya mahal, seluruh parpol di pemilu pertama reformasi itu saling berebut dengan sengit. Wilayah luar Jawa yang relatif kosong itu lalu dioptimalkan partai beringin untuk menangguk suara. [Republika, 7 Februari 2004]