Monday, July 9, 2007

Editorial Aceh di Media Nasional

Oleh Moh Samsul Arifin


CARA cepat untuk mengetahui isu, wacana atau peristiwa yang sedang disodorkan untuk menjadi perhatian publik adalah dengan menengok editorial (tajuk) media massa. Editorial merupakan suara sebuah penerbitan tentang suatu hal-dan karenanya acap dimaknai sebagai pernyataan sikap media bersangkutan.


Editorial dapat memberitakan peristiwa, tapi juga melencengkan fakta-sebab teks yang menyusunnya mayoritas bertopang pada pendapat (opinion), kendatipun konteksnya selalu mengacu pada sebuah peristiwa dan fakta. Pokok kata, editorial adalah sebuah sikap dan dengan itu, pers bisa jadi "samurai", "tikus pengerat", "anjing peng-gonggong", "pesiul usil" atau "wasit" atas peristiwa dan fakta yang terjadi di sekitarnya dan bahkan di dalam dirinya sendiri.


Di dalam setiap editorial, pembaca dapat menemukan kekhasan posisi masing-masing media di hadapan isu atau peristiwa yang terjadi. Apabila setiap berita, hard news (straigth news), pembaca langsung tahu mana yang pokok dan mana keterangan, maka postur editorial sangat fleksibel, rata dan tak diketahui dengan pasti di mana bagian pokoknya. Seluruh bagian bisa menjadi pokok atau keterangan itu sendiri.


Kekhasan editorial menunjukkan keunikan, karakter dan sikap sang penulis dan juga media yang dia wakili. Oleh karena itu, tak setiap wartawan dipercaya menulis editorial. Hanya sebagian redaktur senior yang diamanahi tugas tersebut. Seberapa eloknya tulisan seorang wartawan muda, hal itu masih tak cukup untuk menuliskan editorial. Bahkan, urusan editorial kadang justru diserahkan kepada orang lain yang bukan wartawan tetapi dianggap memiliki pandangan yang bisa mewakili redaksi. Setidaknya, elit redaksi atau pemiliknya.


Selama sepekan (26 April - 2 Mei 2004), penulis melakukan pantauan terhadap editorial atau tajuk rencana yang menghiasi enam media nasional terkemuka, yakni Majalah Tempo, Kompas, Media Indonesia, Republika, Indo Pos dan Suara Pembaruan. Pantauan ini melacak topik, isu, wacana atau peristiwa apa saja yang menarik perhatian pers kita.


Bagaimana pengemasan teks dan bahasa yang digunakan, dan yang lebih khusus lagi, adakah isu korupsi yang berhembus di Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ikut ditonjolkan lewat editorial atau tajuk rencana media yang disigi?


Dalam pantauan setidaknya ditemukan 41 item editorial. Kompas adalah harian yang paling banyak menulis editorial (12 item alias 29,27 persen). Setiap hari ada 2 item, satu mengupas peristiwa di tanah air, dan satu lagi untuk berita luar negeri.


Media Indonesia menulis 7 editorial (17,07 persen), bahkan di edisi Minggu-sesuatu yang tak dilakukan koran lain. Tiga harian masing-masing Republika, Indo Pos dan Suara Pembaruan menulis 6 editorial (14,63 persen).


Sepekan ini, kerusuhan Ambon banyak menyita perhatian media dalam menulis editorial (Tabel 2). Kecuali Majalah Tempo, lima media lain menurunkan editorial tentang peristiwa komunal itu dengan intensitas 1-2 item. Total ada 9 item (21,95 persen) menyoal kerusuhan Ambon yang dipantikkan aksi pengibaran bendera RMS. Topik lain yang ditulis soal oposisi politik, hubungan sipil-militer dan pernik pemilu presiden (6 item = 14,63 persen). Sementara topik tentang korupsi di Pemprov NAD, hanya 1 item (2,44 persen).


Tabel. Topik Editorial Enam Media Cetak (26 April - 2 Mei 2004)

Topik Editorial

M. Temp

Kom

MI

Rep

IP

SP

Total

Persen

Kerusuhan Ambon

-

2

2

2

1

2

9

21,95

Korupsi Pemprov NAD

-

-

1

-

-

-

1

2,44

Ujian Akhir Nasional

-

1

1

-

1

1

4

9,75

Koalisi Politik Capres

-

1

-

-

1

-

2

4,88

Oposisi, Sipil-Militer

1

1

1

1

1

1

6

14,63

Abu Bakar Baasyir

1

-

1

1

-

-

3

7,31

Bencana Alam

-

1

-

-

1

1

3

7,31

Internasional

-

4

-

1

-

-

5

12,19

Lainnya

2

2

1

1

1

1

8

19,51

Total

4

12

7

6

6

6

41

100

Ket: M. Temp=Majalah Tempo, Kom=Kompas, MI=Media Indonesia, Rep=Republikas, IP=Indo Pos, SP=Suara Pembaruan


Yang menarik, ada keseragaman topik pada setiap editorial yang ditulis. Media setidaknya serentak menulis Ambon dalam editorial mereka disusul wacana opisisi dan hubungan sipil-militer.


Khusus untuk Aceh, wacana darurat militer yang seharusnya selesai pada tanggal 18 Mei 2004 nanti, belum ditulis menjadi tajuk. Isu Aceh pun nyaris tak lagi disikapi. Padahal, ketika liputan Aceh masih segar dan menjanjikan berita heboh tentang, pertempuran, darah, mayat, dan mesin perang, media berlomba-lomba menyorotinya. Kini, setelah Aceh nyaris menjadi "ampas", media tak lagi bersikap. Soal Aceh "tidak bermakna" dibanding hiruk pikuk pencalonan presiden dan wakil presiden. Isu elit.


Dalam sepekan pemantauan, satu-satunya editorial tentang Aceh adalah kasus korupsi di Pemprov NAD yang dirilis oleh Media Indonesia. Koran lain, nihil. Ada beberapa kemungkinan mengapa media tak bergairah memberitakan kasus korupsi yang semestinya menjadi bagian dari "operasi penegakan hukum" di Aceh.


Kemungkinan pertama, media belum menemukan momentum yang tepat untuk menulis tajuk. Sebab, kendati wacananya santer beredar, kasus korupsi di NAD belum menyentuh level tertinggi, yakni pemeriksaan Gubernur Abdullah Puteh.


Kemungkinan kedua, media bersikap hati-hati dengan wacana korupsi di NAD. Pasalnya, kontroversi pengusutan kasus pejabat sipil oleh pihak militer (PDMD) kental aroma rivalitas dalam perebutan power politik di Aceh. Hal ini juga erat kaitannya dengan rencana pemerintah memberlakukan status Darurat Sipil di Aceh.


Ada kekhawatiran bahwa memblow-up isu korupsi sipil, berarti memberikan ruang dan angin bagi militer untuk kembali melakukan bargaining dengan memperpanjang darurat militer sekaligus menjadikan militer mendulang kredit poin. Sebab, pejabat sipil yang korup dan bermasalah, tidak mungkin diserahi wewenang menjadi penguasa darurat. Dengan demikian, maka militer bisa tetap memegang kendali.


Tetapi di sisi lain, tidak memblow-up kasus dugaan korupsi di NAD saat ini juga akan kehilangan momentum. Sudah bertahun-tahun kasus korupsi menjadi persoalan serius. Dan di bawah "gebrakan" militer (terlepas dari kepentingan politik terselubung) adalah momentum yang tepat untuk membersihkan jajaran Pemprov NAD dari praktek-praktek korupsi

Kesamaan beberapa topik editorial bisa berarti; apa yang menarik bagi sebuah media, menarik pula di mata media lain. Pembedanya, hanya teks, cara pengungkapan dan peletakan editorial tersebut. Sejauh yang tampak dalam pantauan, Media Indonesia cenderung menggunakan bahasa yang lugas dalam menyikapi sesuatu. Hal yang pernah menjadi bumerang, ketika si naratornya yang berapi-api membacakan kritik-kirik yang pedas, justru tersangkut kasus VCD casting iklan sabun.

Dari judul-judul editoralnya, seperti “Drama Ba’asyir”, “UN (Ujian Nasional) dan Ruwetnya Pendidikan Kita”, “Bom Waktu Ambon”, “Militer Versus Sipil” atau “Ambon Terancam ke Jalan Lama”, pembaca “terpedaya” untuk membaca editorial tersebut. Apalagi koran milik Surya Darma Paloh ini merupakan satu-satunya harian yang menempatkan editorial di halaman pertama, selain juga menampilkannya di layar kaca.

Republika belakangan menggunakan tajuk beritanya sebagai wahana untuk mengkritik. Koran ini sangat lantang mencitrakan diri sebagai “corong” umat Islam. Bahasa yang digunakan sederhana dan lugas, kadang emosional. Lihatlah judul-judul seperti “Lagi, RMS Memicu Kerusuhan”, “Perlakukan Ba’asyir Sebagaimana Manusia” atau “Keblinger” yang mengomentari penangkapan paksa terhadap pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia dan kerusuhan yang meletus kembali di Ambon itu.

Sebaliknya Kompas, seperti biasanya menjaga kesantunan dalam berbahasa—untuk tak mengatakan menjaga image (istilah gaulnya jaim). Harian ini sangat hati-hati dalam menyatakan pendapatnya atas segala sesuatu, terutama yang berhubungan dengan kekuasaan. Jauh dari kesan reaktif, dan sepertinya menghitung betul segala sesuatu, sampai-sampai terkadang pembaca tak menemukan sikap apapun yang hendak disampaikan. Kalaupun mengkritik, Kompas melakukannya secara tak langsung—disertai konsepsi dan kadang solusi.

Bacalah tajuk “Pejabat itu Belum tentu Pemimpin” (30/4). Di alinea tengah tertulis: “Untuk itulah kita mengenal ungkapan noblesse oblige. Bahwa kehormatan itu menuntut tanggung jawab. Keharuman dan privilese sebagai seorang pejabat harus dibayar dengan kemauan untuk memikul tanggung jawab…”

“Soeharto saja,” demikian Kompas, “berani masuk Kota Sarajevo (saat Bosnia bergejolak) walaupun banyak penembak gelap di sana. Pak Harto memaksa masuk dan bahkan merasa tidak perlu menggunakan jaket antipeluru. Selama enam jam Presiden Soeharto berada di Sarajevo dengan menggunakan kendaraan lapis baja.”

Begitulah cara Kompas mengkritik pejabat kalangan Polkam yang terbang ke Ambon, yang mengadakan pertemuan di Bandara Pattimura dan tak meninjau langsung kondisi warga di area konflik.

Walaupun ada kecenderungan mengupas topik yang sama dalam editorialnya, ada juga satu dua topik yang betul-betul genuine. Pekan lalu, Suara Pembaruan misalnya, tiba-tiba menulis tajuk “Pengamanan Selat Malaka” (29/4)—satu topik yang tidak menjadi mainstream di media lain yang disigi.

Koran sore ini melansir data-data kriminalitas di perairan kita versi Biro Maritim Internasional. Periode Januari-Maret 2003, ada 28 kasus perampokan dan pembajakan di perairan Nusantara. Catatan Organisasi Maritim Internasional (IMO), periode 1998 hingga 2002 kasus perompakan di Indonesia menempati posisi paling atas dari semua kejadian serupa di seluruh dunia. Data tahun 1998, tercatat 177 kasus perompakan di seluruh dunia, dan di Indonesia sendiri tercatat 38 kasus. Tahun 2002 tercatat 404 kasus di seluruh dunia, dan 109 di antaranya terjadi di Indonesia.

Pembaruan mengajak kita agar memperhatikan hal itu, terutama perairan Selat Malaka yang sangat rapat dengan daerah konflik Aceh. Selat ini merupakan jalur internasional, namun demikian tiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura kurang memperhatikannya. Aktivitas perompakan dan pembajakan di perairan itu menyusahkan berbagai pihak. Karena itu, Pembaruan mengingatkan agar tiga negara mengambil prakarsa.

Lantas di manakah tempat Aceh dalam editorial atau tajuk media yang disigi?

Dalam sebuah alinea di bawah tajuk; “Lagi, RMS Memicu Kerusuhan” (26/4), Republika menggunakan Aceh sebagai cara membandingkan bagaimana republik ini menerapkan standar ganda dalam masalah separatisme.

“Kelompok separatis tersebut (RMS) seakan dengan sangat mudah mempermainkan bangsa Indonesia yang besar ini. Mereka tidak hanya dapat mengibarkan bendera dan merayakan ulang tahunnya, tokoh utama mereka Alex Manuputty bahkan dengan mudah lolos ke Amerika Serikat, tanpa ada yang dapat kita lakukan. Lihatlah apa yang terjadi terhadap separatis Aceh Merdeka. Tokoh dan anggotanya terus diburu dan dibunuh”.

Indo Pos juga menggunakan logika yang sama. Salah satu alinea tajuk Indo Pos; “Rusuh Lagi, Ada Apa” (29/4) menulis: “Di Aceh kita keras kepada GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Di Aceh, GAM dinyatakan sebagai musuh. Bahkan, mereka dilawan dengan perang. Mengapa di Ambon, RMS sampai bisa leluasa memperlihatkan diri dengan terang-terangan? Mereka mengibarkan bendera dan bisa menggalang demo dalam jumlah besar”.

Editorial “Dugaan Korupsi di Serambi Mekah” (Media Indonesia, 30/4) ditulis dengan himbauan agar Gubernur NAD, Abdullah Puteh tidak takut diperiksa Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) sekaitan dugaan kasus dugaan korupsi Rp 30 miliar terhadap dirinya.

“Kita mengharap pihak penguasa sipil NAD menerima itu semua dengan gentleman. Kenapa? Karena pemimpin memang harus mempunyai keteladanan moral untuk berani menerima risiko dari apa yang diperbuat. Jika tidak bersalah, kenapa harus takut menghadapi pemeriksaan?”

Di alinea lain, tertulis, “…dalam upaya pemberantasan korupsi, kita mesti satu kata. Terlebih lagi itu terjadi di Aceh, provinsi yang kini sedang menghadapi persoalan serius, yakni penderitaan sebagian penduduk akibat perang…”

Media Indonesia terus merangsek, “Dalam menyikapi dugaan korupsi di Aceh, kita mestinya melihat substansi persoalan dan bukan berdebat ala pokrol bambu. Substansinya adalah upaya untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi agar pemerintahan berjalan efektif dan bisa memenuhi harapan publik di provinsi yang mendapat predikat sebagai Serambi Mekah.”

Sikap koran ini (editorialnya) jelas mengidap “positivisme akut”—melihat yang tampak dan mengemuka sebagai benar-benar realitas tanpa menelisik lebih dalam sebuah peristiwa. Apakah betul PDMD punya wewenang melakukan penyidikan? Apakah itu dibenarkan berdasarkan payung hukum, yakni UU/Perpu No 23/1959? Sebenarnya, apa motif PDMD pindah perseneling, dari mengejar petinggi militer GAM yang tak kunjung tertangkap, kini menguber koruptor di Aceh? Apakah ini ada kaitannya dengan segera usainya masa perpanjangan darurat militer?

Pertanyaan sepenting itu tak dijamah editorial tersebut. Jikalau para pembuat editorial tak tahu jalan cerita isu yang diangkat, mungkin tak jadi masalah. Tapi, bukankah Media Indonesia (2/5) mengupas dugaan kasus ini secara panjang lebar dalam Fokus Minggu?

Bahkan ada wawancara eksklusif dengan Puteh segala. Apakah ini bentuk kehati-hatian penulis editorial atau alasan lain?

Media memang bertingkah aneka ragam. Suatu waktu, mereka sangat kritis dalam menulis editorial, tapi melempem tampilan beritanya. Kali lain, menohok lewat berita, namun loyo dalam menulis editorial. Sesuatu yang hanya bisa diungkap oleh orang-orang dalam media sendiri, tentang (politik?) apa yang sedang terjadi di ruang redaksi. [acehkita.com, 5 Mei 2004]

No comments: