Sunday, October 7, 2007

Membaca Terbalik StAR Initiative

Oleh Moh Samsul Arifin


STOLEN Asset Recovery (StAR) Initiative yang merupakan kerjasama Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia menerbitkan harapan besar di tengah mati anginnya upaya pengembalian aset yang diduga diselewengkan Soeharto saat berkuasa. Pada akhir Mei 2006, Kejaksaan Agung telah mengeluarkan SKP3, yang berarti menamatkan upaya hukum (pidana) terhadap bekas presiden kedua Republik Indonesia tersebut. Saat ini Kejaksaan Agung tengah menuntut perdata Soeharto dan Yayasan Supersemar yang diduga menyelewengkan dana negara triliunan rupiah.

Di sinilah StAR Initiative dapat mengkatalisasi upaya pemerintah mendapatkan kembali aset negara yang diselewengkan selama 32 tahun kekuasaan Soeharto. StAR Initiative pada 16 September lalu mengumumkan Soeharto sebagai koruptor nomor wahid dengan total aset antara 15 miliar hingga 35 miliar dolar AS.

Kebijakan antikorupsi telah dikembangkan Bank Dunia, IMF, United Nations Development Programme (UNDP), lembaga bantuan bilateral dan bank pembangunan regional untuk membangun kepercayaan terhadap integritas lembaga mereka. Pada 1997, Bank Dunia menerbitkan Helping Countries Combat Corruption (Bantuan terhadap Negara-negara untuk Memerangi Korupsi). Sasaran yang dituju bukan hanya melindungi projek bantuan terhadap iklim korup suatu negara atau terhadap permintaan bayaran (suap) yang telah menjadi biasa di beberapa negara bagian dari usaha internasional. Tapi, juga kerja sama antara organisasi internasional dan negara-negara yang berminat untuk membina suatu program menyeluruh.

StAR Initiative dinilai sebagai kelanjutan upaya memerangi korupsi tersebut. Ini setidaknya pembacaan pertama yang dihembuskan banyak kalangan dan media massa di Tanah Air. Tapi, fakta ini melupakan adanya andil Bank Dunia di balik maraknya korupsi di dalam projek-projek yang didanai mereka di negara-negara berkembang.

Jefrey A. Winters mensinyalir dana pinjaman dari Bank Dunia kepada pemerintah Orde Baru antara 1966 -1998 mencapai angka 30 miliar dolar AS. Sekitar sepertiganya atau 10 miliar dolar AS “dijarah” secara sistematis atas sepengetahuan Bank Dunia.

Begitu juga John Perkins, seorang the economic hitman (bandit ekonomi) yang digunakan Bank Dunia, IMF dan lembaga keuangan internasional untuk memuluskan sejumlah projek mereka di negara-negara berkembang. Dalam Confession of an Economic Hitman dan The Secret History of the American Empire, Perkins menyatakan dirinya diutus perusahaan konsultan MAIN asal Boston, AS—yang disewa Bank Dunia—untuk menaksir potensi ekonomi projek sistem kelistrikan terpadu di Indonesia pada 1971 silam. Menurut Perkins, data yang dikumpulkannya sengaja digelembungkan agar dapat dimanfaatkan Soeharto dan kroni-kroninya menggerakkan industrialisasi di tanah air dan menambah kekayaannya.

Pembacaan kedua, dan ini tak begitu terungkap di ruang publik dan diskursus publik, adalah seberapa efektif StAR Initiative mengkatalisasi upaya pengembalian aset yang diduga “diambil” Soeharto tersebut? Benarkah bangsa ini boleh optimistik dengan StAR Initiative?

Presiden Yudhoyono berujar, Bank Dunia (lewat StAR Initiative) tak menemukan informasi tentang dugaan pencurian aset negara oleh Soeharto. Bahkan, lanjut Presiden, program pengembalian kekayaan curian (StAR) sebenarnya tak membidik orang tertentu. “Bank Dunia mengatakan kepada saya tak pernah dan memang tak bermaksud membidik sasaran pihak tertentu, orang tertentu. Konsep itu akan dilakukan dengan negara mana pun yang memang menginginkan kerja sama dengan Bank Dunia dalam kerangka StAR,” jelas Presiden Yudhoyono (Kompas, 29/9).

Dua hal penting yang disitir Presiden Yudhoyono membatalkan harapan yang tiba-tiba menggelembung saat StAR Initiative mengumumkan datanya. Pertama, prakarsa StAR tak menjanjikan datanya akurat dan kemungkinan memverifikasi data dimaksud. Artinya sinyalemen bahwa Bank Dunia dapat mempermudah pencarian aset yang diduga “diambil” Soeharto tak sepenuhnya benar.

Kedua, anasir bahwa PBB dan Bank Dunia tengah menyasar secara khusus korupsi yang dilakukan Soeharto ketika berkuasa kelewat dibesar-besarkan. Pada gilirannya, StAR Initiative hanya dapat dijalankan jika negara yang bersangkutan menginginkan kerja bareng dengan Bank Dunia. Dalam konteks itu upaya pengembalian aset yang diduga dicuri Soeharto berada di pundak Presiden Yudhoyono. Di titik ini selaksa tanya menyeruak.

Selain komitmen dari Presiden Yudhoyono, dua lembaga yang memegang peran penting adalah lembaga peradilan dan kejaksaan. Menurut Susan Rose-Ackerman (2000), di dunia ini banyak negara mempunyai Undang-Undang Antikorupsi yang hebat, tapi tak berpengaruh terhadap penanggulangan korupsi. Andai para penuntut umum getol, masih tetap tidak banyak artinya jika negara itu tak memiliki sistem pengadilan yang jujur. Pengadilan yang korup atau terikat secara politis dapat melancarkan korupsi tingkat tinggi, merongrong reformasi dan mengesampingkan norma-norma hukum.

Ini juga yang dikatakan almarhum Baharuddin Lopa ketika ditanya Presiden Abdurrahman Wahid (tahun 2000) tentang cara mengembalikan harta negara yang diduga diambil Soeharto. Bekas Jaksa Agung itu mengatakan pengadilan lah pilar penting untuk menyelesaikan aspek hukum terhadap Soeharto.

Lembaga peradilan yang jujur dan disegani adalah niscaya dalam usaha melawan pemerintahan yang korup dan sekaligus menegakkan hukum. Di sinilah letak persoalan laten pemberantasan korupsi di Indonesia. Di negeri ini pengadilan tidak efektif lantaran sebagian besar orang percaya bahwa banyak hakim korup. Lembaga yudikatif yang korup memang mahal bagi demokrasi lantaran tak dapat memainkan perannya sebagai penjaga nilai-nilai konstitusi atau mengawasi kejujuran dari cabang pemerintahan lainnya.

Beda dengan Italia, Brasil, atau India. Masih kata Susan Rose-Ackerman, di Italia misalnya, petugas hukum yang independen gigih melacak dan menuntut pelaku korupsi. Mahkamah Agung India mendorong maju pemeriksaan korupsi yang ingin “dipeti-eskan” oleh pemerintah. Mahkamah Agung Brasil bersikeras bahwa tuduhan terhadap Presiden Collor harus dilakukan di depan umum secara terbuka dan setiap anggota parlemen memberi suara secara terbuka pula. Itulah yang membuat persidangan berjalan jujur dan berakhir dengan dipecatnya presiden yang kelewat korup tersebut.

Dalam kerangka pemberantasan korupsi, PresidenYudhoyono memiliki banyak pilar. Mulai dari Kejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi hingga Tim Pemburu Aset Koruptor. Seluruh kekuatan ini dapat dikonsolidasikan untuk menumpas kelor korupsi, termasuk memproses secara adil dugaan korupsi Soeharto.

Pertanyaannya, apakah Yudhoyono—yang di masa Abdurrahman Wahid pernah ditunjuk menjadi negosiator pengembalian harta negara yang diduga “diambil” Soeharto—menerima misi utama reformasi, memberantas korupsi di pundaknya? Sebagaimana dimaklum, pada 2000, Gus Dur mempercayakan kepada Yudhoyono (saat itu Mentamben) untuk menegosiasikan kemungkinan pengembalian aset negara yang diselewengkan Soeharto.

Kepada pers, setelah bertemu keluarga Soeharto (konon pihak Cendana diwakili Siti Hardiyanti Rukmana), Yudhoyono saat itu menyatakan dirinya secara tersirat menyaksikan keinginan pihak keluarga Soeharto untuk menyumbangkan sebagian harta yang dimiliki kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Yudhoyono berharap sekaligus menuntut kesadaran pihak keluarga Soeharto untuk memiliki dorongan moral logis untuk menyumbangkan sebagian dari harta mereka kepada rakyat dan bangsa Indonesia (Kompas, 20 Juni 2000).

Sekali lagi program PBB dan Bank Dunia lewat Prakarsa StAR cuma katalis. Ia hanyalah panduan dan penunjuk rute, seperti peran yang dimainkan Kresna dalam Perang Baratayudha. Justru di tangan Presiden Yudhoyono lah nasib pengembalian aset negara yang diselewengkan Soeharto berada. [Oktober 2007]

No comments: