Friday, October 26, 2007

Politik Lokal Politisi Jakarta

Oleh Moh Samsul Arifin

NAMA Agum Gumelar tiba-tiba menjulang di Jawa Barat akhir September lalu. Bekas calon wakil presiden kelahiran Tasikmalaya ini menurut hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) menangguk popularitas tertinggi dibandingkan tokoh Sunda lain yang berdiam di Jawa Barat dan Jakarta. Popularitas Menkopolsoskam di masa Abdurrahman Wahid ini meroket hingga 83,4 persen. Jauh meninggalkan Nurul Arifin (65,2 persen), Dede Yusuf (72,3 persen) dan bahkan gubernur aktif, Danny Setiawan (50,5 persen). Tokoh lain semacam Ajat Sudrajat, Nu'man Abdul Hakim, Letjen Pur Adang Ruchiyatna, Uu Rukmana, Irjen Pol Dadang Garnida, Tutty Hayati Anwar, Sofyan Yahya, Mayjen TB. Hasanuddin, Agus Gumiwang Kartasasmita, Rudi Harsa Tanaya dan Yudi Widiana di bawah 27 persen.

LSI juga melacak tingkat kemungkinan nama tokoh terpilih (elektibilitas) dalam Pilgub Jawa Barat jika dilaksanakan saat berlangsung jajak pendapat. Maka digunakanlah framing (pembingkaian) dengan pertanyaan tertutup dan terbuka. Hasilnya, Agum Gumelar menjadi kandidat serius bagi Danny Setiawan, gubernur yang diperkirakan menjadi incumbent pada Pilgub 2008 mendatang.

Dari 25 nama yang disodorkan LSI kepada 820 responden (sampel) di seluruh kabupaten/kota di Jabar, Agum dipilih 33,2 persen, sedangkan Danny 11,5 persen. Dede Yusuf, Nurul Arifin, Ajat Sudrajat, H.A.M. Ruslan, Adang Ruchiyatna atau Nu’man Abdul Hakim angka elektibilitasnya antara 0,7-4,3 persen.


Saat diciutkan menjadi enam mana (Dede Yusuf, Danny Setiawan, Nu'man Abdul Hakim, Agum Gumelar, Uu Rukmana, H.A.M. Ruslan), majoritas responden, sebanyak 44,7 persen memilih Agum. Danny dipilih 16,8 persen responden, Dede Yusuf (8 persen), H.A.M. Ruslan (4,2 persen), Uu Rukman (1,9 persen), Nu'man Abdul Hakim (1,7 persen). Sedangkan 22,6 persen responden mengaku tidak tahu/tidak menjawab. Jika diciutkan lagi menjadi dua nama (Danny Setiawan dan Agum Gumelar), Agum “menang” dengan perolehan 55,6 persen berbanding 23,5 persen. Selebihnya tidak tahu/tidak jawab 20,9 persen.

Lain cerita jika pertanyaan terbuka yang digunakan. Danny unggul atas Agum, dengan perolehan 7,3 persen berbanding 4,2 persen. Selebihnya memilih lainnya (4,5 persen), Dede Yusuf (0,7 persen), Irianto M.S. Syafiudin (0,6 persen), Ajat Sudrajat dan Agus Gumiwang Kartasasmita (0,4 persen). Sedangkan majoritas (81,9 persen) warga Jabar belum tahu tentang calon kandidat yang akan didukung menjadi Gubernur. Berarti saat ini majoritas warga Jabar masih belum menetapkan tokoh yang akan mereka pilih pada Pilgub mendatang.

Muncul dan meroketnya nama Agum Gumelar tidaklah datang dari langit. Dengan pembacaan kritis, kemunculan Agum merupakan bentuk telanjang dari “politik survei”. Mengapa nama Agum Gumelar yang “muncul” dan bukan Ginandjar Kartasasmita, Muhammad Surya atau Mayjen TNI. TB. Hasanuddin?

Survei adalah cara paling efektif melacak arus pendapat publik secara temporal. Namun, pada saat sama survei memiliki potensi digunakan untuk menggiring opini publik riil. Hasil survei memotret sebuah tren, kecenderungan dan tak memastikan kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Survei bukanlah sesuatu yang absolut, sekalipun pada saat sama tak boleh dinafikan. Siapapun, partai politik, kandidat atau warga yang telanjur terpaku pada survei sedikit banyak akan jatuh pada kenisbian. Seorang tokoh akan kelewat percaya diri, atau justru takut bersaing dalam perhelatan politik di tingkat lokal.

Saya menangkap “harga” Agum Gumelar demikian tinggi menuju Pilgub 2008 di Jabar lantaran diuntungkan oleh survei yang melambungkan namanya. Selain itu, parpol ikut menyumbang terhadap gejala terjunnya politisi Jakarta ke pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah, termasuk Jawa Barat. Belum jelas benar alasan DPD PDIP Jabar hampir pasti mengusung Agum Gumelar untuk diduetkan dengan Rudi Harsa Tanaya. Apakah deal itu dipicu oleh hasil survei atau memang terjadi pertemuan kepentingan (berikut visi dan misi) sekaitan Pilgub Jabar.

Untuk menyebut contoh, selain Agum Gumelar saat ini sejumlah politisi Jakarta terus memburu pilkada. Bibit Waluyo (eks militer yang gagal menjadi cagub pada Pilgub Jakarta) tengah mendekati parpol di Jawa Tengah untuk berpartisipasi dalam Pilgub di sana. Politisi Partai Golkar Akil Mochtar mencalonkan di Pilgub Kalimantan Barat. Bekas Menneg Pembangunan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf mengincar Pilgub Jawa Timur.

Daftar ini bakal kian berderet apabila nama yang sudah menggenggam jabatan eksekutif (gubernur, bupati dan walikota) disebut. Nurmahmudi Ismail (walikota Depok), Fadel Muhammad (gubernur Gorontalo), Agustin Teras Narang (gubernur Kalimantan Tengah) kembali terjun ke politik lokal setelah malang–melintang di jagad politik nasional. Dan, sayangnya, politisi lokal dan parpol tak menunjukkan resistensi terhadap gejala yang sudah terjadi sejak pilkada langsung diterapkan pada 2005 lalu.

Ada sejumlah kemungkinan mengapa fenomena itu terus berlangsung? Pertama, parpol sebagai kendaraan politik tak memiliki desain jenjang karier yang terarah dan pasti bagi setiap kadernya. Kader parpol akhirnya bergerak sendiri-sendiri untuk merengkuh jabatan-jabatan di eksekutif. Saat peluang tersedia, mereka pun balik kanan terjun ke pentas politik lokal demi memenuhi tujuan mendapat jabatan eksekutif.

Kedua, kaderisasi di tingkat parpol mandek. Kondisi ini tak pelak membuat parpol tak punya pilihan, selain memberi tempat kepada tokoh dari luar parpol untuk mendapat dukungan mereka. Fenomena politisi Jakarta terjun ke politik lokal, memanfaatkan kekosongan tersebut. Daripada memunculkan tokoh lokal yang kurang teruji, parpol berpikir tokoh nasional atau politisi Jakarta lebih menjual. Apalagi jika dukungan yang diberikan parpol tersebut dikompensasi dengan sejumlah dana.

Ketiga, parpol tersedot untuk menggarap tujuan-tujuan jangka pendek sehingga politik pragmatis tak terelakkan. Buntutnya, alih-alih menjadi saluran bagi kader sendiri meraih jabatan publik, parpol justru menjadi “perahu” bagi orang lain untuk tampil di ajang politik lokal semacam pilgub, pilbup dan pilkot.

Jika kondisi ini tak segera dikoreksi, hemat saya, perhelatan politik lokal (pilkada) akan kehilangan warna “kelokalannya”. Apa jadinya jika politik lokal membuat orang daerah menjadi “tamu” di daerah mereka sendiri? Mereka terus terdesak, bahkan oleh orang daerah yang sudah berkecimpung di tingkat nasional. Sudah pasti ini akan mengganjal mobilitas vertikal politisi lokal. Seyogianya dilakukan penelitian kualitatif oleh lembaga kajian untuk meneropong seberapa jauh dampak negatif fenomena terjunnya politisi nasional itu bagi politik lokal.

Saya kira politik demokratis juga berurusan dengan topik berbagi ruang (space). Inilah yang berlaku dalam tradisi politik di Amerika Serikat. Di sana, seorang bekas gubernur melirik perhelatan pemilu presiden (sebutlah Bill Clinton atau George Walker Bush). Dari tingkat lokal, politisi di sana berikhtiar menembus politik nasional. Tradisi ini sedikit meruak di Tanah Air ketika Sutiyoso (saat itu masih gubernur Jakarta) mendeklarasikan diri menjadi capres pada Pilpres 2009 beberapa waktu lalu. Saya mengimpikan tren semacam menjadi kata umum dalam politik kita di masa mendatang. [Pikiran Rakyat, 26 Oktober 2007]

Sunday, October 7, 2007

Membaca Terbalik StAR Initiative

Oleh Moh Samsul Arifin


STOLEN Asset Recovery (StAR) Initiative yang merupakan kerjasama Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia menerbitkan harapan besar di tengah mati anginnya upaya pengembalian aset yang diduga diselewengkan Soeharto saat berkuasa. Pada akhir Mei 2006, Kejaksaan Agung telah mengeluarkan SKP3, yang berarti menamatkan upaya hukum (pidana) terhadap bekas presiden kedua Republik Indonesia tersebut. Saat ini Kejaksaan Agung tengah menuntut perdata Soeharto dan Yayasan Supersemar yang diduga menyelewengkan dana negara triliunan rupiah.

Di sinilah StAR Initiative dapat mengkatalisasi upaya pemerintah mendapatkan kembali aset negara yang diselewengkan selama 32 tahun kekuasaan Soeharto. StAR Initiative pada 16 September lalu mengumumkan Soeharto sebagai koruptor nomor wahid dengan total aset antara 15 miliar hingga 35 miliar dolar AS.

Kebijakan antikorupsi telah dikembangkan Bank Dunia, IMF, United Nations Development Programme (UNDP), lembaga bantuan bilateral dan bank pembangunan regional untuk membangun kepercayaan terhadap integritas lembaga mereka. Pada 1997, Bank Dunia menerbitkan Helping Countries Combat Corruption (Bantuan terhadap Negara-negara untuk Memerangi Korupsi). Sasaran yang dituju bukan hanya melindungi projek bantuan terhadap iklim korup suatu negara atau terhadap permintaan bayaran (suap) yang telah menjadi biasa di beberapa negara bagian dari usaha internasional. Tapi, juga kerja sama antara organisasi internasional dan negara-negara yang berminat untuk membina suatu program menyeluruh.

StAR Initiative dinilai sebagai kelanjutan upaya memerangi korupsi tersebut. Ini setidaknya pembacaan pertama yang dihembuskan banyak kalangan dan media massa di Tanah Air. Tapi, fakta ini melupakan adanya andil Bank Dunia di balik maraknya korupsi di dalam projek-projek yang didanai mereka di negara-negara berkembang.

Jefrey A. Winters mensinyalir dana pinjaman dari Bank Dunia kepada pemerintah Orde Baru antara 1966 -1998 mencapai angka 30 miliar dolar AS. Sekitar sepertiganya atau 10 miliar dolar AS “dijarah” secara sistematis atas sepengetahuan Bank Dunia.

Begitu juga John Perkins, seorang the economic hitman (bandit ekonomi) yang digunakan Bank Dunia, IMF dan lembaga keuangan internasional untuk memuluskan sejumlah projek mereka di negara-negara berkembang. Dalam Confession of an Economic Hitman dan The Secret History of the American Empire, Perkins menyatakan dirinya diutus perusahaan konsultan MAIN asal Boston, AS—yang disewa Bank Dunia—untuk menaksir potensi ekonomi projek sistem kelistrikan terpadu di Indonesia pada 1971 silam. Menurut Perkins, data yang dikumpulkannya sengaja digelembungkan agar dapat dimanfaatkan Soeharto dan kroni-kroninya menggerakkan industrialisasi di tanah air dan menambah kekayaannya.

Pembacaan kedua, dan ini tak begitu terungkap di ruang publik dan diskursus publik, adalah seberapa efektif StAR Initiative mengkatalisasi upaya pengembalian aset yang diduga “diambil” Soeharto tersebut? Benarkah bangsa ini boleh optimistik dengan StAR Initiative?

Presiden Yudhoyono berujar, Bank Dunia (lewat StAR Initiative) tak menemukan informasi tentang dugaan pencurian aset negara oleh Soeharto. Bahkan, lanjut Presiden, program pengembalian kekayaan curian (StAR) sebenarnya tak membidik orang tertentu. “Bank Dunia mengatakan kepada saya tak pernah dan memang tak bermaksud membidik sasaran pihak tertentu, orang tertentu. Konsep itu akan dilakukan dengan negara mana pun yang memang menginginkan kerja sama dengan Bank Dunia dalam kerangka StAR,” jelas Presiden Yudhoyono (Kompas, 29/9).

Dua hal penting yang disitir Presiden Yudhoyono membatalkan harapan yang tiba-tiba menggelembung saat StAR Initiative mengumumkan datanya. Pertama, prakarsa StAR tak menjanjikan datanya akurat dan kemungkinan memverifikasi data dimaksud. Artinya sinyalemen bahwa Bank Dunia dapat mempermudah pencarian aset yang diduga “diambil” Soeharto tak sepenuhnya benar.

Kedua, anasir bahwa PBB dan Bank Dunia tengah menyasar secara khusus korupsi yang dilakukan Soeharto ketika berkuasa kelewat dibesar-besarkan. Pada gilirannya, StAR Initiative hanya dapat dijalankan jika negara yang bersangkutan menginginkan kerja bareng dengan Bank Dunia. Dalam konteks itu upaya pengembalian aset yang diduga dicuri Soeharto berada di pundak Presiden Yudhoyono. Di titik ini selaksa tanya menyeruak.

Selain komitmen dari Presiden Yudhoyono, dua lembaga yang memegang peran penting adalah lembaga peradilan dan kejaksaan. Menurut Susan Rose-Ackerman (2000), di dunia ini banyak negara mempunyai Undang-Undang Antikorupsi yang hebat, tapi tak berpengaruh terhadap penanggulangan korupsi. Andai para penuntut umum getol, masih tetap tidak banyak artinya jika negara itu tak memiliki sistem pengadilan yang jujur. Pengadilan yang korup atau terikat secara politis dapat melancarkan korupsi tingkat tinggi, merongrong reformasi dan mengesampingkan norma-norma hukum.

Ini juga yang dikatakan almarhum Baharuddin Lopa ketika ditanya Presiden Abdurrahman Wahid (tahun 2000) tentang cara mengembalikan harta negara yang diduga diambil Soeharto. Bekas Jaksa Agung itu mengatakan pengadilan lah pilar penting untuk menyelesaikan aspek hukum terhadap Soeharto.

Lembaga peradilan yang jujur dan disegani adalah niscaya dalam usaha melawan pemerintahan yang korup dan sekaligus menegakkan hukum. Di sinilah letak persoalan laten pemberantasan korupsi di Indonesia. Di negeri ini pengadilan tidak efektif lantaran sebagian besar orang percaya bahwa banyak hakim korup. Lembaga yudikatif yang korup memang mahal bagi demokrasi lantaran tak dapat memainkan perannya sebagai penjaga nilai-nilai konstitusi atau mengawasi kejujuran dari cabang pemerintahan lainnya.

Beda dengan Italia, Brasil, atau India. Masih kata Susan Rose-Ackerman, di Italia misalnya, petugas hukum yang independen gigih melacak dan menuntut pelaku korupsi. Mahkamah Agung India mendorong maju pemeriksaan korupsi yang ingin “dipeti-eskan” oleh pemerintah. Mahkamah Agung Brasil bersikeras bahwa tuduhan terhadap Presiden Collor harus dilakukan di depan umum secara terbuka dan setiap anggota parlemen memberi suara secara terbuka pula. Itulah yang membuat persidangan berjalan jujur dan berakhir dengan dipecatnya presiden yang kelewat korup tersebut.

Dalam kerangka pemberantasan korupsi, PresidenYudhoyono memiliki banyak pilar. Mulai dari Kejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi hingga Tim Pemburu Aset Koruptor. Seluruh kekuatan ini dapat dikonsolidasikan untuk menumpas kelor korupsi, termasuk memproses secara adil dugaan korupsi Soeharto.

Pertanyaannya, apakah Yudhoyono—yang di masa Abdurrahman Wahid pernah ditunjuk menjadi negosiator pengembalian harta negara yang diduga “diambil” Soeharto—menerima misi utama reformasi, memberantas korupsi di pundaknya? Sebagaimana dimaklum, pada 2000, Gus Dur mempercayakan kepada Yudhoyono (saat itu Mentamben) untuk menegosiasikan kemungkinan pengembalian aset negara yang diselewengkan Soeharto.

Kepada pers, setelah bertemu keluarga Soeharto (konon pihak Cendana diwakili Siti Hardiyanti Rukmana), Yudhoyono saat itu menyatakan dirinya secara tersirat menyaksikan keinginan pihak keluarga Soeharto untuk menyumbangkan sebagian harta yang dimiliki kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Yudhoyono berharap sekaligus menuntut kesadaran pihak keluarga Soeharto untuk memiliki dorongan moral logis untuk menyumbangkan sebagian dari harta mereka kepada rakyat dan bangsa Indonesia (Kompas, 20 Juni 2000).

Sekali lagi program PBB dan Bank Dunia lewat Prakarsa StAR cuma katalis. Ia hanyalah panduan dan penunjuk rute, seperti peran yang dimainkan Kresna dalam Perang Baratayudha. Justru di tangan Presiden Yudhoyono lah nasib pengembalian aset negara yang diselewengkan Soeharto berada. [Oktober 2007]

Wednesday, October 3, 2007

Mencari Nama Allah dalam Diri

Judul: Mencari Nama Allah yang Keseratus
Penulis: Muhammad Zuhri
Penerbit: Serambi, Jakarta, Juli 2007
Tebal: 215 halaman

Oleh Moh Samsul Arifin


CARILAH nama Sekarjalak di peta. Andai ditemukan pun, ia pastilah berupa noktah kecil yang kurang tersambung dengan sebuah ingatan besar. Tapi, gandengkan nama Sekarjalak dengan Muhammad Zuhri, kita akan mendapati sebuah "dentuman besar" yang menyambungkan Muslim dengan tasawuf sosial yang aktual sekaligus kontekstual.

Peter G. Riddel pernah membahas Muhammad Zuhri—atau karib dipanggil Pak Muh—dalam Islam in The Malay-Indonesian World (2001). H.K. Lee—seorang asal Korea Selatan—menjadikannya objek disertasinya di Universitas Brunel Inggris tahun 1999 lalu. Lee menulis disertasi bertajuk "Sainthood and Modern Java: a Window into the World of Muhammad Zuhri".

Sekarjalak hanyalah sebuah desa di Pati, Jawa Tengah, tempat Pak Muh menggauli tasawuf. Di situ ia bercengkerama dengan penduduk setempat, juga tamu-tamu lainnya yang datang dari luar kota. Pak Muh menerima para tamunya itu sama dan sederajat kendatipun dari latar belakang yang kontras.

Baginya, para tamu itu adalah "Utusan Tuhan". "Mereka adalah orang-orang yang didatangkan Tuhan untuk dipertemukan dengan saya di suatu tempat pada suatu saat. Dan kebetulan tempat itu adalah rumah saya," ujar Pak Muh. Di rumahnya itu Pak Muh membentuh halaqah kecil bernama "Pesantren Budaya Barzakh" yang bertemu dua pekan sekali. Dari Sekarjalak, pengajian Pak Muh merembet ke Bandung dan Jakarta. Di dua kota ini, terbentuk Keluarga Budaya Barzakh dan Yayasan Barzakh. Pak Muh menjadi pusat di pengajian-pengajian tersebut, karena dialah guru sufi yang mengajarkan tasawuf kepada jamaah.

Pengajian Pak Muh menangkap persoalan-persoalan mutakhir dengan bening jiwa, menjurah ke akar, namun tetap berkorespondensi dengan realitas. Saya menangkap kesan itu saat hadir dalam peluncuran buku "Mencari Nama Allah yang Keseratus" di sebuah cafe di Kebayoran Baru, Jakarta, awal September lalu.

Terus terang saya terprovokasi dengan judul bukunya itu yang merangsang mata sekaligus menghunjam dalam ke lubuk kalbu. Apakah ada nama Allah yang keseratus setelah asmaul husna yang berjumlah 99? Mengapa ada satu lagi nama Allah yang belum tersingkap? Begitu tanya yang semburat di relung pikir sebelum saya membaca buku ini.

Menurut Pak Muh, 99 nama Allah yang diajarkan Rasulullah SAW menuju kebulatan alias nyaris sempurna (unfinished). Untuk sempurna, menjadi seratus, setiap manusia perlu mencari satu nama yang tersisa itu lewat pengabdian sepanjang hidup. Itulah sebutir mata tasbih yang lepas dari untaiannya, ism al a'zham atau nama Tuhan yang keseratus (hal. 20).

Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin adalah contoh pribadi yang menemukan nama keseratus Allah itu dalam dirinya. Nabi bergelar al-Amin, Abu Bakar (al-Shiddiq), Umar ibn Khaththab (al-Faruq), Utsman ibn Affan (Dzu al-Nurayn) dan Ali ibn Abi Thalib (al-Murthada). Ini yang disebut Pak Muh menjadi saksi (syahadat) kehadiran Allah itu di muka bumi. Ditemukannya nama Allah yang keseratus itulah yang membuat nama Nabi dan empat sahabat itu harum dalam peradaban Islam. Mereka menulis nama dalam sejarah lantaran dirahmati Allah.

Bagaimana menemukan nama yang keseratus itu? Sang pencari harus menetapkan jalan sejak awal yang bersifat permanen. Dalam hal ini, ujar Pak Muh, tak ada metode atau jalan untuk menempuh dan memeluk kebenaran, selain Islam. Setelah itu, sang pencari harus "menggarap dirinya" secara total.

Istilah "menggarap diri" ini adalah genuine Pak Muh dan bukan menjalankan segenap amalan seperti galibnya melekat pada gerakan tarekat. Menggarap diri ini menyerupai sebuah aktivitas mengenali diri, mengakui kelemahan-kelemahan sambil menggali potensi-potensi kreatif yang belum aktual di dataran personal dan komunal.

Tanda bahwa sang pencari telah menemukan nama Allah yang keseratus adalah saat ia dapat berlaku aktual dalam kehidupannya. Pencari itu telah memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah agen Allah di muka bumi. Ia sedapat mungkin menjadi saksi bahwa Allah itu ada. Ketika ada tetangga sakit, lapar, atau teraniaya, maka sang pencari itu harus menjadi "orang pertama" yang memberikan bantuan. Paling tidak, kendatipun kecil dan terbatas, sang pencari itu senantiasa berupaya menghadirkan Tuhan di muka bumi.

Dengan cara itu, sebut Pak Muh, sang pencari telah menghalau syak wasangka hambanya di muka bumi. Bukankah kita sering mendengar seorang hamba berujar, "Saya merintih, meminta, tapi Dia (Tuhan) tidak mengutus siapa pun dari hamba-hambanya untuk menyelamatkan saya."

Cara pandang Pak Muh terhadap kehadiran Tuhan ini mirip dengan aliran wujudiah, sebuah monisme ontologis dari Ibn Arabi. Menurut aliran ini, mengatakan "tiada Tuhan selain Allah" berarti bahwa hanya ada Tuhan. Dan konsekuensinya, segala sesuatu adalah Tuhan. Saat melihat pengemis di jalan, korban bencana alam, atau para pemadat, sesungguhnya kita menyaksikan hamba Allah yang perlu uluran tangan.

Pak Muh menyeru agar sang pencari mengambil peran yang unik, tapi bermakna di lingkungan terkecil dari keluarga, masyarakat hingga negara. Medannya adalah orang-orang yang berada dibawah garis kondisi kita; kepandaiannya, kekayaannya, kekuatan fisiknya, hingga keluasan persepsinya terhadap kenyataan (hal. 38-39).

Sufisme yang dikembangkan Pak Muh ini tampak peduli pada sesuatu yang bersifat komunitarian seperti disebut Peter G. Riddel. Aktivitasnya dirancang untuk membebaskan orang lemah dan membutuhkan. Suatu yang amat selaras dengan ideologi-ideologi aksi sosial akhir abad ke-20.

Namun, sedikit ganjil yang kurang diperhatikan adalah Pak Muh tidak mengikat jamaahnya dalam sebuah tarekat. Ia melepaskan jamaahnya bak buih, bisa mengumpul dan memisahkan diri setiap saat tanpa ikatan apa pun. Ihwal ini Miranda Risang Ayung (penulis Cahaya Rumah Kita) berujar, "Dalam kerangka tradisi tasawuf yang kini dominan, saya mungkin tidak pernah resmi menjadi muridnya. Tapi, saya ternyata sudah mengikutinya sekian lama, baik sebagai pengikut yang kagum lagi patuh maupun sebagai pengikut yang marah dan berontak" (Kata Pengantar "Hidup Lebih Bermakna", Agustus 2007).

Terbitnya buku ini, paling kurang dapat mengantarkan pembaca untuk menyelami tasawuf sambil tak melupakan sisi-sisi sosial yang melekat pada manusia sebagai human being. [Oktober 2007]