Monday, September 24, 2007

Skenario Penghabisan di Iran?

Oleh Moh Samsul Arifin

***

Judul: Iran Skenario Penghabisan
Penulis: Musa Kazhim & Alfian Hamzah
Penerbit: Ufuk Press, Jakarta, Juli 2007
Tebal: 190 halaman

***

PERNYATAAN Menteri Luar Negeri Perancis, Bernard Kouchner agar dunia bersiap menghadapi kemungkinan perang dengan Iran jika negeri Mullah itu tak menghentikan aktivitas program nuklirnya menaikkan ketegangan politik di Timur Tengah. Ini diucapkan Kouchner menjelang konferensi tahunan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di Vienna (16/9), Austria membahas program nuklir Iran.

Spekulasi beredar, Perancis di bawah Presiden Nicolas Sarkozy kini tengah mengubah bandul politik terhadap Washington. Ucapan Kouchner dinilai sebagai dukungan tak langsung kepada Pemerintahan George Walker Bush untuk memaksa Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan sanksi lebih berat kepada Iran, dan bahkan menyerang negeri tersebut sebagai “skenario terakhir”. Dan sudah rahasia umum jika pasukan dan pangkalan militer Amerika Serikat berada di sekitar Iran. Pangkalan militer Amerika tersebar di semua penjuru, dari Saudi Arabia hingga Suriah, dari Yordania hingga Qatar. Sekali Bush memerintahkan penyerangan terhadap Iran, perang bakal berkobar kembali.

Tapi, bukan Iran kalau tak bisa membalas “provokasi”. Pejabat elite Garda Revolusi Iran memastikan, militer Iran mampu menyerang semua target dan kepentingan AS di Timur Tengah. Misil jarak jauh Shahab-3 bisa menjangkau sasaran hingga 2.000 kilometer, termasuk Israel dan sejumlah pangkalan AS di Semenanjung Arab. Pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Ahmad Khatami mengingatkan Perancis tidak mengikuti AS yang memusuhi Iran.

Secara lebih lantang, pada 22 September lalu, Iran memamerkan kekuatan militer dan senjatanya dalam parade untuk mengenang perang Iran-Irak, 1980-1988. Dalam parade itu, Teheran meluncurkan Ghadr-1—sebuah rudal versi terbaru Shahab-3 melengkapi persenjataan Iran. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad berujar parade itu disengaja untuk menunjukkan kepada negara-negara penentangnya seberapa besar kekuatan militer Iran. “Mereka yang berpikir bahwa perang psikologis dan sanksi ekonomi bisa menghentikan kemajuan nasional (baca: nuklir) sedang membuat kesalahan,” ujar Ahmadinejad.

Buku “Iran Skenario Penghabisan” karya Musa Kazhim & Alfian Hamzah ini mengungkap kemungkinan Amerika menjadikan Iran sebagai “pelampiasan” setelah kegagalan invasi di Irak. Di dalam negerinya, Bush kini dipaksa untuk menarik mundur seluruh pasukannya di Irak pada Maret-April tahun mendatang. Menarik pasukan berarti mengumumkan kekalahan di Irak. Tak ada pilihan bagi elite penguasa di Amerika kecuali menghabiskan semua kartu yang tersisa. Para ahli strategi neokonservatif bisa mengambil langkah ekstrem: menyerang Iran.

Kalangan neokonservatif itu menilai Iran bakal menjadi semakin berbahaya jika tidak dihentikan saat ini. Mereka percaya hanya Pemerintahan Bush yang berani melakukan sesuatu kepada Iran. Bagi kalangan neokonservatif, sepanjang Iran masih merupakan Republik Islam, negeri itu akan berambisi memiliki senjata nuklir. Karena itu Amerika-Israel dan Barat akan memaksa Iran memenuhi tuntutan penghentian program nuklirnya atau menghadapi serangan militer.

Keberatan terhadap program nuklir Iran hanya dalih. Ditengara Bush sudah mengincar Iran sejak WTC dan Pentagon diserang pada 11 September 2001. Nuklir disebut-sebut hanya titik tolak, karena yang diincar sebetulnya penguasaan minyak di Timur Tengah di masa mendatang.

Michel Chossudovsky, salah seorang kontributor Global Research, menyatakan dunia sedang berada di persimpangan jalan menuju krisis paling serius pada milenium kedua ini. Amerika telah melangkahkan kaki menuju suatu petualangan militer, suatu perang panjang yang membahayakan masa depan umat manusia setara serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Agustus 1945.

Masih kata Chossudovky, ada bukti kuat bahwa AS bekerjasama dengan Israel dan NATO tengah merencanakan perang nuklir terhadap Iran. Jika sampai meletus, perang akan mengurung keseluruhan kawasan Timur Tengah. Bahkan, sebagian analis mengkhawatirkan perang itu bisa mencakup wilayah di luar kawasan itu dan menggiring pada skenario Perang Dunia III (hal 134-141).

Namun, Iran memiliki kekuatan tersembunyi. Iran tak sepenuhnya “David” di tengah “Goliath” yang bernafsu perang. Buku ini memerinci projek militer Iran yang dirahasiakan dari media massa. Padahal sejak 1992, Iran telah memproduksi tank, angkutan perang, rudal, kapal selam dan pesawat tempur. Iran mengembangkan senjata misil Fajr-3 (MIRV), Hoot, Kowsar, Fateh-110, Shahab-3 dan pesawat udara tanpa orang. Kekuatan angkatan bersenjata Iran bertumpu pada angkatan bersenjata reguler dan Kesatuan Garda Revolusi Islam (Sepah Pasdaran) dengan personel 545.000 tentara. Belum lagi milisi sukarelawan (Basij), mencakup 90.000 anggota aktif dan 300.000 anggota cadangan dan sekitar 11 juta orang yang siap dimobilisasi setiap saat (terbesar di dunia).

Seluruh kekuatan ini plus program nuklir (untuk perdamaian) dikonsolidasikan Ahmadinejad dalam apa yang disebut diktum “Revolusi Ketiga”. Ahmadinejad menghendaki revolusi tersebut menjadi gerakan global untuk memotong akar-akar ketidakadilan. Itulah kenapa dalam beberapa hal Ahmadinejad berkongsi dengan pemimpin dunia di Dunia Ketiga, semacam Hugo Chavez (Presiden Venezuela) atau Daniel Ortega (Presiden Nikaragua). Ia mengonsolidasi koalisi kecil yang relatif kritis terhadap Washington.

Kekokohan Ahmadinejad mengendalikan Revolusi Ketiga itu tegak ditopang spiritualitas ala Syiah yang ditiup Imam Khomeini dalam revolusi tahun 1979. Khomeini selalu menyanggah mental rakyat Iran merespons segala nestapa yang melanda negerinya, sejak kediktatoran Syah Muhammad Reza Pahlevi, perang dengan Irak dan intimidasi serta provokasi Amerika belakangan. Kalimat Khomeini “Perjuangan ini sifatnya suci, bertujuan menegakkan keadilan dan menentang penindasan Timur dan Barat atas dunia Muslim” dianggap selalu aktual dan karenanya menjiwai bangsa Iran.

Sebagai upaya memerikan kekuatan Iran, buku ini berhasil. Penulisnya dekat sekali dengan objek dan data-data yang dipaparkan menerangkan “sisi lain” yang kurang tersingkap seputar Iran selama ini. Dengan gaya bertutur (khas jurnalisme sastrawi), buku dengan topik amat berat ini, bisa lebih mudah dicerna dan dipahami.

Namun demikian, buku ini abai pada satu hal. Penulis sama sekali tidak membahas solusi untuk keluar dari kemelut ketegangan antara Amerika (pendukungnya) dengan Iran. Misalnya, jika program nuklir menjadi faktor pemantik, adakah skenario alternatif untuk memecahkan lobi Amerika di Dewan Keamanan PBB dan Badan Energi Atom Internasional. Atau apa pula proposal Iran untuk mencegah krisis sehubungan projek nuklirnya itu. Bagaimana sebaiknya, negara-negara di dunia bersikap. Sekalipun tampak normatif, seyogianya dibuat rumusan atau usulan untuk menghalau kemungkinan serangan Amerika terhadap Iran tersebut. [24 September 2007]

*) Praktisi pertelevisian.

No comments: