Thursday, July 19, 2007

Meroketnya Perbankan Syariah

Oleh Moh Samsul Arifin

SUNGGUH
fantastis menilik perkembangan ekonomi syariah dewasa ini. Apabila satu dasawarsa silam, baru sektor perbankan diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia tahun 1992 yang dimasuki ekonomi berbasis syariah, kini ekonomi syariah telah memperluas cakupan kerjanya ke sektor-sektor lain seperti asuransi, obligasi, reksadana, pegadaian, hotel hingga pasar modal. Produk syariah yang disebut terakhir ini adalah produk paling anyar dan baru diluncurkan Maret lalu.

Di antara produk ekonomi syariah, perbankan syariah bisa dibilang tumbuh paling mengesankan. Setidaknya ditinjau dari dua paramater berikut ini. Pertama, pertumbuhan bank yang menerapkan prinsip syariah. Dewasa ini, bank-bank konvensional turut membuka cabang syariah, seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank IFI, BII, dll. Apabila tahun 1999, baru ada 21 kantor cabang/kantor cabang syariah (KC/KCS), per November 2002 berdiri sekira 71 KC/KCS. Saat ini, sudah hadir sekira 144 KC/KCS. Sementara pada periode yang sama, BPR syariah membubung, dari 78 menjadi 85.

Kedua, dari sisi kinerja dalam dua tahun terakhir total aset, dana pihak ketiga (DKP) serta total kredit terus meroket. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, per November 2002, total aset perbankan syariah mencapai Rp 4,13 triliun, naik sekira 268,75 persen dibandingkan total aset tahun 1999 (Rp 1,12 triliun). DKP yang berhasil dikumpulkan sudah bertengger di angka Rp 2,96 trilun, meningkat 529,78 persen dibandingkan tahun 1999 (Rp 0,47 triliun). Sementara total kredit yang berhasil dikucurkan meningkat sampai 594 persen menjadi Rp 3,47 triliun dibandingkan data tahun 1999 yang hanya Rp 0,5 triliun.

Kalau tiga indikator itu dibandingkan dengan kinerja perbankan di tanah air, shareestablish dan menjadi hegemon di dunia perbankan. (sumbangsih) perbankan syariah terhadap perbankan nasional sekira 0,36-0,86 persen. Seperti dikemukakan BI per November 2002, total aset, DKP, serta total kredit seluruh bank di negeri kita masing-masing Rp 1.095,8 triliun, Rp 815,4 triliun, dan Rp 402,2 triliun. Sumbangan di bawah satu persen itu, bagaimana pun mesti dicatat sebagai keberhasilan karena bank syariah baru merintis usaha sebelas tahun silam, sedangkan bank konvensional telah

Data yang dipaparkan di atas adalah data kumulatif, bagaimana dengan kinerja bank syariah secara individual. Ambil contoh Bank Syariah Mandiri (BSM). Bank yang mayoritas sahamnya dikuasai Bank Mandiri ini dapat meningkatkan perolehan laba setelah menerapkan ekonomi syariah. Pada tahun 2001, laba bank umum syariah kedua ini mencapai Rp 16,7 miliar. Setahun kemudian mereka dapat menangguk laba sekira Rp 29,4 miliar. Meroket mendekati dua kali lipat.

Sementara Bank IFI, bank konvensional pertama yang membuka unit syariah pada 28 Juni 1999 hingga akhir 2002, mampu mendulang laba sekira Rp 3 miliar. Perolehan laba itu berarti sepertiga dari total laba yang berhasil diperoleh Bank IFI tahun 2002, sekira Rp 9 miliar. Kinerja unit syariah itu, mengilhami Bank IFI untuk secara bertahap berubah jadi bank umum syariah. Bank Internasional Indonesia (BII) pada Mei lalu juga telah membuka unit syariah. Dengan investasi sekira Rp 50 miliar, bank ini menargetkan bisa menghimpun aset lebih dari Rp 120 miliar dalam tempo satu tahun.

Di balik kisah sukses di atas, sesungguhnya ada beberapa persoalan yang perlu digarap untuk memuluskan jalan perbankan syariah bisa establish di negeri mayoritas Muslim ini. Pertama, pertumbuhan bank syariah di atas belum merata. Bank syariah baru dinikmati sebagian kecil masyarakat kita, khususnya mereka yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, dll. Sudahkah kita bertanya, ekonomi syariah dikenal oleh umat di Pulau Roti (Nusa Tenggara) atau di Sabang (Aceh) sana?

Kedua, masyarakat Muslim Indonesia masih belum sepenuh hati menerima bank syariah. Sebuah survei oleh Bank Indonesia pada tahun 2000-2001 di enam provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Jambi menunjukkan hal itu. Dari total 5.585 responden disimpulkan, hanya 11 persen yang memahami dan memanfaatkan produk syariah. Padahal, yang mengatakan bunga bank bertentangan dengan agama ini yang menjadi pembeda bank syariah dengan bank konvensional ada 42 persen. Berarti sekira 31 persen responden masih ragu-ragu untuk menetapkan pilihan pada bank syariah.

Ketiga, ada kesenjangan antara kebutuhan dan pengetahuan masyarakat terhadap jenis-jenis produk syariah. Akibatnya, permintaan masyarakat rendah. Bank pun kesulitan memasarkan produk syariahnya. Boleh jadi ini merupakan dampak dari sosialisasi yang kurang berhasil atau tidak efektifnya cara mengomunikasikan produk syariah terhadap masyarakat. Istilah-istilah teknis seperti al-ijarah (sewa beli), al-qardh (pinjaman kredit), al-sharf (jual beli mata uang), murabahah (jual beli), musyarakah (pembiayaan), dll. yang terlampau Arab agaknya mengganggu sosialisasi produk syariah.

Diutarakan oleh Rudjito (Direktur Utama BRI), salah satu bank konvensional yang membuka unit syariah, sejauh ini ada kelompok masyarakat yang menyambut antusias bank syariah. Namun, ada beberapa kelompok yang belum menyambut bank syariah karena terkendala oleh beragamnya pemahaman (faktor sosialisasi) mengenai perbankan syariah yang sampai pada mereka.

Keempat, sejauh ini bank sentral (BI) baru setengah-setengah dalam mendukung perkembangan perbankan syariah. Selain itu, Undang-Undang BI Nomor 10/1998 yang mengatur perbankan syariah dianggap tak lagi memadai. Saat ini, sudah mendesak sebuah undang-undang khusus mengatur perbankan syariah. Tuntutan serupa terjadi di sektor syariah lainnya, seperti asuransi dan pasar modal.

Peneliti senior di Biro Perbankan Syariah BI, Mulya Effendi Siregar, mengatakan hingga kini perangkat pengaturan perbankan syariah belum sempurna. Misalnya, belum ada aturan tingkat kesehatan bank syariah, yang di bank umum (konvensional) diukur dengan rasio kecukupan modal (CAR). Demikian pula kerangka laporan bulanan yang baku, sistem penilaian keuangan dan manajemen bank berbasis syariah, juga nihil.

Kendala di atas dapat diantisipasi jika pegiat dan pelaku perbankan syariah mampu bergandengan tangan dengan BI untuk membuat regulasi yang pas untuk mengatur perbankan syariah. Di internal pegiat dan pelaku perbankan syariah dan lebih luas lagi produk ekonomi syariah lainnya memperbaiki cara-cara sosialisasinya terhadap masyarakat.

Pertumbuhan bank syariah yang belum merata dapat diimbangi dengan memperluas jaringan serta membuka windows syariah. Menurut A. Riawan Amin (2003), karena karakter nasabah bank-bank syariah terpencar, maka tidak perlu lagi dilakukan pendekatan centralized yang menghabiskan modal. Sebaliknya, ke depan diperlukan ratusan titik untuk merengkuh nasabah. Itu tak perlu dilakukan dengan membuka cabang, tapi cukup gerai (windows system). Sebagai percontohan, Bank Muamalat Indonesia (BMI) akan membuka 20 titik pada tahun 2003 ini berupa gerai-gerai berisi 3-4 orang.

Persoalannya, windows syariah ini tengah disorot oleh BI. Karena membuka windows (counter syariah) di setiap cabangnya, BNI mendapat teguran dari bank sentral. BI memerintahkan agar BNI menutup counter-counter syariah. Alasannya, apa yang dilakukan BNI tidak ada peraturannya. Sekali lagi ketiadaan regulasi membuat perbankan syariah terhambat. Semestinya, sesuatu yang belum ada peraturannya ditoleransi lebih dahulu. Toh, tak ada yang mudarat dengan dibukanya counter-counter tersebut.

Untuk menjangkau masyarakat, terutama non-Muslim, ada baiknya jika idiom-idiom Arab yang menghiasi istilah-istilah teknis perbankan syariah dikurangi. Kalau mungkin, istilah teknis itu lebih dibumikan menurut lidah Indonesia. Sepertinya tak perlu formalisasi dengan menggunakan idiom-idiom Arab. Yang lebih penting substansi produk syariah itu dapat dikomunikasikan pada masyarakat dan tidak bergeser dari prinsip-prinsip yang diinginkan oleh syariah. [Pikiran Rakyat, 16 Juni 2003]

No comments: