Friday, October 26, 2007

Politik Lokal Politisi Jakarta

Oleh Moh Samsul Arifin

NAMA Agum Gumelar tiba-tiba menjulang di Jawa Barat akhir September lalu. Bekas calon wakil presiden kelahiran Tasikmalaya ini menurut hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) menangguk popularitas tertinggi dibandingkan tokoh Sunda lain yang berdiam di Jawa Barat dan Jakarta. Popularitas Menkopolsoskam di masa Abdurrahman Wahid ini meroket hingga 83,4 persen. Jauh meninggalkan Nurul Arifin (65,2 persen), Dede Yusuf (72,3 persen) dan bahkan gubernur aktif, Danny Setiawan (50,5 persen). Tokoh lain semacam Ajat Sudrajat, Nu'man Abdul Hakim, Letjen Pur Adang Ruchiyatna, Uu Rukmana, Irjen Pol Dadang Garnida, Tutty Hayati Anwar, Sofyan Yahya, Mayjen TB. Hasanuddin, Agus Gumiwang Kartasasmita, Rudi Harsa Tanaya dan Yudi Widiana di bawah 27 persen.

LSI juga melacak tingkat kemungkinan nama tokoh terpilih (elektibilitas) dalam Pilgub Jawa Barat jika dilaksanakan saat berlangsung jajak pendapat. Maka digunakanlah framing (pembingkaian) dengan pertanyaan tertutup dan terbuka. Hasilnya, Agum Gumelar menjadi kandidat serius bagi Danny Setiawan, gubernur yang diperkirakan menjadi incumbent pada Pilgub 2008 mendatang.

Dari 25 nama yang disodorkan LSI kepada 820 responden (sampel) di seluruh kabupaten/kota di Jabar, Agum dipilih 33,2 persen, sedangkan Danny 11,5 persen. Dede Yusuf, Nurul Arifin, Ajat Sudrajat, H.A.M. Ruslan, Adang Ruchiyatna atau Nu’man Abdul Hakim angka elektibilitasnya antara 0,7-4,3 persen.


Saat diciutkan menjadi enam mana (Dede Yusuf, Danny Setiawan, Nu'man Abdul Hakim, Agum Gumelar, Uu Rukmana, H.A.M. Ruslan), majoritas responden, sebanyak 44,7 persen memilih Agum. Danny dipilih 16,8 persen responden, Dede Yusuf (8 persen), H.A.M. Ruslan (4,2 persen), Uu Rukman (1,9 persen), Nu'man Abdul Hakim (1,7 persen). Sedangkan 22,6 persen responden mengaku tidak tahu/tidak menjawab. Jika diciutkan lagi menjadi dua nama (Danny Setiawan dan Agum Gumelar), Agum “menang” dengan perolehan 55,6 persen berbanding 23,5 persen. Selebihnya tidak tahu/tidak jawab 20,9 persen.

Lain cerita jika pertanyaan terbuka yang digunakan. Danny unggul atas Agum, dengan perolehan 7,3 persen berbanding 4,2 persen. Selebihnya memilih lainnya (4,5 persen), Dede Yusuf (0,7 persen), Irianto M.S. Syafiudin (0,6 persen), Ajat Sudrajat dan Agus Gumiwang Kartasasmita (0,4 persen). Sedangkan majoritas (81,9 persen) warga Jabar belum tahu tentang calon kandidat yang akan didukung menjadi Gubernur. Berarti saat ini majoritas warga Jabar masih belum menetapkan tokoh yang akan mereka pilih pada Pilgub mendatang.

Muncul dan meroketnya nama Agum Gumelar tidaklah datang dari langit. Dengan pembacaan kritis, kemunculan Agum merupakan bentuk telanjang dari “politik survei”. Mengapa nama Agum Gumelar yang “muncul” dan bukan Ginandjar Kartasasmita, Muhammad Surya atau Mayjen TNI. TB. Hasanuddin?

Survei adalah cara paling efektif melacak arus pendapat publik secara temporal. Namun, pada saat sama survei memiliki potensi digunakan untuk menggiring opini publik riil. Hasil survei memotret sebuah tren, kecenderungan dan tak memastikan kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Survei bukanlah sesuatu yang absolut, sekalipun pada saat sama tak boleh dinafikan. Siapapun, partai politik, kandidat atau warga yang telanjur terpaku pada survei sedikit banyak akan jatuh pada kenisbian. Seorang tokoh akan kelewat percaya diri, atau justru takut bersaing dalam perhelatan politik di tingkat lokal.

Saya menangkap “harga” Agum Gumelar demikian tinggi menuju Pilgub 2008 di Jabar lantaran diuntungkan oleh survei yang melambungkan namanya. Selain itu, parpol ikut menyumbang terhadap gejala terjunnya politisi Jakarta ke pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah, termasuk Jawa Barat. Belum jelas benar alasan DPD PDIP Jabar hampir pasti mengusung Agum Gumelar untuk diduetkan dengan Rudi Harsa Tanaya. Apakah deal itu dipicu oleh hasil survei atau memang terjadi pertemuan kepentingan (berikut visi dan misi) sekaitan Pilgub Jabar.

Untuk menyebut contoh, selain Agum Gumelar saat ini sejumlah politisi Jakarta terus memburu pilkada. Bibit Waluyo (eks militer yang gagal menjadi cagub pada Pilgub Jakarta) tengah mendekati parpol di Jawa Tengah untuk berpartisipasi dalam Pilgub di sana. Politisi Partai Golkar Akil Mochtar mencalonkan di Pilgub Kalimantan Barat. Bekas Menneg Pembangunan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf mengincar Pilgub Jawa Timur.

Daftar ini bakal kian berderet apabila nama yang sudah menggenggam jabatan eksekutif (gubernur, bupati dan walikota) disebut. Nurmahmudi Ismail (walikota Depok), Fadel Muhammad (gubernur Gorontalo), Agustin Teras Narang (gubernur Kalimantan Tengah) kembali terjun ke politik lokal setelah malang–melintang di jagad politik nasional. Dan, sayangnya, politisi lokal dan parpol tak menunjukkan resistensi terhadap gejala yang sudah terjadi sejak pilkada langsung diterapkan pada 2005 lalu.

Ada sejumlah kemungkinan mengapa fenomena itu terus berlangsung? Pertama, parpol sebagai kendaraan politik tak memiliki desain jenjang karier yang terarah dan pasti bagi setiap kadernya. Kader parpol akhirnya bergerak sendiri-sendiri untuk merengkuh jabatan-jabatan di eksekutif. Saat peluang tersedia, mereka pun balik kanan terjun ke pentas politik lokal demi memenuhi tujuan mendapat jabatan eksekutif.

Kedua, kaderisasi di tingkat parpol mandek. Kondisi ini tak pelak membuat parpol tak punya pilihan, selain memberi tempat kepada tokoh dari luar parpol untuk mendapat dukungan mereka. Fenomena politisi Jakarta terjun ke politik lokal, memanfaatkan kekosongan tersebut. Daripada memunculkan tokoh lokal yang kurang teruji, parpol berpikir tokoh nasional atau politisi Jakarta lebih menjual. Apalagi jika dukungan yang diberikan parpol tersebut dikompensasi dengan sejumlah dana.

Ketiga, parpol tersedot untuk menggarap tujuan-tujuan jangka pendek sehingga politik pragmatis tak terelakkan. Buntutnya, alih-alih menjadi saluran bagi kader sendiri meraih jabatan publik, parpol justru menjadi “perahu” bagi orang lain untuk tampil di ajang politik lokal semacam pilgub, pilbup dan pilkot.

Jika kondisi ini tak segera dikoreksi, hemat saya, perhelatan politik lokal (pilkada) akan kehilangan warna “kelokalannya”. Apa jadinya jika politik lokal membuat orang daerah menjadi “tamu” di daerah mereka sendiri? Mereka terus terdesak, bahkan oleh orang daerah yang sudah berkecimpung di tingkat nasional. Sudah pasti ini akan mengganjal mobilitas vertikal politisi lokal. Seyogianya dilakukan penelitian kualitatif oleh lembaga kajian untuk meneropong seberapa jauh dampak negatif fenomena terjunnya politisi nasional itu bagi politik lokal.

Saya kira politik demokratis juga berurusan dengan topik berbagi ruang (space). Inilah yang berlaku dalam tradisi politik di Amerika Serikat. Di sana, seorang bekas gubernur melirik perhelatan pemilu presiden (sebutlah Bill Clinton atau George Walker Bush). Dari tingkat lokal, politisi di sana berikhtiar menembus politik nasional. Tradisi ini sedikit meruak di Tanah Air ketika Sutiyoso (saat itu masih gubernur Jakarta) mendeklarasikan diri menjadi capres pada Pilpres 2009 beberapa waktu lalu. Saya mengimpikan tren semacam menjadi kata umum dalam politik kita di masa mendatang. [Pikiran Rakyat, 26 Oktober 2007]

No comments: