Monday, August 20, 2007

Memperbarui Etos Perpustakaan

Oleh Moh Samsul Arifin

WAPRES Jusuf Kalla memprovokasi pikiran banyak orang saat meresmikan layanan Perpustakaan Nasional dan peluncuran Perpustakaan Elektronik Keliling di Jakarta, akhir Mei lalu. Putra Watampone ini menyebut perpustakaan di tanah air mirip kantor camat, kantor kelurahan atau kantor birokrasi lainnya. Bukan itu saja, majoritas perpustakaan-perpustakaan itu kumuh, berdebu, dan sepi.

Sudah begitu, masih kata Kalla, perpustakaan-perpustakaan itu buka (melayani pengunjung) hanya pagi hari saja—mirip kantor kelurahan atau kantor kecamatan yang irit melayani kepentingan publik. Ini khas pamong praja kita yang menyandang cap pemalas. Belum cukup, mereka sering keluyuran ke mal, pusat perbelanjaan dan tempat umum di saat jam kerja (SH. Sarundajang, 2003).

JK datang dengan proposal menarik kendatipun bukan baru. Menurutnya, perpustakaan haruslah suatu tempat yang bergengsi (baca: strategis), didatangi orang untuk mencari buku, membaca dan meneliti. Pokok kata, perpustakaan itu harus dibuat seperti mal, menarik dan semarak. “Kalau perlu, perpustakaan dapat buka pada hari-hari libur. Selain itu, jam kerjanya harus dibuka hingga sore atau malam hari,” ujarnya. Inilah etos yang sekian lama absen. Tak heran jikalau keadaan perpustakaan umum di sejumlah daerah tidak mampu menarik minat publik.

Mari menengok fakta. Tengoklah Perpustakaan Umum Daerah (Perpumda) DKI Jakarta. Jangan bayangkan perpustakaan itu berada di lokasi strategis, pusat pemerintahan Jakarta atau Monumen Nasional. Perpumda DKI Jakarta tak memiliki gedung sendiri, tapi hanya menempati sebagian lantai dari Gedung Nyi Ageng Serang di kawasan Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Jadi, apa yang terlintas di benak kita atas Perpumda di luar Jakarta?

Etos berkaitan dengan sikap hidup, tekad dan lalu diterjemahkan dalam aksi konkret. Sesudah itu diperlukan perubahan radikal untuk mewujudkan etos tadi. Pertama, menumbuhkan itikad kuat serta paradigma yang mendasar. Perpustakaan harus kembali difungsikan sebagai rumah ilmu, gudang pengetahuan dan teknologi—tempat berlalu lalangnya ide yang membentuk peradaban manusia. Tidak seperti sekarang, perpustakaan sekadar ada sebagai pelengkap. Ditambah lagi dengan kendala rendahnya minat baca warga masyarakat.

Kedua, perubahan etos tadi mengandaikan diterimanya logika ekonomi dalam praktik pelayanannya. Perpustakaan umum, perpustakaan sekolah atau perpustakaan milik kantor-kantor pemerintah harus dibiarkan berlomba mempercantik diri serta mengkapitalisasi pustaka atau buku yang dikoleksi di sana.

Ini memerlukan sentuhan bisnis, selayaknya bisnis penerbitan yang tumbuh berkembang di tanah air laksana jamur di musim hujan. Perpustakaan tak hanya menghamba dan berderma untuk ilmu, tapi juga menjadi domain ekonomi yang menguntungkan para pengelola dan pemiliknya.

Dengan diterimanya logika ekonomi bekerja, maka investasi bakal masuk di bisnis perpustakaan tersebut. Sebagaimana dimaklum, hukum besi fulus adalah mengalir ke tempat yang bisa menerbitkan penghasilan. Para investor itu sudah tentu bakal membangun gedung-gedung perpustakaan mewah, mencakar langit, modern dan dapat diakses publik kapan saja.

Ketiga, yang tak boleh dilewatkan pemerintah dan pemerintah daerah tak segan mengucurkan anggaran memadai untuk membangun dan mengelola perpustakaan yang representatif bagi warga.

Selama ini anggaran untuk perpustakaan di daerah amatlah minim. Kalimantan Timur adalah salah satu provinsi kaya. Namun, perhatian Pemprov setempat terhadap perpustakaan daerah kurang memadai. Pada 2005. Badan Perpustakaan Provinsi Kalimantan Timur mengajukan anggaran Rp 1,3 miliar, namun yang dikucurkan Pemprov hanya Rp 500 juta (Kompas, 17 Juli 2006).

Hal sama terjadi di Jatim. Pada 2006, Perpumda Jatim hanya mendapat alokasi dana Rp 150 juta dari APBN dan APBD. Dana itu hanya cukup untuk membeli 550 judul buku atau 2.2200 eksemplar. Idealnya, dalam setahun koleksi Perpumda ditambah buku hingga 10 ribu eksemplar. Maklum jika koleksi buku di Perpumda Jatim belum beranjak di level 292.570 eksemplar (tahun 2005). Hitung sendiri jika setiap tahun ada buku rusak dan hilang. Padahal tiap tahun terjadi penyusutan jumlah buku sekitar 0,5 persen.

Menempatkan perpustakaan sebagai instrumen untuk meretas kebangkitan bangsa bukanlah mitos. Di masa keemasan Dinasti Abassiyah, Khalifah Harun Al-Rasyid sangat peduli dengan perpustakaan. Koleksi perpustakaan pribadi Harun mencapai ratusan ribu. Di perpustakaan umum, buku boleh dipinjam dengan memberikan jaminan tertentu. Konon, jika ada orang asing berkunjung ke Baghdad dan dia kesulitan biaya, orang asing itu akan diberikan uang dan buku-buku dengan gratis.

Kemegahan Harun diteruskan putranya, Al Ma’mun (786-833). Inilah puncak peradaban Islam di bidang sains. Ma’mun seorang rasionalis yang dipengaruhi nilai-nilai Aristotelian dan salah satu pendukung Mu’tazilah. Dia amat terkesima dengan pengetahuan. Sarjana-sarjana terbaik Baghdad ia kirim ke pusat pengetahuan dunia untuk belajar. Ribuan manuskrip ilmu pengetahuan dibelinya. Buku-buku terbaik Yunani, Persia dan Sanskrit diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Para penerjemah itu dibayar dengan emas seberat buku yang diterjemahkan.

Saking intimnya dengan pengetahuan, syahdan, Al Ma’mun pernah memenangkan perang atas Kerajaan Romawi. Untuk berdamai, Al Ma’mun memasang syarat aneh: Raja Romawi membolehkan para ulama Al Ma’mun untuk menerjemahkan buku-buku yang ada di perpustakaan raja itu. Di mata Al Ma’mun, buku sama berharga dengan kemenangan dalam sebuah peperangan.

Tonggak kebesaran Baghdad antara lain adalah perpustakaan “Bait al Hikmah” atau Gedung Kebijaksanaan. Perpustakaan ini dibangun oleh Harus Al-Rasyid dan mencapai puncak kebesaran di masa Al Ma’mun. Bait al Hikmah menyerupai universitas. Di sana, para intelektual seluruh negeri berkumpul, berdiskusi dan menyalin buku dari sumber-sumber terbaik di seantero dunia.

Adalah perpustakaan pula yang dirusak tentara Tatar (Mongol) ketika menaklukkan Baghdad. Tentara Tatar melemparkan semua buku yang mereka dapatkan di perpustakaan-perpustakaan umum ke sungai Dajlah sehingga sungai itu penuh dengan buku. Saking banyaknya, seorang penunggang kuda bisa melintas di atas buku-buku tersebut dari tepi ke tepi sungai. Air sungai tetap hitam pekat selama berbulan-bulan lantaran bercampur dengan buku-buku yang ditenggelamkan di situ.

Jejak langkah Harun Al-Rasyid dan Al Ma’mun dapat disaksikan pada pribadi-pribadi tekun semacam Mohammad Hatta atau Sutan Sjahrir. Bung Hatta adalah manusia yang sangat intim dengan buku dan perpustakaan. Proklamator itu membawa berpeti-peti buku miliknya setiap kali diasingkan.

Di masa kontemporer, tersebutlah SH. Sarundajang yang haus ilmu dan pengetahuan. Gubernur Sulawesi Utara ini mengoleksi tak kurang 5.800 buah buku serta 20 ribuan majalah. Semua koleksi buku dan majalah itu dibacanya. Dengan koleksi sebanyak itu, peraih “21st Century Award for Achievement, of International Biographical Center of Cambridge England” tahun 2002 tersebut kini membuka perpustakaan pribadi di kediamannya, di sebuah desa di Minahasa. Sebuah rintisan menarik jika Sarundajang memasukkan etos yang digulirkan Kalla di atas. [Juni 2007]

Monday, August 6, 2007

Testimoni di Bawah Kekejaman Khmer Merah

Oleh Moh Samsul Arifin

Judul: Pertahankan Hidupmu Anakku (Kisah Nyata Korban Kekejaman Khmer Merah)
Penulis: Pin Yathay
Penerjemah: Bunyamin Wibisono & Parakitri T. Simbolon

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Mei 2007

Sebuah mobil baru Mercedes tanpa ampun dipotong-potong oleh pandai besi. Beberapa bagian dibentuk mirip pisau tajam, sebagai mata bajak untuk mencangkul. Sedangkan ban Mercedes tadi “dicacah” menjadi sandal. “Mata bajak dan sandal. Untuk revolusi,” ujar salah seorang pandai besi itu. Pada 1970-an Marcedes itu berharga puluhan ribu dolar. Tapi, di negeri yang tengah bergolak mobil mewah itu dibuat tak berharga oleh revolusi ekonomi Khmer Merah.

Sejak 1975, Khmer Merah—sayap militer Partai Komunis Kampuchea atau Kamboja—mengubah peta negeri itu secara drastis. Kamboja memulai segala sesuatunya dari nol. Kota-kota dikosongkan, penghuni kota dievakuasi ke pedalaman, penduduk desa dipindahkan ke kota, pasar-pasar ditutup, lembaga-lembaga peradilan tinggal papan nama, kantor hingga sekolah kosong melompong. Seterusnya hak milik pribadi ditiadakan, mata uang tak lagi menjadi alat tukar, acara-acara keagamaan dibatasi, rahib-rahib Buddhis dilarang. Rakyat tersedot pada satu misi: mencapai tatanan komunis selekas mungkin!

Pin Yathay, termasuk salah satu saksi hidup penindasan rezim komunis yang dikendalikan Pol Pot tersebut. Bersama tujuhbelas anggota keluarganya, Yathay mengalami penindasan selama 27 bulan antara 1975-1977. Seluruh anggota keluarganya, kecuali putra keduanya (Nawath), meninggal akibat ulah Khmer Merah. Mereka mati karena kelaparan, diserang malaria serta mendapat “re-edukasi” alias dibunuh anggota “Angkar Padevat” (bahasa Kamboja: Organisasi Revolusioner) yang tak lain adalah kepanjangan tangan Khmer Merah.

Di bawah Angkar Padevat, yang mengoperasikan ideologi komunis Khmer Merah, Yathay dan keluarga besarnya berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain untuk menjalankan kerja paksa di ladang-ladang terbuka demi melipatgandakan hasil pertanian Kamboja. Bagi Pol Pot misi itu sangat penting untuk mencapai swasembada pangan dan kemandirian ekonomi negerinya. Pol Pot dan wakilnya seperti Nuon Chea dan Son Sen mencita-citakan revolusi Marxis-Leninis paling cepat, paling kejam dan paling ambisius sepanjang sejarah (hal. xiv).

Pol Pot adalah seorang yang sangat terobsesi dengan komunisme. Dia pernah belajar di Perancis ketika Kamboja dijajah negeri anggur tersebut. Pol Pot sempat bergabung dengan Partai Komunis Perancis. Dan sekembalinya ke Kamboja, tahun 1954, Pol Pot mengobarkan revolusi di negeri kerajaan yang kala itu dipimpin Pangeran Norodom Sihanouk. Dia merekrut anggota, terutama petani-petani di perdesaan, serta memimpin perlawanan gerilya antara 1960-1970-an. Pada 1975, Khmer Merah telah menggulingkan Jenderal Lon Nol yang didukung Amerika Serikat.

Yathay menceritakan dengan sangat detail bagaimana babak-babak revolusi di negerinya berlangsung. Sejak evakuasi penghuni kota, pembukaan kampung-kampung baru, pembabatan hutan berikut pembukaan ladang-ladang pertanian, kerja paksa di ladang-ladang tersebut hingga sisik-melik penderitaan korban di bawah rezim yang ultra-Maois tersebut. Janji-janji revolusi muluk diumbar oleh komponen Khmer Merah. “Di Kamboja Demokratik, kita tak perlu bantuan asing. Sekarang Angkar (Padavat) yang memenuhi kebutuhan kalian. Angkar yang mengisi perut kalian,” ujar seorang perwira Khmer Merah (hal. 87).

Untuk mewujudkan mimpi tersebut, Khmer Merah amat menjaga kerahasiaan. Seluruh rakyat, “Rakyat Lama” dan “Rakyat Baru”, harus tunduk dan patuh terhadap komando mereka. Rakyat Baru adalah penduduk kota, unsur-unsur eks pemerintah seperti pegawai pemerintahan hingga bekas tentara Republik, atau siapa saja yang mewakili eksponen imperialis.

Kata imperialis dilekatkan Khmer Merah pada orang-orang yang pernah berurusan dengan Perancis atau Amerika Serikat—dua negara yang pernah menjajah dan mendukung penguasa Kamboja. Sedangkan Rakyat Lama adalah mereka golongan petani yang telah lebih dulu bergabung dan tunduk terhadap Khmer Merah.

Agar rakyat tunduk dan patuh, Khmer Merah tak menunjukkan upaya represif secara terang-terangan. Hanya siapa yang dianggap suka mengkritik, melawan dan melanggar aturan pastilah akan dibawa ke hutan untuk dieksekusi. Korban diambil secara diam-diam, sangat rahasia, tapi menciptakan dampak ketakutan pada penduduk lainnya. Inilah teror yang disimpan rapi di balik kata-kata manis.

Bukan kepada orang hidup saja Khmer Merah menindas. Bahkan kepada mayatpun, Khmer Merah berlaku kejam. Jazad rakyat yang meninggal akibat tak mampu menanggung beratnya kerja di ladang-ladang tak boleh dikremasi atau dibakar sebagaimana galibnya penganut Buddha. Khmer Merah menilai, jazad manusia dapat menyuburkan tanaman-tanaman pertanian mereka. Karena itu, jazad penduduk yang meninggal harus ditanam di ladang-ladang biar berfungsi sebagai pupuk bagi tanaman.

Pathay dan istrinya, Any terpaksa main kucing-kucingan dengan anggota Khmer Merah demi mengkremasi putra ketiganya, Staud yang meninggal karena ganasnya malaria hutan (hal. 128-133).

Khmer Merah menjadikan Kamboja bak kampung tertutup sepanjang 1975-1979. Setiap hal yang berbau asing dicurigai sebagai unsur imperialis. Tak pelak rakyat terkunci nyaris di seluruh negeri. Mereka tak bisa mengelak, menjadi kelinci percobaan projek ideologi totaliter yang tak mengenal rasa kemanusiaan. Apabila Nazi di bawah Adolf Hitler melokalisasi kekejamannya di kamp-kamp konsentrasi. Khmer Merah di bawah Pol Pot menjadikan seluruh negeri Kamboja bak kamp konsentrasi. Rakyat harus tunduk pada ideologi penyeragaman. Maka kota, harta benda, uang, pasar, agama, pendidikan dan kesenian dipersetankan. Sedikitnya 1,4 juta jiwa melayang sepanjang kekuasaan Pol Pot, April 1975 hingga Januari 1979.

Demi tetap hidup, Yathay terpaksa menjadi buta dan tuli. Dia memilih diam dan tak bereaksi atas tindak-tanduk anggota Khmer Merah. Namun, Yathay terus mencari cara untuk bertahan. Ketika uang tinggal seonggok kertas, Yathay menciptakan pasar gelap. Seluruh hartanya hasil bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum, dia barter dengan beras untuk menambah persediaan pangan. Dolar yang ketika itu tak bernilai, dia fungsikan kembali menjadi alat tukar. Caranya, Yathay mengembuskan isu bahwa ada seorang di antara mereka membutuhkan emas. Orang itu bersedia menukarkan emas dengan sekian dolar. Setelah dolar kembali punya nilai terhadap emas, Yathay melanjutkan aksinya dengan menukarkan emas dengan beras. Cara ini nantinya membantu Yathay menyiapkan logistik untuk melarikan diri ke Thailand.

Perjuangan Yathay untuk bertahan hidup didorong oleh ayahnya yang menyuntikkan kebijaksanaan Timur. Sang ayah membisikkan kepadanya agar Yathay tak terlalu banyak berpikir untuk melarikan diri. Sebab, itu bakal membuat kabur kearifan. “Kau harus keluar dari sini (Kamboja). Berlakulah seperti orang bodoh, jangan banyak bicara, tak perlu menggerutu, tak perlu membantah. Pertahankan hidupmu Anakku. Bertahanlah hidup untuk bisa lari. Larilah agar bisa bertahan hidup,” ujar sang ayah (hal. 186).

Nasihat sang ayah itu merangkum nyaris seluruh kisah pelarian Yathay dari penindasan Khmer Merah. Kendatipun tahu betul apa yang sedang dilakukan komplotan Pol Pot menciderai kemanusiaan, Yathay bungkam. Dia pun menutup rapat-rapat identitasnya sebagai bekas direktur di Kementerian Pekerjaan Umum dengan berlaku bodoh. Menjadi unsur penduduk pemerintah di mata Khmer Merah tak ubahnya Hitler dan Nazi melihat bangsa Yahudi.

Namun identitas itu pula yang membantu Yathay menyeberang ke Thailand dan tetap hidup hingga kini. Ketika ditempatkan di sebuah perkampungan bernama Don Ey, penyamarannya terbongkar. Seorang anggota Khmer Merah yang dulu pernah menjadi pekerja dalam projek yang dipimpin bawahannya, Sun Yi, mengenali dirinya. Sejak itu, Yathay menjadi target Khmer Merah untuk dilenyapkan.

Inilah titik balik yang membikin Yathay tak mungkin lagi banyak berpikir: Ia memutuskan lari dan menitipkan putranya, Nawath, kepada seorang perawat di Rumah Sakit di Don Ey (hal. 227-240). Nawath hingga kini tak diketahui keberadaannya. Istrinya, Any hilang di hutan dan diperkirakan meninggal saat Yathay dan kawan-kawan hendak menyeberang ke Thailand.

Sepenggal sejarah Kamboja yang bebercak darah karya Resident Representative French Development Agency (AFD) di Indonesia ini, tak hanya mengumumkan bagaimana pembantaian massal mentas, tapi juga mengingatkan bahwa sebuah ideologi pasti tersungkur ketika memerangi rasa kemanusiaan. Di tangan Pol Pot Cs, utopia tentang masyarakat tanpa kelas berakhir murung. Kelas yang berkuasa menjadi penindas, sehingga terbentuklah kelas baru: kelas tertindas.

Kisah Yathay dalam buku ini adalah pelajaran berharga, setidaknya untuk dua hal: bertahan hidup dan membangun peradaban antikekerasan. Terakhir, penerjemahannya yang berhasil membuat kisah nyata ini bak karya sastra. Gurih dan lezat disantap hingga kalimat terakhir. [Agustus 2007]