Monday, July 23, 2007

Mesin Pendulang Suara Pilkada Jakarta

Oleh Moh Samsul Arifin

PILKADA Jakarta 2007 bakal menguji sejumlah hal. Pertama, seberapa kuat faktor etnis (baca: Betawi) berpengaruh positif dalam mendulang suara. Kedua, akankah duet sipil-militer lebih manjur ketimbang pasangan polisi-sipil. Ketiga, bagaimana keterlibatan isu sektarianisme dan pluralisme dalam mendukung citra pasangan calon di mata pemilih.

Keempat, apakah calon incumbent sanggup memenangkan Pilkada Jakarta atau justru sebaliknya calon yang diusung pemenang Pemilu Legislatif 2004 yang memimpin ibukota. Kelima, apakah model “mega” koalisi politik seperti digalang Partai Golkar, PDIP dan Partai Demokrat bisa efektif mengarahkan pilihan warga Jakarta. Dan keenam, betulkah potensi Golput (golongan putih) di Jakarta jauh melampaui tren Golput pada Pilkada yang telah berlangsung di 296 daerah (provinsi, kota dan kabupaten) sepanjang Juni 2005-Desember 2006?

Jakarta adalah barometer politik nasional. Ini juga yang membebani penyelenggaraan Pilkada, 8 Agustus mendatang. Menurut survei teranyar LSI (Lembaga Survei Indonesia), Pilkada nanti dihantui oleh fenomena Golput. Potensi warga yang tak menggunakan hak pilih ditaksir mencapai 65 persen. Ini jauh diatas fakta empiris di 296 daerah yang telah menyelenggarakan pilkada, di mana angka Golput sekitar 30-an persen.

Kecenderungan ini berkaitan dengan faktor etnisitas. LSI menyebut, potensi Golput dari warga Jakarta yang beretnik Jawa sebesar 51 persen, Sunda (54 persen), Betawi (47 persen) dan Tionghoa (85 persen). Data ini mengonfirmasikan bahwa “orang pribumi”, Betawi, jauh lebih care terhadap pesta politik elektoral pertama secara langsung di Jakarta ketimbang “warga pendatang”, setidaknya tiga etnik yang dijadikan sampel LSI.

Berkaca pada sensus penduduk 2000, penduduk beretnik Betawi yang menghuni Jakarta “hanya” ada 2.301.587 jiwa. Selebihnya, 2.339.083 jiwa tinggal di sekitar Jakarta, yakni di Tangerang, Depok dan Bekasi. Pada 2000 itu, jumlah penduduk Jakarta sekitar 8.389.443 jiwa. Artinya, penduduk beretnik Betawi di ibukota sekitar 27,43 persen dari total penduduk ibukota. Selebihnya, 72,57 persen beretnik non-Betawi.

Dengan mengandaikan tren ini tak berubah banyak, penduduk beretnik Betawi yang terdaftar di KPU DKI Jakarta sedikitnya 1,57 juta pemilih dari total 5.725.767 pemilih yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Cukup besar dan menentukan siapa yang bakal memimpin Jakarta periode 2007-2012. Persoalannya, siapa yang diuntungkan oleh faktor Betawi ini?

Fauzi Bowo yang lahir di Jakarta dapat memanfaatkan faktor yang bersifat given tersebut. Sebab, etnisitas berkaitan dengan proses mengidentifikasi diri dan asal-usul sosial. Foke—demikian panggilan Fauzi—kini nyaris menjadi sosok impian warga Betawi yang menginginkan putra daerah menjadi gubernur Jakarta. Sepanjang 1945-2002, belum satu pun warga Betawi memimpin ibukota. Tapi, faktor Betawi ini bisa digerus Adang Daradjatun (etnik Sunda kelahiran Bogor) yang cukup rajin menembus komunitas-komunitas Betawi di Jakarta.

Namun, sejarah Jakarta tak begitu familiar dengan kalangan sipil. Antara 1960-2007, baru Henk Ngantung, warga sipil yang memimpin Jakarta pada 1964-1965. Selebihnya adalah purnawirawan tentara. Henk sendiri adalah putra Kawanua kelahiran Manado, Sulawesi Utara. Selain Henk, seluruh gubernur Jakarta adalah warga pendatang atau keturunan pendatang dari berbagai daerah di Jawa.

Adang Daradjatun sendiri bukan tentara, melainkan mantan petinggi di Polri. Sebagai mantan Wakapolri, Adang menguasai medan Jakarta dan bisa memaksimalkan jaringan kepolisian untuk mendukungnya. Hanya, Adang pun “dibebani” sejarah bahwa Jakarta tak pernah dipimpin bekas petinggi polisi.

Satu faktor lagi yang ikut mewarnai persaingan pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar dan Fauzi Bowo-Prijanto adalah dihembuskannya isu sektarianisme versus pluralisme. Entah siapa yang memulai, yang jelas pasangan Adang-Dani secara salah dianggapkan sebagai simbol sektarianisme. Stereotipe ini dikaitkan dengan keputusan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengusung Adang-Dani, tanpa mengajak parpol lain peraih kursi di DPRD DKI Jakarta. Di lain pihak, aksi 18 parpol menggalang dukungan untuk Fauzi-Prijanto dipandang mencerminkan pluralisme di ibukota.

Pelabelan demikian, kurang bermanfaat bagi iklim politik demokratis, yang diharapkan manifes dalam Pilkada Jakarta. Andaikata PKS hendak membangkitkan penegakan syariat Islam di ibukota pun, cap sektarian tak bisa dikenakan kepada Adang-Dani. Sikap Adang-Dani yang paling genuine bisa dilihat pada visi dan misi mereka, termasuk sepak terjang Adang di Polri dan Dani di DPRD DKI Jakarta. Demikian pula, cap Fauzi-Prijanto sebagai pluralis hanya dapat dibuktikan ketika yang bersangkutan betul-betul menakhodai Jakarta.

Dalam marketing, mengeksploitasi apa yang melekat pada diri dapat menjadi modal kemenangan seseorang bersaing dalam politik elektoral seperti pilkada. Apabila hal ini tak dilakukan secara hati-hati, dapat membenturkan pasangan calon, tim sukses dan konstituen mereka dalam konflik horizontal yang kontra produktif. Karena itu, seyogyanya pasangan calon berhati-hati dengan faktor etnisitas serta isu sektarian-pluralis tersebut.

Buat saya, yang paling terukur justru menakar faktor incumbent (melekat pada Foke) dan faktor parpol pemenang Pemilu Legislatif (yang mendukung Adang). Foke adalah wagub incumbent ketiga yang maju dalam perhelatan pilkada di daerahnya. Dua wagub yang mendaftarkan sebagai calon gubernur dalam pilkada di dua provinsi sepanjang Juni 2005-Desember 2006, gagal menjadi pemenang.

Selama periode ini, demikian data yang dikumpulkan Lingkaran Survei Indonesia, ada 63 wakil kepala daerah (wagub, wabup, dan wawali) yang maju dalam pilkada. 18 orang alias 28,57 persen menang dan selebihnya 45 orang (71,43 persen) kalah.

Lain hal jika sang incumbent adalah kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota). Dari 296 daerah (provinsi, kabupaten dan kota) yang menyelenggarakan pilkada, sebanyak 230 kepala daerah maju kembali dalam pilkada langsung. Kepala daerah yang berhasil menang sangat tinggi, mencapai 62,2 persen.

Sementara, dukungan dari parpol pemilu legislatif tahun 2004 tak menjamin kemenangan pada pasangan calon yang maju. Kadar keberhasilan parpol pemenang pemilu legislatif mendudukkan pasangan calonnya sebagai kepala dan wakil kepala daerah sekitar43,1 persen. Pasangan calon tersebut bisa incumbent (kepala atau wakil kepala daerah), pasangan calon di luar incumbent dan pasangan calon dari parpol-birokrat. Selebihnya 56,9 persen pasangan calon yang diusung parpol-parpol pemenang pemilu legislatif di sejumlah daerah menderita kekalahan.

Fenomena ini, tak hanya terjadi pada partai besar semacam Partai Golkar dan PDIP, tapi juga pada PKS, PKB dan PPP. Dari total 6 daerah dimana PKS menjadi peraih suara terbesar dalam Pemilu Legislatif 2004, hanya dua daerah (33,3 persen) yang berhasil dimenangkan PKS dalam pilkada (Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia, Juli 2007).

Akan diuji, apakah kemenangan PKS di Jakarta tahun 2004 lalu, yakni dengan mendulang 23,34 persen suara atau 24 persen kursi DPRD DKI Jakarta dapat diulang dalam Pilkada nanti.

Sebagaimana dimaklum, dalam Pemilu Legislatif 2004, majoritas suara (76,66 persen) terdistribusi ke 23 parpol lain. Tepat di sini, kita bertemu dengan anomali politik lokal Jakarta. Partai Demokrat yang bisa sendirian mengusung pasangan calon dengan 20,15 persen tak menggunakan hak konstitusional tersebut. Partai Demokrat bersama belasan parpol justru membuat Koalisi Jakarta yang mendukung Fauzi-Prijanto. Koalisi besar ini pun belum tentu sanggup mengonversi suara mereka di Pemilu Legislatif 2004 menjadi suara aktual untuk pasangan Fauzi-Prijanto.

Sejumlah fakta ini, selayaknya diperhatikan pasangan Fauzi-Prijanto dan Adang-Dani. Kedua pasangan berikut parpol pendukung mereka wajib kerja keras untuk menjungkir-balikkan sejumlah fakta empiris dalam penyelenggaraan pilkada antara Juni 2005-Desember 2006. Mungkinkah Jakarta bakal kian meneguhkan fenomena anomali? [Juli 2007]

No comments: