Wednesday, July 4, 2007

Politik Utang Indonesia

Oleh Moh Samsul Arifin

UTANG adalah peranti negara-negara maju untuk mangalirkan kapital, sekaligus menciptakan ketergantungan. Oleh T. Dos Santos, ketergantungan didefinisikan sebagai situasi yang ”mengondisikan” di mana ekonomi sekelompok negara ditentukan oleh pembangunan dan perkembangan kelompok lain.

Diakui atau tidak, arus kapitalisme menempatkan Indonesia sebagai negara pinggiran yang tergantung terhadap negara-negara pusat, baik Jepang, AS, Inggris, Prancis, atau negara komunal semacam Uni Eropa. Lewat hubungan bilateral atau multilateral, mereka mengguyurkan modal ke tanah air dalam bentuk pinjaman atau dana hibah. Pinjaman itu hanya eufimisme dari apa yang disebut utang.

Sebagai negara dunia ketiga, Indonesia terjerembap dalam lingkaran utang tersebut. Setiap tahun negeri kita mesti mengalokasikan sebagian anggaran dalam tahun berjalan (APBN) untuk membayar utang. Tak tanggung-tanggung setiap tahun sedikitnya 20-30 persen dana APBN disedot untuk membayar utang pokok dan cicilan bunganya.

Pada tahun 2006 , pemerintah harus merogoh Rp 91,60 triliun untuk membayar utang luar negeri. Dengan perincian Rp 28,01 triliun untuk pembayaran bunga dan utang pokok sebesar Rp 63,59 triliun. Total utang Indonesia sendiri telah mencapai Rp 1.200 triliun, terdiri utang luar negeri dan utang dalam negeri. Dari jumlah Rp 600 triliun utang luar negeri, separuhnya berasal dari Jepang.

Kewajiban membayar Rp 91,60 triliun yang sudah harus disetor sekitar Desember 2006 itu sama dengan 15,26 persen total utang luar negeri. Atau setara dengan 15 persen total penerimaan APBN 2006. Postur utang yang demikian, praktis membuat pemerintah hanya mampu menganggarkan dana untuk pendidikan sebesar 19,05 persen dari beban utang, sedangkan anggaran untuk kesehatan hanya 6,96 persen dari beban utang.

Sudah saatnya pemerintah memikirkan untuk menurunkan besaran dana guna membayar utang tersebut. Ini penting untuk menyeimbangkan anggaran yang terperosok pada paradigma ”pinjam uang, bayar utang”. Tahun ini, sebetulnya kita sedikit tertolong. Sebab, pembayaran utang dapat dilakukan pada Desember. Namun, mulai 2007, pembayaran utang kembali normal. Pemerintah diwajibkan membayar utang pada Juli dan Desember.

Hemat penulis, usulan pemotongan utang (hair cut) yang dilontarkan Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta layak didukung. Sayangnya, ide itu seperti jalan sendirian. Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan Menko Perekonomian Boediono agaknya tetap memelihara sikap konservatifnya, menolak usulan tersebut.

Keberatan mereka relatif sama, permintaan pemotongan utang itu dapat menurunkan peringkat investasi Indonesia. Lagi pula mereka percaya, pemerintah sanggup membayar utang yang jatuh tempo. Sikap seperti ini sudah terjadi setahun lalu, kala sejumlah negara donor yang tergabung dalam Paris Club menawarkan moratorium utang kepada Indonesia setelah dikoyak bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias. Karena kurang progresif, pemerintah hanya mendapat tenggat membayar utang tiga bulan kemudian.

Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Rama Pratama menyebut usulan hair cut oleh Paskah merupakan wujud konsistensi dari hasil kesimpulan rapat Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan yang sebelumnya dijabat Jusuf Anwar. Dengan begitu, Paskah yang bekas Ketua Komisi XI telah meneruskan kesepakatan tersebut.

Menurut menteri yang sempat diributkan asal kampusnya ini, pengurangan utang sejalan dengan progress Presiden SBY sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2004-2009). Mengacu pada pemikiran ekonomi SBY yang secara konseptual berporos kerakyatan — katakanlah Esbeyenomics — dia ingin mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri. Namun, Esbeyenomics sulit sekali mengejawantah karena ”sekutu” IMF mengitari Kabinet Indonesia Bersatu.

Selain pemotongan utang, regulasi yang mengatur pembatasan pembayaran utang luar negeri seyogianya segera diterbitkan. Kabarnya, sejumlah anggota DPR telah menggagas RUU tentang pembatasan pembayaran utang luar negeri. Undang-undang semacam ini terbukti manjur menolong Ekuador yang juga memiliki ketergantungan terhadap utang luar negeri. Misalnya, UU itu membatasi pembayaran utang luar negeri tak lebih dari 10 persen setiap tahunnya.

UU Pembatasan Pembayaran Utang Luar Negeri ini penting. Pertama, secara aktual akan memberi keseimbangan baru pada anggaran tahun berjalan. Kewajiban utang dibatasi sehingga alokasi APBN dapat diprojeksikan untuk membiayai bidang-bidang yang terkait masalah pendidikan dan kesehatan serta penciptaan lapangan kerja.

Kedua, akan menyegarkan likuiditas anggaran pemerintah di masing-masing departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen. Sebagaimana dimaklum dalam tahun anggaran berjalan, dana yang dialokasikan tidak langsung tersedia setiap waktu (apalagi sepanjang tahun). Dengan mengurangi beban pembayaran utang luar negeri, dana untuk mereka akan lebih mudah disediakan pemerintah.

Ketiga, dalam jangka panjang, adanya UU itu akan mendorong pemerintah untuk merestrukturisasi utangnya, baik luar negeri atau dalam negeri. Pembiayaan pembangunan akan lebih mencerminkan kemandirian nasional, serta mengurangi ketergantungan kepada dunia internasional.

Syukur sekali, saat ini Bappenas telah menyiapkan draf RUU tersebut. Apabila RUU tersebut dapat diselesaikan tahun ini, tahun 2007 pemerintah sudah dapat merestrukturisasi utang-utangnya. Sejauh ini, Paskah berjalan sendirian bersama segelintir anggota dewan dan Bappenas. Pemerintah dan civil society yang tak mau melihat negaranya terjerembap lebih dalam pada kubangan utang, mestinya mencermati dan mendorong terbitnya UU Pembatasan Pembayaran Utang Luar Negeri tersebut. [Pikiran Rakyat, 16 Januari 2006]

No comments: