Wednesday, July 11, 2007

Meretas Damai di Aceh

Oleh Moh Samsul Arifin

BEBERAPA soal dibahas dalam perundingan informal RI-GAM babak kelima di Helsinki, baru-baru ini. Misalnya soal pengaturan keamanan (security arrangement), isu-isu politik, amnesti dan keadilan/hak asasi manusia (human rights). Juga soal pembentukan partai lokal di Aceh, pemilu lokal (baca: pilkada) pada bulan Oktober 2005, soal imigrasi hingga simbol-simbol tradisi Aceh.

Perkembangan menjanjikan tersebut adalah buah dari kesabaran kedua delegasi berunding secara berkala sejak akhir Januari lalu. Jarak antara satu putaran dengan putaran lainnya dibuat pendek, antara 4-6 pekan, sehingga fokus dan agenda perundingan dapat dibicarakan dalam suasana yang fresh, penuh persahabatan dan runtut.

Kemauan kedua belah pihak untuk berunding kembali itu merupakan imbas dari perubahan karakter konflik yang telah bertahta di Aceh hampir tiga dekade. Paling kurang ada dua penjelasan mengapa karakter konflik berubah. Pertama, selepas tsunami menghempas Tanah Rencong, daerah ini telah menjadi daerah terbuka. Masyarakat internasional (LSM-LSM asing) dan pasukan asing berebut "kapling" untuk membantu masyarakat korban tsunami dalam misi kemanusiaan. Kecuali pasukan asing yang telah keluar Aceh, sejak 26 April silam, LSM-LSM internasional tetap bermukim di Serambi Mekah.


Keterbukaan Aceh ini telah "memaksa" kedua pihak untuk kembali ke meja perundingan, karena hirau dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi di provinsi yang kini intim dengan gempa tersebut. (Pascatsunami Aceh, menurut BMG, daerah setempat sedikitnya 5.627 kali gempa mengguncang Aceh). Indonesia memiliki kepentingan untuk menarik kepercayaan (trust) negara internasional agar komitmen bantuan yang dijanjikan benar-benar dapat dicairkan.

Sebaliknya GAM yang memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat korban tsunami, tak mungkin menutup mata dengan bencana yang membikin Aceh rata dengan tanah tersebut. Dan, GAM sendiri makin realistis menurunkan tuntutan mereka dalam perundingan dengan Pemerintah RI. Terakhir dalam perundingan di Helsinki, GAM malah menegaskan tidak menuntut kemerdekaan lepas dari NKRI dan tidak akan melaksanakan referendum, namun tetap menuntut terbentuknya partai lokal di Aceh.

Kedua, secara tidak langsung bergulirnya kembali perundingan damai adalah wujud dari perubahan kepemimpinan di Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla termasuk akomodatif terhadap konflik, meskipun berbeda latar belakang. Apalagi Kalla getol sekali mendorong dan memonitoring perundingan Helsinki.

Sekalipun perundingan Helsinki IV membuka optimisme damai di Aceh, bukan berarti tanpa ganjalan sama sekali. Diperkirakan momok terbesar akan datang dari parlemen (DPR). Juga dari kemungkinan lain yang berlaku di Aceh, yakni terus berkecamuknya kontak tembak antara pasukan TNI dan anggota GAM di beberapa kantong gerilyawan.

Di tubuh DPR, sebetulnya mazhab dan aliran politik anggota dewan sangat beragam: melintang dari garis konservatif hingga reformis. Akan tetapi soal perundingan Helsinki, suara mereka menuju seragam. Komisi I DPR, misalnya, secara saklek tiga atas pertemuan yang sudah mendekati putaran akhir Juli nanti. Pertama, sejauh mana GAM menerima opsi otonomi khusus berdasarkan UU No 18 Tahun 2001. Kedua, kesepakatan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan ketiga, tidak mengubah esensi UUD 1945. (Koran Tempo, 1/6).

Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, parlemen bisa saja membuyarkan skenario Helsinki. Lembaga Ketahanan Nasional, lewat Gubernurnya Ermaya Suradinata tegas-tegas menyarankan agar DPR meninjau kembali perundingan tersebut.

Lemhanas menganggap perundingan itu telah keluar dari substansi dasar yang diperjuangkan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya terkait dengan keinginan GAM untuk membentuk pemerintahan sendiri (self government teritory of Aceh), yang dalam perundingan terakhir di Helsinki telah dikesampingkan. Selain itu, kata Ermaya, perundingan malah memperkuat posisi politik GAM di mata dunia dan Uni Eropa. (Media Indonesia, 21/6). Sebuah internasionalisasi konflik yang ditakutkan banyak kalangan di dalam negeri.

Satu kerikil penyelesaian konflik lainnya terkait soal partai lokal. Sejauh ini, UU No 31 Tahun 2002 tentang partai politik belum mengaturnya. Untuk bisa terdaftar di Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan HAM), sebuah partai mesti mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua lima puluh persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan (Pasal 2 ayat 3 huruf b). Itu artinya parpol yang diakui harus bersifat nasional dan karena memiliki kantor pusat di Jakarta.

Perlu gebrakan politik besar dari Presiden Yudhoyono untuk mengabulkan usulan GAM tersebut. Namun, itu bukan tak mungkin jika Yudhoyono menilik sejarah dan fakta selama pemilu di era reformasi. Secara sosiologis, jika kita mengacu pada hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, karakter parpol yang bersifat "nasional", menurut UU No 31 Tahun 2002, sebetulnya banyak beraroma "kedaerahan". Paling kurang konstituen (suara) mereka terkonsentrasi di daerah tertentu, semacam PAN di Sumatera Barat dan PKB di Jawa Timur. Dalam Pemilu 1955, bahkan kita memiliki partai lokal yang memiliki suara signifikan di daerahnya.

Kendala lain bagi GAM adalah soal penyelenggaraan pemilu (pilkada langsung) itu sendiri. Menurut UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP). Mereka terdiri atas anggota KPU dan anggota masyarakat.

Akan tetapi, UU No 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa penyelenggara pilkada (di provinsi dan kabupaten/kota) adalah KPUD setempat. Dualisme payung hukum penyelenggara pilkada di Aceh ini harus sudah diselesaikan pemerintah, jika memang akan mengabulkan GAM sebagai partai lokal di Aceh [Suara Karya, 4 Agustus 2005]

No comments: