Monday, September 17, 2007

Setelah Megawati Capres PDIP

Oleh Moh Samsul Arifin

LEWAT dua forum yang terbilang extravaganza, rapat kerja nasional (rakernas) dan rapat koordinasi nasional (rakornas), PDIP secara resmi mendaulat kembali Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden mereka. Jika dalam rakernas, Megawati masih malu-malu untuk menerima permintaan itu, dalam pidato penutupan rakornas di Kemayoran, Jakarta (10/9), Megawati mengumumkan kesediaannya maju dalam pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung tahun 2009 mendatang.

Saya mendapat kesan kesediaan Megawati ini adalah kelanjutan keinginannya yang tak kesampaian pada Pilpres 2004. Dalam sebuah wawancara dengan Liputan 6 SCTV (8/9), Megawati mengaku dirinya tidak kalah dalam Pilpres 2004. "Kalau kalah itu knock out. Rakyat memberikan suara kepada saya. Hanya, kurang dari 50 persen plus satu," jelas Mega. Memang, pada Pilpres 2004, Megawati yang saat itu berpasangan dengan Hasyim Muzadi hanya mendulang 39,38 persen suara. Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono-M. Jusuf Kalla menangguk 60,62 persen.

Ada nada ketidak-legowo-an di balik pernyataan tersebut. Mungkin itu sebabnya, ia sudah menabuh genderang persaingan dua tahun sebelum perhelatan politik yang sesungguhnya digelar. Artikel ini mencoba memaknai pencalonan Megawati dan pengaruhnya bagi persaingan politik di masa mendatang.

Percepatan pengumuman pencalonan Megawati ini bisa produktif, tetapi juga dapat menjadi bumerang, setidaknya dengan beberapa alasan. Pertama, di tingkat internal, kesediaan Megawati itu akan mengonsolidasi secara cepat pengurus PDIP (dari pusat hingga cabang dan ranting) dan pendukung mereka. Dan ini disadari Megawati saat ia meminta seluruh struktur partai mulai bekerja sejak saat ini.

Bagi politisi PDIP di Jakarta dan daerah, kesediaan itu membuyarkan satu hipotesis yang menyatakan partai tersebut akan pecah jika Megawati tidak bersedia. Sebagai sosok karismatik, harus diakui Megawati masih merupakan faktor pemersatu dan belum tergantikan, bahkan oleh Taufiq Kiemas yang kian memerankan diri sebagai "presiden" PDIP.

Bagaimanapun, banyaknya kader partai yang keluar dan membentuk Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Desember 2005 lalu mengkhawatirkan PDIP. Seperti diketahui, kader berpengaruh mereka seperti Abdul Madjid, Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, Roy Binilang Bawatanusa Janis, Sukowaluyo Mintorahardjo, hingga Engelina Pattisiana, kini bergabung dengan PDIP.

Kedua, secara demikian langkah cepat Megawati menerima pinangan partainya menggunting kans tokoh dan kader PDIP lainnya yang memiliki motif maju pada Pilpres 2009. Bahkan, spekulasi bahwa Taufiq Kiemas akan maju sebagai capres atau cawapres PDIP terpatahkan. Tidak mungkin lagi PDIP menggadang Kiemas sebagai cawapres, seperti isu yang beredar sejak PDIP dan Partai Golkar mesra di silaturahmi Medan dan Palembang, untuk diduetkan dengan capres dari partai lain. Saat ini koalisi dengan PDIP hanya mungkin jika kawan koalisi PDIP mengusung cawapres. Kesediaan Megawati mengunci calon kawan koalisi untuk hanya menjadi "orang kedua". Dan itu berarti membatasi potensi partai yang hendak merapat ke PDIP.

Ketiga, yang mungkin saja bakal memberatkan, lawan politik tradisional Megawati dan PDIP memiliki waktu lebih panjang untuk meng-counter pencalonan tersebut. Dari politik gender, sosok Megawati menjanjikan untuk "dijual" kepada kaum perempuan. Akan tetapi, pengalaman di dua kali pemilu, 1999 dan 2004, mengabarkan bahwa aktivis dan gerakan perempuan tidak secara langsung mendukung Megawati.

Sebaliknya, lawan politik tradisionalnya, menggunakan fikih yang tidak familiar kepada perempuan untuk mengganjal langkah Megawati. Kekalahan Megawati pada 1999 adalah contoh baik, kendatipun fenomena itu terkoreksi pada 2001 saat partai Islam semacam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) tak memasalahkan Megawati menjadi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid yang diberhentikan MPR lewat Sidang Istimewa.

PDIP boleh jadi percaya diri karena tren dukungan publik kepadanya merangkak naik seperti dikonfirmasi jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia, Maret 2007. Menurut jajak pendapat itu, dukungan terhadap PDIP mencapai 22,6 persen. Jauh lebih besar dari dua partai yang kini "memerintah" (the ruling party), Partai Golkar dan Partai Demokrat, yang sebesar 16,5 persen dan 16,3 persen.

Demikian pula dengan Megawati. Survei Indo Barometer pada Mei 2007 menunjukkan popularitas Megawati jauh lebih tinggi ketimbang tokoh politik lain seperti Jusuf Kalla, Sri Sultan Hamengkubuwono, Surya Paloh, dan Aburizal Bakrie. Megawati didukung 22,6 persen responden, hanya kalah dari SBY yang masih bertengger di tempat teratas dengan dukungan 35,3 persen. Bahkan, Wapres Jusuf Kalla hanya mendapat dukungan 2,9 persen.

Di atas segalanya, terompet yang ditiup Megawati dikhawatirkan mengilhami partai-partai lain berbuat senada, terjebak untuk mengambil langkah praktis dengan mengusung ketua umum partai dan tokoh lama sebagai capres atau cawapres menuju Pilpres 2009.

Gelagat ini bukannya tak kentara. Pertama, Partai Golkar, seperti dikonfirmasi Ketua FPG DPR, Priyo Budi Santoso, lewat rapat pimpinan partai di rumah Jusuf Kalla pada Selasa malam (18/9) menyepakati tak menggunakan konvensi untuk penentuan calon presiden (Koran Tempo, 20/9).

Sebagai pengganti digelar rapimnas atau rapat pimpinan nasional khusus (rapimnasus). Caranya, sejumlah kandidat diusulkan pengurus yang mempunyai hak suara. Lantas, calon digodok dengan memerhatikan sejumlah parameter, misalnya hasil survei. Untuk memilih calon yang akan bertarung dalam bursa capres, forum rapimda ikut menentukan. Dari sini, opsi-opsi yang beredar di rapimda dikonversi ke rapimnas atau rapimnasus. Calon presiden dan wapres yang diusulkan bisa dari internal atau luar partai.

Dihapuskannya konvensi diprediksi akan memuluskan langkah Jusuf Kalla menjadi capres dari Partai Golkar pada Pemilu 2009 nanti. Ini tentu kabar buruk bagi Partai Golkar yang telah memulai lompatan politik demokratis menjelang Pemilu 2004 lalu. Akbar Tandjung, saat itu ketua umum, yang notabene sudah hampir pasti menjadi capres Golkar jika tanpa konvensi, dikalahkan Wiranto di putaran final konvensi.

Lewat Golkar, publik bisa tahu bagaimana demokratisasi di internal parpol bersemi. Kita tahu saat itu, ada Surya Paloh, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Prabowo Subijanto, Jusuf Kalla hingga Nurcholish Madjid ikut berpartisipasi dalam konvensi tersebut. Sedangkan partai lain semacam Partai Amanat Nasional (PAN), PPP, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan PDIP tak beranjak dari cara konvensional, memilih ketua umum dan tokoh utama di intern partai sebagai capres atau cawapres.

Kedua, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menyatakan kesediaan menjadi capres Partai Kebangkitan Bangsa. Gus Dur mengaku telah mengantongi dukungan dari dua kiai sepuh Nahdlatul Ulama (NU) untuk maju dalam Pilpres 2009. Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR segendang sepenarian, mereka akan mengawal kesediaan Gus Dur tersebut, terutama pembahasan persyaratan capres dalam RUU Pilpres yang tengah dibahas di DPR (Kompas, 20/9). Pada 2004 lalu, Gus Dur yang berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim terganjal persyaratan kesehatan jasmani sehingga urung berpartisipasi dalam pemilihan langsung pertama di tanah air.

Saya berharap politik Indonesia di masa mendatang lebih dinamis. Parpol mampu memerankan posisi penting sebagai institusi yang mampu melahirkan calon pemimpin bangsa yang berkualitas negarawan. Dan, itu hanya bisa terwujud jika parpol tidak abai dengan kaderisasi dan mengadaptasi pelbagai cara yang memungkinkan segenap kader partai memiliki hak sama untuk memimpin dan bahkan menjadi calon pemimpin bangsanya. Sayangnya, penulis belum menyaksikan tanda-tanda kebangkitan parpol dalam menyusun cara untuk melahirkan dan mencari calon-calon pemimpin bangsa tersebut. [Pikiran Rakyat, 28 September 2007]

No comments: