Tuesday, April 1, 2008

Jejak Kafilah Timur Tengah

Judul: Jejak Kafilah, Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia
Penulis: Greg Fealy & Anthony Bubalo
Penerbit: Mizan Bandung, Desember 2007
Tebal: 202 halaman
***

SIAPA
yang menyebut Islam Indonesia berwarna tunggal pastilah tengah berbohong atau tidak sosiologis. Dan sepanjang abad 20 hingga awal alaf baru ini, jejak Islamisme di Timur-Tengah, dari kawasan Masyriqi (Arab Saudi, dll) hingga kawasan Maghribi (negeri-negeri di Afrika Utara di sepanjang Lautan Atlantik, Selat Gibraltar hingga Laut Mediterania) selalu terasa dan mempengaruhi khazanah Islam di negeri ini. Paling mudah adalah dengan menengok pendirian Muhammadiyah tahun 1912.

Organisasi Muslim modernis yang didirikan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta ini sebetulnya kepanjangan tangan dari projek pembaharuan Muhammad bin Abd al-Wahab di kawasan Masyriqi (Arab Saudi) yang berorientasi pada puritanisme (pemurnian) akidah. Wahabisme termasuk kelompok Islam yang menengok ke belakang dan mengandaikan zaman Salafiyah--sahabat Nabi Muhammad SAW di masa awal--lebih murni. Ringkasnya, Wahabisme dan juga Salafisme memuja zaman lampau kendatipun waktu bergerak maju.

Pengaruh Wahabisme pada Muhammadiyah itu ditanggapi kalangan tradisional, kiai-kiai yang memimpin pondok pesantren salaf dengan mendirikan Nahdlatul Ulama tahun 1926. NU masa itu seolah menjadi pendulum gejala aksi-reaksi dalam atlas Islam Indonesia. Di masa kontemporer, wujud aksi-reaksi ini bisa disaksikan di balik riuh-rendah kalangan fundamentalis dan liberalis mengisi warna Islam di tanah air.

M. Dawam Rahardjo menyebut gerakan pembaharuan Islam dewasa ini telah bercabang dua: Pertama, mengarah ke modernisasi dan liberalisasi. Dan kedua, menuju puritanisme dan Salafiyah. Muhammad Abduh tak disangkal telah membawa Muslim, termasuk Muslim di Indonesia, ke modernisasi sosial dan budaya. Namun, siapa sangka murid Abduh, Muhammad Rasyid Ridha mendukung pemulihan kekhalifahan Abad Pertengahan, gagasan yang kini dihidupkan kembali Hizbut Tahrir di Timur Tengah dan Indonesia (Bayang-bayang Fanatisisme: Esai2 untuk Mengenang Nurcholish Madjid, 2007).

Buku karya Greg Fealy dan Anthony Bubalo--diterjemahkan dari Joining the Caravan?: The Midle East, Islamism, and Indonesia--ini secara khusus meneroka pengaruh Islamisme Timur Tengah di Indonesia. Tentu saja tak melacak hingga awal abad 20 seperti disebut di atas. Keduanya membatasinya padawaktu kontemporer antara akhir 1990-an hingga 2005, saat keduanya meneliti dampak gagasan Islamisme dari Timur Tengah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan gerakan Islam di Indonesia.

Islamisme di sini diartikan Islam yang dipahami sebagai ideologi. Biasanya merujuk pada Islam politik, bahkan bisa juga bermakna penerapan prinsip-prinsip Islam dalam ekonomi, seni, pendidikan dan lain-lain. Islamisme sendiri lahir dari satu ide sentral, kebangkitan atau pembaharuan Islam. Genealoginya tersambung dengan Abd al-Wahab, Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh serta Rasyid Ridha.

Belakangan, ide Abd al-Wahab dimodifikasi Abdullah Azzam, seorang penggerak Ikhawanul Muslimin di Palestina-Yordania. Azzam, tak hanya mengisi bentuk Islamisme mutakhir, tapi juga aktivis yang memegang peran penting dalam melatih dan menyebarkan pejuang-pejuang dari negeri-negeri Muslim ke tanah konflik seperti Afghanistan di masa perang melawan Uni Soviet 1980-an lalu.

Bagi doktor jebolan Universitas Al-Azhar Kairo ini tanah-tanah umat Islam "laksana satu tanah" dan karena itu seluruh Muslim berkewajiban melakukan pembelaan atas setiap bagian tanah itu. Azzam mendefinisikan jihad melawan Soviet saat itu sebagai fardh ain—kewajiban individu Muslim. Artinya jika tak dilaksanakan, setiap Muslim di dunia ini berdosa (hal. 48). Doktrin jihad Azzam ini telah memobilisasi Muslim berjihad, termasuk asal Indonesia—yang di kemudian hari diketahui menggerakkan Jamaah Islamiyah (JI).

Setelah perang dengan Soviet, Perang Teluk 1991 (Irak menyerbu Kuwait dan memicu keterlibatan Amerika), menurut penulis buku ini, menyumbang pada konsolidasi Islamisme radikal yang direpresentasikan tokohnya, Osama bin Laden—jebolan Perang Afghanistan yang lalu mendirikan Al-Qaeda. Di tangan Osama, Al-Qaeda memperluas makna jihad sebagai memerangi Amerika Serikat dan sekutunya, berjuang di batas-batas wilayah umat Islam melawan apa yang dianggap sebagai serangan AS dan sekutu Baratnya (hal. 76). Di sini doktrin Azzam berjumpa dengan doktrin Osama dalam bentuknya yang amat ekstrim.

Ekspresi Islamisme Timur Tengah yang radikal sedikit banyak tampak pada Jamaah Islamiyah (JI), dari tujuan mendirikan khilafah di Asia Tenggara, orientasi ideologis, doktrin jihad yang dipakai, target aksi teror, hingga penggunaan bom bunuh diri.

Pengaruh Islamisme di tanah air juga terlihat dalam penyebaran ide-ide pendidikan dan dakwah yang didukung pemerintah dan lembaga nonpemerintah serta orang-orang dari Timur Tengah. Misalnya penyebarluasan praktik Islam yang berorientasi Wahabi dari Saudi Arabia. Atau persemaian ide-ide Ikhwanul Muslimin. Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) banyak menerima ide Wahabi sekaligus Ikhwanul Muslimin. Sebagian alumni LIPIA ini kemudian menanamkan ide Ikhwan di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan menjadi pemimpin partai yang mendulang 45 kursi DPR pada Pemilu 2004 itu ( hal. 81-104).

Islamisme model Hizbut Tahrir (HT) juga memperoleh puluhan ribu massa di Indonesia. HTI mengumandangkan khilafah lintas bangsa (transnasional), kendatipun secara formal tak mendirikan atau berafiliasi dengan partai Islam yang berkontestasi dalam pemilu di tanah air. Pada 12 Agustus 2007, massa HTI membanjiri Gelora Bung Karno Jakarta saat berlangsung Konferensi Khilafah Internasional.

Selebihnya ada kelompok Salafi, mereka yang menginginkan kejayaan Islam masa lalu dengan bertumpu pada kesalehan individu dan komunal. Ekspresi Salafi terbesar bisa dijumpai pada Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jamaah (FKASWJ) dengan tokohnya veteran Perang Afghanistan, Jafar Umar Thalib. Kelompok Salafi ini memiliki sekoci paramiliter bernama Laskar Jihad, yang sering terlibat dalam konflik di Maluku, Poso dan bahkan Papua (hal 105-126).

Tapi, menganggap Islamisme Timur Tengah dan juga radikalime ala Azzam dan Osama selalu mempengaruhi JI jelas keliru besar. Pasalnya, kata Fealy dan Bubalo, sedikit banyak JI memiliki ciri khas dan lokal. Misalnya, JI jarang menyebut konsep takfir (peng-kafir-an) sebagai aksi teror mereka. Tidak seperti Islamisme radikal di Timur Tengah yang menyebut Muslim tak sehaluan sebagai kafir.

Pernah fatwa Al-Qaeda yang menyeru jihad melawan Barat tahun 1998 tidak digubris JI. Fealy dan Bubalo bahkan tiba pada kesimpulan tandas: radikalisme yang hadir di Indonesia bukan semata-mata sebagai fenomena impor! Kedua penulis menunjuk pada fenomena Darus Islam (DI) yang disebutnya salah satu pemberontakan jihadis besar pertama di Dunia Islam abad ke-20. Akhirnya Fealy dan Bubalo menyamakan DI dengan JI, hanya karena DI mendirikan negara Islam di Indonesia. "Pengaruh Timur Tengah kontemporer tidak niscaya diperlukan untuk menciptakan gerakan jihadis berhaluan keras di Indonesia," tulis mereka. Buktinya, pengikut DI masih tetap menjadi sumber utama rekrutmen JI (hal 126-138).

Di sini, hemat saya, keduanya kelewat cepat menyimpulkan. Pertemuan gagasan khilafah pada DI dan JI tak berkonsekuensi mereka sama-sama berada di kota radikal atau ekstremis dengan alasan sama. Benarkah radikalisme DI hanya ditopang oleh doktrin Islam yang tidak toleran terhadap non-Muslim? Betapapun, unsur ketidaksetujuan terhadap pemerintah pusat dan Soekarno, harus pula ditimbang sebagai faktor pemicu radikalisme itu.

Di atas segalanya buku ini dapat memetakan gerakan Islam kontemporer di tanah air. Kedua penulis menguak satu fakta yang selama ini gagal dipahami, yakni Islamisme tidak monolitik. Disadari atau tidak, para aktivisnya sering melakukan proses penyesuaian dan pribumisasi atas gagasan-gagasan rekan aktivis Islamisme mereka di Timur Tengah.

Sayangnya Fealy dan Bubalo tak bisa menghindar dari pemakaian istilah teknis di sekujur halaman buku ini. Istilah radikal, esktremis, Islamis, moderat, fundamentalis, militan muncul sejak halaman pertama. Betapapun, keduanya menyarankan agar pemerintah dan pengamat Barat menghindari cap kepada kalangan Muslim sesederhana istilah teknis tersebut.

Sebaliknya Greg Fealy—dosen senior kajian Asia dan Pasifik Universitas Nasional Australia (ANU) Canberra—dan Anthony Bubalo—peneliti Timur Tengah di Low Institute for International Policy di Sydney, Australia—mengimbau kepada negara dan masyarakat Barat untuk mengintensifkan dialog dengan wakil Muslim yang dicap buruk oleh Barat. Dalam konteks Indonesia, misalnya dengan mengajak diskusi PKS dan beberapa kelompok Salafi. [Cinere, Januari 2008]