Monday, September 10, 2007

Korporasi AS di Balik Perang Irak

Oleh Moh Samsul Arifin

Judul: Blood Money
Penulis: T. Christian Miller
Penerjemah: Leinovar Bahfein & Sigit Setia
Penerbit: Ufuk Press, Jakarta, Mei 2007
Tebal: 459 halaman

ANDREW Austin dalam "The Bush Gang" secara lantang menyebut alasan George Walker Bush menginvasi Irak pada Maret 2003 adalah demi mengamankan pasokan minyak ke negerinya. Irak sangatlah strategis, seperti juga kawasan laut Kaspia—Azerbaijan, Kazakhstan, Turkmenistan dan Uzbekistan—untuk memenuhi kebutuhan minyak Amerika Serikat yang mencapai 21 juta barel per hari. Austin mempertebal skeptisisme orang ramai bahwa emas hitam kerap menjadi causa prima pemerintahan Bush menurunkan pemerintah yang berkuasa di negara-negara yang dimusuhinya.

Buku "Blood Money" karya T. Christian Miller ini menyambung satu fakta yang kurang diungkap ke ruang publik. Yakni sisi buram dari projek rekonstruksi Irak yang menelan miliaran dolar AS. Serangkaian fakta yang diperoleh Miller dari reportase langsung, wawancara dan data-data primer seperti termuat buku ini menelanjangi kredibilitas Pemerintahan Bush, sekaligus rekonstruksi tak terencana, yang alih-alih membangun infrastruktur dan prasarana kehidupan rakyat Irak dengan baik. Namun, justru menyumbang bagi kekacauan yang terus bertahta di sekujur Irak hingga saat ini.

Projek rekonstruksi Irak sebenarnya sudah dipikirkan Pemerintahan Bush berbarengan dengan penggalangan dukungan politik di parlemen. Sebulan pasca-Kongres AS mengesahkan resolusi yang memberi mandat kepada Bush untuk mengerahkan pasukan ke Irak, Pentagon sudah menganugerahkan kontrak pembangunan pertama kepada KBR (Kellog, Brown & Root), anak perusahaan Halliburton Company, pada 11 November 2002. KBR diminta merencanakan perbaikan industri minyak Irak pascaperang dengan total kontrak senilai 1,9 juta dolar AS.

Sampai sini, segalanya seperti on the track. Tapi, saat perang meletus, rekonstruksi tidak terkontrol. Proses tender berkejaran dengan waktu. Sering kali megaprojek pengadaan persenjataan, pembangunan infrastruktur sosial-ekonomi, perbaikan sarana dan prasarana hingga penyediaan akomodasi bagi pasukan koalisi yang bertugas di Irak jatuh pada perusahaan-perusahaan yang memiliki kedekatan dengan pemerintah.

Jurnalis Los Angeles Times ini, bahkan menemukan ada perusahaan tak berpengalaman asal sanggup mengumbar janji-janji palsu, ditunjuk Pemerintahan Koalisi Sementara (CPA) dan Kantor Rekonstruksi dan Bantuan Kemanusiaan (ORHA)—kepanjangan tangan Pemerintahan Bush—untuk menggarap projek penting dan sensitif seperti jasa keamanan untuk melancarkan proses rekonstruksi.

Menurut Miller, Halliburton termasuk yang paling ekspansif membidik rekonstruksi Irak. Dia masuk ke negeri seribu satu malam diduga karena dekat dengan Dick Cheney, sang wapres pernah menjadi eksekutif utama Halliburton antara 1995 dan 2000. Meski tak ada bukti kuat Cheney terlibat, mengutip hasil investigasi Partai Demokrat, ujar Miller, itu tak terlepas dari abainya pemerintah federal mengendalikan kontraktor utamanya di Irak tersebut. Tapi, satu yang pasti: Halliburton mengerjakan projek militer Amerika sejak 1990-an, saat Cheney menjadi Menteri Pertahanan di masa Bush senior.

Dalam aksinya, Halliburton kerap kali menggelembungkan tagihan kepada otoritas Pemerintahan Koalisi Sementara, termasuk ketika ditunjuk untuk memasok minyak ke Irak, Mei 2003. Apabila Defense Energy Support Center (lembaga bahan bakar Pentagon) mampu mengimpor bahan bakar keperluan militer senilai 1,08 dolar AS per galon. Halliburton meminta bayaran 2,68 dolar AS untuk setiap galon minyak yang didatangkannya (hal. 115).

Siapa saja yang berupaya mencegah Halliburton harus menanggung risiko. Ini menimpa Bunnatine Greenhouse, staf senior urusan kontrak United State Army Corps of Engineers. Saat ia getol mengawasi tender projek ke perusahaan itu, ia harus justru terpental dari jabatannya. Bukan itu saja gajinya dipotong. Ini terjadi kala Greenhouse tak setuju dengan keputusan Army Corps menyerahkan satu kontrak tanpa tender kepada Halliburton untuk memenuhi kebutuhan pasukan AS di negara-negara Balkan pada 2004.

Ada lagi perusahaan bau kencur yang mengais dolar di Irak bermodal nekad. Itulah Custer Battles yang didirikan jebolan angkatan bersenjata, Scott Custer dan Mike Battles. Dengan proposal "fiktif", Pemerintahan Koalisi Sementara menyerahkan tugas superpenting menjaga tempat vital, bandara Baghdad senilai 16,8 juta dolar AS.

Perusahaan sejenis berkaliber internasional seperti DynCorp International dan Army Group International Ltd tak berdaya. Dalam tempo 12 bulan, Custer Battles sukses mengkapitalisasi aset dari 200 ribu dolar AS menjadi 100 juta dolar AS.

Perusahaan ini juga pintar menggelembung biaya projek. Jika sesuai kontrak dengan ORHA, mereka hanya dibolehkan mengambil laba 25 persen. Perusahaan ini justru menagih pemerintah dua kali lipat dari biaya sebenarnya. Truk senilai 18 ribu dolar AS didongkrak menjadi 80 ribu dolar AS. Total biaya projek yang dikerjakan sebetulnya 913 ribu dolar AS, tapi Custer Battles meminta bayaran ke pemerintah hingga 2,1 juta dolar AS.

Kendatipun praktik curang itu tercium pihak ORHA dan Custer Battles diputus membayar denda lebih dari 10 juta dolar AS oleh pengadilan Washington, Custer Battles tidak dicoret dari tender-tender rekonstruksi di Irak. Masih banyak lagi hasil investagi Miller yang mencoreng telak-telak kredibilitas proses rekonstruksi Irak.

Ringkasnya, kecerobohan pemerintahan Bush dan kedekatan kontraktor dengan pentolan-pentolan pemerintah di Pentagon dan Departemen Luar Negeri telah membikin projek rekonstruksi tidak mulus. Apalagi mereka terkenal royal membagi projek miliaran dolar. Seringkali jutaan dolar keluar begitu mudah di meja transaksi yang tak transparan.

Kontraktor—yang mewakili kepentingan korporasi—memanfaatkannya untuk meraup untung berlipat. Miller kian membenarkan pengakuan John Perkins dalam Confussion of an Economic Hit Man bahwa tak ada misi yang lebih penting diemban korporasi, kecuali dolar! Lewat buku ini, Miller menunjukkan bagaimana rakyat Irak jadi korban kepentingan korporasi tersebut.

Rakyat Irak yang butuh perbaikan hidup tak diacuhkan. Malah dijadikan sebagai "sandal jepit" untuk menumpuk dolar. Mereka tamu di negeri sendiri! Akibatnya, pembangunan Irak terbengkalai. Irak baru—di mana demokrasi tegak, seperti dijanjikan Bush!—hanya pepesan kosong.

Jurnalisme investigasi yang digunakan peraih sejumlah penghargaan internasional ini bisa dijadikan acuan bagi jurnalis di tanah air untuk mengungkap selubung misteri "permainan uang" yang terlibat dalam rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Ini penting, sebab selepas jutaan dolar AS membanjiri Aceh, sedikit sekali media yang mengawasi jalannya pembangunan di Serambi Mekkah tersebut. [Media Indonesia, 2 September 2007]

No comments: