Sunday, July 15, 2007

Ekspresi Nasionalisme Simbolik

Oleh Moh Samsul Arifin


APAKAH yang menghubungkan keping-keping peristiwa di Ambon, Jayapura dan Banda Aceh akhir-akhir ini? Pada 29 Juni lalu, 28 orang berpakaian tradisional ala cakalele, lengkap dengan parang, tombak, dan tameng merangsek masuk ke lingkaran dalam pengamanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang tengah menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional di Lapangan Merdeka, Ambon. Mereka hendak mengibarkan bendera Rakyat Maluku Selatan (RMS) di depan Presiden.


Selanjutnya pada 3 Juli, sekelompok penari adat asal Manokwari membentangkan bendera Bintang Kejora pada upacara pembukaan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua di GOR Cendrawasih, Jayapura. Selang empat hari, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendirikan Partai Gam dengan mempertahankan bendera bulan sabit-bintang berwarna putih dengan latar warna merah dan garis hitam sebagai lambang partai tersebut. Atribut bendera bulan sabit-bintang ini lalu ditutup Kepolisian Kota Besar Banda Aceh karena dinilai merupakan simbol perjuangan kemerdekaan.


Secara gampangan, sebagian kalangan menyebut tiga keping peristiwa itu sebagai ekspresi nasionalisme etnik (ethnic nationalism). Yakni sentimen dari anggota-anggota suatu ethnonation yang dimobilisasi untuk memperjuangkan kedaulatan bagi komunitas etnik mereka. Ethnonation merujuk pada komunitas orang yang memaknakan identitas politik mereka dengan mengklaim hak untuk menjalankan kedaulatan.


Nasionalisme etnik mendapat legitimasinya dari budaya, bahasa, suku, ras, agama, pengalaman sejarah, dan/atau mitos nenek moyang yang sama, dan menggunakan berbagai kriteria itu untuk memasukkan atau mengeluarkan orang ke dalam dan dari kelompok nasional (Jack Snyder, 2003).


Nasionalisme ini tumbuh karena kelompok etnik menghadapi ketidakadilan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berupa pengabaian, eksploitasi, dominasi, kolonialisasi internal, represi, diskriminasi atau aneksasi (Nasionalisme Etnik, 2004).


Buat saya, anasir yang menyeruak di media massa kelewat menyederhanakan masalah. Kalangan parlemen berhaluan nasionalis misalnya, menganggap setiap hal yang “menabrak” nasionalisme Indonesia sebagai separatisme atau upaya melawan dan bahkan memberontak terhadap Republik. Di sinilah urgensi meneropong persoalan kasus per kasus (case by case), agar diperoleh kesimpulan dan penyelesaian yang arif.


Dalam kasus penyusupan unsur RMS di acara Harganas yang dihadiri Presiden Yudhoyono, anasir bahwa nasionalisme etnik terlibat dapat dibenarkan. Bendera RMS—kendatipun gerakan yang dipimpin Alexander Hermanus Manuputty itu hanya didukung 50 kepala keluarga di Pulau Haruku—menyimbolkan dan sekaligus mewakili kehendak untuk memisahkan diri dari Republik.


Bagi RMS, nasionalisme etnik adalah modal sekaligus kekuatannya. Ia dipetik dari unsur-unsur primordial setempat yang kemudian menjadi identitas lokal. Lalu, nasionalisme etnik tadi juga dibentuk, dirawat dan didukung faktor internasional.


Dalam wawancara dengan sebuah koran ibukota, Manuputty mengakui bahwa penyusupan itu terencana dan dilakukan guna menunjukkan eksistensi gerakan yang diproklamasikan Chr. Soumokil, 25 April 1950 tersebut. Manuputty terus mengobarkan nasionalisme etnik Maluku Selatan dari Amerika, tempat dia mengisi ideologi perjuangan dan mencari dukungan internasional. Sebagai pengusung nasionalisme etnik Maluku Selatan, Manuputty terus berusaha untuk memperoleh hak self determination, memperoleh kedaulatan, meraih kemerdekaan, dan menjadi bangsa yang berdaulat.


Inilah yang membedakan kasus penyusupan penari cakalele dengan insiden pembentangan bendera Bintang Kejora dan digunakannya bendera bulan sabit-bintang sebagai lambang Partai Gam. Bintang Kejora sejauh ini dipandang masyarakat Papua sebagai ekspresi kultural atau budaya setempat. Karena itu Majelis Rakyat Papua tengah mengusulkan agar Bintang Kejora ini ditabalkan sebagai bendera Papua dalam Rancangan Perda Khusus tentang lambang daerah dan bendera daerah.


Menurut Pasal 2 ayat 2 UU 21/2002 tentang Otonomi Khusus untuk Papua, provinsi ini dibolehkan memiliki bendera daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua. Selain itu, Papua dimungkinkan memiliki lagu daerah. Namun dua hal ini tak menyimbolkan kedaulatan. Ketentuan tentang lambang daerah, bendera dan lagu, ini diatur dengan Perdasus yang saat ini baru diajukan MRP.


Sayangnya, elite politik, petinggi polisi dan TNI sering terjebak dalam intellectual cul de sac (keliru menyimpulkan) saat menyikapi peristiwa-peristiwa di lanskap kebangsaan. Pembentangan Bintang Kejora secara miopik dinilai sebagai bentuk nyata makar terhadap Republik. Atau tindakan separatisme alias upaya memisahkan diri dari Republik. Memang, Bintang Kejora pernah menjadi lambang Organisasi Papua Merdeka ketika gerakan ini pertama kali terbentuk tahun 1964 lalu. Karena menjadi simbol separatisme OPM, sejak 1964 Bintang Kejora dilarang dikibarkan oleh pemerintah pusat.


Tapi, mengidentikkan Bintang Kejora sebagai OPM yang separatis jelas tidak kontekstual dan ahistoris. Faktanya, masyarakat Papua merasa memiliki bendera tersebut dan menempatkannya sebagai sumber pemberi identitas lokal. Presiden Abdurrahman Wahid membolehkan pengibaran Bintang Kejora, karena pertimbangan itu.


Menganggap Bintang Kejora adalah OPM dan simbol separatis sama dengan memberi hak hidup kepada OPM. Klaim atas Bintang Kejora seharusnya dibiarkan hidup di sanubari orang Papua, yang mayoritas tak terkait dengan OPM.


Demikian pula bendera GAM. Betul belaka jika Gerakan Aceh Merdeka pernah mengikhtiarkan kemerdekaan bangsa Aceh dan lepas dari Republik sepanjang 1976 hingga 2005. Tapi, ekspresi separatisme itu sudah dikunci dengan ditekennya Nota Kesepahaman (MoU) RI-GAM di Helsinki, 15 Agustus 2005.


Menurut Nota Kesepahaman ini, GAM diperbolehkan mendirikan partai lokal di Aceh. Dalam butir IV.1 disebutkan, anggota GAM tidak boleh lagi memakai seragam atau atribut militer lain setelah penandatangan MoU. Apakah bendera bulat sabit-bintang itu merupakan atribut militer?


Jelas bukan. Bendera bulat sabit-bintang itu sudah melekat pada GAM sejak 1976. Bagi GAM, ini adalah sumber identitas. Tapi, jelas bukan ekspresi atau ikhtiar untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Aceh. Merujuk ke MoU dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, seluruh anggota GAM saat ini adalah orang Republik dan wajib mempertahankan NKRI. Gerakan bersenjata tak boleh lagi menjadi instrumen perjuangan GAM.


Karena itu, MoU Helsinki mengamanatkan agar GAM berjuang di jalur politik lewat partai lokal. Seluruh anggota GAM dapat bersaing untuk memperebutkan kursi DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota di Aceh (PP 20/2007 tentang Partai Lokal di Aceh). Partai lokal itu pun tak boleh dijadikan GAM sebagai instrumen untuk keluar dari Republik, termasuk memaksakan referendum.


Pasal 81 UU 11/2006 menyatakan partai lokal berkewajiban: mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lain serta mempertahankan keutuhan NKRI. Jadi, kendatipun GAM bersikukuh menggunakan bendera bulan sabit-bintang, sebenarnya tak bermasalah.


Yang harus dicela, jika Partai Gam yang diketuai Malik Mahmud mengusung kembali ide kemerdekaan dan meluluhlantakkan bangunan perdamaian yang dijahit sejak ditandatanganinya MoU di Helsinki. Namun, kurang elok jika bangsa ini bereaksi secara emosional dengan simbol-simbol yang dipertahankan GAM. Bukankah GAM di sana sekadar nama yang sudah diputus dari sejarahnya sebagai Gerakan Aceh Merdeka? Seyogyanya, bangsa Indonesia segera melepaskan diri dari nasionalisme yang hanya bersijingkat dengan simbol-simbol. (www.acehkita.com, 13 Juli 2007)

No comments: