Monday, July 30, 2007

Golput Jakarta, Menggerogoti Siapa?

Oleh Moh Samsul Arifin

PASANGAN Fauzi Bowo-Prijanto diunggulkan memenangkan Pilkada DKI Jakarta yang akan dihelat pada 8 Agustus mendatang. Sejumlah hal yang menguntungkan Fauzi Bowo-Prijanto adalah dukungan Koalisi Jakarta (ada yang menyebut Koalisi Matahari) yang terdiri atas 18 partai politik, berposisi sebagai incumbent (saat ini masih wakil gubernur DKI Jakarta), representasi putra daerah (beretnik Betawi dan lahir di Jakarta) hingga memiliki popularitas tinggi.

Apabila faktor advantage ini dapat dikelola secara baik oleh Fauzi-Prijanto, tim sukses dan parpol pendukungnya, bukan tak mungkin peraih doktor dari Jerman tersebut menjadi warga sipil kedua yang memimpin ibukota. Lebih dari itu, Foke berpeluang mengubur mitos, bahwa Provinsi DKI Jakarta selalu dipimpin oleh tokoh non-Betawi. Sebagaimana dimaklum, kecuali Henk Ngantung, putra Kawanua kelahiran Manado, antara 1945-2002, Jakarta dipimpin tokoh kelahiran Jawa dan Sunda.

Dalam survei teranyar Lembaga Survei Indonesia, popularitas Fauzi-Prijanto masih diatas Adang Daradjatun-Dani Anwar. Pasangan Adang-Dani yang diusung sendirian oleh Partai Keadilan Sejahtera tertinggal sekitar 32 persen dibawah Fauzi-Prijanto. Hasil survei LSI secara head to head pada April lalu juga menguatkan popularitas Fauzi. Saat itu Foke menempati urutan per­ta­ma sebagai cagub yang akan dipilih warga Jakarta di Pilkada DKI dengan persentase 34 persen. Sedangkan Adang Daradjatun berada di posisi ketiga dengan dukungan (19 persen).

Kendatipun masih unggul, demikian LSI, suara Fauzi-Prijanto bisa digerogoti oleh kecenderungan warga (calon pemilih) untuk tak menggunakan hak pilih alias golongan putih. Potensi Golput diprediksi sekitar 65 persen, jauh diatas kecenderungan Golput di sejumlah daerah yang telah melaksanakan pilkada sepanjang Juni 2005-Desember 2006 yang berkisar 30-35 persen.

Ini ancaman yang bisa merugikan Fauzi-Prijanto. Menurut saya, Golput adalah "pemilih skeptis" yang frustasi. Firmanzah dalam "Marketing Politik" (2007) mendefinisikan pemilih skeptis adalah pemilih yang tak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tak menjadikan kebijakan (orientasi terhadap program kandidat atau policy problem solving).

Pemilih skeptis cenderung kurang terlibat dalam sebuah parpol. Mereka juga kurang memedulikan platform dan kebijakan sebuah parpol atau kontestan pemilu. Andai ikut berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasa mereka melakukan hal itu secara acak atau random. Nah, mereka yang Golput, tak lain adalah pemilih skeptis yang frustasi dan menemukan penyelesaian atas frustasinya itu dengan tak menggunakan hak pilih di kala pemungutan suara.

Berdasarkan orientasi terhadap kebijakan dan ideologi itu, pemilih terbagi lagi dalam tiga kelompok lain. Yakni pemilih tradisional, pemilih rasional dan pemilih kritis. Pemilih tradisional umumnya berorientasi pada ideologi. Mereka dapat dimobilisasi, baik saat kampanye maupun pemungutan suara. Urusan rekam jejak atau track record parpol atau kontestan pilkada tak terlalu penting bagi pemilih jenis ini. Demikian pula, tawaran program dari kontestan pilkada.

Pemilih rasional adalah tipe pemilih yang peduli dan memperhatikan rekam jejak dan program yang ditawarkan parpol atau kontestan pilkada. Tapi, ideologi bukan terlalu penting bagi pemilih ini. Siapa pun yang memiliki program yang kira-kira mampu menyelesaikan permasalahan aktual masyarakat, termasuk dirinya, punya peluang mendapatkan suara dari pemilih rasional. Mereka termasuk jenis pemilih yang dinamis, pragmatis, dan dapat menyeberang dari satu parpol ke parpol lain.

Sedangkan pemilih kritis, care pada urusan ideologi dan policy problem solving yang ditawarkan parpol atau kandidat pilkada. Mereka akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai parpol atau kandidat (ideologi) dengan kebijakan yang dibuat (Marketing Politik: 135). Semakin tinggi pendidikan warga masyarakat, pemilih jenis ini kian banyak. Demikian pula jika warga masyarakat kian melek politik, pemilih kritis akan semakin bertumbuh. Tipe pemilih ini sangat dibutuhkan dalam sistem demokrasi yang mensyaratkan keadaban budaya para pelakonnya.

Apakah faktor Golput akan menekan Fauzi-Prijanto? Saya kira jawabannya ya. Pertama, suara Fauzi-Prijanto saat ini terserak ke dalam sel-sel kecil, yakni parpol pendukung pasangan ini yang berjumlah 18. Juga pada sekian komunitas etnik dan ormas. Sangat positif, jika potensi pemilih itu dapat dikonsolidasi dan dikonversi menjadi suara aktual dalam pemungutan suara. Pada Pemilu 2004 lalu, 18 partai yang mendukung Fauzi-Prijanto menangguk 70-an persen suara.

Kedua, calon pemilih Fauzi-Prijanto sangat cair. Mereka ada yang sangat berorientasi ideologis (pemilih tradisional), berorientasi kebijakan (pemilih rasional), atau berorientasi keduanya (pemilih kritis). Biasanya, parpol hanya dapat memobilisasi pemilih ideologis. Selebihnya, tiga jenis pemilih lain sulit sekali dijangkau mesin politik semacam parpol. Pengalaman Pilpres 2004, suara parpol dalam pemilu legislatif tak bisa langsung dikonversi menjadi suara untuk kandidat presiden/wakil presiden. Hal sama terjadi di 296 daerah yang telah menyelenggarakan pilkada sepanjang Juni 2005-Desember 2006.

Ketiga, massa tradisional 18 parpol yang mendukung Fauzi-Prijanto belum tentu senafas dengan parpol induknya (DPP, DPW atau DPD). Massa tradisional 18 parpol itu, saya kira, jauh lebih sulit dikonsolidasikan ketimbang massa tradisional Partai Keadilan Sejahtera. Massa tradisional 18 parpol itu berpeluang membuat semacam "perlawanan" terhadap parpolnya atau bahkan menyeberang ke kubu lain.

Sebaliknya massa tradisional PKS yang mendukung Adang-Dani teruji sebagai massa yang solid. Memang di kalangan massa PKS, ada empat tipe pemilih sekaligus: tradisional, rasional, kritis dan skeptis. Namun, yang membedakan massa PKS dengan massa Partai Golkar, PDIP atau Partai Demokrat adalah massa PKS mentransendensi proses politik sekuler semacam pilkada ini sebagai unit yang tidak terpisah dari kegiatan
berdakwah.

Kelahiran PKS (dulu Partai Keadilan) mewakili genre politik baru di kalangan Muslim. Partai ini terputus dengan masa lalu parpol atau ormas semacam Masyumi, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama (lihat Fenomena Partai Keadilan, 2002). PKS merupakan kepanjangan tangan dari aktivis gerakan dakwah di kampus-kampus (tarbiyah) dan lalu meluas ke warga masyarakat di sekitarnya.

Dalam lingkup politik lokal Jakarta, Pilkada 2007 ini merupakan taruhan bagi PKS untuk menggapai impian memimpin ibukota. Di Depok, kader PKS yakni Nurmahmudi Ismail menjabat Walikota dengan mengalahkan pasangan calon yang diusung koalisi parpol. Demikian juga di Sukabumi dan Cianjur, Jawa Barat.

Dengan posisi sebagai pemenang pemilu legislatif 2004 di Jakarta (menguasai sekitar 20,15 persen suara), PKS pasti akan total. Sepanjang Juni 2005-Desember 2006, dari total 6 wilayah dimana PKS meraih suara terbesar dalam pemilu legislatif 2004, baru di dua daerah (33,3 persen), mereka berhasil memenangkan pasangan calon yang diusung partai tersebut. Selebihnya gagal.

Dari perhelatan pilkada di 296 daerah (provinsi, kabupaten dan kota), sebanyak 43,1 persen pasangan calon yang diusung parpol pemenang pemilu legislatif 2004 melenggang sebagai pemenang. Sisanya, 65,9 persen pasangan calon yang diusung parpol pemenang pemilu legislatif 2004 terpental.

Adang-Dani pasti berhitung dengan warga yang berpotensi Golput itu. Dengan asumsi massa PKS dapat "dipegang", masa kampanye selama dua pekan ini akan menjadi masa yang sulit bagi Adang-Dani. Pasangan tersebut perlu meningkatkan popularitas di hadapan warga Jakarta agar mampu meraih 50 persen suara plus satu yang disyaratkan dalam UU Pemerintahan DKI Jakarta yang disahkan DPR pada 17 Juli lalu.

Di atas segalanya, kedua kandidat harus bekerja keras menerapkan prinsip-prinsip marketing agar menyedot perhatian warga Jakarta. Tepat di sini, perang image (citra) akan berseliweran di ruang-ruang publik seantero Jakarta. Adang-Dani yang mengumandangkan "Ayo Benahi Jakarta" akan dilawan dengan "Jakarta untuk Semua" yang digalang pendukung Fauzi-Prijanto. [30 Juli 2007]

Tuesday, July 24, 2007

Implikasi Dibukanya Calon Independen

Oleh Moh Samsul Arifin

HARAPAN
agar calon perseorangan atau calon independen berpartisipasi dalam pilkada secara langsung dibuka oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang 23 Juli 2007, MK memutuskan bahwa Pasal 56 ayat 2 dan Pasal 59 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 yang termaktub dalam UU 32/2004 bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 56 ayat 2 yang berbunyi, “Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”; Pasal 59 ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”; Pasal 59 ayat (2) sepanjang mengenai frasa ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”; Pasal 59 ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa ”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud” tak lagi mempunyai kekuatan hukum tetap (www.mahkamahkonstitusi.go.id, 23/7).

MK juga menjawab keberatan pemohon, Lalu Ranggalawe yang menuntut agar calon independen dibolehkan seperti dalam pilkada Aceh. Seperti diketahui Pasal 67 ayat (1) huruf d UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh membolehkan calon perseorangan di luar partai politik berpartisipasi dalam pilkada.

Untuk menghindari dualisme pelaksanaan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945—rujukan penyelenggaraan pilkada—menurut MK, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dari nonparpol atau perseorangan harus dibuka. Apabila dualisme itu dibiarkan, MK berpendapat hal itu dapat mengakibatkan terlanggarnya hak warga negara yang dijamin oleh pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Ayat 3 ini memaklumkan prinsip kesetaraan , yakni kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Putusan MK ini merupakan oase di tengah dominasi partai yang nyaris mutlak dalam politik pilkada sepanjang Juni 2005-Desember 2006. Bayangkan, dalam pilkada di 296 daerah (provinsi, kabupaten dan kota) itu siapa pun yang berminat turun ke pesta politik lokal (pilkada) harus lewat pintu parpol. Alih-alih menjadi kawah candradimuka bagi lahirnya pemimpin berkualitas, parpol telah bermimikri menjadi broker. Dukungan untuk pencalonan di pilkada kemudian “diperdagangkan” oleh parpol.

Tak pelak, politik lokal menjadi milik mereka yang memiliki kocek tebal saja. Siapa yang tak memiliki modal kapital cukup, kendatipun punya modal kepemimpinan, dipastikan tak didukung parpol. Syarat pencalonan via parpol atau gabungan parpol (Pasal 56 ayat 2 UU 32/2004) telah memberangus demokrasi yang menjadi raison d’etre demokrasi langsung.

Bagi pemohon, Lalu Ranggalawe (anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah), keputusan itu sungguh melegakan. Pasalnya, penyelenggaraan pilkada yang bakal diikutinya masih setahun lagi. Artinya, jika pemerintah segera merevisi pasal-pasal di atas, maka Ranggalawe berpeluang tampil sebagai calon independen. Mulai saat ini pemerintah harus menyiapkan revisi dua pasal yang dinilai MK bertentangan dengan konstitusi tersebut.

Misalnya, persyaratan bagi calon perseorangan atau independen. Berkaca pilkada Aceh (Pasal 68 ayat 1 UU 11/2006), calon perseorangan bisa ikut pilkada jika didukung sekurang-kurangnya tiga persen dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur/wagub. Sedangkan untuk pemilih bupati/wabup dan walikota/wawali harus didukung tiga persen penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50 persen jumlah kecamatan. Apabila pemerintah pusat dan DPR memiliki political will, persyaratan seperti ini dapat segera diselipkan dalam UU 32/2004. Namun, apakah keputusan MK ini berlaku untuk pilkada DKI Jakarta yang saat ini telah masuk tahap kampanye?

Seperti ditegaskan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, keputusan MK berlaku sejak Ketua Majelis Hakim mengetuk palu. Ini dapat diartikan, keputusan itu tak berlaku surut atau ditarik ke belakang. Seluruh pilkada yang diselenggarakan sejak Juni 2005 ini sah menurut hukum positif (UU 32/2004). Nah, soalnya apakah Pilkada DKI Jakarta telah berakhir?

Apabila mengikuti tahapan pilkada yang ditetapkan KPU DKI Jakarta, perhelatan pilkada Jakarta dapat dikatakan belum rampung alias tengah berlangsung. Perhelatan pilkada telah rampung, jika pasangan calon yang terpilih sudah dilantik. Dengan logika ini, seyogyanya pilkada Jakarta yang tengah masuk tahapan kampanye ditunda untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah guna merevisi dua pasal dalam UU 32/2004 tadi.

Ada moral politik yang harusnya dijadikan KPU DKI Jakarta acuan untuk mengambil sikap. Saat ini, KPU DKI Jakarta sudah tahu bahwa calon independen dibolehkan. Mengapa mereka tak menunda terlebih dulu proses pilkada agar calon independen dapat berpartisipasi?

KPU DKI Jakarta diharapkan tidak terjerumus pada pemahaman hukum yang linier. Justru, yang harus dimenangkan adalah keinginan warga Jakarta memperoleh calon gubernur/wagub berkualitas. Ini tak bisa tidak hanya dapat dilakukan jika tahapan pilkada dimulai kembali dengan memberi waktu kepada calon independen berpartisipasi.

Hemat saya, KPU DKI Jakarta memiliki momentum untuk memutus kecenderungan oligarki parpol dalam proses pilkada sebagai akibat keputusan MK tersebut. Bagaimanapun, mengumpulnya dukungan 20 parpol terhadap Fauzi Bowo-Prijanto, merupakan fenomena tak biasa yang mempertegas bahwa parpol-parpol di Jakarta mengidap syndrome “rendah diri”. Memiliki sumberdaya politik cuku, tapi tak menggunakannya.

Lihatlah peta sebaran suara dan kursi pada Pemilu 2004 untuk DPRD DKI Jakarta. Ada dua parpol yang bisa mendaftarkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, karena sanggup memenuhi kuota 15 persen yang diatur Pasal 59 ayat 2 UU 32/2004. Partai Keadilan Sejahtera (23,34 persen suara) dan Partai Demokrat (20,15 persen suara) tak perlu berkoalisi untuk mendaftarkan pasangan calon. Sayang, Partai Demokrat tak menggunakan hak konstitusi tadi.

Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (13,47 persen suara), hanya perlu menggamit Partai Damai Sejahtera (5,74 persen suara) untuk mengusung pasangan calon. 20 Parpol di luar PKS, Demokrat, PDIP dan PDS masih bisa mendaftarkan setidaknya dua pasangan calon, total suara yang tersisa ada 37,3 persen.

Namun, parpol-parpol Jakarta tak melakukan hal tersebut. Alih-alih menggunakan sumberdaya politik mereka, sekaligus membuat peta persaingan menjadi multipolar. Parpol-parpol di Jakarta terseret pada pengkutuban politik yang terbatas (bipolar). Dampaknya, warga Jakarta “dipaksa” kekurangan preferensi politik untuk memilih dalam Pilkada 2007. Padahal Lembaga Survei Indonesia mengonfirmasikan, warga Jakarta mengharapkan hadirnya calon independen dalam Pilkada DKI Jakarta tahun. Dalam survei yang berlangsung 23-29 Mei 2007 itu, 64 persen warga Jakarta tak memercayai kapasitas pasangan calon dari parpol. [Juli 2007]

Monday, July 23, 2007

Mesin Pendulang Suara Pilkada Jakarta

Oleh Moh Samsul Arifin

PILKADA Jakarta 2007 bakal menguji sejumlah hal. Pertama, seberapa kuat faktor etnis (baca: Betawi) berpengaruh positif dalam mendulang suara. Kedua, akankah duet sipil-militer lebih manjur ketimbang pasangan polisi-sipil. Ketiga, bagaimana keterlibatan isu sektarianisme dan pluralisme dalam mendukung citra pasangan calon di mata pemilih.

Keempat, apakah calon incumbent sanggup memenangkan Pilkada Jakarta atau justru sebaliknya calon yang diusung pemenang Pemilu Legislatif 2004 yang memimpin ibukota. Kelima, apakah model “mega” koalisi politik seperti digalang Partai Golkar, PDIP dan Partai Demokrat bisa efektif mengarahkan pilihan warga Jakarta. Dan keenam, betulkah potensi Golput (golongan putih) di Jakarta jauh melampaui tren Golput pada Pilkada yang telah berlangsung di 296 daerah (provinsi, kota dan kabupaten) sepanjang Juni 2005-Desember 2006?

Jakarta adalah barometer politik nasional. Ini juga yang membebani penyelenggaraan Pilkada, 8 Agustus mendatang. Menurut survei teranyar LSI (Lembaga Survei Indonesia), Pilkada nanti dihantui oleh fenomena Golput. Potensi warga yang tak menggunakan hak pilih ditaksir mencapai 65 persen. Ini jauh diatas fakta empiris di 296 daerah yang telah menyelenggarakan pilkada, di mana angka Golput sekitar 30-an persen.

Kecenderungan ini berkaitan dengan faktor etnisitas. LSI menyebut, potensi Golput dari warga Jakarta yang beretnik Jawa sebesar 51 persen, Sunda (54 persen), Betawi (47 persen) dan Tionghoa (85 persen). Data ini mengonfirmasikan bahwa “orang pribumi”, Betawi, jauh lebih care terhadap pesta politik elektoral pertama secara langsung di Jakarta ketimbang “warga pendatang”, setidaknya tiga etnik yang dijadikan sampel LSI.

Berkaca pada sensus penduduk 2000, penduduk beretnik Betawi yang menghuni Jakarta “hanya” ada 2.301.587 jiwa. Selebihnya, 2.339.083 jiwa tinggal di sekitar Jakarta, yakni di Tangerang, Depok dan Bekasi. Pada 2000 itu, jumlah penduduk Jakarta sekitar 8.389.443 jiwa. Artinya, penduduk beretnik Betawi di ibukota sekitar 27,43 persen dari total penduduk ibukota. Selebihnya, 72,57 persen beretnik non-Betawi.

Dengan mengandaikan tren ini tak berubah banyak, penduduk beretnik Betawi yang terdaftar di KPU DKI Jakarta sedikitnya 1,57 juta pemilih dari total 5.725.767 pemilih yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Cukup besar dan menentukan siapa yang bakal memimpin Jakarta periode 2007-2012. Persoalannya, siapa yang diuntungkan oleh faktor Betawi ini?

Fauzi Bowo yang lahir di Jakarta dapat memanfaatkan faktor yang bersifat given tersebut. Sebab, etnisitas berkaitan dengan proses mengidentifikasi diri dan asal-usul sosial. Foke—demikian panggilan Fauzi—kini nyaris menjadi sosok impian warga Betawi yang menginginkan putra daerah menjadi gubernur Jakarta. Sepanjang 1945-2002, belum satu pun warga Betawi memimpin ibukota. Tapi, faktor Betawi ini bisa digerus Adang Daradjatun (etnik Sunda kelahiran Bogor) yang cukup rajin menembus komunitas-komunitas Betawi di Jakarta.

Namun, sejarah Jakarta tak begitu familiar dengan kalangan sipil. Antara 1960-2007, baru Henk Ngantung, warga sipil yang memimpin Jakarta pada 1964-1965. Selebihnya adalah purnawirawan tentara. Henk sendiri adalah putra Kawanua kelahiran Manado, Sulawesi Utara. Selain Henk, seluruh gubernur Jakarta adalah warga pendatang atau keturunan pendatang dari berbagai daerah di Jawa.

Adang Daradjatun sendiri bukan tentara, melainkan mantan petinggi di Polri. Sebagai mantan Wakapolri, Adang menguasai medan Jakarta dan bisa memaksimalkan jaringan kepolisian untuk mendukungnya. Hanya, Adang pun “dibebani” sejarah bahwa Jakarta tak pernah dipimpin bekas petinggi polisi.

Satu faktor lagi yang ikut mewarnai persaingan pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar dan Fauzi Bowo-Prijanto adalah dihembuskannya isu sektarianisme versus pluralisme. Entah siapa yang memulai, yang jelas pasangan Adang-Dani secara salah dianggapkan sebagai simbol sektarianisme. Stereotipe ini dikaitkan dengan keputusan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengusung Adang-Dani, tanpa mengajak parpol lain peraih kursi di DPRD DKI Jakarta. Di lain pihak, aksi 18 parpol menggalang dukungan untuk Fauzi-Prijanto dipandang mencerminkan pluralisme di ibukota.

Pelabelan demikian, kurang bermanfaat bagi iklim politik demokratis, yang diharapkan manifes dalam Pilkada Jakarta. Andaikata PKS hendak membangkitkan penegakan syariat Islam di ibukota pun, cap sektarian tak bisa dikenakan kepada Adang-Dani. Sikap Adang-Dani yang paling genuine bisa dilihat pada visi dan misi mereka, termasuk sepak terjang Adang di Polri dan Dani di DPRD DKI Jakarta. Demikian pula, cap Fauzi-Prijanto sebagai pluralis hanya dapat dibuktikan ketika yang bersangkutan betul-betul menakhodai Jakarta.

Dalam marketing, mengeksploitasi apa yang melekat pada diri dapat menjadi modal kemenangan seseorang bersaing dalam politik elektoral seperti pilkada. Apabila hal ini tak dilakukan secara hati-hati, dapat membenturkan pasangan calon, tim sukses dan konstituen mereka dalam konflik horizontal yang kontra produktif. Karena itu, seyogyanya pasangan calon berhati-hati dengan faktor etnisitas serta isu sektarian-pluralis tersebut.

Buat saya, yang paling terukur justru menakar faktor incumbent (melekat pada Foke) dan faktor parpol pemenang Pemilu Legislatif (yang mendukung Adang). Foke adalah wagub incumbent ketiga yang maju dalam perhelatan pilkada di daerahnya. Dua wagub yang mendaftarkan sebagai calon gubernur dalam pilkada di dua provinsi sepanjang Juni 2005-Desember 2006, gagal menjadi pemenang.

Selama periode ini, demikian data yang dikumpulkan Lingkaran Survei Indonesia, ada 63 wakil kepala daerah (wagub, wabup, dan wawali) yang maju dalam pilkada. 18 orang alias 28,57 persen menang dan selebihnya 45 orang (71,43 persen) kalah.

Lain hal jika sang incumbent adalah kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota). Dari 296 daerah (provinsi, kabupaten dan kota) yang menyelenggarakan pilkada, sebanyak 230 kepala daerah maju kembali dalam pilkada langsung. Kepala daerah yang berhasil menang sangat tinggi, mencapai 62,2 persen.

Sementara, dukungan dari parpol pemilu legislatif tahun 2004 tak menjamin kemenangan pada pasangan calon yang maju. Kadar keberhasilan parpol pemenang pemilu legislatif mendudukkan pasangan calonnya sebagai kepala dan wakil kepala daerah sekitar43,1 persen. Pasangan calon tersebut bisa incumbent (kepala atau wakil kepala daerah), pasangan calon di luar incumbent dan pasangan calon dari parpol-birokrat. Selebihnya 56,9 persen pasangan calon yang diusung parpol-parpol pemenang pemilu legislatif di sejumlah daerah menderita kekalahan.

Fenomena ini, tak hanya terjadi pada partai besar semacam Partai Golkar dan PDIP, tapi juga pada PKS, PKB dan PPP. Dari total 6 daerah dimana PKS menjadi peraih suara terbesar dalam Pemilu Legislatif 2004, hanya dua daerah (33,3 persen) yang berhasil dimenangkan PKS dalam pilkada (Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia, Juli 2007).

Akan diuji, apakah kemenangan PKS di Jakarta tahun 2004 lalu, yakni dengan mendulang 23,34 persen suara atau 24 persen kursi DPRD DKI Jakarta dapat diulang dalam Pilkada nanti.

Sebagaimana dimaklum, dalam Pemilu Legislatif 2004, majoritas suara (76,66 persen) terdistribusi ke 23 parpol lain. Tepat di sini, kita bertemu dengan anomali politik lokal Jakarta. Partai Demokrat yang bisa sendirian mengusung pasangan calon dengan 20,15 persen tak menggunakan hak konstitusional tersebut. Partai Demokrat bersama belasan parpol justru membuat Koalisi Jakarta yang mendukung Fauzi-Prijanto. Koalisi besar ini pun belum tentu sanggup mengonversi suara mereka di Pemilu Legislatif 2004 menjadi suara aktual untuk pasangan Fauzi-Prijanto.

Sejumlah fakta ini, selayaknya diperhatikan pasangan Fauzi-Prijanto dan Adang-Dani. Kedua pasangan berikut parpol pendukung mereka wajib kerja keras untuk menjungkir-balikkan sejumlah fakta empiris dalam penyelenggaraan pilkada antara Juni 2005-Desember 2006. Mungkinkah Jakarta bakal kian meneguhkan fenomena anomali? [Juli 2007]

Thursday, July 19, 2007

Meroketnya Perbankan Syariah

Oleh Moh Samsul Arifin

SUNGGUH
fantastis menilik perkembangan ekonomi syariah dewasa ini. Apabila satu dasawarsa silam, baru sektor perbankan diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia tahun 1992 yang dimasuki ekonomi berbasis syariah, kini ekonomi syariah telah memperluas cakupan kerjanya ke sektor-sektor lain seperti asuransi, obligasi, reksadana, pegadaian, hotel hingga pasar modal. Produk syariah yang disebut terakhir ini adalah produk paling anyar dan baru diluncurkan Maret lalu.

Di antara produk ekonomi syariah, perbankan syariah bisa dibilang tumbuh paling mengesankan. Setidaknya ditinjau dari dua paramater berikut ini. Pertama, pertumbuhan bank yang menerapkan prinsip syariah. Dewasa ini, bank-bank konvensional turut membuka cabang syariah, seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank IFI, BII, dll. Apabila tahun 1999, baru ada 21 kantor cabang/kantor cabang syariah (KC/KCS), per November 2002 berdiri sekira 71 KC/KCS. Saat ini, sudah hadir sekira 144 KC/KCS. Sementara pada periode yang sama, BPR syariah membubung, dari 78 menjadi 85.

Kedua, dari sisi kinerja dalam dua tahun terakhir total aset, dana pihak ketiga (DKP) serta total kredit terus meroket. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, per November 2002, total aset perbankan syariah mencapai Rp 4,13 triliun, naik sekira 268,75 persen dibandingkan total aset tahun 1999 (Rp 1,12 triliun). DKP yang berhasil dikumpulkan sudah bertengger di angka Rp 2,96 trilun, meningkat 529,78 persen dibandingkan tahun 1999 (Rp 0,47 triliun). Sementara total kredit yang berhasil dikucurkan meningkat sampai 594 persen menjadi Rp 3,47 triliun dibandingkan data tahun 1999 yang hanya Rp 0,5 triliun.

Kalau tiga indikator itu dibandingkan dengan kinerja perbankan di tanah air, shareestablish dan menjadi hegemon di dunia perbankan. (sumbangsih) perbankan syariah terhadap perbankan nasional sekira 0,36-0,86 persen. Seperti dikemukakan BI per November 2002, total aset, DKP, serta total kredit seluruh bank di negeri kita masing-masing Rp 1.095,8 triliun, Rp 815,4 triliun, dan Rp 402,2 triliun. Sumbangan di bawah satu persen itu, bagaimana pun mesti dicatat sebagai keberhasilan karena bank syariah baru merintis usaha sebelas tahun silam, sedangkan bank konvensional telah

Data yang dipaparkan di atas adalah data kumulatif, bagaimana dengan kinerja bank syariah secara individual. Ambil contoh Bank Syariah Mandiri (BSM). Bank yang mayoritas sahamnya dikuasai Bank Mandiri ini dapat meningkatkan perolehan laba setelah menerapkan ekonomi syariah. Pada tahun 2001, laba bank umum syariah kedua ini mencapai Rp 16,7 miliar. Setahun kemudian mereka dapat menangguk laba sekira Rp 29,4 miliar. Meroket mendekati dua kali lipat.

Sementara Bank IFI, bank konvensional pertama yang membuka unit syariah pada 28 Juni 1999 hingga akhir 2002, mampu mendulang laba sekira Rp 3 miliar. Perolehan laba itu berarti sepertiga dari total laba yang berhasil diperoleh Bank IFI tahun 2002, sekira Rp 9 miliar. Kinerja unit syariah itu, mengilhami Bank IFI untuk secara bertahap berubah jadi bank umum syariah. Bank Internasional Indonesia (BII) pada Mei lalu juga telah membuka unit syariah. Dengan investasi sekira Rp 50 miliar, bank ini menargetkan bisa menghimpun aset lebih dari Rp 120 miliar dalam tempo satu tahun.

Di balik kisah sukses di atas, sesungguhnya ada beberapa persoalan yang perlu digarap untuk memuluskan jalan perbankan syariah bisa establish di negeri mayoritas Muslim ini. Pertama, pertumbuhan bank syariah di atas belum merata. Bank syariah baru dinikmati sebagian kecil masyarakat kita, khususnya mereka yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, dll. Sudahkah kita bertanya, ekonomi syariah dikenal oleh umat di Pulau Roti (Nusa Tenggara) atau di Sabang (Aceh) sana?

Kedua, masyarakat Muslim Indonesia masih belum sepenuh hati menerima bank syariah. Sebuah survei oleh Bank Indonesia pada tahun 2000-2001 di enam provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Jambi menunjukkan hal itu. Dari total 5.585 responden disimpulkan, hanya 11 persen yang memahami dan memanfaatkan produk syariah. Padahal, yang mengatakan bunga bank bertentangan dengan agama ini yang menjadi pembeda bank syariah dengan bank konvensional ada 42 persen. Berarti sekira 31 persen responden masih ragu-ragu untuk menetapkan pilihan pada bank syariah.

Ketiga, ada kesenjangan antara kebutuhan dan pengetahuan masyarakat terhadap jenis-jenis produk syariah. Akibatnya, permintaan masyarakat rendah. Bank pun kesulitan memasarkan produk syariahnya. Boleh jadi ini merupakan dampak dari sosialisasi yang kurang berhasil atau tidak efektifnya cara mengomunikasikan produk syariah terhadap masyarakat. Istilah-istilah teknis seperti al-ijarah (sewa beli), al-qardh (pinjaman kredit), al-sharf (jual beli mata uang), murabahah (jual beli), musyarakah (pembiayaan), dll. yang terlampau Arab agaknya mengganggu sosialisasi produk syariah.

Diutarakan oleh Rudjito (Direktur Utama BRI), salah satu bank konvensional yang membuka unit syariah, sejauh ini ada kelompok masyarakat yang menyambut antusias bank syariah. Namun, ada beberapa kelompok yang belum menyambut bank syariah karena terkendala oleh beragamnya pemahaman (faktor sosialisasi) mengenai perbankan syariah yang sampai pada mereka.

Keempat, sejauh ini bank sentral (BI) baru setengah-setengah dalam mendukung perkembangan perbankan syariah. Selain itu, Undang-Undang BI Nomor 10/1998 yang mengatur perbankan syariah dianggap tak lagi memadai. Saat ini, sudah mendesak sebuah undang-undang khusus mengatur perbankan syariah. Tuntutan serupa terjadi di sektor syariah lainnya, seperti asuransi dan pasar modal.

Peneliti senior di Biro Perbankan Syariah BI, Mulya Effendi Siregar, mengatakan hingga kini perangkat pengaturan perbankan syariah belum sempurna. Misalnya, belum ada aturan tingkat kesehatan bank syariah, yang di bank umum (konvensional) diukur dengan rasio kecukupan modal (CAR). Demikian pula kerangka laporan bulanan yang baku, sistem penilaian keuangan dan manajemen bank berbasis syariah, juga nihil.

Kendala di atas dapat diantisipasi jika pegiat dan pelaku perbankan syariah mampu bergandengan tangan dengan BI untuk membuat regulasi yang pas untuk mengatur perbankan syariah. Di internal pegiat dan pelaku perbankan syariah dan lebih luas lagi produk ekonomi syariah lainnya memperbaiki cara-cara sosialisasinya terhadap masyarakat.

Pertumbuhan bank syariah yang belum merata dapat diimbangi dengan memperluas jaringan serta membuka windows syariah. Menurut A. Riawan Amin (2003), karena karakter nasabah bank-bank syariah terpencar, maka tidak perlu lagi dilakukan pendekatan centralized yang menghabiskan modal. Sebaliknya, ke depan diperlukan ratusan titik untuk merengkuh nasabah. Itu tak perlu dilakukan dengan membuka cabang, tapi cukup gerai (windows system). Sebagai percontohan, Bank Muamalat Indonesia (BMI) akan membuka 20 titik pada tahun 2003 ini berupa gerai-gerai berisi 3-4 orang.

Persoalannya, windows syariah ini tengah disorot oleh BI. Karena membuka windows (counter syariah) di setiap cabangnya, BNI mendapat teguran dari bank sentral. BI memerintahkan agar BNI menutup counter-counter syariah. Alasannya, apa yang dilakukan BNI tidak ada peraturannya. Sekali lagi ketiadaan regulasi membuat perbankan syariah terhambat. Semestinya, sesuatu yang belum ada peraturannya ditoleransi lebih dahulu. Toh, tak ada yang mudarat dengan dibukanya counter-counter tersebut.

Untuk menjangkau masyarakat, terutama non-Muslim, ada baiknya jika idiom-idiom Arab yang menghiasi istilah-istilah teknis perbankan syariah dikurangi. Kalau mungkin, istilah teknis itu lebih dibumikan menurut lidah Indonesia. Sepertinya tak perlu formalisasi dengan menggunakan idiom-idiom Arab. Yang lebih penting substansi produk syariah itu dapat dikomunikasikan pada masyarakat dan tidak bergeser dari prinsip-prinsip yang diinginkan oleh syariah. [Pikiran Rakyat, 16 Juni 2003]

Wednesday, July 18, 2007

Dualisme Struktural Partai Kebangkitan Bangsa

Oleh Moh Samsul Arifin

DI
gedung megah di bilangan Kramat Raya, Jakarta Pusat itu duduk tiga orang kiai. Yang satu bertindak sebagai tuan rumah dan dua lainnya adalah tamu penting. Sang tamu, yakni K.H. Muhaiminan Gunardo dan K.H. Ubaidilah Faqih, menyerahkan sepucuk surat kepada K.H. Abdurrahman Wahid. Surat yang dibungkus map cokelat besar ini merupakan hasil pertemuan Forum Musyawarah Kiai Langitan (FMKL) yang berlangsung di kediaman Gus Ubaidilah, di Widang, Tuban, 15 Maret lalu.

Apa isi surat yang ditulis dengan huruf Arab pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa, red) itu? Kabarnya adalah desakan dari Kiai Langitan agar DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengembalikan kembali fungsi serta tugas Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP PKB. Kiai Langitan menilai, keputusan DPP PKB menonaktifkan Alwi Shihab dari Jabatan Ketua Umum PKB dan pencopotan Saifullah sebagai Sekretaris Jenderal PKB tidak sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan aturan partai. Apabila usulan tersebut tidak dihiraukan, Kiai Langitan mengancam akan men-support langkah Alwi dan Saifullah menempuh jalur hukum atau somasi.

Seperti diketahui, Alwi dan Saifullah dicopot dari jabatannya setelah keduanya menerima "pinangan" Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk bergabung dalam skuad Kabinet Indonesia Bersatu. Alwi kini memegang pos penting sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) sedangkan Saifullah menjabat Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal.

Mereka dikeluarkan dari kepengurusan, sebab DPP PKB menolak praktik rangkap jabatan. Lagi pula, secara institusional PKB tidak mendukung SBY-Jusuf Kalla dalam pilpres tahun lalu. PKB saat itu memutuskan untuk mem-back up penuh Wiranto dan Solahuddin Wahid. Karena khawatir masuknya Alwi-Saifullah itu memiliki konsekuensi politis bagi partai, yakni harus mendukung pemerintah yang berkuasa. DPP PKB menggelar rapat untuk menonaktifkan keduanya dari jabatan di Dewan Tanfidziyah.

Kata salah seorang Ketua DPP PKB, Andi Muawiyah, "Sewaktu pemecatan, dia hadir, dia telah menerima, bahkan mengusulkan penggantinya. Kalau kemudian ia (merencanakan-red) menggugat ke pengadilan, itu urusan lain" (Pikiran Rakyat, 8/4).

Sudah rahasia umum, surat Kiai Langitan ini memiliki nilai politis. Apabila surat yang akan dibawa Gus Dur ke Rapat DPP PKB Senin (11/4) itu dikabulkan seluruhnya, dipastikan akan semakin banyak calon yang akan bertarung dalam pemilihan ketua umum (Dewan Tanfidziyah). Sejauh ini sudah beredar nama antara lain Muhaimin Iskandar, Ali Masykur Musa, Moh Mahfud MD, AS Hikam, dan Lalu Misbakh. Tiga nama yang disebut pertama ditengarai mendapat "restu" Gus Dur untuk memimpin Dewan Tanfidziyah.

Sebaliknya, jika rapat itu tidak menerima sama sekali surat tersebut maka konflik yang kesekian di tubuh PKB akan segera merebak. Tentu saja dengan intensitas konflik yang tinggi dibandingkan dengan perseteruan Gus Dur dan Matori Abdul Djalil tempo lalu. Jika kita membuka sejarah PKB, bukan kali ini saja Saifullah, masih keponakan Gus Dur, dicopot dari jabatannya sebagai Sekjen. Pada 1 September 2003, Dewan Syura yang dipimpin oleh Gus Dur mencopot Syaifullah sebagai Sekjen DPP PKB lewat pemungutan suara. Waktu itu Saifullah bergeming, karena tindakan DPP tidak memenuhi ketentuan pasal 20 ayat 11c AD/ART PKB. Dalam pasal itu disebutkan keputusan baru sah, jika didukung paling kurang 2/3 anggota yang hadir.

Bahkan berkat dukungan dari kiai di struktural PKB dan kiai-kiai di Jawa Timur, Rapat Pleno Gabungan pada 19 September 2003 gagal mereposisi ketua GP Anshor itu. Rapat memutuskan untuk menunda reposisi Saifullah. Dan sampai Pemilu 2004 (April-September), mantan anggota DPR dari PDIP ini tak pernah turun dari jabatannya sebagai Sekjen. Saifullah yang pernah berseteru dengan Alwi Shihab, calon Gus Dur dalam Muktamar Luar Biasa di Yogyakarta (2002), ikut mempertahankan suara elektoral partai nahdliyin ini pada Pemilu 2004. Apabila suara PDIP, PPP dan PAN mengalami penurunan signifikan, PKB justru tetap berkibar di urutan 3, persis dengan torehan mereka pada Pemilu 1999. Mereka memperoleh 11.994.877 suara, setara dengan 52 kursi DPR.

Di tingkat akar rumput, Saifullah memiliki konstituen yang luas. Ia jauh lebih diterima ketimbang Alwi Shihab yang jauh lebih mentereng dari segi intelektualitas. Apalagi kini, Saifullah terpilih kembali sebagai Ketua GP Anshor. Dengan keunggulan tersebut pantas jika calon-calon lain yang akan bertarung dalam Muktamar ke II di Semarang (16-18 April) nanti menilai Saifullah sebagai ancaman. Kartu as lain yang dikantongi Saifullah, adalah posisinya sebagai unsur kabinet. Ini sama dengan dukungan pemerintah (baca: Presiden Yudhoyono).

Misalkan saja yang diaktifkan kembali oleh DPP adalah Alwi. Maka faktor Saifullah tetap harus dihitung oleh para calon yang akan bertarung. Melihat sepak terjang Saifullah, jika Alwi dapat masuk pertarungan, maka dukungan dari Saifullah (otomatis beserta sumber daya politik di belakang ketua GP Anshor itu) akan disetor ke Alwi. Apalagi kini mereka adalah partner kerja di kabinet dan sudah bekerja sama sejak MLB di Yogya.

Namun, jika mereka (baik Alwi dan Saifullah) tak diaktifkan kembali oleh DPP PKB, maka suara Saifullah kemungkinan akan disetir oleh Kiai Langitan. Pun demikian, tidak diaktifkannya mereka tidak memiliki konsekuensi keduanya (Alwi dan Saifullah) terlarang untuk bertarung dalam muktamar.

Andai keduanya tertahan, sebetulnya yang akan menentukan ke mana suara muktamirin bergerak adalah Kiai Langitan, Gus Dur dan struktural PKB (DPP hingga DPC). Konstituen PKB, yakni para nahdliyin di akar rumput sebagaimana biasanya akan tetap menjadi "penonton" karena konflik yang selalu terjadi di PKB pada hakikatnya telah menjadikan mereka apolitis terhadap hajatan sepenting muktamar.

Buat saya agenda pertama yang harus dibahas dalam muktamar Semarang justru adalah soal konstituen ini. Pertama, tergolong pemilih yang setia kendatipun dalam pemilu suara mereka masih tergantung dan dipengaruhi bagaimana patron (kiai-kiai di tingkat lokal) mereka memberikan dukungannya. Saya melihat memang ada pergeseran, suara warga nahdliyin makin mandiri. Namun pergeseran itu belum begitu luas, karena baru golongan terpelajar (kalangan pemuda, mahasiswa dan intelektual) yang memiliki kemandirian secara politik.

Kedua, bagaimanapun PKB mesti mengurangi ketergantungannya pada figur kharismatik, entah itu di kepengurusan maupun dalam memberdayakan masyarakat pendukungnya. Masih terjalinnya hubungan patron-klien dalam hubungan politik, mengurangi nilai suara dari setiap individu secara elektoral. Setiap warga negara dalam politik demokratis memiliki nilai suara yang sama, karena mereka merupakan satu unit politik. Ini diterjemahkan dalam kredo one man, one vote, one value.

Dalam perkara PKB yang disokong penuh para ulama dan kiai tradisional NU, nilai satu orang kiai di tingkat lokal sama dengan sekian ribu santri, sekian ribu jiwa dan kerabatnya. Bagi patron (kiai) dan institusi (parpol), hal tersebut merupakan advantage yang menjadi penyumbang bertahannya PKB di urutan ke-3 dalam Pemilu 2004. Namun, bagi para klien (warga di akar rumput) bertahannya pola demikian membuat mereka tidak mandiri. Saatnya agar pilihan mereka disetir sendiri oleh hati nurani dan rasionalitas politik yang dinalar mereka sendiri.

Agenda ketiga yang teramat penting untuk dilupakan adalah bagaimana muktamar kali ini memutus dualisme kepemimpinan di PKB. Ada arus opini --meskipun kecil-- yang berkembang untuk mengkritisi dua struktur yang kini masih bertahan, yakni Dewan Syuro dan Dewan Tanfidziyah. Alwi Shihab misalnya, melempar gagasan agar K.H. Abdurrahman Wahid (Ketua Dewan Syura) tidak terlalu dilibatkan dalam urusan-urusan kecil di tubuh partai yang dilahirkan Nahdlatul Ulama (NU) itu.

Kemudian Kaukus DPW (gabungan 16 DPW PKB) mengusulkan agar muktamar Semarang hanya memilih ketua umum dewan syuro dan selanjutnya dibentuk tim formatur untuk menyusun kepengurusan, termasuk menentukan ketua umum dewan tanfidz.

Usulan kaukus yang antara lain dipelopori DPW Banten dan Jawa Barat ini merupakan koreksi terhadap MLB PKB di Yogyakarta (2002) yang memberikan kelonggaran pada peserta muktamar untuk memilih sendiri siapa yang akan memimpin dua struktur di partai tersebut, yakni ketua dewan syuro dan ketua dewan tanfidziyah. MLB di kota pelajar inilah yang mengantar Alwi merengkuh kursi ketua umum PKB. Dan K.H. Abdurrahman Wahid kembali menjabat Ketua Dewan Syuro. Sebaliknya dalam Muktamar pertama PKB di Surabaya tahun 2000, muktamirin hanya memilih Dewan Syuro. Dan dewan inilah yang selanjutnya membentuk Dewan Tanfidz.

Struktur partai yang dualistis bukan dominan PKB. PKS pun memiliki struktur yang "adikuat" pada apa yang disebut Majelis Syuro. Struktur yang dimiliki oleh PKB dan PKS ini berperan bak "struktur moral" bagi dua partai itu. Di sanalah sebuah keputusan penting, pelik, dan strategis dicarikan pemecahannya. Pada hal-hal tertentu, adanya struktur tersebut telah membatasi demokratisasi internal di parpol itu. Kesan yang tertangkap, struktur tersebut memberi keistimewaan pada sebagian kecil orang, dan mengacuhkan persamaan hak antarsesama kader partai.

Dalam struktur PKB, dewan syura, menduduki posisi yang strategis. Ia dapat dibandingkan dengan struktur dewan pembina dalam kepengurusan Golkar sepanjang Orde Baru. Bedanya, dewan pembina merupakan lembaga yang powerfull, sehingga secara mutlak menentukan garis kebijakan partai. Sedangkan, dewan syura PKB merupakan otoritas moral yang berposisi sebagai "dewan moral" bagi DPP. Orang-orang yang duduk di dewan syura adalah tokoh-tokoh yang menjadi panutan masyarakat, bermoral dan memiliki integritas yang tinggi.

Umumnya, dewan syura diduduki para ulama sepuh di kalangan NU. Tidak keliru jika ada sebagian kalangan menyebut dewan syura sama dengan rais aam di NU. Oleh karena itu, segenap kebijakan partai (DPP atau tanfidziyah), mesti memperhatikan saran dan rekomendasi dari dewan ini. Jikalau DPP bergerak di luar anasir dewan syura, maka dengan sendirinya setiap kebijakan yang ditempuhnya kurang memiliki legitimasi moral yang cukup.

Adanya struktur tersebut membuat Gus Dur bak superman. Dia dituntut menyelesaikan semua hal, termasuk urusan teknis yang cakupan soalnya bersifat lokal dan kecil. Berkumpulnya tuntutan kepada satu tangan, pada sisi lain menyebabkan Gus Dur sangat adikuat, dengan atau tanpa dukungan anggota dewan syuro. Kolektivitas acap menjadi prosedural semata dalam proses pengambilan kebijakan partai, sementara sang ketua tanfidziyah terkungkung sehingga tak mampu mandiri. Satu kalimat bersayap dari Alwi di atas dalam artian tertentu adalah semacam interupsi agar PKB dapat keluar dari problem dualisme itu.

Sayangnya, pembahasan tentang hal ini kurang menyedot perhatian. Panitia Pengarah Muktamar kurang kuat mewacanakan dualisme struktur ini. Demikian pula media. Buat saya, andaipun dua struktur itu dipertahankan, minimal ketua dewan tanfidziyah (harian) tetap dipilih langsung oleh muktamirin dan bukan dikembalikan kepada dewan syuro. Mekanisme demokratis yang telah berhembus sejak MLB di Yogja itu jangan dilenyapkan. [Pikiran Rakyat, 11 April 2005]

Sunday, July 15, 2007

Ekspresi Nasionalisme Simbolik

Oleh Moh Samsul Arifin


APAKAH yang menghubungkan keping-keping peristiwa di Ambon, Jayapura dan Banda Aceh akhir-akhir ini? Pada 29 Juni lalu, 28 orang berpakaian tradisional ala cakalele, lengkap dengan parang, tombak, dan tameng merangsek masuk ke lingkaran dalam pengamanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang tengah menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional di Lapangan Merdeka, Ambon. Mereka hendak mengibarkan bendera Rakyat Maluku Selatan (RMS) di depan Presiden.


Selanjutnya pada 3 Juli, sekelompok penari adat asal Manokwari membentangkan bendera Bintang Kejora pada upacara pembukaan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua di GOR Cendrawasih, Jayapura. Selang empat hari, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendirikan Partai Gam dengan mempertahankan bendera bulan sabit-bintang berwarna putih dengan latar warna merah dan garis hitam sebagai lambang partai tersebut. Atribut bendera bulan sabit-bintang ini lalu ditutup Kepolisian Kota Besar Banda Aceh karena dinilai merupakan simbol perjuangan kemerdekaan.


Secara gampangan, sebagian kalangan menyebut tiga keping peristiwa itu sebagai ekspresi nasionalisme etnik (ethnic nationalism). Yakni sentimen dari anggota-anggota suatu ethnonation yang dimobilisasi untuk memperjuangkan kedaulatan bagi komunitas etnik mereka. Ethnonation merujuk pada komunitas orang yang memaknakan identitas politik mereka dengan mengklaim hak untuk menjalankan kedaulatan.


Nasionalisme etnik mendapat legitimasinya dari budaya, bahasa, suku, ras, agama, pengalaman sejarah, dan/atau mitos nenek moyang yang sama, dan menggunakan berbagai kriteria itu untuk memasukkan atau mengeluarkan orang ke dalam dan dari kelompok nasional (Jack Snyder, 2003).


Nasionalisme ini tumbuh karena kelompok etnik menghadapi ketidakadilan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berupa pengabaian, eksploitasi, dominasi, kolonialisasi internal, represi, diskriminasi atau aneksasi (Nasionalisme Etnik, 2004).


Buat saya, anasir yang menyeruak di media massa kelewat menyederhanakan masalah. Kalangan parlemen berhaluan nasionalis misalnya, menganggap setiap hal yang “menabrak” nasionalisme Indonesia sebagai separatisme atau upaya melawan dan bahkan memberontak terhadap Republik. Di sinilah urgensi meneropong persoalan kasus per kasus (case by case), agar diperoleh kesimpulan dan penyelesaian yang arif.


Dalam kasus penyusupan unsur RMS di acara Harganas yang dihadiri Presiden Yudhoyono, anasir bahwa nasionalisme etnik terlibat dapat dibenarkan. Bendera RMS—kendatipun gerakan yang dipimpin Alexander Hermanus Manuputty itu hanya didukung 50 kepala keluarga di Pulau Haruku—menyimbolkan dan sekaligus mewakili kehendak untuk memisahkan diri dari Republik.


Bagi RMS, nasionalisme etnik adalah modal sekaligus kekuatannya. Ia dipetik dari unsur-unsur primordial setempat yang kemudian menjadi identitas lokal. Lalu, nasionalisme etnik tadi juga dibentuk, dirawat dan didukung faktor internasional.


Dalam wawancara dengan sebuah koran ibukota, Manuputty mengakui bahwa penyusupan itu terencana dan dilakukan guna menunjukkan eksistensi gerakan yang diproklamasikan Chr. Soumokil, 25 April 1950 tersebut. Manuputty terus mengobarkan nasionalisme etnik Maluku Selatan dari Amerika, tempat dia mengisi ideologi perjuangan dan mencari dukungan internasional. Sebagai pengusung nasionalisme etnik Maluku Selatan, Manuputty terus berusaha untuk memperoleh hak self determination, memperoleh kedaulatan, meraih kemerdekaan, dan menjadi bangsa yang berdaulat.


Inilah yang membedakan kasus penyusupan penari cakalele dengan insiden pembentangan bendera Bintang Kejora dan digunakannya bendera bulan sabit-bintang sebagai lambang Partai Gam. Bintang Kejora sejauh ini dipandang masyarakat Papua sebagai ekspresi kultural atau budaya setempat. Karena itu Majelis Rakyat Papua tengah mengusulkan agar Bintang Kejora ini ditabalkan sebagai bendera Papua dalam Rancangan Perda Khusus tentang lambang daerah dan bendera daerah.


Menurut Pasal 2 ayat 2 UU 21/2002 tentang Otonomi Khusus untuk Papua, provinsi ini dibolehkan memiliki bendera daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua. Selain itu, Papua dimungkinkan memiliki lagu daerah. Namun dua hal ini tak menyimbolkan kedaulatan. Ketentuan tentang lambang daerah, bendera dan lagu, ini diatur dengan Perdasus yang saat ini baru diajukan MRP.


Sayangnya, elite politik, petinggi polisi dan TNI sering terjebak dalam intellectual cul de sac (keliru menyimpulkan) saat menyikapi peristiwa-peristiwa di lanskap kebangsaan. Pembentangan Bintang Kejora secara miopik dinilai sebagai bentuk nyata makar terhadap Republik. Atau tindakan separatisme alias upaya memisahkan diri dari Republik. Memang, Bintang Kejora pernah menjadi lambang Organisasi Papua Merdeka ketika gerakan ini pertama kali terbentuk tahun 1964 lalu. Karena menjadi simbol separatisme OPM, sejak 1964 Bintang Kejora dilarang dikibarkan oleh pemerintah pusat.


Tapi, mengidentikkan Bintang Kejora sebagai OPM yang separatis jelas tidak kontekstual dan ahistoris. Faktanya, masyarakat Papua merasa memiliki bendera tersebut dan menempatkannya sebagai sumber pemberi identitas lokal. Presiden Abdurrahman Wahid membolehkan pengibaran Bintang Kejora, karena pertimbangan itu.


Menganggap Bintang Kejora adalah OPM dan simbol separatis sama dengan memberi hak hidup kepada OPM. Klaim atas Bintang Kejora seharusnya dibiarkan hidup di sanubari orang Papua, yang mayoritas tak terkait dengan OPM.


Demikian pula bendera GAM. Betul belaka jika Gerakan Aceh Merdeka pernah mengikhtiarkan kemerdekaan bangsa Aceh dan lepas dari Republik sepanjang 1976 hingga 2005. Tapi, ekspresi separatisme itu sudah dikunci dengan ditekennya Nota Kesepahaman (MoU) RI-GAM di Helsinki, 15 Agustus 2005.


Menurut Nota Kesepahaman ini, GAM diperbolehkan mendirikan partai lokal di Aceh. Dalam butir IV.1 disebutkan, anggota GAM tidak boleh lagi memakai seragam atau atribut militer lain setelah penandatangan MoU. Apakah bendera bulat sabit-bintang itu merupakan atribut militer?


Jelas bukan. Bendera bulat sabit-bintang itu sudah melekat pada GAM sejak 1976. Bagi GAM, ini adalah sumber identitas. Tapi, jelas bukan ekspresi atau ikhtiar untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Aceh. Merujuk ke MoU dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, seluruh anggota GAM saat ini adalah orang Republik dan wajib mempertahankan NKRI. Gerakan bersenjata tak boleh lagi menjadi instrumen perjuangan GAM.


Karena itu, MoU Helsinki mengamanatkan agar GAM berjuang di jalur politik lewat partai lokal. Seluruh anggota GAM dapat bersaing untuk memperebutkan kursi DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota di Aceh (PP 20/2007 tentang Partai Lokal di Aceh). Partai lokal itu pun tak boleh dijadikan GAM sebagai instrumen untuk keluar dari Republik, termasuk memaksakan referendum.


Pasal 81 UU 11/2006 menyatakan partai lokal berkewajiban: mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lain serta mempertahankan keutuhan NKRI. Jadi, kendatipun GAM bersikukuh menggunakan bendera bulan sabit-bintang, sebenarnya tak bermasalah.


Yang harus dicela, jika Partai Gam yang diketuai Malik Mahmud mengusung kembali ide kemerdekaan dan meluluhlantakkan bangunan perdamaian yang dijahit sejak ditandatanganinya MoU di Helsinki. Namun, kurang elok jika bangsa ini bereaksi secara emosional dengan simbol-simbol yang dipertahankan GAM. Bukankah GAM di sana sekadar nama yang sudah diputus dari sejarahnya sebagai Gerakan Aceh Merdeka? Seyogyanya, bangsa Indonesia segera melepaskan diri dari nasionalisme yang hanya bersijingkat dengan simbol-simbol. (www.acehkita.com, 13 Juli 2007)

Wednesday, July 11, 2007

Meretas Damai di Aceh

Oleh Moh Samsul Arifin

BEBERAPA soal dibahas dalam perundingan informal RI-GAM babak kelima di Helsinki, baru-baru ini. Misalnya soal pengaturan keamanan (security arrangement), isu-isu politik, amnesti dan keadilan/hak asasi manusia (human rights). Juga soal pembentukan partai lokal di Aceh, pemilu lokal (baca: pilkada) pada bulan Oktober 2005, soal imigrasi hingga simbol-simbol tradisi Aceh.

Perkembangan menjanjikan tersebut adalah buah dari kesabaran kedua delegasi berunding secara berkala sejak akhir Januari lalu. Jarak antara satu putaran dengan putaran lainnya dibuat pendek, antara 4-6 pekan, sehingga fokus dan agenda perundingan dapat dibicarakan dalam suasana yang fresh, penuh persahabatan dan runtut.

Kemauan kedua belah pihak untuk berunding kembali itu merupakan imbas dari perubahan karakter konflik yang telah bertahta di Aceh hampir tiga dekade. Paling kurang ada dua penjelasan mengapa karakter konflik berubah. Pertama, selepas tsunami menghempas Tanah Rencong, daerah ini telah menjadi daerah terbuka. Masyarakat internasional (LSM-LSM asing) dan pasukan asing berebut "kapling" untuk membantu masyarakat korban tsunami dalam misi kemanusiaan. Kecuali pasukan asing yang telah keluar Aceh, sejak 26 April silam, LSM-LSM internasional tetap bermukim di Serambi Mekah.


Keterbukaan Aceh ini telah "memaksa" kedua pihak untuk kembali ke meja perundingan, karena hirau dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi di provinsi yang kini intim dengan gempa tersebut. (Pascatsunami Aceh, menurut BMG, daerah setempat sedikitnya 5.627 kali gempa mengguncang Aceh). Indonesia memiliki kepentingan untuk menarik kepercayaan (trust) negara internasional agar komitmen bantuan yang dijanjikan benar-benar dapat dicairkan.

Sebaliknya GAM yang memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat korban tsunami, tak mungkin menutup mata dengan bencana yang membikin Aceh rata dengan tanah tersebut. Dan, GAM sendiri makin realistis menurunkan tuntutan mereka dalam perundingan dengan Pemerintah RI. Terakhir dalam perundingan di Helsinki, GAM malah menegaskan tidak menuntut kemerdekaan lepas dari NKRI dan tidak akan melaksanakan referendum, namun tetap menuntut terbentuknya partai lokal di Aceh.

Kedua, secara tidak langsung bergulirnya kembali perundingan damai adalah wujud dari perubahan kepemimpinan di Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla termasuk akomodatif terhadap konflik, meskipun berbeda latar belakang. Apalagi Kalla getol sekali mendorong dan memonitoring perundingan Helsinki.

Sekalipun perundingan Helsinki IV membuka optimisme damai di Aceh, bukan berarti tanpa ganjalan sama sekali. Diperkirakan momok terbesar akan datang dari parlemen (DPR). Juga dari kemungkinan lain yang berlaku di Aceh, yakni terus berkecamuknya kontak tembak antara pasukan TNI dan anggota GAM di beberapa kantong gerilyawan.

Di tubuh DPR, sebetulnya mazhab dan aliran politik anggota dewan sangat beragam: melintang dari garis konservatif hingga reformis. Akan tetapi soal perundingan Helsinki, suara mereka menuju seragam. Komisi I DPR, misalnya, secara saklek tiga atas pertemuan yang sudah mendekati putaran akhir Juli nanti. Pertama, sejauh mana GAM menerima opsi otonomi khusus berdasarkan UU No 18 Tahun 2001. Kedua, kesepakatan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan ketiga, tidak mengubah esensi UUD 1945. (Koran Tempo, 1/6).

Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, parlemen bisa saja membuyarkan skenario Helsinki. Lembaga Ketahanan Nasional, lewat Gubernurnya Ermaya Suradinata tegas-tegas menyarankan agar DPR meninjau kembali perundingan tersebut.

Lemhanas menganggap perundingan itu telah keluar dari substansi dasar yang diperjuangkan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya terkait dengan keinginan GAM untuk membentuk pemerintahan sendiri (self government teritory of Aceh), yang dalam perundingan terakhir di Helsinki telah dikesampingkan. Selain itu, kata Ermaya, perundingan malah memperkuat posisi politik GAM di mata dunia dan Uni Eropa. (Media Indonesia, 21/6). Sebuah internasionalisasi konflik yang ditakutkan banyak kalangan di dalam negeri.

Satu kerikil penyelesaian konflik lainnya terkait soal partai lokal. Sejauh ini, UU No 31 Tahun 2002 tentang partai politik belum mengaturnya. Untuk bisa terdaftar di Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan HAM), sebuah partai mesti mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua lima puluh persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan (Pasal 2 ayat 3 huruf b). Itu artinya parpol yang diakui harus bersifat nasional dan karena memiliki kantor pusat di Jakarta.

Perlu gebrakan politik besar dari Presiden Yudhoyono untuk mengabulkan usulan GAM tersebut. Namun, itu bukan tak mungkin jika Yudhoyono menilik sejarah dan fakta selama pemilu di era reformasi. Secara sosiologis, jika kita mengacu pada hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, karakter parpol yang bersifat "nasional", menurut UU No 31 Tahun 2002, sebetulnya banyak beraroma "kedaerahan". Paling kurang konstituen (suara) mereka terkonsentrasi di daerah tertentu, semacam PAN di Sumatera Barat dan PKB di Jawa Timur. Dalam Pemilu 1955, bahkan kita memiliki partai lokal yang memiliki suara signifikan di daerahnya.

Kendala lain bagi GAM adalah soal penyelenggaraan pemilu (pilkada langsung) itu sendiri. Menurut UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP). Mereka terdiri atas anggota KPU dan anggota masyarakat.

Akan tetapi, UU No 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa penyelenggara pilkada (di provinsi dan kabupaten/kota) adalah KPUD setempat. Dualisme payung hukum penyelenggara pilkada di Aceh ini harus sudah diselesaikan pemerintah, jika memang akan mengabulkan GAM sebagai partai lokal di Aceh [Suara Karya, 4 Agustus 2005]

Monday, July 9, 2007

Editorial Aceh di Media Nasional

Oleh Moh Samsul Arifin


CARA cepat untuk mengetahui isu, wacana atau peristiwa yang sedang disodorkan untuk menjadi perhatian publik adalah dengan menengok editorial (tajuk) media massa. Editorial merupakan suara sebuah penerbitan tentang suatu hal-dan karenanya acap dimaknai sebagai pernyataan sikap media bersangkutan.


Editorial dapat memberitakan peristiwa, tapi juga melencengkan fakta-sebab teks yang menyusunnya mayoritas bertopang pada pendapat (opinion), kendatipun konteksnya selalu mengacu pada sebuah peristiwa dan fakta. Pokok kata, editorial adalah sebuah sikap dan dengan itu, pers bisa jadi "samurai", "tikus pengerat", "anjing peng-gonggong", "pesiul usil" atau "wasit" atas peristiwa dan fakta yang terjadi di sekitarnya dan bahkan di dalam dirinya sendiri.


Di dalam setiap editorial, pembaca dapat menemukan kekhasan posisi masing-masing media di hadapan isu atau peristiwa yang terjadi. Apabila setiap berita, hard news (straigth news), pembaca langsung tahu mana yang pokok dan mana keterangan, maka postur editorial sangat fleksibel, rata dan tak diketahui dengan pasti di mana bagian pokoknya. Seluruh bagian bisa menjadi pokok atau keterangan itu sendiri.


Kekhasan editorial menunjukkan keunikan, karakter dan sikap sang penulis dan juga media yang dia wakili. Oleh karena itu, tak setiap wartawan dipercaya menulis editorial. Hanya sebagian redaktur senior yang diamanahi tugas tersebut. Seberapa eloknya tulisan seorang wartawan muda, hal itu masih tak cukup untuk menuliskan editorial. Bahkan, urusan editorial kadang justru diserahkan kepada orang lain yang bukan wartawan tetapi dianggap memiliki pandangan yang bisa mewakili redaksi. Setidaknya, elit redaksi atau pemiliknya.


Selama sepekan (26 April - 2 Mei 2004), penulis melakukan pantauan terhadap editorial atau tajuk rencana yang menghiasi enam media nasional terkemuka, yakni Majalah Tempo, Kompas, Media Indonesia, Republika, Indo Pos dan Suara Pembaruan. Pantauan ini melacak topik, isu, wacana atau peristiwa apa saja yang menarik perhatian pers kita.


Bagaimana pengemasan teks dan bahasa yang digunakan, dan yang lebih khusus lagi, adakah isu korupsi yang berhembus di Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ikut ditonjolkan lewat editorial atau tajuk rencana media yang disigi?


Dalam pantauan setidaknya ditemukan 41 item editorial. Kompas adalah harian yang paling banyak menulis editorial (12 item alias 29,27 persen). Setiap hari ada 2 item, satu mengupas peristiwa di tanah air, dan satu lagi untuk berita luar negeri.


Media Indonesia menulis 7 editorial (17,07 persen), bahkan di edisi Minggu-sesuatu yang tak dilakukan koran lain. Tiga harian masing-masing Republika, Indo Pos dan Suara Pembaruan menulis 6 editorial (14,63 persen).


Sepekan ini, kerusuhan Ambon banyak menyita perhatian media dalam menulis editorial (Tabel 2). Kecuali Majalah Tempo, lima media lain menurunkan editorial tentang peristiwa komunal itu dengan intensitas 1-2 item. Total ada 9 item (21,95 persen) menyoal kerusuhan Ambon yang dipantikkan aksi pengibaran bendera RMS. Topik lain yang ditulis soal oposisi politik, hubungan sipil-militer dan pernik pemilu presiden (6 item = 14,63 persen). Sementara topik tentang korupsi di Pemprov NAD, hanya 1 item (2,44 persen).


Tabel. Topik Editorial Enam Media Cetak (26 April - 2 Mei 2004)

Topik Editorial

M. Temp

Kom

MI

Rep

IP

SP

Total

Persen

Kerusuhan Ambon

-

2

2

2

1

2

9

21,95

Korupsi Pemprov NAD

-

-

1

-

-

-

1

2,44

Ujian Akhir Nasional

-

1

1

-

1

1

4

9,75

Koalisi Politik Capres

-

1

-

-

1

-

2

4,88

Oposisi, Sipil-Militer

1

1

1

1

1

1

6

14,63

Abu Bakar Baasyir

1

-

1

1

-

-

3

7,31

Bencana Alam

-

1

-

-

1

1

3

7,31

Internasional

-

4

-

1

-

-

5

12,19

Lainnya

2

2

1

1

1

1

8

19,51

Total

4

12

7

6

6

6

41

100

Ket: M. Temp=Majalah Tempo, Kom=Kompas, MI=Media Indonesia, Rep=Republikas, IP=Indo Pos, SP=Suara Pembaruan


Yang menarik, ada keseragaman topik pada setiap editorial yang ditulis. Media setidaknya serentak menulis Ambon dalam editorial mereka disusul wacana opisisi dan hubungan sipil-militer.


Khusus untuk Aceh, wacana darurat militer yang seharusnya selesai pada tanggal 18 Mei 2004 nanti, belum ditulis menjadi tajuk. Isu Aceh pun nyaris tak lagi disikapi. Padahal, ketika liputan Aceh masih segar dan menjanjikan berita heboh tentang, pertempuran, darah, mayat, dan mesin perang, media berlomba-lomba menyorotinya. Kini, setelah Aceh nyaris menjadi "ampas", media tak lagi bersikap. Soal Aceh "tidak bermakna" dibanding hiruk pikuk pencalonan presiden dan wakil presiden. Isu elit.


Dalam sepekan pemantauan, satu-satunya editorial tentang Aceh adalah kasus korupsi di Pemprov NAD yang dirilis oleh Media Indonesia. Koran lain, nihil. Ada beberapa kemungkinan mengapa media tak bergairah memberitakan kasus korupsi yang semestinya menjadi bagian dari "operasi penegakan hukum" di Aceh.


Kemungkinan pertama, media belum menemukan momentum yang tepat untuk menulis tajuk. Sebab, kendati wacananya santer beredar, kasus korupsi di NAD belum menyentuh level tertinggi, yakni pemeriksaan Gubernur Abdullah Puteh.


Kemungkinan kedua, media bersikap hati-hati dengan wacana korupsi di NAD. Pasalnya, kontroversi pengusutan kasus pejabat sipil oleh pihak militer (PDMD) kental aroma rivalitas dalam perebutan power politik di Aceh. Hal ini juga erat kaitannya dengan rencana pemerintah memberlakukan status Darurat Sipil di Aceh.


Ada kekhawatiran bahwa memblow-up isu korupsi sipil, berarti memberikan ruang dan angin bagi militer untuk kembali melakukan bargaining dengan memperpanjang darurat militer sekaligus menjadikan militer mendulang kredit poin. Sebab, pejabat sipil yang korup dan bermasalah, tidak mungkin diserahi wewenang menjadi penguasa darurat. Dengan demikian, maka militer bisa tetap memegang kendali.


Tetapi di sisi lain, tidak memblow-up kasus dugaan korupsi di NAD saat ini juga akan kehilangan momentum. Sudah bertahun-tahun kasus korupsi menjadi persoalan serius. Dan di bawah "gebrakan" militer (terlepas dari kepentingan politik terselubung) adalah momentum yang tepat untuk membersihkan jajaran Pemprov NAD dari praktek-praktek korupsi

Kesamaan beberapa topik editorial bisa berarti; apa yang menarik bagi sebuah media, menarik pula di mata media lain. Pembedanya, hanya teks, cara pengungkapan dan peletakan editorial tersebut. Sejauh yang tampak dalam pantauan, Media Indonesia cenderung menggunakan bahasa yang lugas dalam menyikapi sesuatu. Hal yang pernah menjadi bumerang, ketika si naratornya yang berapi-api membacakan kritik-kirik yang pedas, justru tersangkut kasus VCD casting iklan sabun.

Dari judul-judul editoralnya, seperti “Drama Ba’asyir”, “UN (Ujian Nasional) dan Ruwetnya Pendidikan Kita”, “Bom Waktu Ambon”, “Militer Versus Sipil” atau “Ambon Terancam ke Jalan Lama”, pembaca “terpedaya” untuk membaca editorial tersebut. Apalagi koran milik Surya Darma Paloh ini merupakan satu-satunya harian yang menempatkan editorial di halaman pertama, selain juga menampilkannya di layar kaca.

Republika belakangan menggunakan tajuk beritanya sebagai wahana untuk mengkritik. Koran ini sangat lantang mencitrakan diri sebagai “corong” umat Islam. Bahasa yang digunakan sederhana dan lugas, kadang emosional. Lihatlah judul-judul seperti “Lagi, RMS Memicu Kerusuhan”, “Perlakukan Ba’asyir Sebagaimana Manusia” atau “Keblinger” yang mengomentari penangkapan paksa terhadap pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia dan kerusuhan yang meletus kembali di Ambon itu.

Sebaliknya Kompas, seperti biasanya menjaga kesantunan dalam berbahasa—untuk tak mengatakan menjaga image (istilah gaulnya jaim). Harian ini sangat hati-hati dalam menyatakan pendapatnya atas segala sesuatu, terutama yang berhubungan dengan kekuasaan. Jauh dari kesan reaktif, dan sepertinya menghitung betul segala sesuatu, sampai-sampai terkadang pembaca tak menemukan sikap apapun yang hendak disampaikan. Kalaupun mengkritik, Kompas melakukannya secara tak langsung—disertai konsepsi dan kadang solusi.

Bacalah tajuk “Pejabat itu Belum tentu Pemimpin” (30/4). Di alinea tengah tertulis: “Untuk itulah kita mengenal ungkapan noblesse oblige. Bahwa kehormatan itu menuntut tanggung jawab. Keharuman dan privilese sebagai seorang pejabat harus dibayar dengan kemauan untuk memikul tanggung jawab…”

“Soeharto saja,” demikian Kompas, “berani masuk Kota Sarajevo (saat Bosnia bergejolak) walaupun banyak penembak gelap di sana. Pak Harto memaksa masuk dan bahkan merasa tidak perlu menggunakan jaket antipeluru. Selama enam jam Presiden Soeharto berada di Sarajevo dengan menggunakan kendaraan lapis baja.”

Begitulah cara Kompas mengkritik pejabat kalangan Polkam yang terbang ke Ambon, yang mengadakan pertemuan di Bandara Pattimura dan tak meninjau langsung kondisi warga di area konflik.

Walaupun ada kecenderungan mengupas topik yang sama dalam editorialnya, ada juga satu dua topik yang betul-betul genuine. Pekan lalu, Suara Pembaruan misalnya, tiba-tiba menulis tajuk “Pengamanan Selat Malaka” (29/4)—satu topik yang tidak menjadi mainstream di media lain yang disigi.

Koran sore ini melansir data-data kriminalitas di perairan kita versi Biro Maritim Internasional. Periode Januari-Maret 2003, ada 28 kasus perampokan dan pembajakan di perairan Nusantara. Catatan Organisasi Maritim Internasional (IMO), periode 1998 hingga 2002 kasus perompakan di Indonesia menempati posisi paling atas dari semua kejadian serupa di seluruh dunia. Data tahun 1998, tercatat 177 kasus perompakan di seluruh dunia, dan di Indonesia sendiri tercatat 38 kasus. Tahun 2002 tercatat 404 kasus di seluruh dunia, dan 109 di antaranya terjadi di Indonesia.

Pembaruan mengajak kita agar memperhatikan hal itu, terutama perairan Selat Malaka yang sangat rapat dengan daerah konflik Aceh. Selat ini merupakan jalur internasional, namun demikian tiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura kurang memperhatikannya. Aktivitas perompakan dan pembajakan di perairan itu menyusahkan berbagai pihak. Karena itu, Pembaruan mengingatkan agar tiga negara mengambil prakarsa.

Lantas di manakah tempat Aceh dalam editorial atau tajuk media yang disigi?

Dalam sebuah alinea di bawah tajuk; “Lagi, RMS Memicu Kerusuhan” (26/4), Republika menggunakan Aceh sebagai cara membandingkan bagaimana republik ini menerapkan standar ganda dalam masalah separatisme.

“Kelompok separatis tersebut (RMS) seakan dengan sangat mudah mempermainkan bangsa Indonesia yang besar ini. Mereka tidak hanya dapat mengibarkan bendera dan merayakan ulang tahunnya, tokoh utama mereka Alex Manuputty bahkan dengan mudah lolos ke Amerika Serikat, tanpa ada yang dapat kita lakukan. Lihatlah apa yang terjadi terhadap separatis Aceh Merdeka. Tokoh dan anggotanya terus diburu dan dibunuh”.

Indo Pos juga menggunakan logika yang sama. Salah satu alinea tajuk Indo Pos; “Rusuh Lagi, Ada Apa” (29/4) menulis: “Di Aceh kita keras kepada GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Di Aceh, GAM dinyatakan sebagai musuh. Bahkan, mereka dilawan dengan perang. Mengapa di Ambon, RMS sampai bisa leluasa memperlihatkan diri dengan terang-terangan? Mereka mengibarkan bendera dan bisa menggalang demo dalam jumlah besar”.

Editorial “Dugaan Korupsi di Serambi Mekah” (Media Indonesia, 30/4) ditulis dengan himbauan agar Gubernur NAD, Abdullah Puteh tidak takut diperiksa Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) sekaitan dugaan kasus dugaan korupsi Rp 30 miliar terhadap dirinya.

“Kita mengharap pihak penguasa sipil NAD menerima itu semua dengan gentleman. Kenapa? Karena pemimpin memang harus mempunyai keteladanan moral untuk berani menerima risiko dari apa yang diperbuat. Jika tidak bersalah, kenapa harus takut menghadapi pemeriksaan?”

Di alinea lain, tertulis, “…dalam upaya pemberantasan korupsi, kita mesti satu kata. Terlebih lagi itu terjadi di Aceh, provinsi yang kini sedang menghadapi persoalan serius, yakni penderitaan sebagian penduduk akibat perang…”

Media Indonesia terus merangsek, “Dalam menyikapi dugaan korupsi di Aceh, kita mestinya melihat substansi persoalan dan bukan berdebat ala pokrol bambu. Substansinya adalah upaya untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi agar pemerintahan berjalan efektif dan bisa memenuhi harapan publik di provinsi yang mendapat predikat sebagai Serambi Mekah.”

Sikap koran ini (editorialnya) jelas mengidap “positivisme akut”—melihat yang tampak dan mengemuka sebagai benar-benar realitas tanpa menelisik lebih dalam sebuah peristiwa. Apakah betul PDMD punya wewenang melakukan penyidikan? Apakah itu dibenarkan berdasarkan payung hukum, yakni UU/Perpu No 23/1959? Sebenarnya, apa motif PDMD pindah perseneling, dari mengejar petinggi militer GAM yang tak kunjung tertangkap, kini menguber koruptor di Aceh? Apakah ini ada kaitannya dengan segera usainya masa perpanjangan darurat militer?

Pertanyaan sepenting itu tak dijamah editorial tersebut. Jikalau para pembuat editorial tak tahu jalan cerita isu yang diangkat, mungkin tak jadi masalah. Tapi, bukankah Media Indonesia (2/5) mengupas dugaan kasus ini secara panjang lebar dalam Fokus Minggu?

Bahkan ada wawancara eksklusif dengan Puteh segala. Apakah ini bentuk kehati-hatian penulis editorial atau alasan lain?

Media memang bertingkah aneka ragam. Suatu waktu, mereka sangat kritis dalam menulis editorial, tapi melempem tampilan beritanya. Kali lain, menohok lewat berita, namun loyo dalam menulis editorial. Sesuatu yang hanya bisa diungkap oleh orang-orang dalam media sendiri, tentang (politik?) apa yang sedang terjadi di ruang redaksi. [acehkita.com, 5 Mei 2004]