Thursday, June 28, 2007

PKS Menang di "Rumah Sendiri"

Oleh Moh Samsul Arifin

KEHADIRAN
K.H. Abdurrahman Wahid pada kampanye pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad tak dapat mendongkrak simpati warga Depok untuk mencoblos mereka dalam pemilihan wali kota/wakil wali kota, 26 Juni lalu. Berdasarkan data yang dikumpulkan sementara ini, pasangan yang diusung oleh Partai Golkar dan PKB itu memperoleh 204.675 suara atau 38,86 persen.

Angka tersebut di bawah pasangan Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra yang memperoleh 231.819 suara atau 44,01 persen. Di belakang dua pasangan ini ada pasangan Yusuf Ruswandi-Soetadi Dipowongso dengan 34.401 suara atau 6,53 persen. Setelah itu, pasangan Abdul Wahab-Ilham Wijaya dengan 31.796 suara (6,04 persen) dan pasangan Harun Heryana-Farkhan dengan 24.003 suara atau 4,26 persen (Pikiran Rakyat, 29/6). Meski demikian, di Depok sang pemenang belum dipastikan.

Namun tidak demikian dengan pilkada di Kabupaten Sukabumi. Menurut hasil tabulasi perolehan sementara yang diumumkan Sekretariat KPUD Sukabumi, Rabu (29/6), pasangan Sukmawijaya-Marwan Hamammi meraup 423.656 suara atau 43,12 persen dari total suara yang masuk. Suara pasangan yang diusung koalisi empat partai (PKS, PKPB, PKB, dan PAN), berhasil mengungguli rival terberatnya, pasangan Lukas Mulyana-Dayat Wiranta.

Pasangan Lukas-Dayat yang dicalonkan oleh Partai Golkar memperoleh suara sebanyak 322.776 suara atau 32,85 persen dari suara yang masuk. Pasangan Ucok Haris Maulana Yusuf-Teddy Nurhadie dari PDIP menempati posisi ketiga dengan meraih 128.480 suara (13,08 persen). Urutan terakhir ditempati pasangan Asep Ruhiyat-Yusuf Puadz dari PPP (67.549 suara atau 10,95 persen).

Tingkat partisipasi warga Sukabumi dalam pilkada mencapai 70 persen, jauh lebih baik dari pilkada di Depok. Angka warga yang tak menggunakan hak pilih atau tidak mencoblos alias golput belum pasti. Namun pantauan Pusat Kajian Politik UI di 80 TPS, menemukan hampir 38 persen pemilih yang sebelumnya telah terdaftar, ternyata tidak datang untuk memberikan suara.

Data empiris di atas membuktikan dugaan saya sebelumnya (lihat "Mengapa Harus Golput?", Pikiran Rakyat, 27/6) bahwa tingkat partisipasi warga Sukabumi akan jauh lebih bagus ketimbang warga Depok. Warga Sukabumi yang sebagian besar tinggal di pedesaan (rural), tradisional umumnya lebih dapat digerakkan (dimobilisasi), dan lebih memiliki kedekatan emosional dengan daerah dan pasangan yang bersaing dalam pilkada.

Golput sekira 38 persen di Depok--sebagian lagi menyebut 40-41 persen-layak dicermati. Ini diatas rata--rata nasional. Kita sudah tahu bahwa pilkada di Depok dise-lenggarakan pada hari libur yakni hari Minggu, sehingga warga di sana tidak terkendala pekerjaan/rutinitas untuk melangkahkan kaki ke TPS. Apakah itu berarti warga Depok tengah unjuk gigi akan kemandirian mereka? Lantas, apa kemandirian atau otonomi politik itu digunakan untuk menginterupsi atau bahkan bentuk protes dan ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi yang tengah berlangsung?

Jawaban ini bisa diuji di lapangan. Seorang kawan berusia di atas 50-an berujar, "Saya tidak tertarik lagi dengan proses-proses pemilihan. Pilpres saja saya tidak mencoblos, apalagi pilkada," sebutnya. Bekas wartawan Jakarta Post ini tidak asal bicara, karena untaian kalimat tersebut berasal dari kristalisasi sikap atas pandangannya terhadap politik nasional. Meskipun sikap politiknya dekat dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tidak otomatis menggerakkannya untuk memilih pasangan Nurmahmudi-Yuyun. Pada situs milik Depok Metro, tertulis beberapa pesan warga untuk Badrul Kamal, sang incumbent yang sementara ini dikalahkan pasangan Nurmahmudi-Yuyun. Rubrik "Pesan untuk Badrul Kamal" jauh dari menyenangkan kubu incumbent.

Seorang warga menulis pesan, "Tolong pesan buat Badrul Kamal ... mending dia mundur aja jangan ikut pilkada ...siap-siap dipanggil KPK buat APBD 2003 ...(soalnya) management letterdah di meja KPK". Yang lain menulis, "Saya warga RW 10 Abadijaya, kami dan teman-teman sudah minta jalan di RW kami diperbaiki serta pengadaan gerobak sampah lewat proposal sejak bapak memerintah, kok sekarang baru direalisasikan setelah bapak tidak menjabat lagi (apa karena pilkada supaya warga kita milih bapak) jangan-jangan uangnya juga dari kas daerah tetapi diklaim dari Bapak". Dalam rubrik pesan itu banyak sekali suara-suara minor untuk Badrul, entah itu mencerminkan opini aktual warga karena ditulis mereka sendiri sebagai individu atau itu bentuk pembunuhan karakter oleh lawan/pihak-pihak yang tak menginginkan Badrul memimpin kembali Depok. dan laporan akhir

Yang pasti, jika diandaikan suara-suara itu benar alias apa adanya, ternyata warga Depok memiliki catatan atas rekam jejak (track record) para calon. Pengetahuan warga atas rekam jejak itu akan mengalihkan pilihan mereka dari incumbent ke para pasangan calon lain, khususnya yang bervisi alternatif.

Kritisisme warga Depok itulah antara lain yang membantu kemenangan Nurmahmudi-Yuyun dalam pilkada kali ini. Pasangan tersebut tercitrakan sebagai memiliki jejak rekam bersih, apalagi mereka diusung oleh PKS yang merupakan "penguasa" parlemen lokal (DPRD Kota Depok).

Bagi PKS sendiri, kemenangan mantan Presiden PKS itu ibarat kemenangan di "rumah sendiri", sebab di sinilah massa tradisional PKS terbesar berada. Depok cukup identik dengan Universitas Indonesia. Sebagian besar aktivis masjid di kota ini kalau bukan aktivis PKS, pastilah konstituen atau simpatisan PKS.

Selain modal rekam jejak yang bersih, agaknya mesin politik PKS bekerja efektif dalam memenangkan bekas presidennya ke kursi wali kota. Validasi dari statemen ini memang perlu diuji, karena kita perlu melihat kongruensi data pemilih PKS yang memberikan suara kepada partai ini dalam pemilu legislatif dan pilkada.

Bagaimana dengan popularitas? Dari sisi ini, tentu saja nama Nurmahmudi memiliki popularitas yang lebih tinggi ketimbang Yuyun. Dengan pernah menduduki jabatan tertinggi partai, nama Nurmahmudi harum, apalagi ia juga bekas menteri di Kabinet Persatuan Nasional di masa Gus Dur. Dalam pola pemilihan paket seperti pilkada langsung ini, secara tidak langsung mata warga akan tertuju kepada nama calon wali kotanya (orang nomor satu).

Namun demikian, tidak fair jika Yuyun dianggap tak memiliki peran dan kontribusi. Sistem paket bagaimanapun meniscayakan kepaduan antara dua nama yang diajukan sebagai calon wali kota/wakil wali kota. Jusuf Kalla dalam pilpres lalu telah membuktikan bahwa sekalipun ia diplot (dan cocok) sebagai wapres, tidak berarti posisi tawarnya di hadapan pasar politik kecil. Kalla diperebutkan banyak calon presiden saat itu: sejak Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Karena Mega lambat melamar, maka Kalla memutuskan mengambil pinangan Yudhoyono. Pilihan itu ternyata berharga tinggi di pasar politik, sehingga mereka terpilih sebagai presiden dan wapres. Pascapilpres, mereka saling melengkapi untuk membentuk kinerja kabinet Indonesia Bersatu yang solid.

Pilkada di Depok dan Sukabumi melambungkan PKS. Berkoalisi dengan PKPB, PKB, dan PAN, partai dakwah tersebut mengantar Sukmawijaya-Marwan Hammami ke kursi bupati/wakil bupati di Sukabumi. Ini memastikan "dominasi" PKS di daerah lingkaran/seputar Jakarta seperti Pemilu 2004. Khusus di Jawa Barat, dalam pemilu legilatif lalu, PKS menguasai Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Depok, Bekasi. Pantas kalau Golkar jauh lebih mewaspadai PKS ketimbang partai besar lainnya, karena partai dakwah ini memiliki organisasi yang rapi dan didukung konstituen yang fanatis.

Pada pilkada di 121 kabupaten dan kota sepanjang Juni 2005, dari 82 kabupaten dan kota yang dipantau, Partai Golkar hanya menguasai 29 kabupaten dan kota. Padahal, pada pemilu legislatif April 2004, partai ini menguasai hingga 50 kabupaten/kota. Bukan hanya Golkar yang kelimpungan, PDIP dan PKB juga merasakan hal sama. Sebagai "Partai penguasa Jawa Timur", PKB kalah di Lamongan, Surabaya, Sumenep, Situbondo, Banyuwangi. Diduga ini tidak terlepas dari kemelut yang terjadi dalam tubuh partai ini, setelah terjadi pro- kontra atas kemimpinan dua kubu berbeda, Muhaimin Iskandar dan Alwi Shihab (Pembaruan, 1/7).

Ada isyarat, partai politik tidak lagi mengakar dalam pilkada. Namun, partai-partai kecil yang memiliki calon populer di masyarakat berhasil menempatkan calonnya sebagai pemenang. Di kabupaten Sintang, Kalimantan Barat misalnya, calon yang diusung PDS dan Partai Pelopor berhasil mengalahkan pasangan calon partai-partai besar. Demikian juga di Minahasa Utara atau Seluma (Kompas, 28/6).

Pola yang sama sudah terjadi di Depok dan Sukabumi, dengan PKS sebagai the ruling party. Apakah dalam pilkada di Kabupaten Bandung, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Karawang, pola sama akan terjadi? Partai-partai kecil pengusung nama popular bakal merontokkan keperkasaan mesin politik partai besar. Kelewat berspekulasi apabila dijawab sekarang. Selain tiga kabupaten tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan dua daerah yang telah menyelenggarakan pilkada, proses politik pilkada di daerah yang dikuasai Golkar dan PDIP lagi berlangsung.

Dari tiga daerah yang akan menyelenggarakan pilkada tersebut patut dicermati. Apakah sang incumbent akan kembali bertarung. Di Indramayu misalnya, bupati yang sempot bikin heboh karena edisi Alquran yang dilengkapi foto dirinya akan ikut bertarung lagi, termasuk juga kemungkinan di Karawang dan Kabupaten Bandung. Betulkah incumbent akan kembali menjabat, waktu yang akan menjawabnya. [Pikiran Rakyat, 4 Juli 2005]

Wednesday, June 27, 2007

Akankah Mimpi Menjadi Nyata di Aceh?

Oleh Moh Samsul Arifin

SEBUTLAH Juha Cristensen (47), dipastikan publik akan geleng-geleng kepala mendengarnya. Sosok satu ini kalah populer dengan Martti Ahtisaari, bekas Presiden Finlandia yang memfasilitasi perundingan maraton Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berakhir 17 Juli lalu. Memakai nakhoda Crisis Management Inisiative (CMI), Ahtisaari telah menggalang damai di bumi Serambi Mekah sejak 27 Januari atau sebulan selepas tsunami menghumbalang Aceh.

Juha adalah orang di balik layar yang menghubungkan tiga pihak, yakni Ahtisaari (CMI), sebuah keluarga Makassar yang tinggal di Helsinki serta tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Swedia. Profesi Juha adalah konsultan bisnis di Helsinki dan termasuk salah satu staf ahli di CMI. Juha mengenal Makassar, sebab di tahun 1990-91 silam, ia pernah menemani istrinya, Pirkko Christensen (43), untuk meneliti bahasa di ibukota Sulawesi Selatan itu.

Karenanya, tak heran jika pasangan ini tetap menjalin kekerabatan dengan satu keluarga Indonesia asal Sulawesi yang kebetulan tinggal Helsinki. Kenalan Juha ini nantinya mengontak kerabatnya, seorang pejabat yang juga asal Makassar, Farid Husain. Dirjen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI ini lalu mengontak Jusuf Kalla yang merespons baik usulan penyelesaian Aceh lewat perundingan. (selengkapnya lihat majalah ACEHKITA, edisi khusus terbit Agustus 2005).

Selain Ahtisaari dan Juha, perundingan informal di Helsinki menjadi mungkin--dan karenanya rasional di mata para pihak konflik--berlaitan perubahan karakter konflik yang telah bertakhta di Aceh hampir tiga dekade.

Paling kurang ada dua penjelasan mengapa karakter konflik berubah. Selepas tsunami menerjang tanah rencong, daerah ini telah menjadi daerah terbuka. Masyarakat internasional (LSM-LSM asing) dan pasukan asing berebut "kaveling" untuk membantu masyarakat korban tsunami dalam misi kemanusiaan. Kecuali pasukan asing yang telah keluar Aceh, sejak 26 April silam, LSM-LSM internasional tetap bermukim di bumi Teuku Umar ini.

Keterbukaan ini telah "memaksa" dua pihak untuk kembali ke meja perundingan, karena hirau dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi di provinsi yang kini intim dengan gempa tersebut. Pascatsunami menurut BMG setempat sedikitnya 5.627 kali gempa mengguncang Aceh. Indonesia memiliki kepentingan untuk menarik kepercayaan (trust) negara internasional agar komitmen bantuan yang dijanjikan benar-benar dapat dicairkan.

Sebaliknya GAM yang memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat korban tsunami, tak mungkin menutup mata dengan bencana yang membikin Aceh rata dengan tanah tersebut. Inilah mengapa GAM--yang sudah lemah (versi TNI tinggal 1.212 personel dengan 445 pucuk senjata)--meminta gencatan senjata sejak awal tsunami. Dan seterusnya, GAM makin realistis dengan menurunkan tuntutan mereka dalam perundingan Helsinki (I-IV). Opsi merdeka ditutup rapat, sebaliknya GAM gencar meminta partai politik lokal.

Dalam Helsinki V (12-17 Juli), kedua pihak sepakat untuk menuangkan butir-butir yang disepahami dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang akan ditandatangani Agustus mendatang. MoU melingkupi beberapa hal seperti pemerintahan di Aceh, termasuk hukum, partisipasi politik, ekonomi, dan penegakan hukum. Kedua pihak juga sepakat menuangkan masalah hak-hak asasi manusia, amnesti dan mengintegrasikan kembali GAM ke dalam masyarakat, pengaturan masalah keamanan, pembentukan Misi Pemantauan Aceh (Aceh Monitoring Mission), dan permasalahan permukiman/perumahan.

Sebelum Helsinki V, pemerintah menawari GAM untuk bisa ikut dalam pilkada di Aceh. Selain jabatan gubernur, mereka boleh berpartisipasi asal dicalonkan melalui parpol yang telah ada. Seterusnya kedua pihak dikabarkan sepakat soal partai lokal ini, dan RI akan memberi kata putus dalam 18 bulan mendatang. Tentu saja setelah mendapat persetujuan parlemen (DPR).

Saking banyaknya pihak yang kontra soal partai lokal ini, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) menyatakan, dalam perundingan informal di Helsinki tidak ada kesepakatan terkait pembentukan partai politik (parpol) lokal. Menurutnya, hak dan kewajiban mantan anggota GAM sama dengan warga negara Indonesia lainnya jika mereka sudah mendapatkan amnesti (Pembaruan, 22/7).

Partai lokal memang sensitif. Sejauh ini, UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum mengaturnya. Untuk bisa terdaftar di Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan HAM), sebuah partai mesti mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah provinsi, 50 persen dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25 persen dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan (Pasal 2 ayat 3 huruf b).

Itu artinya parpol yang diakui harus bersifat nasional dan karena memiliki kantor pusat di Jakarta. Agar partai lokal hadir di Aceh, paling kurang harus dilakukan amendemen terhadap UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otsus atau UU Parpol.

Tapi secara sosiologis, partai lokal sebetulnya bukan barang baru dalam sejarah pemilu (politik elektoral) di Indonesia. Ini dapat ditilik dari sejarah dan fakta selama pemilu 1955 hingga era reformasi. Pada hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, karakter parpol yang bersifat "nasional" menurut UU No. 31 Tahun 2002 itu sebetulnya banyak beraroma "kedaerahan".

PAN sebetulnya layak disebut sebagai partai lokal Sumatera Barat pada Pemilu 1999. Demikian pula PKB, pada Pemilu 1999 dan 2004 konstituen partai bintang sembilan ini terkonsentrasi di Jawa Timur. Dalam Pemilu 1955, bahkan kita memiliki partai lokal yang memiliki suara signifikan di daerahnya.

Damai di Aceh

Helsinki adalah jalan kesekian dari proses menuju damai di Aceh. Sebelum Presiden Abdurrahman Wahid sudah mencobanya ketika RI-GAM menandatangani CoHA (Cessation of Hostilities Agreement), 9 Desember 2002 di Jenewa, Swiss. Saat itu dibentuk Komisi Keamanan Bersama (Joint Security Committee/JSC) terdiri atas unsur TNI/Polri, GAM de-ngan Henry Dunant Centre (HDC) sebagai fasilitator.

Tak ketinggalan dihadirkan personel militer asing untuk mengawal proses damai. Namun, CoHA berantakan ketika sudah sampai di fase demiliterisasi. Seorang aktivis mahasiswa Aceh bilang CoHA efektif selama dua pekan. Selebihnya pelanggaran demi pelanggaran dilakukan oleh kedua pihak, sehingga menggergaji proses damai.

Menurut hemat penulis, ada tiga pihak yang harus dicermati dalam rangka menciptakan damai di Aceh. Pertama, pemerintahan Jakarta, termasuk parlemen. Akibat tidak dilibatkannya parlemen dalam proses di Helsinki, beberapa anggota DPR meminta pemerintah menjelaskan secara detil butir-butir yang telah disepahami oleh RI-GAM. Satu fraksi yakni, PDI Perjuangan bahkan, tegas menolak perundingan dengan GAM.

Jusuf Kalla memang mengacuhkan PDI Perjuangan, karena baginya tanpa mereka, sudah 80 persen dukungan diperoleh pemerintah. Kalla bahkan mengatakan penandatanganan perjanjian damai RI-GAM pada 15 Agustus tidak memerlukan persetujuan DPR.

"Proses penyusunan dokumen perjanjian penghentian konflik sepenuhnya wewenang pemerintah. Jika perubahan undang-undang, baru kewenangan DPR. Intinya, sistem dengan DPR ratifikasi namanya. Ratifikasi itu dilakukan setelah undang-undang ditandatangani. Bukan sebelumnya dan bukan prosesnya. Semua proses dijalani, nanti ratifikasinya di DPR, bukan prosesnya diikuti DPR," ujarnya seperti dikutip Media Indonesia (23/7).

Kedua, sikap TNI/Polri. Sejauh ini TNI menyatakan akan mengikuti pemerintah. Pandangan demikian mesti dibuktikan di lapangan, sebab sungguh perlu keberanian besar untuk menarik pasukan, khusus non organik, yang ditaksir berjumlah 35-50 ribu personel. Dalam episode Aceh pasca-DOM (Daerah Operasi Militer) 1998, Presiden Habibie dan Jenderal Wiranto, berjanji menarik TNI dari Aceh. Kenyataannya selain ada penarikan, ada pasukan yang dikirim ke Aceh. Selepas DOM, kekerasan bukannya mereda. Namun, kian menganga.

Ketiga, GAM harus membuktikan bahwa mereka solid, perjuangan bawah dan atas (Swedia) adalah koheren dan bukan terbelah. Jika ada satu faksi saja di lapangan yang oposisi terhadap keputusan petinggi di Swedia, maka proses damai menjadi taruhan. Selebihnya, semua mata publik harus mengawasi front-front sipil yang kerap mengambil inisiatif namun kontraproduktif dengan misi perdamaian.

Kelewat sering Cut Nyak menangis. Momentum 17 Agustus 2005 nanti layak kita gunakan untuk "menggulung lengan baju" permusuhan. Rakyat Aceh sejak dulu sudah memberikan baktinya kepada Indonesia. Jangan lagi kepercayaan terhadap pemerintahan Yudhoyono-Kalla tercoreng pihak-pihak yang mengambil keuntungan di simpang jalan. [Pikiran Rakyat, 25 Juli 2005]

Tuesday, June 26, 2007

Setelah Mulyana, Siapa Lagi?

Oleh Moh Samsul Arifin

SEORANG
reporter televisi swasta tergesa-gesa masuk ke kantor Transparency International Kamis pekan lalu. Reporter itu sedang menguber Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Teten Masduki untuk dimintai keterangan terkait penangkapan Mulyana W. Kusumah yang dituduh menyuap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Yang dicari tengah sibuk rapat bersama sejawat LSM lainnya, semacam Hadar N. Gumay (Cetro) dan Emmy Hafild (TI) untuk menyikapi kasus Mulyana pula. Sang reporter sempat minta foto Mulyana untuk membikin feature sosok anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu. Namun, sayang staf TI menyatakan kantornya tak memiliki foto dimaksud.

Begitulah riuh-rendah media memberitakan kasus penyuapan Mulyana sepekan terakhir. Publik terheran-heran dengan kasus tersebut sebab Mulyana--setidaknya yang tertangkap dalam pemberitaan media selama ini--tergolong figur yang bersih. Kriminolog dari Universitas Indonesia ini termasuk tokoh yang membesarkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) semacam YLBHI atau KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu).

Ia ikut mendorong gerakan demokratisasi di tanah air. Sumbangsih pemikirannya juga cukup didengar khalayak. Pantas jika kemudian ia dipercaya untuk menjadi salah satu anggota KPU, mewakili unsur LSM.

Tapi, Mulyana terpeleset Jumat dua pekan lalu. Ia dituduh menyuap Khairiansyah, Ketua Subtim Pemeriksaan Kotak Suara Pemilu Legislatif 2004 BPK. Ketika digerebek KPK di kamar 609 Hotel Ibis Slipi Jakarta, terdapat uang berceceran di atas kasur Mulyana. Jumlahnya sebanyak Rp 150 juta, Rp 50 juta berupa uang cash dan Rp 100 juta berupa traveller's cheque (Pikiran Rakyat, 11/4). Empat lembar dengan nilai masing-masing Rp 25 juta.

Bukti tersebut membuat ia digelandang ke kantor KPK dan selanjutnya ia dikirim ke Rumah Tahanan Salemba Jakarta. Sebuah hotel prodeo yang juga dihuni Abdullah Puteh (Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam nonaktif), tersangka kasus korupsi dalam pengadaan helikopter Mi-2 Mil Rostov. Puteh telah divonis hukum sepuluh tahun oleh Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Senin pekan lalu.

Joel Krieger (1993) menyatakan, hakikatnya korupsi dapat dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, korupsi eksortif (extortive corruption) yang merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memeroleh sesuatu atau mendapatkan perlindungan atas hak-hak dan kebutuhannya.

Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption) yang merujuk pada usaha kotor yang dilakukan seseorang untuk memengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Dan ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption) yang merujuk pada perlakukan istimewa yang diberikan kepada anak-anak, keponakan, atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon.

Di samping itu ada pula korupsi subversif, yakni bentuk pencurian terhadap kekayaan negara. Korupsi ini dilakukan oleh pejabat, dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan mereka. Korupsi jenis ini bersifat subversif atau destruktif, karena negara akan dirugikan secara besar-besaran dan dalam jangka panjang dapat membahayakan eksistensi negara (Kata Pengantar M. Amien Rais dalam Proses Suksesi Politik, 1995)

Apa yang dilakukan Mulyana, termasuk kategori suap (bribery). Dengan cara tersebut, si pelaku ingin dibebaskan atau dilindungi dari kemungkinan dituduh telah melakukan korupsi. Dalam hal ini, tudingan korupsi oleh BPK telah dilawan dengan melakukan korupsi baru, yakni penyuapan. Inilah korupsi eksortif yang dicoba dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun bocor karena pihak yang hendak disuap tidak seia sekata.

Tuduhan korupsi terjadi karena kesalahan pemberian skor oleh KPU yang tidak berdasarkan kemampuan produksi secara faktual kepada PT Survindo Indah Prestasi (SIP). Kesalahan ini menyebabkan pembengkakan biaya hingga Rp 120 miliar.

Menurut Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih, pada 21 November 2003, KPU menetapkan PT SIP sebagai pemenang tender kotak suara. Namun, PT SIP gagal menyelesaikan pekerjaan yang mengakibatkan KPU mengalihkan pengadaan kotak suara ke PT Tjakrindo dan CV Almas. Pada 12 Mei 2004, terjadi selisih harga per unit antara PT Tjakrindo dan CV Almas sebesar Rp 1.315,00/unit. Negara dirugikan Rp 2,13 miliar. Seterusnya pada Juli 2004, biaya pengadaan kotak suara membengkak dari Rp 235,6 miliar menjadi Rp 355,62 miliar, naik Rp 120 miliar atau 51 persen. Demikian pula, biaya pengadaan bilik suara membengkak menjadi Rp 55,601 miliar. Negara dirugikan sekitar Rp 7,915 miliar (Media Indonesia,12/4).

Kasus suap Mulyana sekali lagi membuka tabir bahwa tindakan korupsi bisa dilakukan siapa saja dan di institusi apa pun. Entah itu lembaga perbankan, departemen pemerintah, badan usaha milik negara, perusahaan swasta, atau komisi-komisi bentukan pemerintah. Kalau kita mengikuti logika KPK yang menempatkan Mulyana sebagai tersangka, jelas ini merupakan pukulan telak terhadap tiga hal, yakni Komisi Pemilihan Umum, kredibilitas pemilu dan lembaga swadaya masyarakat.

Nila setitik rusak susu sebelanga. Apa yang dilakukan Mulyana bisa saja dimanfaatkan sebagian pihak yang apriori dengan KPU untuk mendelegitimasi peran penting lembaga tersebut. Seorang tokoh menyebut, "Nah lo benar kan KPU korupsi" untuk menyindir kredibilitas lembaga tersebut. Bisa saja hal tersebut diteruskan menjadi, "bagaimana kinerja mereka dapat dipertanggungjawabkan kalau pemilu dilaksanakan oleh oknum-oknum korup".

Dalam tradisi tumpas-kelor, pekerjaan oknum bisa digeneralisasi sebagai laku lembaga. Ini membahayakan dan dapat memercik konflik yang lain. Kasus suap ini haruslah dikunci sebagai tindakan individu--ataupun institusi jika nanti terbukti--dan tak harus mencederai peran dan kerja yang telah dilaksanakan institusi tersebut.

Karena itu tepat kalimat Hadar N Gumay, "tangkap tikusnya, jangan bakar rumahnya". Ini adalah persetujuan untuk mendukung pemberantasan korupsi, namun sebuah interupsi untuk tak melakukan generalisasi yang berujung delegitimasi terhadap KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum.

Bagaimanapun peran strategis KPU harus diselamatkan sebab sekarang saja ia ingin dikerdilkan lewat UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 Tahun 2005 berkaitan dengan pilkada. Mereka sekarang adalah penonton pilkada sebab pesta daerah ini tidak dimasukkan dalam rezim pemilu. Peran mereka makin mandul setelah Kepmendagri No. 120.05-110 Tahun 2005 menginstruksikan pembentukan Desk Pilkada yang terdiri atas unsur Depdagri, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan ahli. Desk ini memiliki tiga tugas, yaitu sosialisasi dan fasilitasi, politik dan kamtibnas, serta advokasi.

By the way, Mulyana memang menjadi pesakitan. Namun demikian, institusi tempat ia bekerja juga menanggung risikonya. Apalagi selama ini sejumlah pihak sudah mencibir di KPU terdapat oknum-oknum korup. Kredibilitas lembaga tersebut boleh jadi menuju titik nadir dengan tertangkapnya Mulyana. Maklumlah, Mulyana sebetulnya hanya kepanjangan tangan dari KPU, sehingga hal-ihwal yang dilakukan dia berkonsekuensi terhadap lembaga.

Mungkin karena itulah, dalam siaran pers tertulisnya, Jumat (15/4), Mulyana menyatakan bahwa seluruh proses serta pengambilan keputusan yang berujung penangkapannya sudah dibahas secara kolektif di lingkungan internal KPU. Mulyana menyebut proses penangkapannya telah melewati tujuh tahapan. Dalam tahapan tersebut, Mulyana menengarai muncul pemerasan dari sikap auditor yang kemudian dipersepsikan sebagai desakan "penawaran" tinggi. KPU secara kolektif lalu menerima "penawaran" tersebut berikut jumlah uang, proses, dan aktor eksekusi dari staf Sekretariat Jenderal KPU.

Kata Mulyana, ia terjebak karena tiba-tiba pegawai Sekretariat Jenderal KPU yang semula bertugas menyerahkan uang Rp 300 juta mendadak cuti, sementara auditor BPK hanya mau berhubungan dengan Mulyana. Putri sulung Mulyana, Gina Santiyana menyebut apa yang menimpa bapaknya sebagai pengorbanan dramatik (dramatic victimization) yang mustahil menempatkan Mulyana sebagai pengambil inisiatif dan proaktif karena terdapat sejumlah aktor yang intensif bergerak dalam proses tersebut (Kompas, 16/4).

Yang dilakukan Mulyana ini sebetulnya, pertama adalah pengumuman bahwa dirinya hanya "dikorbankan". Kedua, Mulyana ingin mengatakan bahwa apa yang terjadi tersebut merupakan keputusan kolektif KPU sebagai lembaga. Ketiga, ada skenario besar yang tengah berproses, dengan antara lain mengorbankan dirinya,dalam kasus tersebut. Ia ingin menyebut ada konspirasi, tapi dibahasakan secara halus dalam tujuh tahapan yang disiarkan ke pers.

Suara lirih Mulyana tersebut bagaimanapun harus dicamkan oleh KPK jika serius memberantas korupsi yang "beranak sungai" di tanah air. Mulyana sekadar kunci untuk membuka korupsi yang melibatkan banyak oknum di KPU. Di sini sisi keadilan harus diperjuangkan, jangan sampai Mulyana menjadi tujuan itu sendiri. Bagaimanapun memberantas korupsi seperti dikumandangkan Robert Klitgaard adalah projek melawan rasa malu, apatis, dan sia-sia.

Penangkapan Mulyana akan sia-sia jika KPK berhenti pada mantan pentolan KIPP itu. Sebagai lembaga "suberbody" KPK perlu didorong untuk menggunakan kewenangannya yang besar. Apalagi Keppres No. 59/2004 telah memberikan kewenangan besar kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai partner KPK. Pengadilan tipikor bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 2). Selain itu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar wilayah negara RI oleh warga negara Indonesia (Pasal 4).

Dalam skenario pemberantasan korupsi Presiden Yudhoyono juga telah menerbitkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004. Tak lama lagi Yudhoyono akan mengeluarkan instruksi yang akan jadi senjata Mabes Polri dan Kejaksaan Agung untuk mencokok para tersangka korupsi lain. Upaya ini akan memperkuat barisan pencokok korupsi, satu di tangan KPK dan pengadilan tipikor. Dan satu lagi di tangan Mabes Polri dan Kejaksaan Agung.

Dengan instrumen tersebut, bukan hanya Mulyana yang bisa dicokok. Para tersangka kasus BLBI semacam Sjamsul Nursalim, Bambang Sutrisno, Andrian Kiki Ariawan, Agus Anwar, Usman Admadjaja, Eko Adi Putranto, Samadikun Hartono, David Nusa Wijaya atau Shemy Konjongiang tinggal menunggu waktu untuk dibui. Apabila mereka itu dapat dicokok, acungan jempol publik bukan miliki Khairiansyah semata. Presiden Yudhoyono pun akan disanjung dan dipuji. Semoga ini bukan mimpi. [Pikiran Rakyat, 18 April 2005]

Sunday, June 24, 2007

Menghapus Nomor Urut Saja Tidak Cukup!

Oleh Moh Samsul Arifin

MERANCANG sistem pemilu yang representatif, sekaligus responsif terhadap konteks kebutuhan zaman dan masyarakat selalu tidak mudah. Patut ditimbang secara cermat, apakah yang dikehendaki adalah sistem yang mencerminkan keterwakilan secara proporsional atau sistem mayoritas (distrik) di mana sang pemenang mendapatkan semuanya. Memilih distrik atau first past the post (FPTP) berarti harus menerima risiko banyaknya suara yang hilang di sebuah daerah pemilihan (distrik).

Partai kecil, partai baru atau partai gurem yang belum mapan (establish) cenderung kurang diuntungkan dalam sistem pemilu legislatif yang menerapkan sistem distrik. Penyebabnya, sistem distrik tidak menghitung suara di luar milik parpol atau caleg yang menang di distrik tersebut. Beda, jika yang digunakan adalah sistem proporsional (tertutup) dengan mekanisme stembus accord (suara parpol dikumpulkan sehingga dapat dikonversi dengan kursi di parlemen).

Tapi, bukan sistem distrik saja yang ‘menghilangkan’ suara. Sistem proporsional (setengah) terbuka pun (seperti yang diterapkan pada Pemilu 2004) mengidap ‘penyakit’ sama. Saat itu, pemilih (voter) sudah dapat melihat daftar caleg dalam kertas suara. Pemilih tidak lagi membeli “kucing dalam karung” seperti dalam pemilu antara 1971 hingga 1999. Namun, sekalipun bisa mencoblos nama/tanda gambar caleg, pemilih tetap harus mencoblos tanda gambar parpol. Tanpa itu, suara pemilih tersebut dinyatakan tidak sah.

Sistem ini makin bermasalah ketika nomor urut masih diterapkan. Inilah yang membuat instrumen kuota atau bilangan pembagi pemilihan (BPP) kurang efektif. Kuota adalah harga satu kursi di sebuah daerah pemilihan. Kuota atau BPP merupakan bilangan yang diperoleh dari hasil pembagian antara total suara sah di sebuah daerah pemilihan (DP) dengan jumlah kursi yang tersedia di DP tersebut.

Bayangkan saja, pada 2004 lalu hanya dua anggota DPR yang mampu melewati kuota. Selebihnya, 548 anggota DPR lolos ke Senayan karena “diuntungkan” nomor urut. Menurut UU 12/2003, apabila tak ada caleg yang sanggup menembus kuota di daerah pemilihannya (DP). Maka kursi yang diraup partai politik diserahkan kepada caleg pemilik nomor urut jadi.

Para caleg sulit sekali menembus kuota, karena ambigunya sistem proporsional terbuka yang dianut negeri ini pada Pemilu 2004. Di satu sisi, membuka nama caleg kepada pemilih. Tapi, di sisi lain, mengharuskan pemilih mencoblos tanda gambar parpol. Bahkan, pemilih yang hanya mencoblos tanda gambar parpol, maka suaranya dinyatakan sah. Akibatnya kuota sulit ditembus dan caleg pemilik nomor urut jadi berjaya.

Kegagalan sistem proporsional (semi) terbuka itu dapat ditutup dengan penghapusan nomor urut caleg seperti diakomodasi dalam draf RUU Pemilu yang diajukan Pemerintah kepada DPR. Penghapusan nomor urut ini didukung oleh PAN, PKB dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi. Dengan cara tersebut, setiap caleg memiliki kesempatan sama untuk merebut satu kursi yang diperoleh parpol tempat dia mencalonkan di daerah pemilihan tertentu. Caleg yang nangkring di peringkat pertama perolehan suara, berhak atas satu kursi. Kuota tak lagi berlaku bagi caleg, tapi hanya berlaku untuk parpol. Dalam arti kuota itu menjadi instrumen untuk menentukan harga satu kursi di daerah pemilihan tersebut.

Tapi, menutup satu lubang saja tidak cukup. Sebab, toh sistem pemilu legislatif yang dioperasikan pada Pemilu 2004 lalu menyimpan banyak lubang (baca: celah). Pertama, seperti disebut di muka, masih berlakunya nomor urut membikin mekanisme kuota “memakan” korban penangguk suara terbesar.

Kedua, alokasi dan mekanisme penyebaran kursi untuk setiap provinsi. Ketiga, penetapan daerah pemilihan beserta alokasi kursinya. Keempat, cara perhitungan atau pendistribusian kursi pada partai politik dan caleg.

Pada 2004 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) direpotkan dengan mekanisme penyebaran kursi untuk setiap provinsi. Alokasi kursi provinsi dihitung berdasarkan tingkat kepadatan penduduk. Provinsi padat penduduk kuota maksimalnya 425 ribu jiwa. Sedangkan provinsi dengan kepadatan penduduk rendah, kuotanya 325 ribu jiwa.

Namun kuota itu tak langsung dapat dioperasikan. Sebab, masih berlaku syarat lain: Jumlah kursi setiap provinsi dialokasikan tidak kurang dari jumlah kursi provinsi tersebut pada Pemilu 1999. Dan provinsi baru hasil pemekaran setelah Pemilu 1999 memperoleh sekurang-kurangnya tiga kursi.

Prinsip perimbangan wajar itu sebetulnya ingin mengurangi ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa. Namun, ternyata masih dijumpai harga satu kursi di luar Jawa masih lebih mahal dari satu kursi di Jawa. Misal harga satu kursi untuk Provinsi Sulawesi Tengah setara dengan harga satu kursi DPR di Provinsi DKI Jakarta. Harga satu kursi di Sulteng sebesar 420.175,40 dan DKI Jakarta 420.705,11. (Ingat ini harga satu kursi sebelum pencoblosan, jadi bukan harga satu kursi aktual).

Daerah pemilihan juga penting. Sejumlah ahli pemilu di mancanegara justru getol mencermati elemen-elemen teknisnya, seperti besar daerah pemilihan (district magnitud) dan cara perhitungan suara. Sebab besar daerah pemilihan akan menentukan siapa yang akan menghuni parlemen, di tingkat nasional dan lokal. Semakin kecil besar daerah pemilihan, kesempatan partai baru atau partai gurem untuk melenggang ke parlemen kian kecil. Sebaliknya jika besar daerah pemilihan memperebutkan banyak kursi, peluang partai kecil, partai baru atau partai gurem makin terbuka.

Tengoklah Turki. Pada Pemilu 1986, besar daerah pemilihan dibatasi tujuh kursi. Hasilnya, parpol yang berhasil memperebutkan 400 kursi di negeri itu hanyalah parpol-parpol besar atau parpol yang berbasis massa di daerah. Selanjut pada Pemilu 1987, nafsu menghadang partai-partai gurem kian membesar.

Besar daerah pemilihan digembosi menjadi enam kursi saja, sementara anggota DPR-nya digelembungkan menjadi 450 orang. Praktis, parpol yang masuk ke parlemen, mayoritas (288 anggota) berasal dari parpol kelas kakap. Inilah yang membuat Mahkamah Konstitusi negeri Mustafa Kemal Attaturk itu mengeluarkan fatwa agar besar daerah pemilihan tidak dimain-mainkan dalam Pemilu 2005. Setelah itu besar daerah pemilihan ditingkatkan. Setiap daerah pemilihan dialokasikan diatas sepuluh kursi. Cara ini mendorong partai gurem ikut mewarnai parlemen Turki. [Juni 2007]

Friday, June 22, 2007

Loncat Galah Bersama Filsafat

Oleh Moh Samsul Arifin




---
Judul: Berfilsafat Sebuah Langkah Awal
Penulis: Mark B. Woodhouse
Penerbit: Pustaka Filsafat Kanisius, 2000
---

KEAGUNGAN suatu bangsa memang tidak pernah abadi,” jawab Agatha kepada Marineti Dianwidhi, seorang bumiputera yang lagi melancong ke “negeri air bumi” Yunani.

“Dan mungkin ada baiknya. Ketika dunia Yunani hancur, dijajah Roma dan kemudian bangsa-bangsa lain di Asia, untunglah warisan pusaka tulisan-tulisan filsafat serta ilmu pengetahuannya diselamatkan oleh bangsa-bangsa Arab yang meneruskan tradisi Yunani. Ya, untunglah ada cendekiawan-cendekiawan Arab yang kelak masih mengolah dan meneruskan filsafat dan buah refleksi pikiran Yunani itu ke yang sekarang disebut Eropa, lewat pulau Sisilia dan Jazirah Spanyol Andalusia. Warisan kemudian dioper oleh orang-orang Barat, sedangkan bangsa-bangsa Arab semakin tenggelam tak terdengar lagi, kecuali beberapa filsuf seperti Ibn Rusyd dan Ibn Sinna,” imbuh perempuan Yunani itu.

Kutipan yang diambil dari Novel “Burung-burung Rantau” itu mewakili kekaguman penulisnya, yakni Y.B. Mangunwijaya, akan kebesaran Yunani yang mewariskan sebuah ilmu abadi yang senantiasa menarik manusia untuk mempelajarinya. Kendati cuma fiksi, apa yang dinukilkan Romo Mangun ini menggambarkan sesuatu yang pernah terjadi: Perpindahan filsafat ke tiga unit budaya -- Yunani, Arab, lalu Eropa alias Barat.

Harus diakui hingga saat ini, filsafat memang terus hidup, tak seperti entitas bangsa atau negara bangsa (nation state) yang dapat hancur. Filsafat bagaimanapun telah diselamatkan oleh manusia, tapi benarkah filsafat dapat juga menyelamatkan manusia?

Jawabannya pasti ya jika kita bertanya pada orang yang semacam Sokrates, Plato, Aristoteles hingga Ibn Rusyd, Ibn Sinna atau Mulla Shadra. Bukan itu saja, mereka akan berkoor tentang manfaat berfilsafat bagi hidupnya. Sebuah pemakzulan terhadap renyah-gurihnya filsafat, meskipun pada gilirannya dapat membuat pusing kepala.

Adanya ‘ketaksaan’ (ambiguitas) dalam filsafat itu tak urung telah menempatkan ilmu ini sebagai hal yang kontroversial. Pada satu sisi dianggapkan dapat menjadi jalan atau pengantar bagi manusia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan atas hidup. Di sisi lain, secara a priori, coba ditinggalkan justru karena dampaknya yang dapat ‘menghancurkan’ kebenaran itu sendiri.

Pada kalangan agamawan skripturalis atau bahkan fundamentalis misalnya, filsafat sering dipandang sebagai ‘yang lain’ (the others), dan karena itu tak mesti diruwat (dipelihara) seperti agama. Buku “Berfilsafat, Sebuah Langkah Awal” ini tidak sedang membicarakan filsafat dari tilikan-tilikan di atas.

Sebaliknya, buku ini, menggunakan pendekatan positivistik, yakni memandang filsafat sebagai unit kebudayaan manusia, tanpa harus menyelidiki lebih jeluk keberadaan ilmu tersebut di dalam khazanah budaya manusia.

Sebagai buku pengantar, memang terlalu mewah, kalau harus mendadar itu semua. Seperti diakui oleh penulisnya (Mark B. Woodhouse), buku ini terbit, “untuk memberikan pandangan yang kurang lebih utuh tentang filsafat, memberikan bimbingan praktis berfilsafat, tanpa terlalu spesifik mendalami topik-topik maupun gerakan-gerakan filsafat tertentu” (hal.7).

Namun demikian, buku ini mungkin terasa sangat berbeda dengan buku-buku pengantar (beginner) lain, karena kesanggupannya dalam membantu pembaca untuk memasuki studi ihwal filsafat secara lebih mudah. Woodhouse, mengetengahkan suatu kerangka kerja yang menyeluruh mengenai apa itu filsafat beserta seluk-beluknya.

Masing-masing bab dalam buku ini membahas bagian-bagian penting dalam studi filsafat secara menyeluruh. Bab-bab tersebut akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Apa perbedaan antara sains dan filsafat?”, “Bagaimana caranya berpikir tentang diri sendiri?”, “Apa manfaat praktis filsafat”, “Apakah filsafat merupakan bidang profesi”.

Seluruh isi buku dibagi ke dalam tujuh bagian, masing-masing adalah obyek pembahasan filsafat; untuk apa berfilsafat; berfilsafat:langkah awal; berfilsafat: pertimbangan lebih lanjut; langkah maju dalam berfilsafat; membaca karya filsafat; serta menulis karangan filsafat.

Ketujuh bahasan tersebut, akan membawa kita pada pengertian yang memadai tentang filsafat. Disertai oleh apendiks dan glosari yang terbilang lengkap, pembaca dipandu untuk mengembara ke sumber-sumber pemikiran filsafat; sejak Thales (+585 SM) hingga Albert Camus.

Ibarat main loncat galah, buku ini dapat membuat kita ‘melambung tinggi’ ke area filsafat yang luas dan sekarang telah berkecambah menjadi mazhab-mazhab pemikiran itu. Sungguh sebuah buku yang tak hanya penting dibaca para mahasiswa jurusan filsafat! [www.moslemworld.co.id, 25 Januari 2002]

Nalar Demokrasi Bertemu Nalar Rakyat

Oleh Moh Samsul Arifin

GEGERKALONG, Sukasari Bandung, seorang suami istri bergegas memasuki TPS 04. Mereka membawa selembar kartu pemilih tanpa surat "undangan" pemilih sebagaimana warga masyarakat kebanyakan. KPPS setempat cukup tanggap menghadapi "pemilih dadakan" seperti itu. Ia menghitung warga terdaftar yang sudah mencoblos, menghitung yang belum menggunakan hak politiknya serta menghitung surat suara sah cadangan. Mereka cermat sekali secara administratif dan memahami antusiasme pasangan tersebut. "Oke, Anda berdua boleh mencoblos di sini," ujar salah seorang anggota TPS.

Saya menyaksikan semacam korelasi antara tertib administrasi TPS tersebut dengan kesadaran politik warga masyarakat. Rakyat, seperti suami-istri di atas, menunaikan hak politiknya dengan satu pemahaman. Mencoblos berarti ikut menentukan pemimpin bangsa lima tahun ke depan. Kandidat yang dipilih mereka diharapkan dapat mengerti kebutuhan rakyat, paling kurang ekspektasi 155.048.803 pemilih (Pikiran Rakyat, 5/7). Menggunakan hak politik berarti "merestui" perjalanan demokrasi Indonesia.

Bukan hanya rakyat awam, penyelenggara dan pemantau pemilu (dalam dan luar negeri) yang antusias dengan pemilu langsung pertama dalam sejarah Indonesia ini. Seluruh kandidat presiden dan wapres pun mencoblos dengan perasaan suka. Megawati Sukarnoputri, Hamzah Haz, Wiranto, Salahuddin Wahid, Jusuf Kalla, Siswono Yudo Husodo dan Agum Gumelar memilih di Jakarta. Susilo Bambang Yudhoyono mencoblos di Bogor. Amien Rais di Sleman Yogyakarta. Dan Hasyim Muzadi di Malang. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tampak sumringah.

Sepintas kita melihat nalar rakyat "memeluk erat" nalar demokrasi. Pemilu 5 Juli ini dinilai sebagai koreksi terhadap pelaksanaan pemilu selama republik ini berdiri. Serta jadi pembuktian, bahwa negara kepulauan seluas Indonesia bisa pula melaksanakan model demokrasi negara-kota Athena ini.

Dapat dibilang penyelenggaraan pilpres lebih tertib ketimbang pemilu legislatif. Penyediaan logistik tepat waktu, dan hanya pada sedikit wilayah pemilu susulan harus dilaksanakan. Menyusul aktivitas gunung Egon di desa Egon Gahar dan Hale, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, dua desa tersebut tak dapat mencoblos tepat waktu (Tempo Interaktif, 5/7). Sementara di daerah rawan konflik seperti Aceh, Poso, Maluku dan Papua, aktivitas pemilu tidak mengalami gangguan.

Bertemunya dua nalar di atas bukan sesuatu yang tiba-tiba. Ada jalan berkelok yang harus dilalui. Di tingkat institusi politik, sistem demokrasi langsung baru disepakati dalam ST MPR 2002. Padahal di tingkat sosiologis, demokrasi langsung sudah mengakar telah jauh-jauh hari, yakni dalam tradisi pemilu kepala desa/lurah di Nusantara. Mari kita buka kalendar sejarah.

Di Bratislava, Slovakia kira-kira dua tahun lampau, Presiden Megawati Sukarnoputri merisaukan kesiapan masyarakat mengikuti pemilihan secara langsung pada Pemilu 2004. Sekelompok konservatif di parlemen (DPR) pun, mengeluarkan segenap daya untuk menahan laju pembaruan politik yang cukup deras pasca 1998. Bahkan, sebagian di antara mereka merekomendasikan agar sang presiden mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Megawati mengabaikan suara sumbang itu dan pada akhirnya ia setuju dengan gagasan demokrasi langsung dalam sesi pemilihan presiden dan wakil presiden. Presiden perempuan ini akan tercatat dalam lembar sejarah bangsa kita sebagai pemimpin yang mengiyakan kehendak zaman (zeit geist) ihwal demokrasi.

Negara kontinental seperti Amerika Serikat punya tradisi kuat menyelenggarakan demokrasi langsung. Akan tetapi belum ada yang sekolosal Indonesia. Bayangkan demokrasi langsung tahun ini diselenggarakan hanya lima tahun sejak sistem otoriter ditumbangkan. Pemilu 2004 akan diikuti tak kurang 150 juta pemilih dari negara berpenduduk 220 juta jiwa. Diselenggarakan serentak dalam setahun -- hanya berjarak tiga bulan dengan pemilu legislatif. Dan harus dilakukan pemilu tahap kedua jika tidak ada yang memeroleh suara di atas 50 persen. Bahkan pemantau dari Uni Eropa tak sungkan menyebut Pemilu 2004 sebagai pesta demokrasi paling kompleks (rumit) di jagad.

Semacam loncatan kuantum tampak mencolok dalam sistem demokrasi kita. Pasangan futurulog Alvin dan Heidi Toffler mengusulkan sistem "demokrasi semi-langsung" kepada negara-negara yang masih belia menganut demokrasi. Sebuah gerakan perpindahan dari kebergantungan kepada wakil-wakil menuju perwakilan diri sendiri. Demokrasi perwakilan tetap dianut, andaikata pemilihan langsung tidak menghasilkan majoritas mutlak. Nah, campuran dari keduanya inilah demokrasi semi-langsung. Negeri ini memilih meloncat jauh, sehingga diperkirakan Pemilu 2004 kemungkinan berlangsung 2 tahap.

Di dalam perpindahan itu, kita juga menyelenggarakan proses elektoral yang rumit. Pemilu legislatif serta pemilu presiden dan wakil presiden diselenggarakan terpisah (tidak dalam hari yang sama), meski dalam tahun yang sama. Di Amerika, pemilihan anggota senat dan pemilihan presiden memiliki jarak waktu yang relatif panjang (selisih dua tahun). Sementara Filipina mampu menyelenggarakan pemilihan senat dan presiden serentak.

Pilihan ini berakibat pada penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Oleh karena itu dapat dimafhumi kalau komisi pemilihan umum (KPU) pontang-panting menyiapkan dan menyelenggarakan tahapan pemilu. Bayangkan pemilu langsung, perubahan sistem pemilu legislatif dan penambahan pemilu anggota DPD ditetapkan tahun 2002. Berarti kurang dari 2 tahun KPU menyiapkan tiga pemilu sepanjang tahun 2004.

Sebuah keputusan yang tampak tergopoh-gopoh, namun irama politik seperti ini merupakan fait accompli zaman. Jikalau keputusan itu tidak diambil ditakutkan arus sejarah bergerak ke belakang. Atas nama sakralisasi UUD 1945, pembaruan sistemik di lanskap ketatanegaraan ingin dihambat. Ketidaksempurnaan yang melingkupi penyelenggaraan Pemilu 2004 ini harus dipahami sebagai "pemutus" keragu-raguan bangsa kita menempuh demokrasi langsung. Namun demikian, kita tak boleh abai untuk terus membenahi dan menyempurnakan sistem yang telah dipilih tersebut.

Satu alasan fundamental mengapa demokrasi langsung jadi idola adalah karena kesanggupan sistem ini menghasilkan output pemimpin (presiden/wakil presiden) yang memiliki legitimasi tinggi di hadapan rakyat (demos). Dalam sistem ini, partispasi rakyat tak dapat dibatasi oleh tembok tebal bernama kongkalikong elite nasional. Penjelasan kontras dapat dirujukkan pada Pemilu 1999 lalu. Saat itu rakyat menganggap mencoblos sama dengan memilih presiden. Parpol diidentikkan dengan tokoh tertentu. Ketika realitas politik (SU MPR 1999) berkata lain, tokoh dari partai pemenang pemilu tak langsung jadi presiden, baru rakyat sadar.

Di sejumlah daerah muncul amuk ketika massa parpol tertentu merusak sarana publik. Memang dalam demokrasi perwakilan kehendak rakyat dapat dipotong dan dipelintir elite yang mewakilinya. Andai pun, sang wakil (anggota DPR) sanggup meneruskan kehendak konstituen, itu menebak-nebak belaka. Distorsi sistem perwakilan adalah ketidakmampuannya meneruskan kehendak rakyat secara utuh.

Sistem demokrasi pertama kali diterapkan di Yunani dan Romawi kira-kira 500 tahun sebelum masehi. Kemauan memberi tempat bagi partisipasi rakyat itulah yang membuat sistem itu kuat, sehingga mampu bertahan berabad-abad lamanya. Dalam terjadi korespondensi antara demokrasi dan rakyat. Partisipasi rakyat menghidupi sistem demokrasi. Dan demokrasi yang kuat (terlembaga) mampu menjamin partipasi rakyat itu sendiri.

Kata Robert Dahl (2001), demokrasi itu -- lebih-lebih demokrasi langsung -- memberikan berbagai kesempatan untuk mencegah pemerintahan kaum otokrat yang kejam dan licik; menjamin sejumlah hak asasi yang tidak diberikan dan tidak dapat diberikan sistem tidak demokratis; membantu rakyat melindungi kepentingan dasarnya; menggunakan kebebasan menentukan nasibnya sendiri; menjalankan tanggung jawab moral; menjamin persamaan politik; serta cenderung memakmurkan negara-negara yang menggunakan sistem ini.

Sebagai sistem, demokrasi sangat akuntabel. Ia memungkinkan kontrol, evaluasi dan bahkan pembubaran terhadap dirinya sendiri. Akan tetapi semua kata akhir diputuskan oleh rakyat, dan bukan golongan arisktokrat atau teokrat. Demokrasi dapat disentuh semua pihak, tak terkecuali orang tak melek huruf, memiliki kendala fisik serta papa. Sistem itu memberi akses kepada semua pihak untuk mendapatkan hak politik yang sama. Dan karena, kata putusnya adalah rakyat (dan itu berarti mayoritas populasi), maka output proses demokrasi tidak menjamin lahirnya kepemimpinan yang baik serta amanah.

Dalam proses elektoral (pemilu), pemenang adalah pemilik angka terbesar dari suara yang sah. Demokrasi menghasilkan angka statistik dan dengan cara itu sang pemimpin ditetapkan. Kandidat yang cerdas tidak pasti terpilih. Demikian pula, kandidat yang dinistakan belum tentu terjungkal. Angka statistik lah yang akan menentukannya. Ini celah -- kalau bukan paradoks -- sistem demokrasi yang belum mampu ditutup oleh teoritisi dan praktisi politik. Pada sistem monarki dan aritokrasi hanya sebagian kecil manusia yang dianggapkan memiliki kapasitas memimpin. Sistem teokrasi menafikan kemungkinan cacat pada kalangan rohaniwan, sebagai wakil Tuhan di bumi.

Centang perenang itulah yang membuat Plato menyusun dua "bangun demokrasi". Pertama, demokrasi dari negara yang memiliki undang-undang. Kedua, demokrasi dari negara yang tidak memiliki undang-undang. Pada yang pertama, menurut penulis Republic ini, sistem demokrasi tidak lebih baik dari monarki dan aritokrasi. Sedangkan dalam negara yang tak mengenal hukum, sistem demokrasi justru lebih unggul dari oligarki dan tirani. Sinyalemen Plato itu menggabarkan kepada kita bahwa tak ada sistem yang sempurna. Yang adipurna cuma prosedur dan prosesnya belaka.

Proses elektoral, seperti Pilpres 5 Juli 2004, adalah kemewahan di balik labirin celah ketidasempurnaan semua sistem politik yang ada. Sistem demokrasi langsung paling kurang mengubur peluang kongkalikong elite yang kerap mengakali rakyat setiap kali pemilu. Dalam pilpres kali ini, lima kandidat yang tersedia menyediakan diri untuk dipilih dengan sejumlah kelebihan dan kelemahan yang dimiliki.

Kandidat yang tersedia pastilah tak pernah ideal, setidak idealnya sistem demokrasi itu sendiri. Paling kurang, demokrasi langsung, memberi keleluasaan pada rakyat untuk menentukan sendiri siapa tokoh yang akan menakhodai bangsanya lima tahun ke depan.

Dalam berbagai cara -- kehendak rakyat -- diekspresikan melalui pemungutan suara (pemilu) yang tidak sepenuhnya dapat menerjemahkan secara baik siapa yang memegang kekuasaan dan kebijakan apa yang akan dijalankan. Jika posisi-posisi yang memberi kekuasaan riil diokupasi oleh mereka yang bukan pejabat-pejabat resmi terpilih atau bukan oleh otoritas resmi lainnya, proses elektoral tidak memiliki kemampuan untuk menentukan kekuasaan yang efektif.

Itu terjadi di sebagian besar Eropa abad ke-19, di mana institusi warisan monarki membagi panggung publik dengan mendirikan lembaga parlementer. Pada saat yang sama ada sebagian bangawan (monarki) yang ikut cawe-cawe dalam penunjukan menteri-menteri serta pejabat-pejabat negara yang lain, ikut menentukan anggaran dan pajak, mengontrol militer dan kekuatan polisi serta mengeluarkan dekrit (John Markoff, 2002). Demokrasi langsung mampu menerjemahkan kepada siapa suara rakyat diberikan. Presiden terpilih nanti akan lebih mandiri dari rongrongan para pelancong politik yang oportunis (tidak seperti Presiden Abdurrahman Wahid tempo hari yang harus memperhatikan koalisi pelanginya dalam menetapkan kebijakan).

Tanggung jawab pemilih adalah mencari pemimpin yang kira-kira mampu membawa perubahan bagi bangsa kita dan bukan pada keberlangsungan sistem itu. Output proses elektoral adalah meletakkan amanat kekuasaan pada tiga cabang kekuasaan Montesquei, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Siapa yang terpilih berhak atas kekuasaan. Sebuah kepemimpinan akan efektif sangat bergantung pada jalannya tiga kekuasaan tersebut. Sebuah kekuasaan hanya dapat dikontrol (check and balances) dengan kekuasaan pula. Inilah jawaban yang tersedia dalam sistem demokrasi hingga abad ke-21.

Rakyat telah menggunakan hak politiknya. Pekan-pekan mendatang kita bakal menyaksikan kepada siapa amanah itu diberikan. Kalaulah tidak ada pemenang mayoritas dalam pemilu 5 Juli ini, rakyat kita harapkan tetap sabar menjalani pilpres tahap kedua. Demokrasi Indonesia membutuhkan partisipasi rakyat. Tanpa itu, nalar demokrasi langsung bakal kehilangan keabsahannya! [Pikiran Rakyat, 6 Juli 2004]

Thursday, June 21, 2007

Menjaga Netralitas Kaum Serdadu

Oleh Moh Samsul Arifin

UNTUK menindak lanjuti hasil Rapat Pimpinan (Rapim) TNI di Cilangkap, Jakarta Timur (21/1) Mabes TNI membentuk tim yang bertugas menyosialisasikan tentang netralitas TNI dalam pemilu mendatang. Bertindak sebagai ketua tim penyelenggara sosialisasi adalah Mayjen Syamsul Ma'arif, saat ini menjabat sebagai Asisten Komunikasi Sosial (Askomsol) Kasum TNI.

Sosialisasi dilakukan di Komando Utama seperti Kodam, Koops TNI AU, Komando Armada TNI AL, Korem dan satuan TNI lainnya seperti Lanal, Lanud yang telah dimulai sejak 10 Februari dan akan berlangsung hingga 25 Februari 2004 ini. Sosialisasi dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman yang sama pada seluruh anggota dan keluarganya.

Kendatipun bersikap netral, seluruh anggota dan keluarga diharapkan tetap ikut menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2004 dengan tidak memihak kepada salah satu parpol peserta Pemilu 2004. Kecuali itu, anggota TNI dan keluarganya diimbau tidak memihak pada kontestan manapun, termasuk kepada calon presiden atau wakil presiden (Suara Karya, 12/2).

Seperti diberitakan Rapim TNI di Cilangkap Januari lalu menghasilkan dua keputusan terkait penyelenggaraan Pemilu 2004. Pertama, tentara akan bersikap netral dalam Pemilu 2004. TNI tidak akan mendukung kontestan Pemilu, baik itu partai politik, perseorangan (DPD) dan calon presiden/wakil presiden. Sikap ini diterapkan pada tingkat perseorangan, institusi terkecil, sampai tingkat Narkas Besar TNI. Siapapun, entah itu prajurit atau perwira tinggi yang melakukan penyimpangan alias memihak atau tidak menjaga netralitas akan dikenai sanksi, termasuk dipecat dari kesatuan.

Kedua, Rapim TNI mengulangi lagi sikap yang mereka tempuh kala pembahasan RUU Pemilu tahun lalu, yaitu tidak akan menggunakan hak memilihnya (hak politik) alias tidak mencoblos dalam pemilu nanti. Dalam bahasa Jenderal Endriartono Sutarto, sikap itu merupakan wujud komitmen tentara untuk tidak ikut campur dalam bidang politik, sekaligus demi fokus menjaga pertahanan negara (Media Indonesia, 23/1).

Ketentuan peralihan UU No 12 Tahun 2003 (pasal 145) memang menyebutkan, ”Dalam Pemilu 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya”. Termaktubnya ketentuan ini mengangkat citra korps tentara yang sempat digandoli sebagian kekuatan sipil (parpol di legislatif) yang menginginkan TNI menggunakan hak politiknya, sebagaimana warga sipil, dalam Pemilu 2004.

TNI keluar dari rayuan tersebut, walaupun pasca Pemilu 2004 mereka tak lagi punya wakil ‘langsung’ di legislatif. Sekadar diketahui di awal 90-an, jatah TNI di legislatif sekira 100 kursi. Setelah itu, babak akhir Orde Baru, kursi mereka tinggal 75. Dan, era reformasi kursi itu kembali digergaji sehingga tersisa 38. Tiga puluh delapan orang itulah—atas persetujuan Panglima TNI—yang mengukir ‘prestasi’ memutus keterikatan tentara dengan politik (baca politik; parlementer atau politik formal).

Warga sipil tentu saja patut bersyukur atas iktikad dan niat baik korps tentara itu. Akan tetapi, sikap formal (pernyataan di atas kertas) akankah menjadi sesuatu yang nyata? Terlalu banyak alasan yang membuka peluang tentara melepas sikap formal tersebut di tengah jalan. Tensi persaingan politik yang kelewat panas (overheating) antarpolitisi sipil, kericuhan yang menjurus rusuh kala kampanye hingga menyebab situasi tak terkendali, kondisi chaotik pasca perhitungan suara atau undangan kalangan sipil (elite politik) untuk membentuk pemerintahan transisi misalnya, bisa jadi membuat TNI tak kuasa untuk tak berkiprah dalam politik. Kudeta politik oleh TNI bukanlah isapan jempol jika faktor pemicunya tersedia.

Intervensi Tentara
Dalam kaitan Pemilu 2004, suatu waktu KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu mengatakan kemungkinan ada kekuatan tertentu yang ingin menyabotase atau menggagalkan pesta demokrasi tahun ini. Sekilas wanti-wanti seperti itu baik, namun bukanlah proporsi tentara (militer) untuk memrediksi—apalagi mengarahkan pandangan publik ihwal situasi dan politik yang tengah dan akan terjadi di lanskap kebangsaan.

Apabila jenderal, yang notabene merepresentasi kesatuan elite, dalam hal ini angkatan darat-AD, memberikan statement tersebut maka korps tentara bisa dituduh mengintervensi politik, ipso facto kebijakan-kebijakan terkait dengan politik yang dikeluarkan pemerintahan sipil. Kian sering petinggi tentara ikut meramal, menganalisis dan mengarahkan opini publik di luar ruang lingkup tugas mereka, maka peluang menjaga netralitas di hadapan kelompok kepentingan, partai politik dan calon presiden/calon wakil presiden akan menemui kendala di tataran implementasinya.

Secara psikologis, netralitas TNI juga amat rentan sehubungan dengan banyaknya para purnawirawan tentara yang bergabung ke partai politik dan menjadi calon anggota legislatif. Nyaris seluruh kontestan pemilu dihuni oleh para purnawirawan. Di antara mereka banyak yang menduduki jabatan-jabatan penting di parpol. Sua-ra mereka mewarnai dan menentukan kebijakan parpol di mana mereka menjadi anggota.

Kesabaran Tentara
Di atas segalanya, kita berharap tentara sabar dan tekun dalam mencermati situasi yang tengah terjadi di percaturan politik nasional. Sikap reaktif bukan saja tidak produktif, justru dapat menimbulkan kerumitan baru yang menambah benang kusut hubungan sipil militer di negeri kita. Apalagi, negeri ini baru tiba di fase yang masih ”hijau” dalam demokrasi. Demokrasi di negeri kita bukan saja belum terkonsolidasi, tapi kerap kali masih mencari bentuk agar benar-benar operasional di tengah bangsa yang majemuk ini.

Demikian pula Pemilu 2004, tak bisa dibilang sebagai pesta demokrasi yang memiliki derajat kepastian tinggi untuk membantu negeri ini keluar dari krisis multidimensi. Pemilu tahun ini, tetap harus disadari sebagai ”pemilu transisi”—karena itu di sana sini banyak dijumpai kekurangan, entah itu suprastruktur (Undang-undang), infrastruktur (logistik pemilu sejak surat suara, kotak suara, bilik suara atau tempat pemungutan suara-TPS) atau manajemen pemilu yang kurang rapi hingga aktor (penyelenggara dan kontestan pemilu) yang kerap kurang profesional.

Bagaimanapun Pemilu 2004 membutuhkan uluran tangan setiap pihak, termasuk tentara, agar berlangsung luber dan jurdil. Seperti dikemukakan Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono, dewasa ini kita menghadapi tiga ancaman terkait penyelenggaraan Pemilu 2004; ancaman politik uang (money politics), penyimpangan wewenang/kekuasaan (abuse of power) hingga kekerasan. Itu artinya kaum serdadu (yang disebut Niccolo Machiavelli wajib dibentuk oleh setiap negara berdaulat) mesti disiagakan untuk menangkal situasi tak terkendali yang menjurus chaos.

Catatannya, TNI baru turun mengamankan Pemilu jika diundang oleh pihak kepolisian. TNI diturunkan menurut kebutuhan. Ketika kepolisian masih sanggup menguasai keadaan, TNI tak perlu turun ke lapangan. Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka membantu pemerintah daerah dan Polri untuk mengamankan Pemilu 2004 misalnya, hendaklah didasarkan atas permintaan kepada Panglima TNI sesuai mekanisme dan profesionalisme TNI. Agar semuanya sesuai jalur dan tak menyalahi aturan yang ada. [Sinar Harapan, 1 Maret 2004]

Tuesday, June 19, 2007

Mendamba Calon Independen

Oleh Moh Samsul Arifin

Seberapa jauh jarak Jakarta dengan Nanggroe Aceh Darussalam? Apabila pertanyaan ini dialamatkan kepada para pihak yang mendamba adanya calon independen atau pasangan calon non-parpol dalam Pilkada DKI Jakarta, Agustus mendatang, sudah pasti mereka bakal menjawab, “Aceh sungguh sangat jauh. Bahkan mungkin tak terjangkau.”

Harapan itu sedikit gelap setelah KPU DKI Jakarta menutup pendaftaran calon pada 7 Juni lalu. Apalagi KPU DKI Jakarta menyatakan tidak akan memverfikasi calon independen atau nonparpol. Artinya peluang warga Jakarta memilih di luar pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar nyaris tertutup.

Kini, dua pintu lagi menjadi taruhan para penyokong calon independen. Pertama, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi (judicial review) oleh Lalu Ranggalawe dkk atas Pasal 56, 59 dan 60 UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Anggota DPRD Kabupaten Lombok, Nusa Tenggara Barat ini menilai syarat yang diatur UU 32/2004 itu bertentangan dengan Pasal 18 ayat 4 dan Pasal 28 UUD 1945. Ketiga pasal menghambat warga negara untuk berpartisipasi dalam politik elektoral di tingkat lokal.

Kedua, Pansus RUU Pemerintahan DKI Jakarta menyelipkan poin dibolehkannya calon perseorangan berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah di ibukota. Andai Pansus yang diketuai Effendi MS Simbolon itu memasukkan calon perseorangan dalam RUU tersebut dan disahkan, diperlukan terobosan tak kurang berani. Yakni mengganti secara radikal sistem demokrasi perwakilan yang dianut UU 34/1999 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan demokrasi langsung.

Sebagaimana dimaklum, Pasal 16 ayat 1 UU 34/1999 menyatakan “Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berlaku pula bagi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta”. Pasal ini mengacu pada UU 22/1999 yang masih menetapkan bahwa pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta dilakukan oleh DPRD. UU 22/1999 telah direvisi dengan UU 32/2004 tentang Pemda, di mana seluruh kepala daerah—tingkat provinsi, kabupaten dan kota—dipilih secara langsung oleh rakyat.

Di sini, UU 34/1999 menyimpan “api dalam sekam”. UU yang mengatur ketentuan pemilihan gubernur lewat sistem perwakilan ini masih merupakan hukum positif. Selama UU ini belum dapat direvisi lewat kerja keras Pansus DPR dan pemerintah, benturan hukum tak terelakkan. Dengan kata lain, terhambatnya revisi atas UU 34/1999 akan “menginterupsi” proses dan tahapan Pilkada 2007 yang diselenggarakan KPU DKI Jakarta. Bagaimana mungkin proses Pilkada 2007 yang merujuk UU 32/2004 dilaksanakan, jika UU 34/1999 belum direvisi.

Adalah tugas sejarah dari para pihak pembahas RUU Pemerintahan DKI Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Kerja keras mereka sangat fundamental guna mewujudkan satu keadaan: Pilkada 2007 di DKI Jakarta tidak cacat hukum. Kabar yang beredar Pansus RUU Pemerintahan DKI Jakarta baru dapat merampungkan pembahasan dan mengesahkan RUU itu pada Juli mendatang.

Ada dua kemungkinan yang diambil Pansus. Pertama, menjadikan UU 32/2004 sebagai rujukan. Dalam konteks itu, UU Pemerintahan DKI Jakarta yang baru merujuk pada UU 32/2004 sehingga menetapkan demokrasi langsung sebagai cara menetapkan gubernur dan wakil gubernur ibukota.

Kedua, lebih substantif dari itu, Pansus mengakomodasi calon perseorangan untuk berpartisipasi dalam Pilkada DKI Jakarta. Apa yang terjadi jika kemungkinan kedua diputuskan DPR? Apakah dengan demikian “menginterupsi” tahapan Pilkada 2007 yang dilaksanakan KPU DKI Jakarta?

Tentu saja para pihak yang terkait dengan Pilkada 2007, khususnya mereka yang tersingkir dalam pencalonan via partai politik, berkepentingan agar calon perseorangan diakomodasi, sekaligus bisa langsung dilaksanakan dalam Pilkada tahun ini.

Dalam horizon yang lebih jauh, dibolehkannya perseorangan atau calon independen dapat melepas dahaga warga Jakarta atas minimnya calon-calon pemimpin yang sangat nyata menuju pada oligarkhi parpol. Bagi saya, mengumpulnya dukungan 20 parpol terhadap Fauzi Bowo-Prijanto, merupakan fenomena tak biasa yang mempertegas bahwa parpol-parpol di Jakarta mengidap syndrome “rendah diri”—memiliki sumberdaya politik memadai tapi tak menggunakannya.

Lihatlah peta sebaran suara dan kursi pada Pemilu 2004 untuk DPRD DKI Jakarta. Ada dua parpol yang bisa mendaftarkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, karena sanggup memenuhi kuota 15 persen yang diatur Pasal 59 ayat 2 UU 32/2004. Partai Keadilan Sejahtera (23,34 persen suara) dan Partai Demokrat (20,15 persen suara) tak perlu berkoalisi untuk mendaftarkan pasangan calon. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (13,47 persen suara), hanya perlu menggamit Partai Damai Sejahtera (5,74 persen suara) untuk mengusung pasangan calon. 20 Parpol di luar PKS, Demokrat, PDIP dan PDS masih bisa mendaftarkan setidaknya dua pasangan calon, total suara yang tersisa ada 37,3 persen.

Namun, parpol-parpol Jakarta tak melakukan hal tersebut. Alih-alih menggunakan sumberdaya politik mereka, sekaligus membuat peta persaingan menjadi multipolar. Parpol-parpol di Jakarta terseret pada pengkutuban politik yang terbatas (bipolar). Dampaknya, warga Jakarta “dipaksa” kekurangan preferensi politik untuk memilih dalam Pilkada 2007. Padahal survei teranyar Lembaga Survei Indonesia mengonfirmasikan, warga Jakarta mengharapkan hadirnya calon independen dalam Pilkada DKI Jakarta tahun. Dalam survei yang berlangsung 23-29 Mei 2007 itu, 64 persen warga Jakarta tak memercayai kapasitas pasangan calon dari parpol.

Kembali pada calon independen, penulis tidak yakin DPR akan mengakomodasinya. Jakarta bukanlah Aceh yang memiliki keistimewaan dan karenanya mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Lagi pula, proses negosiasi untuk menggolkan calon independen lewat UU Pemerintahan DKI Jakarta tak sesistematis Aceh kala mendesakkan urgensi calon independen.

Tawar-menawar antara Aceh dan Jakarta berlangsung dalam kondisi yang asimetris dengan posisi “Jakarta-lokal” dengan “Jakarta-pusat” saat ini. Kalau bukan tak bisa diperbandingkan. Hadirnya calon independen pada Pilkada Aceh adalah side effect dari tegangan politik Aceh-Jakarta yang berlangsung puluhan tahun.

Hemat saya, mengerucutnya desakan agar calon independen ikut serta dalam Pilkada Jakarta saat ini reaksi belaka dari proses politik yang tidak transparan melalui parpol. Ketika parpol tak mungkin lagi menjadi kendaraan, calon independen dilirik. Ini kentara menjadi logika sementara kalangan. Tidak keliru jika isu calon independen kali ini diterima sebagai usulan yang terkesan partisan, dan tak diniatkan untuk menyemai benih demokrasi substantif di negeri kita.

Sejak awal tak ada upaya mengapungkan calon independen dan memperjuangkan ide ini agar menjadi diskursus publik lewat pembahasan RUU Pemerintahan DKI Jakarta. Isu tersebut bahkan “kalah seksi” dibandingkan pembahasan mengenai konsep megapolitan yang ditabuh Gubernur Sutiyoso. Sungguh sulit membayangkan sebuah isu dapat menjadi fakta politik, jika tak di-maintenance secara baik. Memberi ruang calon independen berkiprah dalam demokrasi langsung di tanah air adalah keniscayaan, tapi ikhtiar tak kurang penting untuk mencapai cita-cita! [Juni, 2007]

Sunday, June 17, 2007

Seberapa Jauh Jarak Sunni & Syiah?

Oleh Moh Samsul Arifin

Judul: Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan!, Mungkinkah?
Penulis: M. Quraish Shihab
Penerbit: Lentera Hati, Jakarta, April 2007
Tebal: xi + 303 halaman
---
Konflik horizontal Sunni dan Syiah di Irak saat ini sangat disesalkan umat Islam. Di sana sesama Muslim saling menumpahkan darah dan tak ada kepastian kapan hal itu akan berakhir. Sudah pasti konflik demikian menyisakan getir, sekaligus trauma di kalangan Sunni dan Syiah. Pasalnya, tarikh Islam pernah mencatat bagaimana traumanya Umat Islam jika mengingat Tragedi Karbala (865 M), sebuah momen yang menghadap-hadapkan Imam al-Husain (imam di mata Syiah) dengan pasukan Umayyah (representasi Sunni), dengan korban di pihak al-Husain.

Paling tidak dua perspektif dapat dikemukakan sehubungan konflik di Irak. Pertama, perseteruan dua kelompok Muslim di negeri seribu satu malam itu tidak terputus dari akar konflik dua mazhab Islam terkemuka ini di masa lampau. Dan kedua, kendatipun label Sunni dan Syiah nangkring sebagai identitas pihak-pihak bertikai, konflik tersebut manifes semata-mata karena kepentingan kelompok dan suku-suku di sana pascakejatuhan Saddam Hussein akibat invasi Amerika Serikat dan sekutunya.

Yang pasti konflik Sunni dan Syiah di Irak menjadi alasan pasukan Amerika belum angkat kaki dari sana. Paling mutakhir, Pemerintahan George Walker Bush dapat menggagalkan upaya Partai Demokrat yang menginginkan tentara AS segera meninggalkan Irak. Itu berarti hingga akhir pemerintahan Bush, kemungkinan besar pasukan AS terus “mengawal” perdamaian Irak atau bahkan “mengeruhkan” suasana konflik di sana sebagaimana dicibir sementara kalangan.

Dalam sejarah, konflik Sunni dan Syiah berhulu dari pertemuan Saqifah Bani Saidah. Di situlah, babak baru pemerintahan Islam atau pemilihan khalifah (pengganti Nabi Muhammad SAW) bermula. Saat itu majoritas sahabat Nabi menilai perlunya kepemimpinan baru pascawafatnya Muhammad SAW. Mereka beranggapan tidak boleh ada “vacuum of power” untuk menjaga keimanan dan persatuan umat yang ditinggalkan Sang Nabi.

Akhirnya dipilihlah Abu Bakar sebagai khalifah, tanpa mengikut sertakan keluarga nabi yang kala itu lagi berduka akibat kepergian Muhammad SAW. Inisiatif menentukan khalifah pasca-Nabi ini melahirkan empat model pemilihan. Abu Bakar terpilih berkat musyawarah dan bait; Umar bin Khaththab ditunjuk; Utsman bin Affan diangkat oleh Tim yang ditunjuk Umar; dan Ali bin Abi Thalib terpilih setelah muncul desakan dari umat (hal. 220). Kalangan Sunni percaya seorang pemimpin dapat diangkat dari musyawarah di kalangan umat. Siapapun dapat menjadi khalifah asal memenuhi kriteria tertentu. Artinya, kepemimpinan tak melekat pada hubungan darah (nasab atau genealogi).

Sebaliknya bagi kalangan Syiah, kepemimpinan (imamah) adalah hal yang transendental. Pemimpin umat sudah ditetapkan Allah lewat Muhammad SAW dan diteruskan oleh 12 imam yang bermula dari Ali bin Abi Thalib hingga imam ke-12 (Al Mahdi alias Abu al-Qasim Muhammad bin al-Hasan) yang dipercaya bakal hadir kembali ke bumi setelah menghilang. Syiah percaya bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Imam sesudah Rasul dan imamah tidak keluar dari Ali dan keturunannya.

Di mata penganut Syiah, para imam ini adalah ma’shum alias terpelihara dari dosa dan kesalahan. Mereka paling mengetahui kandungan makna Al-quran. Inilah yang menjadi inti dari Syiah Imamah atau al-Itsna Asyariyah, bagian majoritas dalam mazhab Syiah. Mengenai hal ini diperinci Quraish Shihab pada bab “asal-usul dan kelompok-kelompok dalam Syiah” (hal. 63-83).

Pada konteks lokal Iran, konsep imamah ini diterjemahkan Imam Khomeini dalam konsep yang disebut Wilayat Faqih. Menurut pemimpin revolusi Iran 1979 itu, sembari menunggu munculnya imam ke-12, tetap diperlukan pemimpin yang mengemudikan pemerintahan Islam. Seorang pemimpin itu hendaklah memenuhi kriteria memiliki pengetahuan hukum yang luas dan adil serta memiliki integritas (‘adalah) yang kuat. Syiah dan Sunni bersepakat bahwa pemimpin itu hendaklah orang yang berkapasitas Ulil Amri. Yakni orang-orang yang dipercaya masyarakat menyangkut urusan agama dan kepentingan dunia sebagaimana disinggung Muhammad Rasyid Ridha (hal 224-225).

Soal imamah, seperti diakui ulama Syiah terkemuka—Muhammad al-Husain al Kasyif al-Ghitha’—tak urung menjadi perbedaan utama antara Syiah dan kelompok-kelompok umat yang lain. Menurut Al Ghitha, imamah merupakan perbedaan prinsipil, sedangkan perbedaan-perbedaan lainnya tidak prinsipil, setara dengan perbedaan yang terjadi antara para imam yang berijtihad seperti Hanafi, Syafi’i, Hambali atau Maliki dalam tradisi Sunni.

Tapi, dalam buku “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan!” ini, M. Quraish Shihab tak mempertebal perbedaan pandangan antara dua mazhab ihwal imamah tersebut. Ahli Tafsir par excellence ini membabarkan dengan sangat lengkap ihwal perbedaan dan persamaan Sunni-Syiah. Bukan hanya soal konsep pemerintahan setelah khulafa ar-rasyidin (empat khalifah pertama), tapi juga hal ihwal menyangkut pengelompokan dalam Umat Islam, asal-usul Syiah dan pengelompokan dalam mazhab tersebut, rukun Iman dan rukun Islam yang dipercaya kalangan Sunni dan Syiah, sikap kalangan Syiah dan Sunni terhadap para sahabat Nabi Muhammad SAW, hingga soal rincian-rincian ajaran agama (furu’).

Penjelasan rinci bagaimana Sunni dan Syiah menyikapi dan mengambil posisi tentang satu topik diikat oleh satu keinginan melihat para penganut kedua mazhab ini bergandengan tangan membentuk peradaban yang lebih baik. Di awal pembahasannya, Quraish sudah mewanti-wanti para pembaca buku ini. Katanya, “perbedaan pendapat merupakan salah satu fenomena yang telah ada sejak terbentuknya komunitas manusia, sekecil apapun komunitas itu. Perbedaan tersebut dapat meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk agama dan keyakinan” (hal. 27).

Membuka lembar demi lembar buku ini, pembaca akan menyaksikan bagaimana posisi Quraish Shihab dalam topik-topik yang dibahasnya. Quraish tidak terjatuh untuk membela Sunni atau Syiah sebagaimana dilakukan sejumlah penulis yang terkurung dalam trauma sejarah. Di buku ini tertuang aneka pendapat, tapi Quraish menghidangkan pendapat-pendapat itu apa adanya. Di kali lain Quraish mengomentari pendapat-pendapat tersebut atau bahkan mengkritisinya.

Ia menyusuri kitab-kitab Sunni dan Syiah tanpa terperosok untuk memberi porsi penjelasan yang tak seimbang. Disebutnya Syaikh Abdul Halim Mahmud (bekas pemimpin tertinggi Al Azhar Mesir), Muhammad Abdul Azhim az-Zarqany (guru besar Universitas Al Azhar Mesir), atau Muhammad Abduh, Rasyid Ridha (ulama Sunni) atau sejumlah ulama terkemuka Syiah seperti Muhammad al-Husain al Kasyif al-Githa’, Abdulhusain Syarafuddin al-Musawy, Hasan ath-Tharimy hingga Imam Khomeini sebagai sumber rujukan mendedah dua mazhab tadi.

Lantas, apa jawaban Quraish atas keinginan banyak kalangan agar penganut Sunni dan Syiah bergandengan tangan. Dia berseru, “Dapat! Kalau kita mau”. Menurutnya, penyatuan mazhab-mazhab dalam Islam memang mustahil. Namun, yang paling mungkin adalah mengumandangkan persatuan umat, dalam arti membiarkan mazhab-mazhab yang ada tumbuh berkembang seraya berikhtiar membangun kerjasama menuju kejayaan Islam.

Secara lebih praktis, Quraish merujuk hasil Muktamar Doha (20-22 Januari 2007). Kini, bukan waktunya lagi bagi kalangan Sunni dan Syiah—seperti terjadi di Irak—saling menumpahkan darah. Sebaliknya, dialog antarmazhab menekankan haramnya pertumpahan darah, merampas harta atau menciderai kehormatan Muslim. Lebih dari itu, para penganut Sunni dan Syiah dituntut bersatu menghadapi aneka tantangan yang dihdapi umat serta melanjutkan usaha-usaha pendekatan antarmazhab dan menyingkirkan rintangan-rintangan yang timbul.

Quraish menyebut kemungkinan dua mazhab bergandengan tangan bukan isapan jempol. Sebab jejak sejarah menunjukkan para ulama Islam pernah melakukannya. Dalam literatur Sunni dikemukakan bahwa Imam Abu Hanifah berhubungan erat dengan Imam Ja’far as-Shadiq (imam ke-6 Syiah) dan sering berdiskusi. Demikian pula Imam Syafi’i menjaga silaturahmi dengan Nafisah (putri al-Hasan bin Zaid bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib). Atau Imam Hambali dengan Imam Zain bin Ali (imam Syiah) dan banyak lagi lainnya. [Mei 2007]