Tuesday, November 27, 2007

Aku Memilihmu

Oleh Moh Samsul Arifin

Hatiku menunjukmu sayang sebagai calon kekasih *)

Pelan namun pasti menggumpal sebagai mutiara

Aku merasakan bisikan-bisikan halus
Dari bibirmu yang tipis bersahaja

Meski jauh berjarak ruang
Hadirmu terus intens dalam jaga dan tidurku

Memikul kangen
Barisan kata yang keluar dari mulutmu

Celahku kuingin ditambal dengan pengetahuanmu yang berasa dan berpendirian

Aku telah memilih kamu
Untuk semua dan bersiap dengan tanggung jawab di pundak

Hingga untuk seluruh waktu

Salemba-Jakarta Timur, 17 September 2000

*) Bekas pacarku, sekarang istri

Monday, November 26, 2007

Sebuah Pribadi:

Kutenteng sebungkus nasi & beberapa buku

Oleh Moh Samsul Arifin

Malam itu badanku kurang tegak
Sejenis ‘keletihan’ yang aku tahu pasti dari mana berasal mengganggu

Maklum, nafas hidupku—baru itu yang belum dimiliki
Terus terang saja, sebetulnya pemenuhannya harus segera

Tapi isi kepalaku terus menyemburkan banyak pertimbangan
Hingga aku tak tahu harus mendahulukan yang mana: tubuh atau isi?

Sebungkus nasi barangkali telah cukup untuk membuat tubuh berdiri
Hanya saja, beberapa buku mungkin membuatku tidak kunjung selesai memahami dunia

Lalu, aku harus bagaimana?

--Matraman, 22 April 2000 pukul 20.00 WIB lebih


Sunday, November 25, 2007

Pemberontak Harus Dibunuh?

Oleh Moh Samsul Arifin

--Catatan terserak dalam “Hikayat Kadiroen” karya Semaoen

Pilihannya cuma satu, jika ingin mengabulkan semangat zaman
Yaitu maju ke medan laga

Pertandingan ide dan gagasan
Perebutan emosi massa
Pertarungan logika dan retorika
Adalah kesunyataan untuk bergema

Tapi, banyak orang malah membunuh pemberontakan dalam dirinya
Mereka kurang pintar merawatnya
Hingga kehilangan akal, dan punya satu pilihan, “membunuhnya.”

Seorang yang tak punya maksud membunuh, tentu saja cinta pada kehidupan
Galibnya, setiap ide tak perlu dibunuh

Ide yang nyantol pada satu kepala
Oleh karena ide itu hidup

Maka, tak sepantasnya jika pembawa ide harus disebut sebagai pemberontak terhadap kehidupan
Dan karenanya perlu dibunuh

Matraman-Jakarta Timur, 16 Mei 2000
[Presiden Abdurrahman Wahid mengusulkan pencabutan TAP MPRS tentang pelarangan Marxisme dan Leninisme]

Pencarian tanpa Akhir Goenawan Mohamad

Oleh Moh Samsul Arifin

Judul: Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai
Penulis: Goenawan Mohamad
Penerbit: Kata Kita, Jakarta, Oktober 2007
Tebal: 166 halaman

***

NUN jauh tahun 1969 silam, pemuda udik asal Sampang, Madura, menulis di buku hariannya bertitel “Tuhan, Maklumilah Aku.” Pemuda itu, Ahmad Wahib mencoba berkata jujur dan tanpa tedeng aling-aling.

“Tuhan, bisakah aku menerima hukum-hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu? Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan-Mu dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak yang Engkau sendiri telah berikan padaku dengan kemampuan-kemampuan bebasnya sekali?

Tuhan, aku ingin berbicara dengan Engkau dalam suasana bebas. Aku percaya bahwa Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran-pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri” [Pergelokan Pemikiran Islam, 1981].

Pengembaraan atau pencarian seperti dilakukan Wahib itu juga terjadi pada Goenawan Mohamad—sastrawan, wartawan, aktivis politik dan sosial serta filsuf yang menjadi saksi penting sejumlah pergolakan bangsa ini sejak 1960-an hingga sekarang. Jika pencarian Wahib terikat pada Islam, artinya ia ingin membuktikan kebenaran Islam yang pertama kali diperkenalkan ayahnya di Sampang. Maka ranah pencarian GM atau Mas Goen, jauh lebih lebar dan luas. Ia meliuk-liuk dari spektrum pemikiran kiri (ekstrem) hingga kanan (ekstrem). Sebagai jurnalis, ia mencatat segala hal—dan karena itu—memberi tempat kepada yang dicatat dan dipikirkannya itu. Catatan Pinggirnya di TEMPO, membuktikan bahwa GM seorang filsuf yang menggunakan pena (jurnalisme) untuk mempengaruhi cara pandang publik atas sejumlah hal yang dibahasnya.

GM tak menolak kemungkinan atau kebenaran lain di luar yang diyakininya saat ini atau istilah orisinal khas tokoh kelahiran Batang, Jawa Tengah ini, liyan [bahasa Jawa] atau the others. Pada GM, kepastian ataupun kemutlakan adalah sesuatu yang tengah dicari atau bahkan dibentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa sekarang. Jangan kaget, jika ia menyeberang—dan bahkan berenang—dari ekstrem satu ke ekstrem lain. Namun, berbeda dengan sufi yang menceburkan diri ke sungai lantaran terdorong rasa cinta dan mengalami ekstase kehadiran Tuhan. Berenang gaya GM, adalah menceburkan diri tanpa baju, di mana tubuh menyediakan diri untuk mencecap kebenaran.

Dengan cara itu, kenisbian kadang melambari pergolakan pemikiran GM. Abdurrahman Wahid menyebut Ahmad Wahib berpikir nisbi didorong ketundukannya yang penuh pada Yang Mutlak. Akan tetapi cara berpikir nisbi yang digunakan GM tersandera keterpikatannya pada yang lain atau liyan tersebut. Di sinilah, pencarian GM terbungkus pada semacam agnostik—menunda mengambil keputusan apakah menerima atau menolak adanya Tuhan.

Perhatikanlah pengantar GM dalam buku Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Paramadina, 1994). Di situ, GM mengapresiasi Cak Nur tentang jalan menuju Tuhan. Katanya, Tuhan tidak mungkin dicapai oleh dan dengan kondisi nisbi. Tuhan tidak mungkin dicapai dengan bahasa yang terbatas dan waktu yang sambung-menyambung. Tuhan tidak akan dipahami, seperti kita memahami rumus matematika, dalam proses dari suatu titik awal dan sampai tiba di suatu titik akhir.

Lalu, GM terpikat dengan cara Chairil Anwar memahami Tuhan. "Susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh." Menurut GM, “mengingat” mengandung faktor waktu, sedang Tuhan datang dengan “penuh seluruh” melalui sesuatu yang mengatasi waktu: melalui wahyu. Persoalannya, bagaimana Tuhan akan dihadirkan dalam kesadaran manusia?

GM menjawabnya sendiri. Manusia mau tak mau menggunakan pikiran, suatu proses diskursif yang berjalan setapak demi setapak untuk sampai kepada suatu kesimpulan. Dan karena wahyu hanya turun kepada Rasulullah SAW, beliau harus merumuskan dan menggunakan bahasa dan komunikasi. Tak bisa tidak, lanjut GM, wahyu harus masuk ke dalam kurun waktu. Di sini, saya kira, GM seorang rasionalis—ia lebih berada di kubu Ibn Rusyd (pemancang rasionalitas di dunia Muslim dan Barat) ketimbang Al-Ghazali (hujjat al-Islam). Yang terakhir ini, dalam Ihya Alum al-Din (masterpiece Al-Ghazali), tegas-tegas memberi batas pada pikiran: Mengungkapkan misteri (kuasa) Allah adalah kufur.

Buku Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai ini merupakan percikan permenungan GM yang belum tertampung dalam buku-buku terdahulunya. Sebagian adalah pokok atau intisari dari catatan pinggir, selebihnya adalah pikiran-pikiran terserak saat ia berada di New Haven, Connecticut, Amerika Serikat, Jakarta dan pojok-pojok dunia lain. Berisi 99 percikan, sebagian tersambung dalam satu tema yang membentuk benang merah dan sebagian lagi merupakan tema yang berdiri sendiri-sendiri.

Dalam percicikan pertama, GM takjub dengan cara Walisongo membangun masjid. Pada abad ke-16, sembilan wali mendirikan masjid pertama di kota pantai utara Jawa, Demak dari serpihan kayu dan lapisan yang lepas dari papan. “Sebuah masjid yang ditopang oleh yang terbuang, yang remeh dan yang tak bisa disusun rata—bukan sebuah rumah Tuhan yang berdiri karena pokok yang lurus dan kukuh, dengan lembing dan tahta” (hal. 9).

Ada kontras di situ, Masjid Agung Demak dibangun dengan kesederhanaan dan kesahajaan, sedangkan di banyak tempat di masa modern ini rumah ibadah dibangun dengan “lembing” dan “tahta”—simbol senjata dan kekuasaan. Bukankah di London sana, saat ini warga Muslim yang kebetulan anggota Jamaah Tabligh yang dicap garis keras dilarang membangun masjid?

Di Banyuwangi, Jawa Timur, beberapa waktu lalu warga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah hampir bentrok karena warga Muhammadiyah berinisiatif melaksanakan salat Jumat di masjid mereka. Percikan ini seperti menyeru, jika Tuhan tak bisa ditolak dan agama bertambah penting, seyogianya ekspresi keberagamaan tak menggunakan kekerasan—apalagi jika harus dengan membunuh sesama. Dengan nada geram, GM menyebut zaman modern ditandai dengan para algojo yang dengan dalih agama, membunuh beratus-ratus orang sekaligus. GM menyeru agar manusia keluar tindakan brutal semacam itu. Sebab, Tuhan—khususnya bagi para filsuf—adalah Tuhan yang tak menyebabkan pembunuhan terjadi (lihat percikan ke-22, hal. 39-40).

Masih berkaitan dengan masjid, GM menukilkan kenyelenehan Al-Mutawakkil, khalifah yang bertahta tahun 847. Konon khalifah yang digambarkan sejarah Syiah sebagai “tiran berdarah” ini sering menaiki tangga menara masjid yang dibangunnya di Samarra. Mutawakkil merasa dengan menaiki tangga dengan keledai dirinya tengah dalam perjalanan yang khidmat tapi terhormat mendekati Tuhan (hal. 67-68). Lewat percikan ini, tersingkap bahwa kekudusan pada masing-masing individu bisa berbeda, meskipun pada akhirnya berhulu pada Yang Satu.

Di tempat lain, percikan ke-21, GM kembali kepada cara pandang nisbi. Ia yang begitu terpukau pada rasionalitas ternyata juga mengkritik Sultan Akbar yang memandang akal sebagai soko guru agama barunya, Din Illahi, pada abad ke16 di India. Pantas jika Sultan Akbar gagal, sebab menurut GM, iman bukanlah mempercayai apa yang terang tanpa mempercayai apa yang gelap. Tuhan tak datang ke dalam hati kita dengan jaminan bahwa yang akan datang hanya ketenteraman dan semua hal bisa dimengerti (hal. 17). Ini menegaskan GM sebetulnya tak kuasa menolak bahwa Tuhan tak benar-benar dapat dicecap dengan rasio.

Di atas segalanya, GM menolak monopoli tafsir dan makna seperti diklaim oleh Sayyed Qutb, yang menyatakan Alquran menampilkan Islam sebagaimana adanya. Sebab, di antara Alquran dan Qutb hadir bahasa (lihat percikan ke-55, hal. 90-91). Karena bahasa tak mengikuti hukum geometris, bahasa dapat dibelokkan oleh manusia, termasuk para penafsir. Dalam panggung sejarah, bahasa sarat cerita sesat, makna yang berkelok dan ambigu serta rambu-rambu palsu.

Apa yang terjadi pada kaum Wahabi yang menghalalkan kekerasan, saya kira, sebagian besar disumbang monopoli makna tersebut. Penolakannya pada tafsir lain menyebabkan agama diterima sebagai hal yang menakutkan. Juga, tindakan para pemuda Ikhwanul tatkala merusak alat musik, membakar film, merobek kanvas lukisan, menghancurkan patung lantaran keyakinan mereka bahwa keindahan hanya ada pada Tuhan.

Ke-99 percikan dalam buku ini tentu saja tak membahas Tuhan (dan agama) di bawah payung Islam. Tapi juga Kristen, Yahudi, Konghucu hingga Kejawen. Di samping itu dikupas tema semacam demokrasi dalam kotak suara, moralitas dalam sepakbola, filsafat di balik lawakan (Srimulat), hukuman mati, sampai Kali Ciliwung. Seluruhnya menggunakan tatapan mata elang, menghunjam ke akar dan memberi perspektif yang mencerahkan.

Membaca percikan GM, kita tersadar banyak pekerjaan yang harus kita cicil untuk memahami Tuhan dengan syahdu dan sekaligus tetap memuliakan kemanusiaan. Sayang, penerbit Kata Kita tak menyertakan glosari untuk menjelaskan selaksa nama yang disebut GM dalam percikannya. Itu berguna bagi pembaca, khususnya yang tidak familiar dengan nama-nama tersebut. [Edisi Lengkap dari yang dimuat Media Indonesia, 24 November 2007]

Friday, November 2, 2007

Sutiyoso dan Marketing Politik

Oleh Moh Samsul Arifin

LETNAN Jenderal (Purnawirawan) Sutiyoso mendeklarasikan diri untuk maju dalam pemilihan presiden/wakil presiden tahun 2009 mendatang di sebuah hotel berbintang di Jakarta, awal Oktober lalu. Sutiyoso atau Bang Yos memasang target tinggi, sebab yang disasar adalah jabatan tertinggi di republik ini dibawah tajuk “Sutiyoso for President”. Setidaknya ada dua hal mengapa pencalonan Bang Yos menjadi “istimewa”.

Pertama, ia tak memiliki kendaraan politik (baca: partai politik) untuk mengantarnya ke politik elektoral, Pilpres 2009. Kedua, pencalonan itu diumumkan saat yang bersangkutan masih menjabat gubernur DKI Jakarta. Para pengkritik mengaitkannya dengan problem politik riil dan moral-etis, sesuatu yang memang absen di balik pencalonan Bang Yos tersebut.

Dalam satu dasawarsa politik di masa reformasi, pencapresan selalu identik dengan partai politik. Sejumlah tokoh yang berkeinginan memimpin Indonesia, mengawali langkahnya dengan mendirikan parpol. Teori ini hampir menjadi absolut, sebab parpol—setidaknya hingga kini—ditempatkan sebagai pintu satu-satunya untuk berkiprah dalam seleksi kepemimpinan nasional (baca: pilpres dan pemilu legislatif) dan seleksi pejabat eksekutif di daerah (provinsi, kabupaten dan kota) lewat pilkada secara langsung. Sutiyoso menubruk pakem tersebut dengan rasa percaya diri tinggi.

Bagi Sutiyoso, saat ini parpol sudah begitu banyak, sehingga ia memilih tak mendirikan parpol baru. Justru, ia hendak “memasarkan diri” untuk dicalonkan parpol-parpol yang sudah ada. “Saya tidak punya partai. Partai sudah sangat banyak. Kalau saya layak pasti ada kereta. Di samping saya melakukan pendekatan, saya harap ada kereta yang mendekat,” ujarnya (Sinar Harapan, 2/10).

Saya menangkap kepercayaan diri begitu besar, meski belum secara definitif didukung parpol tertentu. Berkaitan dengan parpol, Sutiyoso pernah dihubungkan dengan Partai Solidaritas Nasional (PSN). Partai ini mengingatkan saya pada Partai Solidaritas Polandia yang mengantarkan Lech Walesa menjadi presiden Polandia tahun 1990. Konon, PSN akan menjadi kendaraan Sutiyoso untuk berlabuh ke perhelatan Pilpres 2005. Kabar ini telah meruak sejak 2005 lalu dan belakangan mengempis.

Dengan modal jaringan di lingkungan TNI (ingat Jenderal purn. Try Soetrisno berada di belakang Sutiyoso) dan modal kapital yang cukup, sesungguhnya tak sulit bagi Sutiyoso mendirikan parpol sendiri. Tapi, Sutiyoso memilih cara baru untuk pencapresan dirinya. Ada sejumlah kemungkinan mengapa Sutiyoso begitu percaya diri. Pertama, ia sesungguhnya telah mendapat konsesi dari sejumlah parpol bahwa ia berpeluang dicalonkan. Konon Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Solidaritas Nasional (PSN) telah menyatakan komitmen mendukung Sutiyoso. Masalahnya, PIS dan PSN belum tentu ikut serta Pemilu 2009 serta memperoleh suara signifikan.

Kedua, Sutiyoso terus menjaga kontak dengan sejumlah parpol. Fenomena Fauzi Bowo yang diusung koalisi besar parpol pada Pilkada Jakarta menjadi referensi bagi Sutiyoso, betapa parpol dapat “disewa” untuk pencalonannya tersebut.

Ketiga, faktor purnawirawan TNI tentu merupakan faktor plus sekaligus sokongan politik yang melambungkan kepercayaan dirinya. Sutiyoso tampaknya akan menjadi calon alternatif dari kalangan eks militer, selain Susilo Bambang Yudhoyono dan Wiranto. Dua tokoh ini telah berpartisipasi dalam Pilpres 2004 lalu. Sutiyoso dianggapkan sanggup mengumpulkan kekuatan eks militer atau keluarga tentara.

Karakter Sutiyoso sendiri beradu punggung dengan SBY. Sutiyoso, setidaknya dalam 10 tahun menjabat Gubernur Jakarta, terkenal tegas, berani dan bahkan kontroversial dengan melawan kehendak publik. Projek mercusuarnya, yang mengintegrasikan pola transportasi makro (Busway, subway, monorel dan waterway) adalah contoh betapa ia berani bertindak sekalipun ditentang.

Keempat, Sutiyoso sadar betul bahwa ia termasuk “hijau” dalam politik nasional, karenanya ia mendeklarasikan pencapresannya sejak dini, dua tahun sebelum perhelalatan politik elektoral digelar. Apalagi di sejumlah survei, popularitas Sutiyoso masih kalah jauh dengan politisi atau tokoh yang melintang di belantara politik nasional.

Menurut jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI), dari tujuh nama yang disigi, Sutiyoso menempati urutan terbawah dengan perolehan satu persen. Berdasarkan survei yang diadakan antara September-Oktober 2007 itu, Sutiyoso kalah jauh dengan dua eks militer seperti SBY (35,5 persen) dan Wiranto (7 persen).

Empat nama sipil, Megawati Soekarnoputri (28 persen), Amien Rais (6,5 persen), Hidayat Nur Wahid (5 persen) dan Jusuf Kalla (4 persen) juga belum dapat disainginya. Pencapresan dini Sutiyoso dapat dimaknai sebagai sebentuk marketing politik untuk mengerek popularitasnya di hadapan calon pemilih. Dari sisi ini, dapat dimaklumi jika Sutiyoso mengumumkan pencapresannya di akhir masa jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta. Prinsip marketing mengajarkan orang yang memiliki jabatan (big name) akan lebih mendapat perhatian publik ketimbang sudah tidak menjabat.

Peran marketing dalam politik telah diakui sejak dasawarsa kedua abad ke-20. Partai Konservatif di Inggris memanfaatkan jasa agen biro iklan (Holford-Bottomley Advertising Service) dalam mendesain dan mendistribusikan poster dan pamflet di Pemilu 1929. Sebelumnya, Partai Buruh menerapkannya tahun 1917.

Aktivitas marketing tak hanya efektif mentransfer pesan politik ke publik, tapi mengantarkan sejumlah individu ke panggung kekuasaan. Bill Clinton berhasil ke Gedung Putih berkat kemampuan tim kampanye Partai Demokrat menyerap aspirasi masyarakat dan menuangkannya dalam slogan kampanye yang positif dan elegan ketimbang pesaingnya, Dole dari Republik di tahun 1992. Hal sama dialami Partai Buruh di Inggris, ketika agen publikasi Saatchi and Saatchi menciptakan slogan “Labour isn’t Working” untuk mendongkrak tingkat kepercayaan massa tradisionalnya terhadap partai tersebut.

Seperti halnya dunia bisnis, produklah yang ditawarkan kandidat capres atau parpol. Adapun masyarakat menjadi konsumen yang menentukan dan memilih produk semacam party platform, past record (catatan tentang hal-hal yang dilakukan di masa lampau) dan personal characteristic (ciri pribadi) yang dijual parpol dan individu.

Namun, diingatkan Firmanzah (2007), di masa mendatang kandidat atau parpol hendaknya menerapkan prinsip marketing dalam rangka membuat program yang berhubungan dengan permasalahan aktual serta berorientasi terhadap konstituen, publik dan rakyat—mereka yang selama ini sekadar menjadi objek dalam sejarah politik Orde Baru.

Bak bekerja dari titik nol, Sutiyoso memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat untuk bisa bersaing dalam Pilpres 2009 mendatang. Apabila tak sanggup menaikkan popularitas, Sutiyoso harus realistik dengan hanya menjadi cawapres. [November 2007]