Wednesday, October 3, 2007

Mencari Nama Allah dalam Diri

Judul: Mencari Nama Allah yang Keseratus
Penulis: Muhammad Zuhri
Penerbit: Serambi, Jakarta, Juli 2007
Tebal: 215 halaman

Oleh Moh Samsul Arifin


CARILAH nama Sekarjalak di peta. Andai ditemukan pun, ia pastilah berupa noktah kecil yang kurang tersambung dengan sebuah ingatan besar. Tapi, gandengkan nama Sekarjalak dengan Muhammad Zuhri, kita akan mendapati sebuah "dentuman besar" yang menyambungkan Muslim dengan tasawuf sosial yang aktual sekaligus kontekstual.

Peter G. Riddel pernah membahas Muhammad Zuhri—atau karib dipanggil Pak Muh—dalam Islam in The Malay-Indonesian World (2001). H.K. Lee—seorang asal Korea Selatan—menjadikannya objek disertasinya di Universitas Brunel Inggris tahun 1999 lalu. Lee menulis disertasi bertajuk "Sainthood and Modern Java: a Window into the World of Muhammad Zuhri".

Sekarjalak hanyalah sebuah desa di Pati, Jawa Tengah, tempat Pak Muh menggauli tasawuf. Di situ ia bercengkerama dengan penduduk setempat, juga tamu-tamu lainnya yang datang dari luar kota. Pak Muh menerima para tamunya itu sama dan sederajat kendatipun dari latar belakang yang kontras.

Baginya, para tamu itu adalah "Utusan Tuhan". "Mereka adalah orang-orang yang didatangkan Tuhan untuk dipertemukan dengan saya di suatu tempat pada suatu saat. Dan kebetulan tempat itu adalah rumah saya," ujar Pak Muh. Di rumahnya itu Pak Muh membentuh halaqah kecil bernama "Pesantren Budaya Barzakh" yang bertemu dua pekan sekali. Dari Sekarjalak, pengajian Pak Muh merembet ke Bandung dan Jakarta. Di dua kota ini, terbentuk Keluarga Budaya Barzakh dan Yayasan Barzakh. Pak Muh menjadi pusat di pengajian-pengajian tersebut, karena dialah guru sufi yang mengajarkan tasawuf kepada jamaah.

Pengajian Pak Muh menangkap persoalan-persoalan mutakhir dengan bening jiwa, menjurah ke akar, namun tetap berkorespondensi dengan realitas. Saya menangkap kesan itu saat hadir dalam peluncuran buku "Mencari Nama Allah yang Keseratus" di sebuah cafe di Kebayoran Baru, Jakarta, awal September lalu.

Terus terang saya terprovokasi dengan judul bukunya itu yang merangsang mata sekaligus menghunjam dalam ke lubuk kalbu. Apakah ada nama Allah yang keseratus setelah asmaul husna yang berjumlah 99? Mengapa ada satu lagi nama Allah yang belum tersingkap? Begitu tanya yang semburat di relung pikir sebelum saya membaca buku ini.

Menurut Pak Muh, 99 nama Allah yang diajarkan Rasulullah SAW menuju kebulatan alias nyaris sempurna (unfinished). Untuk sempurna, menjadi seratus, setiap manusia perlu mencari satu nama yang tersisa itu lewat pengabdian sepanjang hidup. Itulah sebutir mata tasbih yang lepas dari untaiannya, ism al a'zham atau nama Tuhan yang keseratus (hal. 20).

Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin adalah contoh pribadi yang menemukan nama keseratus Allah itu dalam dirinya. Nabi bergelar al-Amin, Abu Bakar (al-Shiddiq), Umar ibn Khaththab (al-Faruq), Utsman ibn Affan (Dzu al-Nurayn) dan Ali ibn Abi Thalib (al-Murthada). Ini yang disebut Pak Muh menjadi saksi (syahadat) kehadiran Allah itu di muka bumi. Ditemukannya nama Allah yang keseratus itulah yang membuat nama Nabi dan empat sahabat itu harum dalam peradaban Islam. Mereka menulis nama dalam sejarah lantaran dirahmati Allah.

Bagaimana menemukan nama yang keseratus itu? Sang pencari harus menetapkan jalan sejak awal yang bersifat permanen. Dalam hal ini, ujar Pak Muh, tak ada metode atau jalan untuk menempuh dan memeluk kebenaran, selain Islam. Setelah itu, sang pencari harus "menggarap dirinya" secara total.

Istilah "menggarap diri" ini adalah genuine Pak Muh dan bukan menjalankan segenap amalan seperti galibnya melekat pada gerakan tarekat. Menggarap diri ini menyerupai sebuah aktivitas mengenali diri, mengakui kelemahan-kelemahan sambil menggali potensi-potensi kreatif yang belum aktual di dataran personal dan komunal.

Tanda bahwa sang pencari telah menemukan nama Allah yang keseratus adalah saat ia dapat berlaku aktual dalam kehidupannya. Pencari itu telah memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah agen Allah di muka bumi. Ia sedapat mungkin menjadi saksi bahwa Allah itu ada. Ketika ada tetangga sakit, lapar, atau teraniaya, maka sang pencari itu harus menjadi "orang pertama" yang memberikan bantuan. Paling tidak, kendatipun kecil dan terbatas, sang pencari itu senantiasa berupaya menghadirkan Tuhan di muka bumi.

Dengan cara itu, sebut Pak Muh, sang pencari telah menghalau syak wasangka hambanya di muka bumi. Bukankah kita sering mendengar seorang hamba berujar, "Saya merintih, meminta, tapi Dia (Tuhan) tidak mengutus siapa pun dari hamba-hambanya untuk menyelamatkan saya."

Cara pandang Pak Muh terhadap kehadiran Tuhan ini mirip dengan aliran wujudiah, sebuah monisme ontologis dari Ibn Arabi. Menurut aliran ini, mengatakan "tiada Tuhan selain Allah" berarti bahwa hanya ada Tuhan. Dan konsekuensinya, segala sesuatu adalah Tuhan. Saat melihat pengemis di jalan, korban bencana alam, atau para pemadat, sesungguhnya kita menyaksikan hamba Allah yang perlu uluran tangan.

Pak Muh menyeru agar sang pencari mengambil peran yang unik, tapi bermakna di lingkungan terkecil dari keluarga, masyarakat hingga negara. Medannya adalah orang-orang yang berada dibawah garis kondisi kita; kepandaiannya, kekayaannya, kekuatan fisiknya, hingga keluasan persepsinya terhadap kenyataan (hal. 38-39).

Sufisme yang dikembangkan Pak Muh ini tampak peduli pada sesuatu yang bersifat komunitarian seperti disebut Peter G. Riddel. Aktivitasnya dirancang untuk membebaskan orang lemah dan membutuhkan. Suatu yang amat selaras dengan ideologi-ideologi aksi sosial akhir abad ke-20.

Namun, sedikit ganjil yang kurang diperhatikan adalah Pak Muh tidak mengikat jamaahnya dalam sebuah tarekat. Ia melepaskan jamaahnya bak buih, bisa mengumpul dan memisahkan diri setiap saat tanpa ikatan apa pun. Ihwal ini Miranda Risang Ayung (penulis Cahaya Rumah Kita) berujar, "Dalam kerangka tradisi tasawuf yang kini dominan, saya mungkin tidak pernah resmi menjadi muridnya. Tapi, saya ternyata sudah mengikutinya sekian lama, baik sebagai pengikut yang kagum lagi patuh maupun sebagai pengikut yang marah dan berontak" (Kata Pengantar "Hidup Lebih Bermakna", Agustus 2007).

Terbitnya buku ini, paling kurang dapat mengantarkan pembaca untuk menyelami tasawuf sambil tak melupakan sisi-sisi sosial yang melekat pada manusia sebagai human being. [Oktober 2007]

No comments: