Monday, September 24, 2007

Skenario Penghabisan di Iran?

Oleh Moh Samsul Arifin

***

Judul: Iran Skenario Penghabisan
Penulis: Musa Kazhim & Alfian Hamzah
Penerbit: Ufuk Press, Jakarta, Juli 2007
Tebal: 190 halaman

***

PERNYATAAN Menteri Luar Negeri Perancis, Bernard Kouchner agar dunia bersiap menghadapi kemungkinan perang dengan Iran jika negeri Mullah itu tak menghentikan aktivitas program nuklirnya menaikkan ketegangan politik di Timur Tengah. Ini diucapkan Kouchner menjelang konferensi tahunan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di Vienna (16/9), Austria membahas program nuklir Iran.

Spekulasi beredar, Perancis di bawah Presiden Nicolas Sarkozy kini tengah mengubah bandul politik terhadap Washington. Ucapan Kouchner dinilai sebagai dukungan tak langsung kepada Pemerintahan George Walker Bush untuk memaksa Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan sanksi lebih berat kepada Iran, dan bahkan menyerang negeri tersebut sebagai “skenario terakhir”. Dan sudah rahasia umum jika pasukan dan pangkalan militer Amerika Serikat berada di sekitar Iran. Pangkalan militer Amerika tersebar di semua penjuru, dari Saudi Arabia hingga Suriah, dari Yordania hingga Qatar. Sekali Bush memerintahkan penyerangan terhadap Iran, perang bakal berkobar kembali.

Tapi, bukan Iran kalau tak bisa membalas “provokasi”. Pejabat elite Garda Revolusi Iran memastikan, militer Iran mampu menyerang semua target dan kepentingan AS di Timur Tengah. Misil jarak jauh Shahab-3 bisa menjangkau sasaran hingga 2.000 kilometer, termasuk Israel dan sejumlah pangkalan AS di Semenanjung Arab. Pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Ahmad Khatami mengingatkan Perancis tidak mengikuti AS yang memusuhi Iran.

Secara lebih lantang, pada 22 September lalu, Iran memamerkan kekuatan militer dan senjatanya dalam parade untuk mengenang perang Iran-Irak, 1980-1988. Dalam parade itu, Teheran meluncurkan Ghadr-1—sebuah rudal versi terbaru Shahab-3 melengkapi persenjataan Iran. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad berujar parade itu disengaja untuk menunjukkan kepada negara-negara penentangnya seberapa besar kekuatan militer Iran. “Mereka yang berpikir bahwa perang psikologis dan sanksi ekonomi bisa menghentikan kemajuan nasional (baca: nuklir) sedang membuat kesalahan,” ujar Ahmadinejad.

Buku “Iran Skenario Penghabisan” karya Musa Kazhim & Alfian Hamzah ini mengungkap kemungkinan Amerika menjadikan Iran sebagai “pelampiasan” setelah kegagalan invasi di Irak. Di dalam negerinya, Bush kini dipaksa untuk menarik mundur seluruh pasukannya di Irak pada Maret-April tahun mendatang. Menarik pasukan berarti mengumumkan kekalahan di Irak. Tak ada pilihan bagi elite penguasa di Amerika kecuali menghabiskan semua kartu yang tersisa. Para ahli strategi neokonservatif bisa mengambil langkah ekstrem: menyerang Iran.

Kalangan neokonservatif itu menilai Iran bakal menjadi semakin berbahaya jika tidak dihentikan saat ini. Mereka percaya hanya Pemerintahan Bush yang berani melakukan sesuatu kepada Iran. Bagi kalangan neokonservatif, sepanjang Iran masih merupakan Republik Islam, negeri itu akan berambisi memiliki senjata nuklir. Karena itu Amerika-Israel dan Barat akan memaksa Iran memenuhi tuntutan penghentian program nuklirnya atau menghadapi serangan militer.

Keberatan terhadap program nuklir Iran hanya dalih. Ditengara Bush sudah mengincar Iran sejak WTC dan Pentagon diserang pada 11 September 2001. Nuklir disebut-sebut hanya titik tolak, karena yang diincar sebetulnya penguasaan minyak di Timur Tengah di masa mendatang.

Michel Chossudovsky, salah seorang kontributor Global Research, menyatakan dunia sedang berada di persimpangan jalan menuju krisis paling serius pada milenium kedua ini. Amerika telah melangkahkan kaki menuju suatu petualangan militer, suatu perang panjang yang membahayakan masa depan umat manusia setara serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Agustus 1945.

Masih kata Chossudovky, ada bukti kuat bahwa AS bekerjasama dengan Israel dan NATO tengah merencanakan perang nuklir terhadap Iran. Jika sampai meletus, perang akan mengurung keseluruhan kawasan Timur Tengah. Bahkan, sebagian analis mengkhawatirkan perang itu bisa mencakup wilayah di luar kawasan itu dan menggiring pada skenario Perang Dunia III (hal 134-141).

Namun, Iran memiliki kekuatan tersembunyi. Iran tak sepenuhnya “David” di tengah “Goliath” yang bernafsu perang. Buku ini memerinci projek militer Iran yang dirahasiakan dari media massa. Padahal sejak 1992, Iran telah memproduksi tank, angkutan perang, rudal, kapal selam dan pesawat tempur. Iran mengembangkan senjata misil Fajr-3 (MIRV), Hoot, Kowsar, Fateh-110, Shahab-3 dan pesawat udara tanpa orang. Kekuatan angkatan bersenjata Iran bertumpu pada angkatan bersenjata reguler dan Kesatuan Garda Revolusi Islam (Sepah Pasdaran) dengan personel 545.000 tentara. Belum lagi milisi sukarelawan (Basij), mencakup 90.000 anggota aktif dan 300.000 anggota cadangan dan sekitar 11 juta orang yang siap dimobilisasi setiap saat (terbesar di dunia).

Seluruh kekuatan ini plus program nuklir (untuk perdamaian) dikonsolidasikan Ahmadinejad dalam apa yang disebut diktum “Revolusi Ketiga”. Ahmadinejad menghendaki revolusi tersebut menjadi gerakan global untuk memotong akar-akar ketidakadilan. Itulah kenapa dalam beberapa hal Ahmadinejad berkongsi dengan pemimpin dunia di Dunia Ketiga, semacam Hugo Chavez (Presiden Venezuela) atau Daniel Ortega (Presiden Nikaragua). Ia mengonsolidasi koalisi kecil yang relatif kritis terhadap Washington.

Kekokohan Ahmadinejad mengendalikan Revolusi Ketiga itu tegak ditopang spiritualitas ala Syiah yang ditiup Imam Khomeini dalam revolusi tahun 1979. Khomeini selalu menyanggah mental rakyat Iran merespons segala nestapa yang melanda negerinya, sejak kediktatoran Syah Muhammad Reza Pahlevi, perang dengan Irak dan intimidasi serta provokasi Amerika belakangan. Kalimat Khomeini “Perjuangan ini sifatnya suci, bertujuan menegakkan keadilan dan menentang penindasan Timur dan Barat atas dunia Muslim” dianggap selalu aktual dan karenanya menjiwai bangsa Iran.

Sebagai upaya memerikan kekuatan Iran, buku ini berhasil. Penulisnya dekat sekali dengan objek dan data-data yang dipaparkan menerangkan “sisi lain” yang kurang tersingkap seputar Iran selama ini. Dengan gaya bertutur (khas jurnalisme sastrawi), buku dengan topik amat berat ini, bisa lebih mudah dicerna dan dipahami.

Namun demikian, buku ini abai pada satu hal. Penulis sama sekali tidak membahas solusi untuk keluar dari kemelut ketegangan antara Amerika (pendukungnya) dengan Iran. Misalnya, jika program nuklir menjadi faktor pemantik, adakah skenario alternatif untuk memecahkan lobi Amerika di Dewan Keamanan PBB dan Badan Energi Atom Internasional. Atau apa pula proposal Iran untuk mencegah krisis sehubungan projek nuklirnya itu. Bagaimana sebaiknya, negara-negara di dunia bersikap. Sekalipun tampak normatif, seyogianya dibuat rumusan atau usulan untuk menghalau kemungkinan serangan Amerika terhadap Iran tersebut. [24 September 2007]

*) Praktisi pertelevisian.

Monday, September 17, 2007

Setelah Megawati Capres PDIP

Oleh Moh Samsul Arifin

LEWAT dua forum yang terbilang extravaganza, rapat kerja nasional (rakernas) dan rapat koordinasi nasional (rakornas), PDIP secara resmi mendaulat kembali Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden mereka. Jika dalam rakernas, Megawati masih malu-malu untuk menerima permintaan itu, dalam pidato penutupan rakornas di Kemayoran, Jakarta (10/9), Megawati mengumumkan kesediaannya maju dalam pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung tahun 2009 mendatang.

Saya mendapat kesan kesediaan Megawati ini adalah kelanjutan keinginannya yang tak kesampaian pada Pilpres 2004. Dalam sebuah wawancara dengan Liputan 6 SCTV (8/9), Megawati mengaku dirinya tidak kalah dalam Pilpres 2004. "Kalau kalah itu knock out. Rakyat memberikan suara kepada saya. Hanya, kurang dari 50 persen plus satu," jelas Mega. Memang, pada Pilpres 2004, Megawati yang saat itu berpasangan dengan Hasyim Muzadi hanya mendulang 39,38 persen suara. Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono-M. Jusuf Kalla menangguk 60,62 persen.

Ada nada ketidak-legowo-an di balik pernyataan tersebut. Mungkin itu sebabnya, ia sudah menabuh genderang persaingan dua tahun sebelum perhelatan politik yang sesungguhnya digelar. Artikel ini mencoba memaknai pencalonan Megawati dan pengaruhnya bagi persaingan politik di masa mendatang.

Percepatan pengumuman pencalonan Megawati ini bisa produktif, tetapi juga dapat menjadi bumerang, setidaknya dengan beberapa alasan. Pertama, di tingkat internal, kesediaan Megawati itu akan mengonsolidasi secara cepat pengurus PDIP (dari pusat hingga cabang dan ranting) dan pendukung mereka. Dan ini disadari Megawati saat ia meminta seluruh struktur partai mulai bekerja sejak saat ini.

Bagi politisi PDIP di Jakarta dan daerah, kesediaan itu membuyarkan satu hipotesis yang menyatakan partai tersebut akan pecah jika Megawati tidak bersedia. Sebagai sosok karismatik, harus diakui Megawati masih merupakan faktor pemersatu dan belum tergantikan, bahkan oleh Taufiq Kiemas yang kian memerankan diri sebagai "presiden" PDIP.

Bagaimanapun, banyaknya kader partai yang keluar dan membentuk Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Desember 2005 lalu mengkhawatirkan PDIP. Seperti diketahui, kader berpengaruh mereka seperti Abdul Madjid, Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, Roy Binilang Bawatanusa Janis, Sukowaluyo Mintorahardjo, hingga Engelina Pattisiana, kini bergabung dengan PDIP.

Kedua, secara demikian langkah cepat Megawati menerima pinangan partainya menggunting kans tokoh dan kader PDIP lainnya yang memiliki motif maju pada Pilpres 2009. Bahkan, spekulasi bahwa Taufiq Kiemas akan maju sebagai capres atau cawapres PDIP terpatahkan. Tidak mungkin lagi PDIP menggadang Kiemas sebagai cawapres, seperti isu yang beredar sejak PDIP dan Partai Golkar mesra di silaturahmi Medan dan Palembang, untuk diduetkan dengan capres dari partai lain. Saat ini koalisi dengan PDIP hanya mungkin jika kawan koalisi PDIP mengusung cawapres. Kesediaan Megawati mengunci calon kawan koalisi untuk hanya menjadi "orang kedua". Dan itu berarti membatasi potensi partai yang hendak merapat ke PDIP.

Ketiga, yang mungkin saja bakal memberatkan, lawan politik tradisional Megawati dan PDIP memiliki waktu lebih panjang untuk meng-counter pencalonan tersebut. Dari politik gender, sosok Megawati menjanjikan untuk "dijual" kepada kaum perempuan. Akan tetapi, pengalaman di dua kali pemilu, 1999 dan 2004, mengabarkan bahwa aktivis dan gerakan perempuan tidak secara langsung mendukung Megawati.

Sebaliknya, lawan politik tradisionalnya, menggunakan fikih yang tidak familiar kepada perempuan untuk mengganjal langkah Megawati. Kekalahan Megawati pada 1999 adalah contoh baik, kendatipun fenomena itu terkoreksi pada 2001 saat partai Islam semacam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) tak memasalahkan Megawati menjadi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid yang diberhentikan MPR lewat Sidang Istimewa.

PDIP boleh jadi percaya diri karena tren dukungan publik kepadanya merangkak naik seperti dikonfirmasi jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia, Maret 2007. Menurut jajak pendapat itu, dukungan terhadap PDIP mencapai 22,6 persen. Jauh lebih besar dari dua partai yang kini "memerintah" (the ruling party), Partai Golkar dan Partai Demokrat, yang sebesar 16,5 persen dan 16,3 persen.

Demikian pula dengan Megawati. Survei Indo Barometer pada Mei 2007 menunjukkan popularitas Megawati jauh lebih tinggi ketimbang tokoh politik lain seperti Jusuf Kalla, Sri Sultan Hamengkubuwono, Surya Paloh, dan Aburizal Bakrie. Megawati didukung 22,6 persen responden, hanya kalah dari SBY yang masih bertengger di tempat teratas dengan dukungan 35,3 persen. Bahkan, Wapres Jusuf Kalla hanya mendapat dukungan 2,9 persen.

Di atas segalanya, terompet yang ditiup Megawati dikhawatirkan mengilhami partai-partai lain berbuat senada, terjebak untuk mengambil langkah praktis dengan mengusung ketua umum partai dan tokoh lama sebagai capres atau cawapres menuju Pilpres 2009.

Gelagat ini bukannya tak kentara. Pertama, Partai Golkar, seperti dikonfirmasi Ketua FPG DPR, Priyo Budi Santoso, lewat rapat pimpinan partai di rumah Jusuf Kalla pada Selasa malam (18/9) menyepakati tak menggunakan konvensi untuk penentuan calon presiden (Koran Tempo, 20/9).

Sebagai pengganti digelar rapimnas atau rapat pimpinan nasional khusus (rapimnasus). Caranya, sejumlah kandidat diusulkan pengurus yang mempunyai hak suara. Lantas, calon digodok dengan memerhatikan sejumlah parameter, misalnya hasil survei. Untuk memilih calon yang akan bertarung dalam bursa capres, forum rapimda ikut menentukan. Dari sini, opsi-opsi yang beredar di rapimda dikonversi ke rapimnas atau rapimnasus. Calon presiden dan wapres yang diusulkan bisa dari internal atau luar partai.

Dihapuskannya konvensi diprediksi akan memuluskan langkah Jusuf Kalla menjadi capres dari Partai Golkar pada Pemilu 2009 nanti. Ini tentu kabar buruk bagi Partai Golkar yang telah memulai lompatan politik demokratis menjelang Pemilu 2004 lalu. Akbar Tandjung, saat itu ketua umum, yang notabene sudah hampir pasti menjadi capres Golkar jika tanpa konvensi, dikalahkan Wiranto di putaran final konvensi.

Lewat Golkar, publik bisa tahu bagaimana demokratisasi di internal parpol bersemi. Kita tahu saat itu, ada Surya Paloh, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Prabowo Subijanto, Jusuf Kalla hingga Nurcholish Madjid ikut berpartisipasi dalam konvensi tersebut. Sedangkan partai lain semacam Partai Amanat Nasional (PAN), PPP, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan PDIP tak beranjak dari cara konvensional, memilih ketua umum dan tokoh utama di intern partai sebagai capres atau cawapres.

Kedua, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menyatakan kesediaan menjadi capres Partai Kebangkitan Bangsa. Gus Dur mengaku telah mengantongi dukungan dari dua kiai sepuh Nahdlatul Ulama (NU) untuk maju dalam Pilpres 2009. Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR segendang sepenarian, mereka akan mengawal kesediaan Gus Dur tersebut, terutama pembahasan persyaratan capres dalam RUU Pilpres yang tengah dibahas di DPR (Kompas, 20/9). Pada 2004 lalu, Gus Dur yang berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim terganjal persyaratan kesehatan jasmani sehingga urung berpartisipasi dalam pemilihan langsung pertama di tanah air.

Saya berharap politik Indonesia di masa mendatang lebih dinamis. Parpol mampu memerankan posisi penting sebagai institusi yang mampu melahirkan calon pemimpin bangsa yang berkualitas negarawan. Dan, itu hanya bisa terwujud jika parpol tidak abai dengan kaderisasi dan mengadaptasi pelbagai cara yang memungkinkan segenap kader partai memiliki hak sama untuk memimpin dan bahkan menjadi calon pemimpin bangsanya. Sayangnya, penulis belum menyaksikan tanda-tanda kebangkitan parpol dalam menyusun cara untuk melahirkan dan mencari calon-calon pemimpin bangsa tersebut. [Pikiran Rakyat, 28 September 2007]

Monday, September 10, 2007

Korporasi AS di Balik Perang Irak

Oleh Moh Samsul Arifin

Judul: Blood Money
Penulis: T. Christian Miller
Penerjemah: Leinovar Bahfein & Sigit Setia
Penerbit: Ufuk Press, Jakarta, Mei 2007
Tebal: 459 halaman

ANDREW Austin dalam "The Bush Gang" secara lantang menyebut alasan George Walker Bush menginvasi Irak pada Maret 2003 adalah demi mengamankan pasokan minyak ke negerinya. Irak sangatlah strategis, seperti juga kawasan laut Kaspia—Azerbaijan, Kazakhstan, Turkmenistan dan Uzbekistan—untuk memenuhi kebutuhan minyak Amerika Serikat yang mencapai 21 juta barel per hari. Austin mempertebal skeptisisme orang ramai bahwa emas hitam kerap menjadi causa prima pemerintahan Bush menurunkan pemerintah yang berkuasa di negara-negara yang dimusuhinya.

Buku "Blood Money" karya T. Christian Miller ini menyambung satu fakta yang kurang diungkap ke ruang publik. Yakni sisi buram dari projek rekonstruksi Irak yang menelan miliaran dolar AS. Serangkaian fakta yang diperoleh Miller dari reportase langsung, wawancara dan data-data primer seperti termuat buku ini menelanjangi kredibilitas Pemerintahan Bush, sekaligus rekonstruksi tak terencana, yang alih-alih membangun infrastruktur dan prasarana kehidupan rakyat Irak dengan baik. Namun, justru menyumbang bagi kekacauan yang terus bertahta di sekujur Irak hingga saat ini.

Projek rekonstruksi Irak sebenarnya sudah dipikirkan Pemerintahan Bush berbarengan dengan penggalangan dukungan politik di parlemen. Sebulan pasca-Kongres AS mengesahkan resolusi yang memberi mandat kepada Bush untuk mengerahkan pasukan ke Irak, Pentagon sudah menganugerahkan kontrak pembangunan pertama kepada KBR (Kellog, Brown & Root), anak perusahaan Halliburton Company, pada 11 November 2002. KBR diminta merencanakan perbaikan industri minyak Irak pascaperang dengan total kontrak senilai 1,9 juta dolar AS.

Sampai sini, segalanya seperti on the track. Tapi, saat perang meletus, rekonstruksi tidak terkontrol. Proses tender berkejaran dengan waktu. Sering kali megaprojek pengadaan persenjataan, pembangunan infrastruktur sosial-ekonomi, perbaikan sarana dan prasarana hingga penyediaan akomodasi bagi pasukan koalisi yang bertugas di Irak jatuh pada perusahaan-perusahaan yang memiliki kedekatan dengan pemerintah.

Jurnalis Los Angeles Times ini, bahkan menemukan ada perusahaan tak berpengalaman asal sanggup mengumbar janji-janji palsu, ditunjuk Pemerintahan Koalisi Sementara (CPA) dan Kantor Rekonstruksi dan Bantuan Kemanusiaan (ORHA)—kepanjangan tangan Pemerintahan Bush—untuk menggarap projek penting dan sensitif seperti jasa keamanan untuk melancarkan proses rekonstruksi.

Menurut Miller, Halliburton termasuk yang paling ekspansif membidik rekonstruksi Irak. Dia masuk ke negeri seribu satu malam diduga karena dekat dengan Dick Cheney, sang wapres pernah menjadi eksekutif utama Halliburton antara 1995 dan 2000. Meski tak ada bukti kuat Cheney terlibat, mengutip hasil investigasi Partai Demokrat, ujar Miller, itu tak terlepas dari abainya pemerintah federal mengendalikan kontraktor utamanya di Irak tersebut. Tapi, satu yang pasti: Halliburton mengerjakan projek militer Amerika sejak 1990-an, saat Cheney menjadi Menteri Pertahanan di masa Bush senior.

Dalam aksinya, Halliburton kerap kali menggelembungkan tagihan kepada otoritas Pemerintahan Koalisi Sementara, termasuk ketika ditunjuk untuk memasok minyak ke Irak, Mei 2003. Apabila Defense Energy Support Center (lembaga bahan bakar Pentagon) mampu mengimpor bahan bakar keperluan militer senilai 1,08 dolar AS per galon. Halliburton meminta bayaran 2,68 dolar AS untuk setiap galon minyak yang didatangkannya (hal. 115).

Siapa saja yang berupaya mencegah Halliburton harus menanggung risiko. Ini menimpa Bunnatine Greenhouse, staf senior urusan kontrak United State Army Corps of Engineers. Saat ia getol mengawasi tender projek ke perusahaan itu, ia harus justru terpental dari jabatannya. Bukan itu saja gajinya dipotong. Ini terjadi kala Greenhouse tak setuju dengan keputusan Army Corps menyerahkan satu kontrak tanpa tender kepada Halliburton untuk memenuhi kebutuhan pasukan AS di negara-negara Balkan pada 2004.

Ada lagi perusahaan bau kencur yang mengais dolar di Irak bermodal nekad. Itulah Custer Battles yang didirikan jebolan angkatan bersenjata, Scott Custer dan Mike Battles. Dengan proposal "fiktif", Pemerintahan Koalisi Sementara menyerahkan tugas superpenting menjaga tempat vital, bandara Baghdad senilai 16,8 juta dolar AS.

Perusahaan sejenis berkaliber internasional seperti DynCorp International dan Army Group International Ltd tak berdaya. Dalam tempo 12 bulan, Custer Battles sukses mengkapitalisasi aset dari 200 ribu dolar AS menjadi 100 juta dolar AS.

Perusahaan ini juga pintar menggelembung biaya projek. Jika sesuai kontrak dengan ORHA, mereka hanya dibolehkan mengambil laba 25 persen. Perusahaan ini justru menagih pemerintah dua kali lipat dari biaya sebenarnya. Truk senilai 18 ribu dolar AS didongkrak menjadi 80 ribu dolar AS. Total biaya projek yang dikerjakan sebetulnya 913 ribu dolar AS, tapi Custer Battles meminta bayaran ke pemerintah hingga 2,1 juta dolar AS.

Kendatipun praktik curang itu tercium pihak ORHA dan Custer Battles diputus membayar denda lebih dari 10 juta dolar AS oleh pengadilan Washington, Custer Battles tidak dicoret dari tender-tender rekonstruksi di Irak. Masih banyak lagi hasil investagi Miller yang mencoreng telak-telak kredibilitas proses rekonstruksi Irak.

Ringkasnya, kecerobohan pemerintahan Bush dan kedekatan kontraktor dengan pentolan-pentolan pemerintah di Pentagon dan Departemen Luar Negeri telah membikin projek rekonstruksi tidak mulus. Apalagi mereka terkenal royal membagi projek miliaran dolar. Seringkali jutaan dolar keluar begitu mudah di meja transaksi yang tak transparan.

Kontraktor—yang mewakili kepentingan korporasi—memanfaatkannya untuk meraup untung berlipat. Miller kian membenarkan pengakuan John Perkins dalam Confussion of an Economic Hit Man bahwa tak ada misi yang lebih penting diemban korporasi, kecuali dolar! Lewat buku ini, Miller menunjukkan bagaimana rakyat Irak jadi korban kepentingan korporasi tersebut.

Rakyat Irak yang butuh perbaikan hidup tak diacuhkan. Malah dijadikan sebagai "sandal jepit" untuk menumpuk dolar. Mereka tamu di negeri sendiri! Akibatnya, pembangunan Irak terbengkalai. Irak baru—di mana demokrasi tegak, seperti dijanjikan Bush!—hanya pepesan kosong.

Jurnalisme investigasi yang digunakan peraih sejumlah penghargaan internasional ini bisa dijadikan acuan bagi jurnalis di tanah air untuk mengungkap selubung misteri "permainan uang" yang terlibat dalam rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Ini penting, sebab selepas jutaan dolar AS membanjiri Aceh, sedikit sekali media yang mengawasi jalannya pembangunan di Serambi Mekkah tersebut. [Media Indonesia, 2 September 2007]

Monday, September 3, 2007

Jalan Melingkar Calon Independen

Oleh Moh Samsul Arifin

LALU Ranggalawe harus diakui sebagai individu yang memberi sumbangan besar bagi demokrasi lokal. Ikhtiarnya menguji sejumlah pasal dalam UU 32/2004 telah membuka gembok dominasi partai politik dalam pemilihan kepala/wakil kepala daerah. Mahkamah Konstitusi memutuskan perseorangan atau calon nonparpol alias calon independen boleh berpartisipasi dalam pesta demokrasi di tingkat lokal. Kini, setiap warga negara dengan latar belakang apapun tak mesti meminta dukungan parpol untuk menjadi gubernur, bupati atau walikota. Ranggalawe yang juga anggota DPRD Lombok Barat, dapat berpartisipasi dalam pilkada di daerahnya tanpa harus “membeli” dukungan partainya, Partai Bintang Reformasi untuk menjemput mimpi.

Persoalannya, keputusan MK itu tak bisa langsung dioperasikan sebelum payung hukum yang mengatur persyaratan calon independen terbit. MK tak memberikan batas waktu kapan payung hukum itu harus dikeluarkan. Ini berbeda dengan keputusan MK mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, di mana payung hukumnya harus dibuat dalam tempo tiga tahun. Keputusan MK tentang calon independen, tak melampaui tuntutan Ranggalawe selaku penguji.

Apa yang dilakukan Jimly Asshiddiqie Cs ini mengoreksi sejumlah keputusan MK terdahulu yang kerap ultra petita—melampaui tuntutan penguji materi. Pasalnya, selaku negative legislative, MK hanya boleh memutus apakah sebuah Undang-Undang itu melanggar atau sesuai dengan konstitusi (UUD 1945). Ultra petita atau keputusan yang melampaui hal yang tidak diminta pemohon judicial review telah mempertebal suara sumbang sebagian kalangan bahwa MK ingin merampas fungsi legislasi DPR. Premis yang digunakan, banyak sekali Undang-Undang yang dihasil DPR dibatalkan MK dalam setahun terakhir.

Ihwal calon independen, saya mendapat kesan bahwa pilihan yang ditempuh Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR adalah jalan melingkar. Pemerintah dan DPR yang otoritatif membuat payung hukum justru memilih jalan sulit dalam mengatur persyaratan calon independen. Keduanya sepakat akan merevisi secara terbatas UU 32/2004, khususnya pasal 56 dan pasal 59 yang telah dibatalkan MK.

Dari tiga kemungkinan, KPU membuat aturan calon perseorangan, Presiden Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau revisi UU 32/2004, sebetulnya penerbitan Perpu paling cepat dan memiliki legitimasi tinggi di muka hukum. Tapi, eksekutif dan legislatif terbentur pada definisi dan terminologi “kondisi kegentingan memaksa” yang harus tersedia sebelum Perpu dikeluarkan.

Definisi yang dipakai cenderung bersifat fisik. Misalnya, jika payung hukum tak segera keluar dikhawatirkan terjadi konflik menjurus anarki di sejumlah daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada. Padahal, kekosongan hukum itu sendiri merupakan kondisi darurat dan mendesak. Di sini urgensi penerbitan Perpu agar setidaknya 19 daerah (provinsi, kabupaten dan kota) yang akan menyelenggarakan Pilkada antara Agustus 2007-Desember 2008 tak terlunta-lunta dalam kondisi ketidakpastian.

Apalagi secara empiris untuk konteks Pilkada, Presiden Yudhoyono pernah menerbitkan Perppu untuk mengubah substansi Pasal 90 UU 32/2004. Lewat Perppu 3/2005, Presiden mengubah jumlah pemilih di setiap TPS (Tempat Pemungutan Suara) dari sebanyak-banyaknya 300 orang menjadi 600 orang.

Yang paling logis, pemerintah dan DPR harus mengukur kadar manfaat dan mudharat jika proses revisi UU 32/2004 dipilih. Pertama, revisi pasti akan membutuhkan waktu. Kedua, jalur legislasi lewat DPR menyertakan tegangan politik yang tinggi. Dan ketiga, selama proses revisi dilakukan, bagaimana dengan pilkada di sejumlah daerah: dilanjutkan dengan mengacu UU 32/2004 atau ditunda.

Apabila tertib hukum yang menjadi acuan. Maka sangat tepat jika pemerintah memerintahkan Departemen Dalam Negeri menunda pelaksanaan pilkada di sejumlah daerah sampai payung hukum yang mengatur persyaratan calon independen rampung. Usulan penundaan ini cukup realistis. Setidaknya karena dua hal. Pertama, proses elektoral (pilkada) di daerah tak lagi dikuasai partai politik. Kedua, preferensi pemilih dalam pilkada kian banyak dan melibatkan perseorangan atau calon independen.

Untuk itu Mendagri hanya perlu menerbitkan peraturan menteri sehingga menjadi landasan hukum bagi KPU-KPU di daerah untuk menunda pilkada di daerahnya. Namun, penundaan pilkada ini menuntut syarat: revisi kelar tepat waktu. Jadi, kalau pemerintah dan DPR sepakat akan merampungkan revisi UU 32/2004 dalam tempo enam bulan. Maka, awal tahun 2008 nanti, UU yang baru harus langsung dapat dioperasikan. Presiden Yudhoyono menjanjikan hal itu ketika menerima kunjungan Ketua MK Jimly Asshiddiqie.

Sayang, arus perdebatan di depan publik soal ini justru bercabang. Gubernur Lemhanas Muladi termasuk yang mengapungkan ide penundaan pilkada. Tapi, Wapres Jusuf Kalla justru menegaskan agar pilkada di sejumlah daerah dilanjutkan saja dengan mengacu UU 32/2004 sebelum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK.

Buat saya, pernyataan Wapres ini justru kontraproduktif, karena tak memberikan teladan kepada warga negara untuk taat hukum. Pilkada di sejumlah daerah itu jelas berbeda dengan Pilkada DKI Jakarta yang sudah jalan (masa kampanye) saat MK memutuskan calon independen boleh berpartisipasi dalam pilkada. Nah, saat ini, majoritas pilkada di daerah—seperti di Sulawesi Selatan—masih dalam tahap pendaftaran calon.

Dengan demikian, menunda sampai batas waktu tertent tak akan menghambat pilkada, tapi justru menyehatkan demokrasi di tingkat lokal. Sebaliknya meneruskan pilkada dikhawatirkan dapat memantik benih-benih kekerasan. Pasalnya, warga masyarakat pastilah bereaksi keras menuntut dibolehkannya calon independen berpartisipasi dalam pilkada tahun ini.

Soal lain yang mencemaskan, parpol pemilik kursi di DPR mulai mengencangkan syarat bagi calon independen. Kini, sebagian kalangan Dewan mengapungkan agar syarat bagi calon independen setara dengan calon yang diusung parpol, yakni 15 persen suara rakyat yang ditunjukkan dengan Kartu Tanda Penduduk. Alasannya, calon independen harus mempunyai basis konstituensi yang berakar seperti juga parpol. Ini biar klaim kepemimpinan dari calon independen bahwa mereka dikehendaki rakyat bukan pepesan kosong.

Sekilas argumentasi ini rasional, kendatipun pada saat sama berpretensi kembali mengunci calon independen berpartisipasi dalam pilkada. Harus dikatakan memperlakukan calon independen seperti calon yang diusung parpol bakal kontraproduktif. Bukan tak mungkin hal itu akan menggiring mereka yang ingin maju ke pilkada, kembali “menyewa” parpol untuk mewujudkan mimpinya menjadi eksekutif di daerah. Padahal raison d’etre dari dibukanya calon independen adalah agar rakyat memiliki pilihan lebih banyak untuk menentukan pemimpin.

Sebuah proposisi yang tak bisa ditawar jika parpol merupakan institusi politik untuk melajukan demokrasi di negeri ini. Di dalam parpol, calon-calon pemimpin bangsa dikader. Tapi, ketika peran itu belum optimal, seyogyanya pintu-pintu lain dibuka. Masing-masing harus diberi kesempatan dan membuktikan diri untuk diseleksi oleh sang waktu. Dan ingat, di beberapa negara bagian di Amerika Serikat calon independen yang hendak maju ke pemilihan gubernur hanya perlu mengumpulkan 3-5 persen dari jumlah pemilih terdaftar di pemilihan sebelumnya. [Pikiran Rakyat, 1 September 2007]