Friday, July 6, 2007

Parpol Memburu Pilkada Langsung

Oleh Moh Samsul Arifin

DI tengah kegalauan yang luar biasa sejumlah pihak akan penyelenggaran pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, partai politik justru melempar "jumping" agenda (agenda melompat).

Mereka tak memikirkan bagaimana agar pilkada langsung itu dapat terselenggara sesuai jadwal yang ditetapkan UU No. 32 Tahun 2004. Atau berpikir bagaimana menyiapkan pilkada langsung secara demokratis dalam waktu singkat (sebab PP No. 6 Tahun 2005 baru dikeluarkan pemerintah). Atau memberi usulan atas kendala dan hambatan teknis KPU (provinsi dan kabupaten/kota) dalam mempersiapkan semua tahap pilkada langsung, mencari solusi bagaimana agar pembiayaan pilkada langsung via APBN dan APBD berlangsung mulus.

Sebaliknya partai-partai sekarang ini menginventarisasi peluang untuk mencalonkan kader-kader mereka di sejumlah daerah yang akan mulai menyelenggarakan pilkada langsung, Juni mendatang. Rapat kerja nasional (rakernas) Partai Golkar di Jakarta yang berakhir pada Minggu (20/2) misalnya menelurkan keputusan "maju". Partai ini menargetkan dapat meraih 60 persen kursi kepala daerah dalam pilkada langsung antara 2005-2009.

Konsolidasi parpol

Untuk mewujudkan target tersebut, partai berlambang pohon beringin ini telah membentuk tim pilkada pusat, serta menggulirkan mekanisme rapimda (rapat pimpinan derah) di setiap DPD (provinsi dan kabupaten/kota) untuk menjaring calon. Mekanisme yang akan mirip dengan konvensi nasional memilih capres Golkar ini memungkinkan orang luar partai (calon independen) menjadi calon yang akan dimajukan Golkar di daerah bersangkutan.

Orang luar partai yang dapat dicalonkan, menurut petunjuk pelaksanaan 1/2005 DPP Partai Golkar tentang Tata Cara Pilkada dari Partai Golkar, harus memiliki kualifikasi berprestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas dan tanpa cela atau disingkat PD2LT.

Peserta rapimda adalah DPD provinsi atau kabupaten/kota, ditambah DPD di bawahnya atau koordinator kecamatan (korcam), organisasi sayap, ormas pendiri dan yang mendirikan. Di tingkat rapimda provinsi, DPD provinsi memiliki 25 suara bersifat voting block (suara bersama), DPD kabupaten/kota memiliki 65 suara, juga bersifat voting block. Sedangkan organisasi sayap dan ormas pendiri dan yang didirikan yang berjumlah 10, masing-masing memiliki satu suara (Suara Pembaruan, 21/2).

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga akan menjaring orang luar partai. Namun, dua partai ini belum menetapkan mekanismenya, karena mereka masih disibukkan oleh persiapan kongres/muktamar yang akan dilaksanakan, April depan.

Momen kongres/muktamar juga akan diselenggarakan oleh Partai Amanat Nasional, Partai Bintang Reformasi (PBR) , Partai Demokrat atau Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam waktu dekat. Selain untuk melakukan suksesi internal, ajang ini akan dimanfaatkan untuk konsolidasi awal parta-partai itu menghadapi pilkada langsung nanti.

Sudah keniscayaan bagi partai-partai bahwa pilkada langsung merupakan momen penting yang tak boleh dilewatkan, karena ia memperebutkan kekuasaan (eksekutif) di daerah.

Sejauh yang tertangkap dalam pengamatan saya, setidaknya ada dua arus yang mulai membesar jelang pilkada langsung. Pertama, mantan pejabat di sejumlah daerah telah mempersiapkan pencalonan mereka jauh sebelum tahapan-tahapan pilkada langsung oleh KPU (provinsi dan kabupaten/kota) digulirkan. Tim sukses bayangan sudah dibentuk dan mereka telah mengampanyekan calon mereka, paling tidak mulai melempar nama di sejumlah forum informal di mana pemuka dan warga berkumpul. Para mantan pejabat itu sangat beragam posisinya dari seorang bupati/walikota yang masih memangku jabatan hingga sekretaris daerah.

Mereka tak hanya mencalonkan diri di daerah tempat mereka bekerja/memangku jabatan namun juga di luar daerah. Seorang Bupati Banyuwangi (Jawa Timur) misalnya, sekarang tengah mempersiapkan pencalonannya di Kabupaten Jember. Seorang pejabat penting di Pemprov Jawa Timur (otomatis tinggal di Surabaya), juga mencalonkan diri di Jember. Saya ingin menamai fenomena ini sebagai mobilitas horizontal. Sebagian besar mereka yang menggunakan model mobilitas horizontal ini adalah kader parpol, atau paling kurang memiliki jaringan dengan struktur dan elite parpol di daerah tempat mereka akan mencalonkan diri.

Orang Jakarta

Kedua, banyaknya orang Jakarta yang akan diterjunkan partai-partai dalam pilkada langsung di sejumlah daerah. Orang Jakarta yang saya maksud di sini adalah mereka yang pernah dan sedang berkecimpung dalam politik nasional, entah duduk di pemerintahan (eks menteri atau eselon penting di departemen), menjabat di legislatif (anggota DPR), kader parpol yang masuk struktur pimpinan pusat atau bahkan mantan anggota Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu 2004).

Kebanyakan mereka diplot oleh parpol masing-masing, atau dalam bahasa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memperoleh amanah dari konstituen parpol. Sebagian memang ada yang akan terjun dalam pilkada langsung dengan inisiatif pribadi, namun kebanyakan mencerminkan sebuah kehendak parpol bersangkutan.

Inilah model mobilitas vertikal yang menjadi ancaman bagi tokoh-tokoh di daerah yang hanya mengandalkan jaringan daerah (mobilitas horizontal).

Sekadar menyebut contoh, Agustin Teras Narang (Ketua Komisi III DPR RI) asal PDIP akan terjun dalam pilkada langsung di Provinsi Kalimantan Tengah. Nur Mahmudi Ismail (Presiden PK yang pertama dan mantan Menteri Kehutanan di era Presiden K.H. Abdurrahman Wahid) oleh PKS telah ditetapkan sebagai calon mereka untuk pilkada langsung di Depok. Kemudian K.H. Abdul Hakim, anggota DPR asal Lampung, telah ditetapkan DPW PKS Lampung sebagai calon mereka dalam pilkada langsung di Bandar Lampung.

Jangan dilupakan, mantan anggota Panwaslu Saut Sirait akan mencalonkan diri di sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Di Jawa Barat, saya juga mendengar selentingan beberapa nama mantan pejabat dan pejabat aktif melirik, untuk tak mengatakan tengah bersiap untuk mencalonkan diri dalam pilkada langsung di beberapa kabupaten/kota dan di provinsi Jawa Barat. Sebuah fenomena lumrah memang, namun bukan tanpa tanda seru.

Pertama, tampilnya "orang Jakarta" dalam pilkada langsung nanti sudah pasti akan menghambat laju calon-calon daerah yang memiliki basis pengaruh dan konstituen di daerah bersangkutan. Ini sebuah ancaman bagi demokrasi di tingkat lokal, karena pilkada langsung memiliki fungsi meregenerasi pemimpin lokal (daerah). Dalam arti menumbuhkan calon-calon pemimpin baru di daerah bersangkutan dan negara ini di masa depan.

Dalam derajat tertentu, "orang Jakarta" kadang lebih piawai dari segi konsep (program), pengalaman organisasi (di parpol atau birokrasi) serta sudah makan asam garam politik praktis. Namun demikian, "orang Jakarta" umumnya merupakan aktor yang melanggengkan oligarki parpol dalam khazanah politik nasional. Apabila keikutsertaan mereka hanya karena kebijakan DPP semata, makin benarlah bahwa politik Indonesia masih untuk orang-orang Jakarta.

Kedua, dari segi akseptabilitas, tentu saja penerimaan masyarakat lokal akan jauh lebih rendah terhadap tokoh-tokoh yang di-drop dari Jakarta. Satu catatan penting yang harus diperhatikan sungguh-sungguh dalam pilkada langsung nanti, selain kompetensi dan kapabilitas, kedekatan (emosional) calon dengan masyarakat setempat. Barangkali DPP di Jakarta dapat menunjuk mereka yang berasal dari daerah untuk maju ke pilkada di daerahnya, namun sentuhan mereka yang sudah sangat kurang dengan masyarakat daerah akan menyulitkan calon tersebut.

Ketiga, tokoh-tokoh yang sudah dan tengah berkarier di Jakarta (baca; level nasional) mengemban tugas dan amanah besar untuk menghidupkan dan mendinamisasi politik nasional. Dalam tradisi parpol di negara-negara maju, menjadi komponen dari struktur partai di tingkat nasional (paling tinggi) merupakan kebanggaan.

Desentralisasi politik

Tangga-tangga struktural di partai didaki untuk memberikan sumbangsih lebih banyak pada parpol bersangkutan dan negara. Celakanya, tradisi politik di tanah air kelewat menganggap luar biasa posisi di eksekutif, hatta itu level kabupaten/kota. Jangan heran jika kita melihat seorang anggota DPR rela "turun pangkat" hanya untuk menjadi bupati di kota kecil di Jawa Barat. Buat saya tradisi demikian telah membikin regenerasi elite Indonesia (di level parpol atau bangsa) mengalami kemandekan.

Dimensi lokalitas harus menjadi semangat dari pilkada langsung, namun itu tidak menghalangi segenap pihak untuk berpartisipasi dan berkompetisi dalam pilkada langsung. Yang saya ingin cegah adalah, proses politik di pusat oleh DPP atau elite parpol membajak demokrasi langsung yang tengah digulirkan. Bagaimanapun, pilkada langsung adalah pencapaian demokrasi Indonesia. Apabila demokrasi langsung-yang sangat menjadi obsesi JJ Roosseau itu-tengah bersemi, tak salah jika semua pihak terkait menyiram dan memupuknya. [Pikiran Rakyat, 28 Februari 2005]

No comments: