Tuesday, July 24, 2007

Implikasi Dibukanya Calon Independen

Oleh Moh Samsul Arifin

HARAPAN
agar calon perseorangan atau calon independen berpartisipasi dalam pilkada secara langsung dibuka oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang 23 Juli 2007, MK memutuskan bahwa Pasal 56 ayat 2 dan Pasal 59 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 yang termaktub dalam UU 32/2004 bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 56 ayat 2 yang berbunyi, “Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”; Pasal 59 ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”; Pasal 59 ayat (2) sepanjang mengenai frasa ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”; Pasal 59 ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa ”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud” tak lagi mempunyai kekuatan hukum tetap (www.mahkamahkonstitusi.go.id, 23/7).

MK juga menjawab keberatan pemohon, Lalu Ranggalawe yang menuntut agar calon independen dibolehkan seperti dalam pilkada Aceh. Seperti diketahui Pasal 67 ayat (1) huruf d UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh membolehkan calon perseorangan di luar partai politik berpartisipasi dalam pilkada.

Untuk menghindari dualisme pelaksanaan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945—rujukan penyelenggaraan pilkada—menurut MK, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dari nonparpol atau perseorangan harus dibuka. Apabila dualisme itu dibiarkan, MK berpendapat hal itu dapat mengakibatkan terlanggarnya hak warga negara yang dijamin oleh pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Ayat 3 ini memaklumkan prinsip kesetaraan , yakni kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Putusan MK ini merupakan oase di tengah dominasi partai yang nyaris mutlak dalam politik pilkada sepanjang Juni 2005-Desember 2006. Bayangkan, dalam pilkada di 296 daerah (provinsi, kabupaten dan kota) itu siapa pun yang berminat turun ke pesta politik lokal (pilkada) harus lewat pintu parpol. Alih-alih menjadi kawah candradimuka bagi lahirnya pemimpin berkualitas, parpol telah bermimikri menjadi broker. Dukungan untuk pencalonan di pilkada kemudian “diperdagangkan” oleh parpol.

Tak pelak, politik lokal menjadi milik mereka yang memiliki kocek tebal saja. Siapa yang tak memiliki modal kapital cukup, kendatipun punya modal kepemimpinan, dipastikan tak didukung parpol. Syarat pencalonan via parpol atau gabungan parpol (Pasal 56 ayat 2 UU 32/2004) telah memberangus demokrasi yang menjadi raison d’etre demokrasi langsung.

Bagi pemohon, Lalu Ranggalawe (anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah), keputusan itu sungguh melegakan. Pasalnya, penyelenggaraan pilkada yang bakal diikutinya masih setahun lagi. Artinya, jika pemerintah segera merevisi pasal-pasal di atas, maka Ranggalawe berpeluang tampil sebagai calon independen. Mulai saat ini pemerintah harus menyiapkan revisi dua pasal yang dinilai MK bertentangan dengan konstitusi tersebut.

Misalnya, persyaratan bagi calon perseorangan atau independen. Berkaca pilkada Aceh (Pasal 68 ayat 1 UU 11/2006), calon perseorangan bisa ikut pilkada jika didukung sekurang-kurangnya tiga persen dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur/wagub. Sedangkan untuk pemilih bupati/wabup dan walikota/wawali harus didukung tiga persen penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50 persen jumlah kecamatan. Apabila pemerintah pusat dan DPR memiliki political will, persyaratan seperti ini dapat segera diselipkan dalam UU 32/2004. Namun, apakah keputusan MK ini berlaku untuk pilkada DKI Jakarta yang saat ini telah masuk tahap kampanye?

Seperti ditegaskan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, keputusan MK berlaku sejak Ketua Majelis Hakim mengetuk palu. Ini dapat diartikan, keputusan itu tak berlaku surut atau ditarik ke belakang. Seluruh pilkada yang diselenggarakan sejak Juni 2005 ini sah menurut hukum positif (UU 32/2004). Nah, soalnya apakah Pilkada DKI Jakarta telah berakhir?

Apabila mengikuti tahapan pilkada yang ditetapkan KPU DKI Jakarta, perhelatan pilkada Jakarta dapat dikatakan belum rampung alias tengah berlangsung. Perhelatan pilkada telah rampung, jika pasangan calon yang terpilih sudah dilantik. Dengan logika ini, seyogyanya pilkada Jakarta yang tengah masuk tahapan kampanye ditunda untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah guna merevisi dua pasal dalam UU 32/2004 tadi.

Ada moral politik yang harusnya dijadikan KPU DKI Jakarta acuan untuk mengambil sikap. Saat ini, KPU DKI Jakarta sudah tahu bahwa calon independen dibolehkan. Mengapa mereka tak menunda terlebih dulu proses pilkada agar calon independen dapat berpartisipasi?

KPU DKI Jakarta diharapkan tidak terjerumus pada pemahaman hukum yang linier. Justru, yang harus dimenangkan adalah keinginan warga Jakarta memperoleh calon gubernur/wagub berkualitas. Ini tak bisa tidak hanya dapat dilakukan jika tahapan pilkada dimulai kembali dengan memberi waktu kepada calon independen berpartisipasi.

Hemat saya, KPU DKI Jakarta memiliki momentum untuk memutus kecenderungan oligarki parpol dalam proses pilkada sebagai akibat keputusan MK tersebut. Bagaimanapun, mengumpulnya dukungan 20 parpol terhadap Fauzi Bowo-Prijanto, merupakan fenomena tak biasa yang mempertegas bahwa parpol-parpol di Jakarta mengidap syndrome “rendah diri”. Memiliki sumberdaya politik cuku, tapi tak menggunakannya.

Lihatlah peta sebaran suara dan kursi pada Pemilu 2004 untuk DPRD DKI Jakarta. Ada dua parpol yang bisa mendaftarkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, karena sanggup memenuhi kuota 15 persen yang diatur Pasal 59 ayat 2 UU 32/2004. Partai Keadilan Sejahtera (23,34 persen suara) dan Partai Demokrat (20,15 persen suara) tak perlu berkoalisi untuk mendaftarkan pasangan calon. Sayang, Partai Demokrat tak menggunakan hak konstitusi tadi.

Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (13,47 persen suara), hanya perlu menggamit Partai Damai Sejahtera (5,74 persen suara) untuk mengusung pasangan calon. 20 Parpol di luar PKS, Demokrat, PDIP dan PDS masih bisa mendaftarkan setidaknya dua pasangan calon, total suara yang tersisa ada 37,3 persen.

Namun, parpol-parpol Jakarta tak melakukan hal tersebut. Alih-alih menggunakan sumberdaya politik mereka, sekaligus membuat peta persaingan menjadi multipolar. Parpol-parpol di Jakarta terseret pada pengkutuban politik yang terbatas (bipolar). Dampaknya, warga Jakarta “dipaksa” kekurangan preferensi politik untuk memilih dalam Pilkada 2007. Padahal Lembaga Survei Indonesia mengonfirmasikan, warga Jakarta mengharapkan hadirnya calon independen dalam Pilkada DKI Jakarta tahun. Dalam survei yang berlangsung 23-29 Mei 2007 itu, 64 persen warga Jakarta tak memercayai kapasitas pasangan calon dari parpol. [Juli 2007]

No comments: