Wednesday, May 23, 2007

Lapindo & Kedermawanan Negara

Oleh Moh Samsul Arifin

Kontras benar apa yang dialami warga empat desa korban semburan lumpur Lapindo—Siring, Jatirejo, Renokenongo, dan Kedungbendo—dengan PT Lapindo Brantas yang memperoleh hak eksploitasi sumur gas di Porong. Sebagian besar warga di sana belum mendapat uang muka 20 persen dari total dana jual beli aset (bukan ganti rugi yang secara keliru digunakan media massa) milik warga yang tenggelam. PT Minarak Lapindo Jaya baru akan membayar jika warga dapat menunjuk sertifikat kepemilikan. Sedangkan warga pemilik pethok D atau letter C harus menunggu.

Begitulah nasib korban lumpur Lapindo. Beradu punggung dengan nasib PT Lapindo Brantas yang justru diayomi pemerintah. April lalu, Presiden SBY telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14/2007. Perpres ini menyebutkan, dana perbaikan infrastruktur yang meliputi kanal dan tanggul permanen, pembebasan tanah dan pembangunan jalan arteri Porong-Gempol, serta relokasi rel kereta api akan ditanggung pemerintah. Total dana sebesar Rp 3,7 triliun akan diambil dari APBN, Rp 2 triliun di antaranya bakal dimasukkan dalam APBN-P 2007.

Keputusan ini membenarkan dugaan bahwa pemerintah akan mengambil alih penanganan lumpur Lapindo. Saat ini pemerintah menalangi 50 persen dari total dana sebesar Rp 7,6 triliun yang dibutuhkan untuk menangani muntahan lumpur Lapindo. Kontras dengan Kepres 13/2006 yang meminta PT Lapindo Brantas untuk bertanggung jawab penuh atas semua biaya akibat luapan lumpur yang terjadi sejak akhir Mei 2006 tersebut.

Perubahan drastis ini melukai rasa keadilan. Bayangkan, Lapindo Brantas hanya dibebani untuk membayar aset warga—tanah, sawah, rumah dan lain-lain—yang menenggelamkan puluhan desa di Porong, Sidoarjo. Untuk hal ini pun, Lapindo baru akan membayar 20 persen dari nilai aset warga. Selebihnya akan dibayar dalam tempo dua tahun mendatang. Logika bayar 20 persen di muka ini mengandaikan semburan lumpur masih dapat ditutup dan mengesampingkan prediksi bahwa semburan di Porong itu menuju game over.

Mengapa pemerintah sangat dermawan? Dibandingkan para penerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia—yang majoritas kini mengemplang dana tersebut—perusahaan milik Grup Bakrie itu lebih istimewa. Dalam skenario BLBI, para konglomerat yang menerima dana itu diwajibkan membayar di kemudian hari.

Tapi, dalam masalah lumpur Lapindo, Lapindo Brantas sama sekali tidak diminta “membayar” biaya memperbaiki infrastruktur yang diambil pemerintah dari APBN 2007. Sungguh menyayat rasa keadilan! Padahal, ada kesalahan dari Lapindo Brantas, yakni alpa memasang selubung bor (casing) secara tepat saat mengebor sumur Panji-1. Pemerintah pun, tak berinisiatif untuk mencari siapa yang harus bertanggungjawab atas kecerobohan yang membuat ratusan ribu jiwa kehilangan rumah dan pekerjaan tersebut.

Apakah dana sebesar Rp 3,7 triliun itu merupakan “biaya bencana”? Ini tidak jelas benar. Dalam sebuah rapat kabinet terbatas akhir November 2006, Presiden SBY menyebut luapan lumpur Lapindo di Porong sebagai disaster (bencana). Namun, hingga kini, pemerintah belum pernah menyatakan secara resmi bahwa luapan lumpur Lapindo sebagai bencana nasional.

Nimbrungnya pemerintah menalangi biaya perbaikan dan relokasi infrastruktur di Porong ini, hemat saya, berkaitan erat dengan sikap DPR. Komisi Infrastruktur (V) termasuk yang mendesak pemerintah untuk “menekel” penanganan luapan lumpur Lapindo ini dengan menetapkannya sebagai bencana nasional.

Komisi berdalih, dengan ditetapkan dalam kategori bencana nasional, nasib korban akan lebih terang-benderang. Yang mengherankan, mengapa Komisi kurang bergigi menuntut Lapindo Brantas untuk bertanggungjawab. Alih-alih “menekan” Lapindo, Komisi terkesan melempar sinyal kepada pemerintah untuk membuat kebijakan tidak populer ihwal lumpur yang menyedot perhatian publik sejak 11 bulan lalu itu.

Selain “desakan vertikal” (dari domain politik), kebijakan tak populer SBY juga di-fait accompli oleh situasi faktual di lapangan. Kian hari, luapan lumpur bergerak menyamping dan meluas. Jalan arteri dan rel kereta api yang menghubungkan Surabaya dengan Malang dan Banyuwangi terendam. Jangan tanya jalan tol Porong-Gempol, ruas ini sudah ditutup secara permanen pada November 2006. Kelumpuhan jalur transportasi ini tentu berimbas pada ekonomi Sidoarjo dan Jawa Timur secara umum. Bagaimanapun dua faktor ini ikut dan pasti dihitung oleh pemerintah.

Dalam hal ini, dapat dibandingkan dengan situasi pra pencairan dana BLBI tahun 1998 lalu. Untuk menyelamatkan perbankan dari kebangkrutan dikucurkanlah dana ratusan triliun. Sebuah langkah yang diketahui dan direstui IMF, Bank Dunia, dan ADB sejak awal. Hingga sekarang, penyelesaian terhadap para pengemplang dana BLBI belum tuntas. Sebaliknya pemerintah terus memperpanjang tenggat waktu pada konglomerat-konglomerat hitam untuk membayar utang mereka, termasuk dalam skenario Menkeu lewat beleid terakhir.

Belakangan dana BLBI tersebut secara keliru dianggap sebagai “biaya krisis”. Sebuah terminologi salah kaprah yang sering disebut petinggi BPPN dan pemerintah. Dengan cara pandang semacam itu, pemerintah dan BPPN (di masanya) lumayan toleran terhadap pengemplang BLBI. Akibatnya, ratusan triliun rupiah (yang sesungguhnya uang rakyat) menguap tanpa menghasilkan dampak positif untuk memperbaiki ekonomi Indonesia.

Lalu, kini pemerintah memasukkan “dana bencana” tak resmi untuk memperbaiki dan membangun infrastruktur di Porong yang terkena dampak lumpur Lapindo. Bagaimana mempertanggungjawab ini semua kepada publik?

Penulis tidak habis pikir dengan logika yang dibangun pemerintah. Sudah menerbitkan kebijakan tak populer—dan memberatkan APBN—pemerintah berencana mencarikan dana talangan itu dengan mengutang ke Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Utang sebesar sebesar Rp 4,4 triliun--atau 1,7 miliar dolar AS setara Rp 15,3 triliun versi Kepala Bappenas Paskah Suzetta—ini tak lain untuk menutup defisit anggaran tahun 2007. Ditaksir defisit anggaran membengkak, dari 1,1 persen dari produk domestik bruto (Rp 40,6 triliun) menjadi 1,5-1,8 persen dari PDB (Rp 56,9-68,3 triliun).

Poin berutang kembali untuk menutp defisit—sekaligus menalangi bencana akibat ulah Lapindo—ini tentu saja tidak fair. Pertama, Pemerintahan SBY telah meritul CGI—badan yang selama ini menjadi donatur pendanaan terhadap Indonesia. Lagipula, pemerintah pada Oktober 2006 sudah putus hubungan dengan IMF. Saat itu, Bank Indonesia melunasi seluruh pinjaman sebesar 3,181,742,918 dolar AS dari badan multilateral tersebut untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam menyusun dan melaksanakan program pembangunan ekonomi dalam negeri.

Kedua, dengan berutang kembali pada Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, ini sama saja dengan “menjerat” anak-cucu kita kelak untuk membayar dari kecerobohan PT Lapindo Brantas.

Ketiga, ternyata pola hubungan antara pengusaha dan penguasa masih bercorak patron-client. Pemerintah masih belum mampu bersikap tegas terhadap pengusaha (konglomerat)—yang menjadi bagian dari kekuasaan—karena diandaikan sebagai penarik geliat dan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.

Di masa Orde Baru, aset dan sumber kekayaan alam digunakan untuk memperkaya pengusaha di sekitar atau dekat dengan kekuasaan. Sedangkan pejabat negara mengambil rente lewat serangkai kolusi, korupsi dan manipulasi. Maka, saat ini pengusaha dibebaskan dari beban kesalahan, kendatipun si pengusaha atau korporasi itu terindikasi kuat ceroboh sehingga menyebabkan ratusan ribu jiwa terkena dampak aktivitasnya. [April 2007]

*) Staf Litbang di sebuah stasiun televisi swasta.

No comments: