Thursday, May 31, 2007

Rekonsiliasi, Korban & Tanggungjawab Negara

PERJALANAN sebuah bangsa mengarungi peradaban memerlukan syarat yang tidak ringan, yakni mampu memaafkan masa lalu. Masa lalu itu, bisa jadi peristiwa-peristiwa yang menyimpan traumatik pada anak bangsa atau sejarah yang gelap gulita karena telah direkayasa oleh kepentingan perorangan, kelompok, atau penguasa. Sebagai sebuah memori, masa lalu itu tak mungkin dilupakan, ia hanya bisa ”dimaafkan”. Inilah yang menjadi ruh rekonsiliasi (ishlah). Seseorang (korban) boleh trauma atas kejadian yang menimpanya, tapi pelaku (individu, kelompok, atau negara) diberi kemungkinan untuk minta maaf atas apa yang pernah dibuat mereka.

Namun demikian, pekerjaan besar, penting, dan pokok itu belum terwujud hingga lima tahun reformasi ini. Kepemimpinan nasional sudah berganti tiga kali, tapi rekonsiliasi tetap sunyi-senyap. Pada era Habibie, secara elegan pemerintah telah memulai rekonsiliasi misalnya dengan menyudahi DOM di Aceh, serta melepas tapol/napol. Lebih substantif, Abdurrahman Wahid meneruskan langkah pendahulunya dengan mengusulkan pencabutan Tap MPRS XXV/1966. Tap ini dianggap memberangus eksistensi ajaran Marxisme di Tanah Air.

Dan saat ini rekonsiliasi bukan bertambah mulus, sebaliknya justru tersendat-sendat. Artikel ini berupaya mencari tahu ”batu sandungan” rekonsiliasi serta membabar syarat yang harus dipenuhi dalam rangka melaksanakannya.

Dalam kredo rekonsiliasi, pendefinisian siapa itu korban dan pelaku adalah niscaya. Sebab, ini menentukan langkah yang tak dapat mundur (point of no return). Istilah korban seperti termaktub dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, paragraf 1 dan 2 merujuk kepada orang yang secara perorangan atau kelompok menderita kerugian, termasuk cedera fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak dasar mereka.

Termasuk dalam istilah korban—sejauh yang dipandang tepat—keluarga langsung atau orang yang secara langsung berada di bawah tanggungan para korban dan orang-orang yang telah mengalami penderitaan dalam membantu para korban dan orang-orang yang telah mengalami penderitaan dalam membantu para korban yang sengsara atau dalam mencegah orang-orang agar tidak menjadi korban.

Korban berhak mendapatkan pemulihan (reparasi), restitusi, kompensasi, hingga rehabilitasi. Hal itu terutama berlaku pada para korban tindakan pelanggaran berat HAM (Hak Asasi Manusia). Reparasi adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material ataupun nonmaterial bagi para korban pelanggaran HAM. Restitusi merupakan kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang diderita, penggantian biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sendiri.

Kompensasi merupakan kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam bentuk seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah. Sedangkan rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan sosial.

Pakar HAM semacam Profesor Van Boven, malah memasukkan aspek kepuasan (satisfaction) dan jaminan tak terulangnya pelanggaran (guarantees of non-repetition) sebagai bagian dari bentuk-bentuk reparasi yang menjadi tanggung jawab pelaku, khususnya yang terkait dengan konflik vertikal negara dengan masyarakat.

Lantas apa yang harus dilakukan pelaku? Secara umum, pelaku wajib menyatakan penyesalan alias merasa bersalah. Pada kasus yang melibatkan negara, ada ”tanggung jawab negara” (state responsibility) yang langsung ikut serta pada setiap tindakan pelanggaran HAM. Yang dimaksud state responsibility adalah bentuk pertanggungjawaban negara kepada seluruh masyarakat internasional (erga omnes) dan bukan hanya tertuju kepada suatu negara yang dirugikan (injured state).

Pendefinisian di atas mengajak kita untuk senantiasa masuk wilayah hukum dalam penyelesaian konflik. Oleh karena itu, sebelum rekonsiliasi ditempuh, korban dan pelaku mesti dimediasi oleh hukum. Dengan demikian proses hukum harus berjalan, baik sebelum dilakukan rekonsiliasi atau bahkan ketika dua pihak sudah sepakat berdamai. Dalam semangat rekonsiliasi, kesepakatan berdamai antara kedua belah pihak tak boleh ”membeli” atau ”menyudahi” proses hukum. Karena itu, rekonsiliasi dapat dikatakan ”gentlement agreement” dari pihak pelaku dan korban bahwa kasus yang menimpa mereka sudah dapat diselesaikan dengan sama-sama menang (win-win solution).

Menyimak perjalanan reformasi di negeri kita, tampaknya rekonsiliasi belum dapat diwujudkan, karena empat hal. Pertama, persepsi atas rekonsiliasi masih belum mengerucut pada kesimpulan yang sama. Inilah yang membuat setiap usaha memulai rekonsiliasi oleh pemerintah menuai kritik, bahkan pro dan kontra. Presiden Abdurrahman Wahid pernah merasakan hal itu ketika dia menggagas rekonsiliasi dengan korban PKI justru menuai protes hebat, 2000 silam. Abdurrahman Wahid yang punya pretensi membangun kerukunan sesama anak bangsa gagal memahamkan publik luas, malah ia panen penolakan dari kalangan Islam.

Kedua, para pelaku yang diduga melakukan pelanggaran HAM bersikukuh menyatakan tidak terlibat—apalagi merasa bersalah atas beberapa peristiwa yang mencoreng sejarah bangsa. Coba perhatikan 12 peristiwa—yang menurut ELSAM mempertautkan konflik vertikal antara negara dan masyarakat—sepanjang 1959-1998 hampir semuanya masih ”gelap”.

Aksi sepihak dan penangkapan tokoh-tokoh Masyumi/PSI dengan korban dari pihak Islam; pembantaian terhadap warga sipil yang diduga terlibat PKI (G 30 S/PKI); penahanan politik di kamp Pulau Buru 1969-1979 (korban kelompok komunis); kasus Komando Jihad 1980-an (korban kelompok Islam); Kasus DOM Aceh 1989-1998 (korban sipil); kasus Tanjung Priuk (korban kelompok Islam); kasus Lampung (korban kelompok Islam); Peristiwa 27 Juli 1996 (korban simpatisan/warga PDIP), kasus Papua (korban sipil); kerusuhan Mei 1998 (korban masyarakat luas, terutama etnis Tionghoa); kasus Timor Timur (korban sipil) yang diduga melanggar HAM sejauh ini belum dapat diselesaikan.

Ketiga, perspektif korban nyaris dilupakan. Dalam polemiknya dengan Goenawan Mohamad, Pramudya Ananta Toer secara sinis menolak dilakukan rekonsiliasi menyangkut peristiwa 1965. Bagi Pengarang Bumi Manusia itu, rekonsiliasi sekadar basa-basi kalau justru menerjang keadilan dan hukum yang semestinya ditegakkan. Pram mendesak agar semua pelanggaran terhadap kemanusiaan diadili dan si pelaku dihukum sesuai dengan prinsip moral di mana setiap orang harus mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Perspektif korban seperti dituturkan Pram itu, sayang sekali jarang dipertimbangkan bangsa ini. Alih-alih mengakomodasinya, para pengkhotbah rekonsiliasi terjebak pada mitos bahwa bangsa ini adalah bangsa pemaaf, tanpa melakukan cross check bagaimana sebetulnya kenyataan yang hidup di tengah masyarakat. Di sinilah kita perlu membangun kepedulian kepada korban dengan cara yang simpatik dan empatik.

Keempat, terlampau bertumpu pada negara. Pelbagai pihak terkesan menganggapkan peran institusi seperti KKR sangat sentral dan tidak tergantikan. Padahal KKR hanya salah satu medium untuk melaksanakan rekonsiliasi nasional. Dalam KKR, penyelesaian hukum dapat diselesaikan secara sistematis dan terorganisasi dengan baik. Jadi, kedua belah pihak yang berkonflik bisa sama-sama puas atas keputusan yang ditetapkan lembaga tersebut.

Kendati demikian, keberadaaan KKR tidak lantas menihilkan bentuk rekonsiliasi lainnya yang dapat dimediasi oleh perorangan, kelompok atau civil society. Apabila seluruh hal diurus oleh KKR, itu sama dengan mengabsahkan etatisme—yang justru hendak diminimalkan oleh gerakan reformasi. Hemat penulis, selain lewat lembaga formal, pendekatan non-negara perlu pula dipertimbangkan. Rekonsiliasi di tingkat akar rumput, misalnya lewat dialog boleh jadi dapat menyembuhkan luka korban secara permanen.

Metode seperti ini pernah ditempuh NU (di Blitar) dan keluarga korban yang dicap PKI ketika mengadakan silaturahmi untuk saling memaafkan peristiwa 1965. Masuk akal kalau sebagian pihak menolak jika seluruh proses rekonsiliasi dilakukan melalui mekanisme KKR. Karena KKR, memang bukanlah malaikat yang bersih sama sekali dari kemungkinan intervensi pihak-pihak yang berkepentingan. [Sinar Harapan, 11 Juli 2003]

*) Peneliti pada Centre for Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta

No comments: