Monday, July 30, 2007

Golput Jakarta, Menggerogoti Siapa?

Oleh Moh Samsul Arifin

PASANGAN Fauzi Bowo-Prijanto diunggulkan memenangkan Pilkada DKI Jakarta yang akan dihelat pada 8 Agustus mendatang. Sejumlah hal yang menguntungkan Fauzi Bowo-Prijanto adalah dukungan Koalisi Jakarta (ada yang menyebut Koalisi Matahari) yang terdiri atas 18 partai politik, berposisi sebagai incumbent (saat ini masih wakil gubernur DKI Jakarta), representasi putra daerah (beretnik Betawi dan lahir di Jakarta) hingga memiliki popularitas tinggi.

Apabila faktor advantage ini dapat dikelola secara baik oleh Fauzi-Prijanto, tim sukses dan parpol pendukungnya, bukan tak mungkin peraih doktor dari Jerman tersebut menjadi warga sipil kedua yang memimpin ibukota. Lebih dari itu, Foke berpeluang mengubur mitos, bahwa Provinsi DKI Jakarta selalu dipimpin oleh tokoh non-Betawi. Sebagaimana dimaklum, kecuali Henk Ngantung, putra Kawanua kelahiran Manado, antara 1945-2002, Jakarta dipimpin tokoh kelahiran Jawa dan Sunda.

Dalam survei teranyar Lembaga Survei Indonesia, popularitas Fauzi-Prijanto masih diatas Adang Daradjatun-Dani Anwar. Pasangan Adang-Dani yang diusung sendirian oleh Partai Keadilan Sejahtera tertinggal sekitar 32 persen dibawah Fauzi-Prijanto. Hasil survei LSI secara head to head pada April lalu juga menguatkan popularitas Fauzi. Saat itu Foke menempati urutan per­ta­ma sebagai cagub yang akan dipilih warga Jakarta di Pilkada DKI dengan persentase 34 persen. Sedangkan Adang Daradjatun berada di posisi ketiga dengan dukungan (19 persen).

Kendatipun masih unggul, demikian LSI, suara Fauzi-Prijanto bisa digerogoti oleh kecenderungan warga (calon pemilih) untuk tak menggunakan hak pilih alias golongan putih. Potensi Golput diprediksi sekitar 65 persen, jauh diatas kecenderungan Golput di sejumlah daerah yang telah melaksanakan pilkada sepanjang Juni 2005-Desember 2006 yang berkisar 30-35 persen.

Ini ancaman yang bisa merugikan Fauzi-Prijanto. Menurut saya, Golput adalah "pemilih skeptis" yang frustasi. Firmanzah dalam "Marketing Politik" (2007) mendefinisikan pemilih skeptis adalah pemilih yang tak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tak menjadikan kebijakan (orientasi terhadap program kandidat atau policy problem solving).

Pemilih skeptis cenderung kurang terlibat dalam sebuah parpol. Mereka juga kurang memedulikan platform dan kebijakan sebuah parpol atau kontestan pemilu. Andai ikut berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasa mereka melakukan hal itu secara acak atau random. Nah, mereka yang Golput, tak lain adalah pemilih skeptis yang frustasi dan menemukan penyelesaian atas frustasinya itu dengan tak menggunakan hak pilih di kala pemungutan suara.

Berdasarkan orientasi terhadap kebijakan dan ideologi itu, pemilih terbagi lagi dalam tiga kelompok lain. Yakni pemilih tradisional, pemilih rasional dan pemilih kritis. Pemilih tradisional umumnya berorientasi pada ideologi. Mereka dapat dimobilisasi, baik saat kampanye maupun pemungutan suara. Urusan rekam jejak atau track record parpol atau kontestan pilkada tak terlalu penting bagi pemilih jenis ini. Demikian pula, tawaran program dari kontestan pilkada.

Pemilih rasional adalah tipe pemilih yang peduli dan memperhatikan rekam jejak dan program yang ditawarkan parpol atau kontestan pilkada. Tapi, ideologi bukan terlalu penting bagi pemilih ini. Siapa pun yang memiliki program yang kira-kira mampu menyelesaikan permasalahan aktual masyarakat, termasuk dirinya, punya peluang mendapatkan suara dari pemilih rasional. Mereka termasuk jenis pemilih yang dinamis, pragmatis, dan dapat menyeberang dari satu parpol ke parpol lain.

Sedangkan pemilih kritis, care pada urusan ideologi dan policy problem solving yang ditawarkan parpol atau kandidat pilkada. Mereka akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai parpol atau kandidat (ideologi) dengan kebijakan yang dibuat (Marketing Politik: 135). Semakin tinggi pendidikan warga masyarakat, pemilih jenis ini kian banyak. Demikian pula jika warga masyarakat kian melek politik, pemilih kritis akan semakin bertumbuh. Tipe pemilih ini sangat dibutuhkan dalam sistem demokrasi yang mensyaratkan keadaban budaya para pelakonnya.

Apakah faktor Golput akan menekan Fauzi-Prijanto? Saya kira jawabannya ya. Pertama, suara Fauzi-Prijanto saat ini terserak ke dalam sel-sel kecil, yakni parpol pendukung pasangan ini yang berjumlah 18. Juga pada sekian komunitas etnik dan ormas. Sangat positif, jika potensi pemilih itu dapat dikonsolidasi dan dikonversi menjadi suara aktual dalam pemungutan suara. Pada Pemilu 2004 lalu, 18 partai yang mendukung Fauzi-Prijanto menangguk 70-an persen suara.

Kedua, calon pemilih Fauzi-Prijanto sangat cair. Mereka ada yang sangat berorientasi ideologis (pemilih tradisional), berorientasi kebijakan (pemilih rasional), atau berorientasi keduanya (pemilih kritis). Biasanya, parpol hanya dapat memobilisasi pemilih ideologis. Selebihnya, tiga jenis pemilih lain sulit sekali dijangkau mesin politik semacam parpol. Pengalaman Pilpres 2004, suara parpol dalam pemilu legislatif tak bisa langsung dikonversi menjadi suara untuk kandidat presiden/wakil presiden. Hal sama terjadi di 296 daerah yang telah menyelenggarakan pilkada sepanjang Juni 2005-Desember 2006.

Ketiga, massa tradisional 18 parpol yang mendukung Fauzi-Prijanto belum tentu senafas dengan parpol induknya (DPP, DPW atau DPD). Massa tradisional 18 parpol itu, saya kira, jauh lebih sulit dikonsolidasikan ketimbang massa tradisional Partai Keadilan Sejahtera. Massa tradisional 18 parpol itu berpeluang membuat semacam "perlawanan" terhadap parpolnya atau bahkan menyeberang ke kubu lain.

Sebaliknya massa tradisional PKS yang mendukung Adang-Dani teruji sebagai massa yang solid. Memang di kalangan massa PKS, ada empat tipe pemilih sekaligus: tradisional, rasional, kritis dan skeptis. Namun, yang membedakan massa PKS dengan massa Partai Golkar, PDIP atau Partai Demokrat adalah massa PKS mentransendensi proses politik sekuler semacam pilkada ini sebagai unit yang tidak terpisah dari kegiatan
berdakwah.

Kelahiran PKS (dulu Partai Keadilan) mewakili genre politik baru di kalangan Muslim. Partai ini terputus dengan masa lalu parpol atau ormas semacam Masyumi, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama (lihat Fenomena Partai Keadilan, 2002). PKS merupakan kepanjangan tangan dari aktivis gerakan dakwah di kampus-kampus (tarbiyah) dan lalu meluas ke warga masyarakat di sekitarnya.

Dalam lingkup politik lokal Jakarta, Pilkada 2007 ini merupakan taruhan bagi PKS untuk menggapai impian memimpin ibukota. Di Depok, kader PKS yakni Nurmahmudi Ismail menjabat Walikota dengan mengalahkan pasangan calon yang diusung koalisi parpol. Demikian juga di Sukabumi dan Cianjur, Jawa Barat.

Dengan posisi sebagai pemenang pemilu legislatif 2004 di Jakarta (menguasai sekitar 20,15 persen suara), PKS pasti akan total. Sepanjang Juni 2005-Desember 2006, dari total 6 wilayah dimana PKS meraih suara terbesar dalam pemilu legislatif 2004, baru di dua daerah (33,3 persen), mereka berhasil memenangkan pasangan calon yang diusung partai tersebut. Selebihnya gagal.

Dari perhelatan pilkada di 296 daerah (provinsi, kabupaten dan kota), sebanyak 43,1 persen pasangan calon yang diusung parpol pemenang pemilu legislatif 2004 melenggang sebagai pemenang. Sisanya, 65,9 persen pasangan calon yang diusung parpol pemenang pemilu legislatif 2004 terpental.

Adang-Dani pasti berhitung dengan warga yang berpotensi Golput itu. Dengan asumsi massa PKS dapat "dipegang", masa kampanye selama dua pekan ini akan menjadi masa yang sulit bagi Adang-Dani. Pasangan tersebut perlu meningkatkan popularitas di hadapan warga Jakarta agar mampu meraih 50 persen suara plus satu yang disyaratkan dalam UU Pemerintahan DKI Jakarta yang disahkan DPR pada 17 Juli lalu.

Di atas segalanya, kedua kandidat harus bekerja keras menerapkan prinsip-prinsip marketing agar menyedot perhatian warga Jakarta. Tepat di sini, perang image (citra) akan berseliweran di ruang-ruang publik seantero Jakarta. Adang-Dani yang mengumandangkan "Ayo Benahi Jakarta" akan dilawan dengan "Jakarta untuk Semua" yang digalang pendukung Fauzi-Prijanto. [30 Juli 2007]

No comments: