Monday, September 3, 2007

Jalan Melingkar Calon Independen

Oleh Moh Samsul Arifin

LALU Ranggalawe harus diakui sebagai individu yang memberi sumbangan besar bagi demokrasi lokal. Ikhtiarnya menguji sejumlah pasal dalam UU 32/2004 telah membuka gembok dominasi partai politik dalam pemilihan kepala/wakil kepala daerah. Mahkamah Konstitusi memutuskan perseorangan atau calon nonparpol alias calon independen boleh berpartisipasi dalam pesta demokrasi di tingkat lokal. Kini, setiap warga negara dengan latar belakang apapun tak mesti meminta dukungan parpol untuk menjadi gubernur, bupati atau walikota. Ranggalawe yang juga anggota DPRD Lombok Barat, dapat berpartisipasi dalam pilkada di daerahnya tanpa harus “membeli” dukungan partainya, Partai Bintang Reformasi untuk menjemput mimpi.

Persoalannya, keputusan MK itu tak bisa langsung dioperasikan sebelum payung hukum yang mengatur persyaratan calon independen terbit. MK tak memberikan batas waktu kapan payung hukum itu harus dikeluarkan. Ini berbeda dengan keputusan MK mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, di mana payung hukumnya harus dibuat dalam tempo tiga tahun. Keputusan MK tentang calon independen, tak melampaui tuntutan Ranggalawe selaku penguji.

Apa yang dilakukan Jimly Asshiddiqie Cs ini mengoreksi sejumlah keputusan MK terdahulu yang kerap ultra petita—melampaui tuntutan penguji materi. Pasalnya, selaku negative legislative, MK hanya boleh memutus apakah sebuah Undang-Undang itu melanggar atau sesuai dengan konstitusi (UUD 1945). Ultra petita atau keputusan yang melampaui hal yang tidak diminta pemohon judicial review telah mempertebal suara sumbang sebagian kalangan bahwa MK ingin merampas fungsi legislasi DPR. Premis yang digunakan, banyak sekali Undang-Undang yang dihasil DPR dibatalkan MK dalam setahun terakhir.

Ihwal calon independen, saya mendapat kesan bahwa pilihan yang ditempuh Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR adalah jalan melingkar. Pemerintah dan DPR yang otoritatif membuat payung hukum justru memilih jalan sulit dalam mengatur persyaratan calon independen. Keduanya sepakat akan merevisi secara terbatas UU 32/2004, khususnya pasal 56 dan pasal 59 yang telah dibatalkan MK.

Dari tiga kemungkinan, KPU membuat aturan calon perseorangan, Presiden Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau revisi UU 32/2004, sebetulnya penerbitan Perpu paling cepat dan memiliki legitimasi tinggi di muka hukum. Tapi, eksekutif dan legislatif terbentur pada definisi dan terminologi “kondisi kegentingan memaksa” yang harus tersedia sebelum Perpu dikeluarkan.

Definisi yang dipakai cenderung bersifat fisik. Misalnya, jika payung hukum tak segera keluar dikhawatirkan terjadi konflik menjurus anarki di sejumlah daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada. Padahal, kekosongan hukum itu sendiri merupakan kondisi darurat dan mendesak. Di sini urgensi penerbitan Perpu agar setidaknya 19 daerah (provinsi, kabupaten dan kota) yang akan menyelenggarakan Pilkada antara Agustus 2007-Desember 2008 tak terlunta-lunta dalam kondisi ketidakpastian.

Apalagi secara empiris untuk konteks Pilkada, Presiden Yudhoyono pernah menerbitkan Perppu untuk mengubah substansi Pasal 90 UU 32/2004. Lewat Perppu 3/2005, Presiden mengubah jumlah pemilih di setiap TPS (Tempat Pemungutan Suara) dari sebanyak-banyaknya 300 orang menjadi 600 orang.

Yang paling logis, pemerintah dan DPR harus mengukur kadar manfaat dan mudharat jika proses revisi UU 32/2004 dipilih. Pertama, revisi pasti akan membutuhkan waktu. Kedua, jalur legislasi lewat DPR menyertakan tegangan politik yang tinggi. Dan ketiga, selama proses revisi dilakukan, bagaimana dengan pilkada di sejumlah daerah: dilanjutkan dengan mengacu UU 32/2004 atau ditunda.

Apabila tertib hukum yang menjadi acuan. Maka sangat tepat jika pemerintah memerintahkan Departemen Dalam Negeri menunda pelaksanaan pilkada di sejumlah daerah sampai payung hukum yang mengatur persyaratan calon independen rampung. Usulan penundaan ini cukup realistis. Setidaknya karena dua hal. Pertama, proses elektoral (pilkada) di daerah tak lagi dikuasai partai politik. Kedua, preferensi pemilih dalam pilkada kian banyak dan melibatkan perseorangan atau calon independen.

Untuk itu Mendagri hanya perlu menerbitkan peraturan menteri sehingga menjadi landasan hukum bagi KPU-KPU di daerah untuk menunda pilkada di daerahnya. Namun, penundaan pilkada ini menuntut syarat: revisi kelar tepat waktu. Jadi, kalau pemerintah dan DPR sepakat akan merampungkan revisi UU 32/2004 dalam tempo enam bulan. Maka, awal tahun 2008 nanti, UU yang baru harus langsung dapat dioperasikan. Presiden Yudhoyono menjanjikan hal itu ketika menerima kunjungan Ketua MK Jimly Asshiddiqie.

Sayang, arus perdebatan di depan publik soal ini justru bercabang. Gubernur Lemhanas Muladi termasuk yang mengapungkan ide penundaan pilkada. Tapi, Wapres Jusuf Kalla justru menegaskan agar pilkada di sejumlah daerah dilanjutkan saja dengan mengacu UU 32/2004 sebelum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK.

Buat saya, pernyataan Wapres ini justru kontraproduktif, karena tak memberikan teladan kepada warga negara untuk taat hukum. Pilkada di sejumlah daerah itu jelas berbeda dengan Pilkada DKI Jakarta yang sudah jalan (masa kampanye) saat MK memutuskan calon independen boleh berpartisipasi dalam pilkada. Nah, saat ini, majoritas pilkada di daerah—seperti di Sulawesi Selatan—masih dalam tahap pendaftaran calon.

Dengan demikian, menunda sampai batas waktu tertent tak akan menghambat pilkada, tapi justru menyehatkan demokrasi di tingkat lokal. Sebaliknya meneruskan pilkada dikhawatirkan dapat memantik benih-benih kekerasan. Pasalnya, warga masyarakat pastilah bereaksi keras menuntut dibolehkannya calon independen berpartisipasi dalam pilkada tahun ini.

Soal lain yang mencemaskan, parpol pemilik kursi di DPR mulai mengencangkan syarat bagi calon independen. Kini, sebagian kalangan Dewan mengapungkan agar syarat bagi calon independen setara dengan calon yang diusung parpol, yakni 15 persen suara rakyat yang ditunjukkan dengan Kartu Tanda Penduduk. Alasannya, calon independen harus mempunyai basis konstituensi yang berakar seperti juga parpol. Ini biar klaim kepemimpinan dari calon independen bahwa mereka dikehendaki rakyat bukan pepesan kosong.

Sekilas argumentasi ini rasional, kendatipun pada saat sama berpretensi kembali mengunci calon independen berpartisipasi dalam pilkada. Harus dikatakan memperlakukan calon independen seperti calon yang diusung parpol bakal kontraproduktif. Bukan tak mungkin hal itu akan menggiring mereka yang ingin maju ke pilkada, kembali “menyewa” parpol untuk mewujudkan mimpinya menjadi eksekutif di daerah. Padahal raison d’etre dari dibukanya calon independen adalah agar rakyat memiliki pilihan lebih banyak untuk menentukan pemimpin.

Sebuah proposisi yang tak bisa ditawar jika parpol merupakan institusi politik untuk melajukan demokrasi di negeri ini. Di dalam parpol, calon-calon pemimpin bangsa dikader. Tapi, ketika peran itu belum optimal, seyogyanya pintu-pintu lain dibuka. Masing-masing harus diberi kesempatan dan membuktikan diri untuk diseleksi oleh sang waktu. Dan ingat, di beberapa negara bagian di Amerika Serikat calon independen yang hendak maju ke pemilihan gubernur hanya perlu mengumpulkan 3-5 persen dari jumlah pemilih terdaftar di pemilihan sebelumnya. [Pikiran Rakyat, 1 September 2007]

No comments: