Oleh Moh Samsul Arifin
NAMA Agum Gumelar tiba-tiba menjulang di Jawa Barat akhir September lalu. Bekas calon wakil presiden kelahiran Tasikmalaya ini menurut hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) menangguk popularitas tertinggi dibandingkan tokoh Sunda lain yang berdiam di Jawa Barat dan Jakarta. Popularitas Menkopolsoskam di masa Abdurrahman Wahid ini meroket hingga 83,4 persen. Jauh meninggalkan Nurul Arifin (65,2 persen), Dede Yusuf (72,3 persen) dan bahkan gubernur aktif, Danny Setiawan (50,5 persen). Tokoh lain semacam Ajat Sudrajat, Nu'man Abdul Hakim, Letjen Pur Adang Ruchiyatna, Uu Rukmana, Irjen Pol Dadang Garnida, Tutty Hayati Anwar, Sofyan Yahya, Mayjen TB. Hasanuddin, Agus Gumiwang Kartasasmita, Rudi Harsa Tanaya dan Yudi Widiana di bawah 27 persen.
LSI juga melacak tingkat kemungkinan nama tokoh terpilih (elektibilitas) dalam Pilgub Jawa Barat jika dilaksanakan saat berlangsung jajak pendapat. Maka digunakanlah framing (pembingkaian) dengan pertanyaan tertutup dan terbuka. Hasilnya, Agum Gumelar menjadi kandidat serius bagi Danny Setiawan, gubernur yang diperkirakan menjadi incumbent pada Pilgub 2008 mendatang.
Dari 25 nama yang disodorkan LSI kepada 820 responden (sampel) di seluruh kabupaten/kota di Jabar, Agum dipilih 33,2 persen, sedangkan Danny 11,5 persen. Dede Yusuf, Nurul Arifin, Ajat Sudrajat, H.A.M. Ruslan, Adang Ruchiyatna atau Nu’man Abdul Hakim angka elektibilitasnya antara 0,7-4,3 persen.
Saat diciutkan menjadi enam mana (Dede Yusuf, Danny Setiawan, Nu'man Abdul Hakim, Agum Gumelar, Uu Rukmana, H.A.M. Ruslan), majoritas responden, sebanyak 44,7 persen memilih Agum. Danny dipilih 16,8 persen responden, Dede Yusuf (8 persen), H.A.M. Ruslan (4,2 persen), Uu Rukman (1,9 persen), Nu'man Abdul Hakim (1,7 persen). Sedangkan 22,6 persen responden mengaku tidak tahu/tidak menjawab. Jika diciutkan lagi menjadi dua nama (Danny Setiawan dan Agum Gumelar), Agum “menang” dengan perolehan 55,6 persen berbanding 23,5 persen. Selebihnya tidak tahu/tidak jawab 20,9 persen.
Lain cerita jika pertanyaan terbuka yang digunakan. Danny unggul atas Agum, dengan perolehan 7,3 persen berbanding 4,2 persen. Selebihnya memilih lainnya (4,5 persen), Dede Yusuf (0,7 persen), Irianto M.S. Syafiudin (0,6 persen), Ajat Sudrajat dan Agus Gumiwang Kartasasmita (0,4 persen). Sedangkan majoritas (81,9 persen) warga Jabar belum tahu tentang calon kandidat yang akan didukung menjadi Gubernur. Berarti saat ini majoritas warga Jabar masih belum menetapkan tokoh yang akan mereka pilih pada Pilgub mendatang.
Muncul dan meroketnya nama Agum Gumelar tidaklah datang dari langit. Dengan pembacaan kritis, kemunculan Agum merupakan bentuk telanjang dari “politik survei”. Mengapa nama Agum Gumelar yang “muncul” dan bukan Ginandjar Kartasasmita, Muhammad Surya atau Mayjen TNI. TB. Hasanuddin?
Survei adalah cara paling efektif melacak arus pendapat publik secara temporal. Namun, pada saat sama survei memiliki potensi digunakan untuk menggiring opini publik riil. Hasil survei memotret sebuah tren, kecenderungan dan tak memastikan kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Survei bukanlah sesuatu yang absolut, sekalipun pada saat sama tak boleh dinafikan. Siapapun, partai politik, kandidat atau warga yang telanjur terpaku pada survei sedikit banyak akan jatuh pada kenisbian. Seorang tokoh akan kelewat percaya diri, atau justru takut bersaing dalam perhelatan politik di tingkat lokal.
Saya menangkap “harga” Agum Gumelar demikian tinggi menuju Pilgub 2008 di Jabar lantaran diuntungkan oleh survei yang melambungkan namanya. Selain itu, parpol ikut menyumbang terhadap gejala terjunnya politisi Jakarta ke pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah, termasuk Jawa Barat. Belum jelas benar alasan DPD PDIP Jabar hampir pasti mengusung Agum Gumelar untuk diduetkan dengan Rudi Harsa Tanaya. Apakah deal itu dipicu oleh hasil survei atau memang terjadi pertemuan kepentingan (berikut visi dan misi) sekaitan Pilgub Jabar.