Tuesday, July 3, 2007

SBY Berlayar di Tengah Ombak

Oleh Moh Samsul Arifin

“Saya akan mengawali 100 hari pemerintahan saya dengan tema Konsolidasi, Konsiliasi, dan Aksi (K2A). Konsolidasi artinya, mempertegas program-program yang utama dan mendesak bagi rakyat sebagai landasan untuk program kerja selanjutnya. Konsiliasi, menjalin dan mempererat kembali hubungan dengan pihak-pihak yang--karena perbedaan kubu dan dukungan dalam Pemilu--telah berjarak. Aksi, melaksanakan misi pemerintahan dan program kerja kabinet secara konsisten dan konsekuen. Saya yakin tema ini akan jalan dengan baik”.

(SBY dalam acara open house di kediamannya di Puri Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Senin 27 September 2004)

SERATUS hari sudah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin negeri ini. Sebuah usia yang pendek untuk masa sebuah pemerintahan yang berdasarkan konstitusi (UUD 1945) ditetapkan berumur lima tahun (1.825 hari). Selintas kurang penting untuk mengevaluasi pemerintahan yang jauh lebih muda dari usia tanaman jagung atau padi itu. Pengetahuan publik, khususnya para petani paham betul, untuk memanen tanaman jagung atau padi perlu empat bulan atau sekitar 120 hari.

Simbol padi itu pula yang dipakai oleh Presiden Yudhoyono untuk menepis urgensi evaluasi 100 hari pemerintahannya. Usai panen raya (padi) di Desa Sumber Mulya Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur Palembang, Sumatera Selatan (28/1), Presiden menyatakan, rakyat Indonesia di pelosok-pelosok pedesaan tidak ada yang berbicara soal program 100 hari kinerja Kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpinnya. Rakyat lebih menginginkan pembangunan lima tahun mendatang yang lebih gigih dan lebih bersemangat. "Program 100 hari lebih banyak menjadi wacana politik," jelasnya (Pikiran Rakyat, 29/1).

Dengan simbolisasi tersebut Presiden Yudhoyono seolah ingin berkata, "Untuk memanen padi saja butuh waktu. Apalagi mengukur kinerja pemerintahan. Nanti setelah masa pemerintahan kami usai, silahkan kinerja (hasil panen) yang kami capai dievaluasi".

Dan bukan kebetulan, jika Presiden Yudhoyono menggunakan panen raya di Ogan Komering Ulu Timur untuk menepis wacana evaluasi 100 hari pemerintahannya. Kelihatan sekali SBY ingin meneguhkan citra sebagai presiden populis. Karena itu ia memilih berkumpul dengan petani dan melontarkan pernyataan tersebut di hadapan petani, dan bukan di hadapan para pengusaha atau konglomerat bisnis.

Ini bertolak belakang dengan gaya sang Wapres, Jusuf Kalla. Ketua Umum Partai Golkar itu dengan sangat percaya diri berujar, keberhasilan suatu pemerintah, khususnya dalam memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) bukan diukur dari banyaknya orang yang ditangkap, melainkan dari kecenderungan penanganan masalahnya secara langsung.

"Keberhasilan dalam pemberantasan korupsi tidak dilihat dari banyaknya orang yang ditangkap, tetapi pada trend (kecenderungan) orang yang takut melakukan korupsi. Tanya saja gubernur dan bupati, takut sekarang. Karena begitu ada masalah, dipanggil polisi, ditangkap," jelasnya (Pikiran Rakyat, 29/1).

Sengaja saya kutip ungkapan dua pejabat tertinggi negeri ini, karena dari situlah publik dapat mengetahui mana yang merupakan excuse dan mana pula yang merupakan perwujudan dari apa yang telah dijanjikan SBY-Kalla sewaktu kampanye pilpres tahun lalu. Coba kita selidiki pernyataan Kalla, apakah benar trend korupsi menurun?

Sejauh ini baru kasus korupsi dengan tersangka Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Abdullah Puteh yang telah disidangkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menggunakan kewenangannya yang besar untuk mencokok para koruptor kakap (misal kasus BLBI). Padahal, merekalah yang melempar bangsa ini ke jurang krisis yang dalam. Program kejut (shock therapy) yang didengungkan Presiden Yudhoyono baru sebatas wacana yang belum ditindaklanjuti Kejaksaan Agung secara memadai.

Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir data bahwa sampai tahun 2004 saja ada 153 kasus korupsi, dengan pelaku terbanyak adalah pihak eksekutif daerah (67 persen) dan anggota DPRD (33 persen). Ke-153 kasus itu menyebar dari Sabang sampai Merauke, sejak Kota Banda Aceh hingga Kabupaten Timor Tengah Selatan (NTT).

Jawa Barat, termasuk provinsi pemegang rekor kasus korupsi dengan 26 kasus. Disusul Jawa Timur (21 kasus), Jawa Tengah (15 kasus) dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 15 kasus. ICW memperkirakan kerugian negara mencapai kisaran Rp 20 triliun. Angka itu sudah dapat menutupi defisit anggaran tahun 2005 sebelum bencana gempa dan tsunami mengguncang Aceh dan sebagian Sumatera Utara yang "hanya" Rp 16 triliun.

Pemberantasan korupsi terkait dengan penegakan hukum. Semakin baik proses penegakan hukum, maka korupsi dapat diturunkan pada tingkat yang tidak mencemaskan. Kenyataannya Indonesia ada di peringkat dasar negara-negara terkorup di dunia.

Sampai 100 hari ini saya belum melihat kerjasama yang baik antara Jaksa Agung, Kapolri dan Menteri Hukum dan HAM dalam menegakkan hukum di tanah air. Menkum dan HAM misalnya, lebih tertarik melakukan hal-hal yang bersifat simbolis daripada yang prinsipil. Para koruptor yang menghuni bui (telah memeroleh keputusan hukum) dipindahkan ke Nusakambangan, namun tak ada yang menjamin mereka tidak akan mendapat fasilitas lebih. Sebaliknya Jaksa Agung yang diharapkan banyak pihak belum punya nyali layaknya Baharuddin Lopa.

Bagaimana dengan penegakan HAM? Sekali lagi mesti saya katakan masih nol besar, untuk tak mengatakan baru sebatas wacana. Presiden Yudhoyono belum mengacuhkan korban pelanggaran HAM. Ajakannya untuk mengadakan rekonsiliasi sekadar ikhtiar merangkul elite politik untuk bersatu, alias tidak "memusuhi" (baca: bersikap oposisional) terhadap pemerintahannya. Bahkan pemerintah belum membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diamanatkan UU KKR untuk segera dibentuk. KKR ini dikehendaki dapat menjembatani kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan aktor-aktor negara dan korban (rakyat sipil).

Di bidang politik dan pemerintahan, khususnya penyiapan produk hukum pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada langsung), pemerintahan SBY-Kalla sangat lamban. Peraturan Pemerintah (PP) tentang pilkada yang dijanjikan Depdagri kelar akhir November 2004 sampai saat ini belum terbit. Hal ini jelas mengganggu persiapan pilkada yang direncanakan akan dilaksanakan mulai Juni tahun ini.

Kelambanan itu membuat proses pilkada tidak memiliki kepastian hukum, apalagi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang menjadi payung hukum pilkada sedang di-judicial review oleh sejumlah KPU Provinsi dan LSM. Mahkamah Konstitusi (MK) menjanjikan bakal mengeluarkan keputusan Juni mendatang, sementara pemerintah alih-alih segera menerbitkan PP justru melempar rencana percepatan proses persiapan pilkada menjadi tiga bulan.

Buat saya carut marut soal pilkada ini perlu dibahas untuk mengevaluasi 100 hari pemerintahan SBY-Kalla. Sebab, bagaimanapun SBY-Kalla memikul tanggungjawab besar untuk mendorong demokratisasi di tingkat lokal. Pesta demokrasi di daerah ini merupakan projek besar sepanjang 2005-2009 yang harus diperhatikan serius SBY-Kalla. Masak sih mereka yang dipilih lewat pemilu langsung pertama kali sepanjang republik ini berdiri, tidak dapat membikin projek serupa di tingkat lokal.

Sayangnya, Pemerintahan SBY-Kalla kurang interest mengurus hal ini. Padahal fakta-fakta di lapangan, proses persiapan pilkada tengah menuju SOS (darurat). Sekarang ini sudah mulai meningkat eskalasi konflik akibat beda tafsir terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, sekarang ini cekcok antara DPRD setempat dan Pemprov Kaltim (Depdagri) belum terselesaikan. Terakhir, di Lamongan Jawa Timur, DPRD setempat menolak SK Mendagri yang memperpanjang jabatan bupati yang telah usai. DPRD Lamongan bahkan mengumandangkan agar UU No. 32 Tahun 2004 segera direvisi karena tidak mengatur teknis penunjukkan penjabat kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) yang telah usai masa jabatannya. Apabila proses persiapan pilkada tahun 2005 ini tidak segera direspon pemerintah secara luar biasa, bukan tak mungkin "tsunami kedua" akan menjungkalkan proses demokrasi di tingkat lokal.

Selain itu, Pemerintahan SBY-Kalla belum memberi teladan bagaimana memotong tradisi rangkap jabatan. Presiden Yudhoyono tidak melarang Jusuf Kalla untuk menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Preseden Kalla itu tak menutup kemungkinan bakal ditiru anggota kabinetnya.

Seperti diketahui anggota KIB sekarang ini banyak yang dilirik kalangan parpol untuk memimpin partainya. Akibat turun tangannya Kalla tersebut, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno sampai mewanti-wanti pemerintah agar tidak melakukan intervensi kepada partai tatkala Kongres mendatang.

Selain PDIP, PAN dan PKB juga akan melangsungkan kongres dan muktamar pada April mendatang. Apabila Pemerintahan SBY-Kalla terus melakukan intervensi terhadap partai politik, sangat boleh jadi pemerintah nanti akan tumbuh menjadi kekuasaan yang monolitik, kekuasaan yang tak dapat dikontrol secara mumpuni oleh parlemen (DPR).

Begitu juga di bidang ekonomi, SBY-Kalla tidak on the track sesuai dengan janji-janji mereka selama pemilu. Peran negara semakin dikempiskan dengan kebijakan menurunkan subsidi terhadap bahan bakar minyak (BBM). Pada paruh kedua Desember 2004, pemerintah "lewat Pertamina" sudah menaikkan harga elpiji. Mereka akan segera menaikkan BBM dalam beberapa bulan mendatang. Hanya, rencana ini masih diundur karena pertimbangan bangsa ini lagi berduka akibat bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumut.

Yang lebih mengecewakan lagi, di kala duka seperti ini, pemerintah tidak bertindak agresif untuk meminta moratorium utang kepada Paris Club, sebuah forum yang biasa memberikan pinjaman utang kepada Indonesia. Padahal kalau Indonesia memanfaatkan forum tersebut untuk meminta penundaan utang (reschedulling) ada sekitar Rp 72 triliun yang bisa dipakai untuk menangani bencana Aceh. Kalaupun tidak digunakan untuk membangun Aceh, karena sumbangan masyarakat internasional berupa hibah dan pinjaman amat besar, duit itu bisa dipakai untuk menyubsidi BBM tahun 2005.

Alih-alih bertindak cermat, bencana Aceh "dimanfaatkan" pemerintah mengambil lagi utang dari Consultative Group on Indonesia (CGI) sebesar 3,4 milyar dolar AS. Ini akan membebani APBN kita di masa mendatang.

Tentu saja utang baru itu akan disambut riang-gembira masyarakat jika ia dialokasikan untuk mendorong sektor riil. Dari sektor ini akan lahir lapangan kerja baru, sehingga angka pengangguran yang berjumlah sekira 40 juta-an dapat diturunkan. Namun, ekspektasi itu sulit diwujudkan. Justru dengan utang baru ini, setiap penduduk (bahkan bayi yang baru lahir) harus menanggung utang tersebut. Utang 130 miliar dolar AS dibagi 220 juta-an warga Indonesia.

Hanya di bidang keamanan kita dapat mengacungkan jempol atas kinerja SBY-Kalla. Sejauh ini keamanan nasional sangat stabil. Tidak ada konflik horizontal di tingkat akar rumput. Hanya insiden-insiden kecil berupa penboman terjadi di Poso. Ini adalah warisan konflik di sana yang sudah menahun. Di luar, situasi keamanan membaik. Kecuali di Papua dan Aceh, yang juga merupakan pusat konflik disintegratif. Di daerah-daerah konflik itu pemerintah belum memeroleh formulasi terbaik agar perdamaian segera menyeruak.

Beberapa hal yang diungkap di atas, tak bermaksud menghakimi pemerintahan SBY-Kalla. Itu semua haruslah dibaca sebagai "interupsi" bahwa dasar-dasar yang dibangun oleh sang presiden seyogyanya diperbaiki, ditingkatkan dan diperjelas arahnya. Tugas seorang pemimpin itu adalah memberi arah bagi roda pemerintahannya dan bukanlah memproduksi citra melodramatis.

Kita angkat topi atas simpati besar Presiden Yudhoyono pada setiap acara yang dikunjunginya. Ia mengulurkan tangan kepada khalayak yang mengelu-elukannya. Ia bercengkerama dengan korban bencana di Nabire hingga Aceh. Namun, kadang Presiden Yudhoyono lupa terhadap hal-hal yang prinsip, sehingga ia kerap "dilewati" sang wapres.

Baru seratus hari. Masih banyak waktu bagi Presiden Yudhoyono untuk membuktikan bahwa ia bisa memimpin dan membawa negeri ini ke arah yang lebih baik. Semoga ombak besar bencana di Alor, Nabire hingga Aceh yang sekarang hadir di tengah pemerintahan SBY-Kalla, tak membuat mereka malas untuk melayari tantangan tersebut [Pikiran Rakyat, 31 Januari 2005]

No comments: