Sunday, November 25, 2007

Pencarian tanpa Akhir Goenawan Mohamad

Oleh Moh Samsul Arifin

Judul: Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai
Penulis: Goenawan Mohamad
Penerbit: Kata Kita, Jakarta, Oktober 2007
Tebal: 166 halaman

***

NUN jauh tahun 1969 silam, pemuda udik asal Sampang, Madura, menulis di buku hariannya bertitel “Tuhan, Maklumilah Aku.” Pemuda itu, Ahmad Wahib mencoba berkata jujur dan tanpa tedeng aling-aling.

“Tuhan, bisakah aku menerima hukum-hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu? Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan-Mu dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak yang Engkau sendiri telah berikan padaku dengan kemampuan-kemampuan bebasnya sekali?

Tuhan, aku ingin berbicara dengan Engkau dalam suasana bebas. Aku percaya bahwa Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran-pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri” [Pergelokan Pemikiran Islam, 1981].

Pengembaraan atau pencarian seperti dilakukan Wahib itu juga terjadi pada Goenawan Mohamad—sastrawan, wartawan, aktivis politik dan sosial serta filsuf yang menjadi saksi penting sejumlah pergolakan bangsa ini sejak 1960-an hingga sekarang. Jika pencarian Wahib terikat pada Islam, artinya ia ingin membuktikan kebenaran Islam yang pertama kali diperkenalkan ayahnya di Sampang. Maka ranah pencarian GM atau Mas Goen, jauh lebih lebar dan luas. Ia meliuk-liuk dari spektrum pemikiran kiri (ekstrem) hingga kanan (ekstrem). Sebagai jurnalis, ia mencatat segala hal—dan karena itu—memberi tempat kepada yang dicatat dan dipikirkannya itu. Catatan Pinggirnya di TEMPO, membuktikan bahwa GM seorang filsuf yang menggunakan pena (jurnalisme) untuk mempengaruhi cara pandang publik atas sejumlah hal yang dibahasnya.

GM tak menolak kemungkinan atau kebenaran lain di luar yang diyakininya saat ini atau istilah orisinal khas tokoh kelahiran Batang, Jawa Tengah ini, liyan [bahasa Jawa] atau the others. Pada GM, kepastian ataupun kemutlakan adalah sesuatu yang tengah dicari atau bahkan dibentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa sekarang. Jangan kaget, jika ia menyeberang—dan bahkan berenang—dari ekstrem satu ke ekstrem lain. Namun, berbeda dengan sufi yang menceburkan diri ke sungai lantaran terdorong rasa cinta dan mengalami ekstase kehadiran Tuhan. Berenang gaya GM, adalah menceburkan diri tanpa baju, di mana tubuh menyediakan diri untuk mencecap kebenaran.

Dengan cara itu, kenisbian kadang melambari pergolakan pemikiran GM. Abdurrahman Wahid menyebut Ahmad Wahib berpikir nisbi didorong ketundukannya yang penuh pada Yang Mutlak. Akan tetapi cara berpikir nisbi yang digunakan GM tersandera keterpikatannya pada yang lain atau liyan tersebut. Di sinilah, pencarian GM terbungkus pada semacam agnostik—menunda mengambil keputusan apakah menerima atau menolak adanya Tuhan.

Perhatikanlah pengantar GM dalam buku Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Paramadina, 1994). Di situ, GM mengapresiasi Cak Nur tentang jalan menuju Tuhan. Katanya, Tuhan tidak mungkin dicapai oleh dan dengan kondisi nisbi. Tuhan tidak mungkin dicapai dengan bahasa yang terbatas dan waktu yang sambung-menyambung. Tuhan tidak akan dipahami, seperti kita memahami rumus matematika, dalam proses dari suatu titik awal dan sampai tiba di suatu titik akhir.

Lalu, GM terpikat dengan cara Chairil Anwar memahami Tuhan. "Susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh." Menurut GM, “mengingat” mengandung faktor waktu, sedang Tuhan datang dengan “penuh seluruh” melalui sesuatu yang mengatasi waktu: melalui wahyu. Persoalannya, bagaimana Tuhan akan dihadirkan dalam kesadaran manusia?

GM menjawabnya sendiri. Manusia mau tak mau menggunakan pikiran, suatu proses diskursif yang berjalan setapak demi setapak untuk sampai kepada suatu kesimpulan. Dan karena wahyu hanya turun kepada Rasulullah SAW, beliau harus merumuskan dan menggunakan bahasa dan komunikasi. Tak bisa tidak, lanjut GM, wahyu harus masuk ke dalam kurun waktu. Di sini, saya kira, GM seorang rasionalis—ia lebih berada di kubu Ibn Rusyd (pemancang rasionalitas di dunia Muslim dan Barat) ketimbang Al-Ghazali (hujjat al-Islam). Yang terakhir ini, dalam Ihya Alum al-Din (masterpiece Al-Ghazali), tegas-tegas memberi batas pada pikiran: Mengungkapkan misteri (kuasa) Allah adalah kufur.

Buku Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai ini merupakan percikan permenungan GM yang belum tertampung dalam buku-buku terdahulunya. Sebagian adalah pokok atau intisari dari catatan pinggir, selebihnya adalah pikiran-pikiran terserak saat ia berada di New Haven, Connecticut, Amerika Serikat, Jakarta dan pojok-pojok dunia lain. Berisi 99 percikan, sebagian tersambung dalam satu tema yang membentuk benang merah dan sebagian lagi merupakan tema yang berdiri sendiri-sendiri.

Dalam percicikan pertama, GM takjub dengan cara Walisongo membangun masjid. Pada abad ke-16, sembilan wali mendirikan masjid pertama di kota pantai utara Jawa, Demak dari serpihan kayu dan lapisan yang lepas dari papan. “Sebuah masjid yang ditopang oleh yang terbuang, yang remeh dan yang tak bisa disusun rata—bukan sebuah rumah Tuhan yang berdiri karena pokok yang lurus dan kukuh, dengan lembing dan tahta” (hal. 9).

Ada kontras di situ, Masjid Agung Demak dibangun dengan kesederhanaan dan kesahajaan, sedangkan di banyak tempat di masa modern ini rumah ibadah dibangun dengan “lembing” dan “tahta”—simbol senjata dan kekuasaan. Bukankah di London sana, saat ini warga Muslim yang kebetulan anggota Jamaah Tabligh yang dicap garis keras dilarang membangun masjid?

Di Banyuwangi, Jawa Timur, beberapa waktu lalu warga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah hampir bentrok karena warga Muhammadiyah berinisiatif melaksanakan salat Jumat di masjid mereka. Percikan ini seperti menyeru, jika Tuhan tak bisa ditolak dan agama bertambah penting, seyogianya ekspresi keberagamaan tak menggunakan kekerasan—apalagi jika harus dengan membunuh sesama. Dengan nada geram, GM menyebut zaman modern ditandai dengan para algojo yang dengan dalih agama, membunuh beratus-ratus orang sekaligus. GM menyeru agar manusia keluar tindakan brutal semacam itu. Sebab, Tuhan—khususnya bagi para filsuf—adalah Tuhan yang tak menyebabkan pembunuhan terjadi (lihat percikan ke-22, hal. 39-40).

Masih berkaitan dengan masjid, GM menukilkan kenyelenehan Al-Mutawakkil, khalifah yang bertahta tahun 847. Konon khalifah yang digambarkan sejarah Syiah sebagai “tiran berdarah” ini sering menaiki tangga menara masjid yang dibangunnya di Samarra. Mutawakkil merasa dengan menaiki tangga dengan keledai dirinya tengah dalam perjalanan yang khidmat tapi terhormat mendekati Tuhan (hal. 67-68). Lewat percikan ini, tersingkap bahwa kekudusan pada masing-masing individu bisa berbeda, meskipun pada akhirnya berhulu pada Yang Satu.

Di tempat lain, percikan ke-21, GM kembali kepada cara pandang nisbi. Ia yang begitu terpukau pada rasionalitas ternyata juga mengkritik Sultan Akbar yang memandang akal sebagai soko guru agama barunya, Din Illahi, pada abad ke16 di India. Pantas jika Sultan Akbar gagal, sebab menurut GM, iman bukanlah mempercayai apa yang terang tanpa mempercayai apa yang gelap. Tuhan tak datang ke dalam hati kita dengan jaminan bahwa yang akan datang hanya ketenteraman dan semua hal bisa dimengerti (hal. 17). Ini menegaskan GM sebetulnya tak kuasa menolak bahwa Tuhan tak benar-benar dapat dicecap dengan rasio.

Di atas segalanya, GM menolak monopoli tafsir dan makna seperti diklaim oleh Sayyed Qutb, yang menyatakan Alquran menampilkan Islam sebagaimana adanya. Sebab, di antara Alquran dan Qutb hadir bahasa (lihat percikan ke-55, hal. 90-91). Karena bahasa tak mengikuti hukum geometris, bahasa dapat dibelokkan oleh manusia, termasuk para penafsir. Dalam panggung sejarah, bahasa sarat cerita sesat, makna yang berkelok dan ambigu serta rambu-rambu palsu.

Apa yang terjadi pada kaum Wahabi yang menghalalkan kekerasan, saya kira, sebagian besar disumbang monopoli makna tersebut. Penolakannya pada tafsir lain menyebabkan agama diterima sebagai hal yang menakutkan. Juga, tindakan para pemuda Ikhwanul tatkala merusak alat musik, membakar film, merobek kanvas lukisan, menghancurkan patung lantaran keyakinan mereka bahwa keindahan hanya ada pada Tuhan.

Ke-99 percikan dalam buku ini tentu saja tak membahas Tuhan (dan agama) di bawah payung Islam. Tapi juga Kristen, Yahudi, Konghucu hingga Kejawen. Di samping itu dikupas tema semacam demokrasi dalam kotak suara, moralitas dalam sepakbola, filsafat di balik lawakan (Srimulat), hukuman mati, sampai Kali Ciliwung. Seluruhnya menggunakan tatapan mata elang, menghunjam ke akar dan memberi perspektif yang mencerahkan.

Membaca percikan GM, kita tersadar banyak pekerjaan yang harus kita cicil untuk memahami Tuhan dengan syahdu dan sekaligus tetap memuliakan kemanusiaan. Sayang, penerbit Kata Kita tak menyertakan glosari untuk menjelaskan selaksa nama yang disebut GM dalam percikannya. Itu berguna bagi pembaca, khususnya yang tidak familiar dengan nama-nama tersebut. [Edisi Lengkap dari yang dimuat Media Indonesia, 24 November 2007]

No comments: