Wednesday, May 30, 2007

Civil Society & Hemat Listrik

Oleh Moh Samsul Arifin

SATU hal yang sangat langka di negeri ini kemampuan untuk mensyukuri kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Itu juga yang tak terungkap di depan publik usai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan pembatalan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada 22 Maret lalu. Padahal, kebijakan itu pantas diapresiasi sebagai langkah populis (mungkin) pertama Pemerintahan SBY-JK sejak dilantik Oktober 2004 lalu.

Setelah mengambang hampir tiga bulan, pemerintah mengurungkan niatnya melakukan apa yang disebut electricity tariff adjustment (penyesuaian tarif listrik). Sepanjang tahun ini dipastikan berlaku harga status quo.

Pemerintah bersedia membahas kekurangan subsidi pengadaan listrik PT PLN (Persero) dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu pertimbangan mengapa pemerintah menempuh langkah populis-katakanlah demikian jika kita bandingkan dengan serangkaian kebijakan SBY-JK selama ini-karena pemerintah mempertimbangkan rekomendasi Komisi VII yang bersedia menambah subsidi terhadap PLN. Serta daya beli masyarakat yang terus melemah.

Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, di mana biaya pokok penyediaan listrik PLN sebesar Rp 93,2 triliun. PLN masih minus Rp 27,2 triliun. Atas kekurangan itu Komisi VII bersedia mengutak-atiknya. Karena sebelumnya, pemerintah telah menganggarkan dana Rp 15 triliun untuk menyubsidi PLN ditambah dana cadangan sebesar Rp 2 triliun, maka perlu Rp 10,2 triliun lagi untuk menambal kekurangan pengadaan listrik tersebut. Semula pemerintah, seperti disampaikan Menkominfo Sofyan Djalil sempat berancang-ancang menaikkan tarif listrik sebesar 10 persen.

Kenaikan ini tak berlaku untuk mereka yang mengonsumsi daya di bawah 900 watt. Dengan rumusan ini, masih dibutuhkan subsidi Rp 6,7 triliun. Menaikkan tarif listrik ibarat kiamat kecil, khususnya bagi rakyat kecil dan kalangan industri. Asosiasi Pengusaha Tekstil Indonesia dan Asosiasi Pengecoran Logam Indonesia menghitung, kenaikan sebesar 10 persen tarif listrik akan menurunkan produksi mereka sebesar 0,5 persen.

Dampaknya 0,84 persen atau 15.560 pekerja mereka harus di-PHK. Makin besaran persentase kenaikannya, angka PHK kian melambung. Belum dimasukkan ketidakberdayaan rakyat kecil yang ditunjukkan dengan makin rendahnya daya beli mereka. Untuk diketahui, total belanja listrik kalangan rumah tangga di tanah air mencapai 5 persen dari pengeluaran bulanan mereka. Setiap kenaikan tarif sebesar 10 persen akan membengkakkan pengeluaran hingga 0,1 persen.

Bagaimana dengan petani yang sempoyongan karena pendapatan mereka tak cukup lagi untuk menebus kebutuhan pokok yang meroket didorong inflasi. Juga nelayan yang sudah banyak menganggurkan perahu mereka karena tak sanggup membeli solar. Persoalannya bagaimana mencari dana untuk menombok subsidi listrik itu? Kita tahu, kebijakan populis itu harus dibayar dengan naiknya defisit anggaran.

Kemungkinan, target defisit anggaran sebesar 0,7 persen tak tercapai, sehingga defisit kembali ke level 1 persen. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh pemerintah untuk menambal kekurangan tersebut. Pertama, memakai anggaran sisa tahun lalu. Kedua, menyetop sejumlah projek yang telah dialokasikan anggarannya pada APBN tahun berjalan. Dan ketiga, menerbitkan surat utang baru. Dua opsi yang terakhir acapkali didengungkan Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta. Misalkan saja pemerintah memangkas anggaran di 15 departemen, maka akan dapat terkumpul uang antara Rp 12-15 triliun. Langkah ini berarti mengurangi dana untuk pembangunan.

Hal ini sama saja dengan mengorbankan kepentingan lain, yakni pembangunan sektor-sektor lain seperti-yang paling krusial-pendidikan dan kesehatan. Sekadar contoh, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan uji materiil (judicial review) dari Persatuan Guru Republik Indonesia pada 24 Maret lalu. Itu berarti, tak bisa tidak, pemerintah mesti menambah alokasi dana pendidikan. Apabila anggaran pendidikan harus diubah menjadi 12 persen dari total APBN 2006-seperti disepakati Komisi Pendidikan dengan 5 menteri kabinet pada 4 Juli 2005-maka pemerintah harus menambah dana pendidikan sekitar Rp 32,44 triliun.

Sebelumnya, pemerintah mengalokasikan 9, 1 persen alias Rp 45,2 triliun. Sekali lagi, dari mana dana itu harus dicari? Menimpakan semuanya ke pemerintah rasanya tak adil. Penting ditekankan di sini: bagaimana meningkatkan kinerja PT PLN (Persero) serta mengubah pola konsumsi listrik masyarakat. Sangat tidak masuk akal jika pemerintah harus terus menerus melakukan subsidi, sementara kinerja PLN dan pola konsumsi listrik tidak berubah. Gerakan hemat energi Negeri kita ini termasuk boros energi.

Lihat saja tingkat elastisitas pemakaian energinya. Indonesia mencapai 1,84, Malaysia (1,69), Taiwan (1,36), dan Thailand (1,16). Niscaya jika kita menggaungkan kembali gerakan hemat energi yang dipancang Presiden SBY, Juli tahun lalu. Jika saja konsumen listrik di tanah air-industri dan rumah tangga-dapat menghemat 14 watt setiap malamnya ditaksir beban penyediaan listrik bakal berkurang Rp 5 triliun per tahun. Di atas segalanya, hemat penulis, PLN dan pola konsumsi listrik masyarakat harusnya menjadi pengawasan semua kalangan, termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang selalu berteriak nyaring jika pemerintah berencana menaikkan tarif yang berhubungan dengan kepentingan publik.

Perlu diuji kemampuan organ masyarakat sipil (civil society) dalam membantu atau menyosialisasikan kampanye hemat listrik, sehingga menjadi kesadaran baru dan membatin kepada warga masyarakat. Bagaimana menjadikan slogan "So, Wattnya Dihemat Gitu Lho" tak sekadar perkara PLN? Juga, iklan si Oneng, "Ingat 17-22" menjadi tertanam dalam benak masyarakat. Organ civil society sangat banyak di tanah air dan sangat mungkin memerankan diri untuk kampanye hemat listrik. Jika kalangan partai politik saja sanggup menelusup ke ormas seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk menyosialisasikan-dan bahkan mempropagandakan-kepentingannya, mengapa kedua ormas yang menggurita ke seluruh pelosok desa Nusantara itu tidak turut serta mengampanyekan hemat listrik.

Bukankah tugas ini sama pentingnya dengan meminta masyarakat menjauhi pornografi atau tempat maksiat dan mesum. Ini adalah tugas sosial yang juga memiliki dampak religius.

Menggunakan sesuatu yang berlebihan itu dalam doktrin agama dapat dikategorikan sebagai tindakan mubazir yang dicela Tuhan. Demikian pula tindakan menghambur-hamburkan listrik, jelas tidak sehat bagi kantong dan keberlanjutan sumber energi negeri kita yang makin hari, kian berkurang. Sekali lagi kita diuji untuk hidup sederhana, hemat dan bersahaja.*** [Pikiran Rakyat, 22 April 2006]

Penulis, analis politik pada Centre for Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta.

No comments: