Friday, November 2, 2007

Sutiyoso dan Marketing Politik

Oleh Moh Samsul Arifin

LETNAN Jenderal (Purnawirawan) Sutiyoso mendeklarasikan diri untuk maju dalam pemilihan presiden/wakil presiden tahun 2009 mendatang di sebuah hotel berbintang di Jakarta, awal Oktober lalu. Sutiyoso atau Bang Yos memasang target tinggi, sebab yang disasar adalah jabatan tertinggi di republik ini dibawah tajuk “Sutiyoso for President”. Setidaknya ada dua hal mengapa pencalonan Bang Yos menjadi “istimewa”.

Pertama, ia tak memiliki kendaraan politik (baca: partai politik) untuk mengantarnya ke politik elektoral, Pilpres 2009. Kedua, pencalonan itu diumumkan saat yang bersangkutan masih menjabat gubernur DKI Jakarta. Para pengkritik mengaitkannya dengan problem politik riil dan moral-etis, sesuatu yang memang absen di balik pencalonan Bang Yos tersebut.

Dalam satu dasawarsa politik di masa reformasi, pencapresan selalu identik dengan partai politik. Sejumlah tokoh yang berkeinginan memimpin Indonesia, mengawali langkahnya dengan mendirikan parpol. Teori ini hampir menjadi absolut, sebab parpol—setidaknya hingga kini—ditempatkan sebagai pintu satu-satunya untuk berkiprah dalam seleksi kepemimpinan nasional (baca: pilpres dan pemilu legislatif) dan seleksi pejabat eksekutif di daerah (provinsi, kabupaten dan kota) lewat pilkada secara langsung. Sutiyoso menubruk pakem tersebut dengan rasa percaya diri tinggi.

Bagi Sutiyoso, saat ini parpol sudah begitu banyak, sehingga ia memilih tak mendirikan parpol baru. Justru, ia hendak “memasarkan diri” untuk dicalonkan parpol-parpol yang sudah ada. “Saya tidak punya partai. Partai sudah sangat banyak. Kalau saya layak pasti ada kereta. Di samping saya melakukan pendekatan, saya harap ada kereta yang mendekat,” ujarnya (Sinar Harapan, 2/10).

Saya menangkap kepercayaan diri begitu besar, meski belum secara definitif didukung parpol tertentu. Berkaitan dengan parpol, Sutiyoso pernah dihubungkan dengan Partai Solidaritas Nasional (PSN). Partai ini mengingatkan saya pada Partai Solidaritas Polandia yang mengantarkan Lech Walesa menjadi presiden Polandia tahun 1990. Konon, PSN akan menjadi kendaraan Sutiyoso untuk berlabuh ke perhelatan Pilpres 2005. Kabar ini telah meruak sejak 2005 lalu dan belakangan mengempis.

Dengan modal jaringan di lingkungan TNI (ingat Jenderal purn. Try Soetrisno berada di belakang Sutiyoso) dan modal kapital yang cukup, sesungguhnya tak sulit bagi Sutiyoso mendirikan parpol sendiri. Tapi, Sutiyoso memilih cara baru untuk pencapresan dirinya. Ada sejumlah kemungkinan mengapa Sutiyoso begitu percaya diri. Pertama, ia sesungguhnya telah mendapat konsesi dari sejumlah parpol bahwa ia berpeluang dicalonkan. Konon Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Solidaritas Nasional (PSN) telah menyatakan komitmen mendukung Sutiyoso. Masalahnya, PIS dan PSN belum tentu ikut serta Pemilu 2009 serta memperoleh suara signifikan.

Kedua, Sutiyoso terus menjaga kontak dengan sejumlah parpol. Fenomena Fauzi Bowo yang diusung koalisi besar parpol pada Pilkada Jakarta menjadi referensi bagi Sutiyoso, betapa parpol dapat “disewa” untuk pencalonannya tersebut.

Ketiga, faktor purnawirawan TNI tentu merupakan faktor plus sekaligus sokongan politik yang melambungkan kepercayaan dirinya. Sutiyoso tampaknya akan menjadi calon alternatif dari kalangan eks militer, selain Susilo Bambang Yudhoyono dan Wiranto. Dua tokoh ini telah berpartisipasi dalam Pilpres 2004 lalu. Sutiyoso dianggapkan sanggup mengumpulkan kekuatan eks militer atau keluarga tentara.

Karakter Sutiyoso sendiri beradu punggung dengan SBY. Sutiyoso, setidaknya dalam 10 tahun menjabat Gubernur Jakarta, terkenal tegas, berani dan bahkan kontroversial dengan melawan kehendak publik. Projek mercusuarnya, yang mengintegrasikan pola transportasi makro (Busway, subway, monorel dan waterway) adalah contoh betapa ia berani bertindak sekalipun ditentang.

Keempat, Sutiyoso sadar betul bahwa ia termasuk “hijau” dalam politik nasional, karenanya ia mendeklarasikan pencapresannya sejak dini, dua tahun sebelum perhelalatan politik elektoral digelar. Apalagi di sejumlah survei, popularitas Sutiyoso masih kalah jauh dengan politisi atau tokoh yang melintang di belantara politik nasional.

Menurut jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI), dari tujuh nama yang disigi, Sutiyoso menempati urutan terbawah dengan perolehan satu persen. Berdasarkan survei yang diadakan antara September-Oktober 2007 itu, Sutiyoso kalah jauh dengan dua eks militer seperti SBY (35,5 persen) dan Wiranto (7 persen).

Empat nama sipil, Megawati Soekarnoputri (28 persen), Amien Rais (6,5 persen), Hidayat Nur Wahid (5 persen) dan Jusuf Kalla (4 persen) juga belum dapat disainginya. Pencapresan dini Sutiyoso dapat dimaknai sebagai sebentuk marketing politik untuk mengerek popularitasnya di hadapan calon pemilih. Dari sisi ini, dapat dimaklumi jika Sutiyoso mengumumkan pencapresannya di akhir masa jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta. Prinsip marketing mengajarkan orang yang memiliki jabatan (big name) akan lebih mendapat perhatian publik ketimbang sudah tidak menjabat.

Peran marketing dalam politik telah diakui sejak dasawarsa kedua abad ke-20. Partai Konservatif di Inggris memanfaatkan jasa agen biro iklan (Holford-Bottomley Advertising Service) dalam mendesain dan mendistribusikan poster dan pamflet di Pemilu 1929. Sebelumnya, Partai Buruh menerapkannya tahun 1917.

Aktivitas marketing tak hanya efektif mentransfer pesan politik ke publik, tapi mengantarkan sejumlah individu ke panggung kekuasaan. Bill Clinton berhasil ke Gedung Putih berkat kemampuan tim kampanye Partai Demokrat menyerap aspirasi masyarakat dan menuangkannya dalam slogan kampanye yang positif dan elegan ketimbang pesaingnya, Dole dari Republik di tahun 1992. Hal sama dialami Partai Buruh di Inggris, ketika agen publikasi Saatchi and Saatchi menciptakan slogan “Labour isn’t Working” untuk mendongkrak tingkat kepercayaan massa tradisionalnya terhadap partai tersebut.

Seperti halnya dunia bisnis, produklah yang ditawarkan kandidat capres atau parpol. Adapun masyarakat menjadi konsumen yang menentukan dan memilih produk semacam party platform, past record (catatan tentang hal-hal yang dilakukan di masa lampau) dan personal characteristic (ciri pribadi) yang dijual parpol dan individu.

Namun, diingatkan Firmanzah (2007), di masa mendatang kandidat atau parpol hendaknya menerapkan prinsip marketing dalam rangka membuat program yang berhubungan dengan permasalahan aktual serta berorientasi terhadap konstituen, publik dan rakyat—mereka yang selama ini sekadar menjadi objek dalam sejarah politik Orde Baru.

Bak bekerja dari titik nol, Sutiyoso memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat untuk bisa bersaing dalam Pilpres 2009 mendatang. Apabila tak sanggup menaikkan popularitas, Sutiyoso harus realistik dengan hanya menjadi cawapres. [November 2007]

No comments: