Monday, July 2, 2007

Mengapa Harus Golput?

Oleh Moh Samsul Arifin

SENIN ini (27/6/2005) warga Kabupaten Sukabumi mungkin tengah sumringah menyambut pagi. Maklum, mereka akan menentukan siapa pemimpin (bupati/wakil bupati) yang menakhodai kabupaten tersebut periode (2005-2010). Diperkirakan masyarakat akan berduyun-duyun ke bilik suara (TPS) sebagai bentuk partisipasi terhadap proses politik pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah (pilkada) secara langsung.

Menilik karakter demografisnya, tingkat pendidikan warganya rata-rata SD-SMP. Mereka masyarakat religius, kebanyakan tinggal di pedesaan (kaum agraris), dan profesinya nyaris seragam (petani). Tipikal masyarakat demikian umumnya tergantung pada kharisma tokoh dan ulama. Kedekatan emosional dengan pasangan calon dan daerah lumayan tinggi.

Karakter demikian berbeda dengan karakter kota Depok yang telah menyelenggarakan pilkada sehari sebelumnya (26/6). Warga di sana kebanyakan pendatang (kaum urban), memiliki pendidikan yang lebih baik, profesi (mata pencaharian) beragam (heterogen), serta tak terlampau memiliki kedekatan emosional dengan pasangan calon dan daerah yang ditinggalinya.

Depok adalah kota tempat para pekerja ibu kota "bermalam". Di siang hari, mereka ditinggal penghuninya karena harus mencari nafkah. Karena itu sangat tepat jika pilkada di Depok diselenggarakan pada hari Ahad, saat warga libur kerja. Ini akan mengurangi "angka golput" akibat warga yang tak dapat meninggalkan pekerjaan mereka di Jakarta.

Tapi tunggu dulu. Tingkat partisipasi politik tak hanya ditentukan oleh waktu penyelenggaraan yang tepat. Ada banyak variabel yang menentukan. Paling kurang tiga hal yang bisa disebut: bagaimana sosialisasi pilkada oleh para stakeholder, khususnya KPUD, parpol serta tim sukses pasangan calon? Bagaimana tingkat melek politik warga? Sudahkan pendidikan politik (katakanlah pendidikan kewarganegaraan) dilaksanakan parpol? Dan yang terakhir, bagaimana tingkat kemandirian politik warga masyarakat?

Dari sisi kemandirian (otonomi) politik, tampaknya warga Depok jauh lebih mandiri ketimbang warga Sukabumi. Namun, itu tidak menjamin tingkat partisipasi warga Depok dalam pilkada jauh lebih besar dari warga Sukabumi. Yang jelas, satu hal hampir pasti: andai para pasangan calon (kontestan pilkada di Sukabumi) mampu menyuguhkan kampanye yang memikat, maka tingkat partisipasi masyarakat di Sukabumi akan mendekati ideal.

Masyarakat agraris biasanya dapat digerakkan, karena relasi sosial mereka masih asimetris, dalam arti hubungan patron-clien cukup terpelihara. Kondisi demikian dapat dimanfaatkan para pasangan calon untuk memobilisasi mereka pada hari H pencoblosan. Saya tak mengatakan pada kaum urban semacam warga Depok, potensi ini tidak ada. Akan tetapi diperkirakan jauh lebih kecil.

Untuk membaca tingkat partisipasi warga masyarakat dalam pilkada, ada baiknya kita berkaca pada sejumlah daerah yang telah melaksanakan hajatan demokrasi lokal itu. Saya ingin menggunakan data tingkat partisipasi warga yang dikumpulkan Desk Pilkada Pusat dan Litbang Kompas. Pertengahan Juni lalu, Desk Pilkada menyebutkan, tingkat partisipasi di lima kabupaten yang telah melaksanakan pilkada rerata kurang dari 75 persen. Di Kutai Kartanegara (Kukar), jumlah pemilih yang memberikan suaranya "hanya" 70,67 persen, Cilegon (74,07 persen), Pekalongan (67,96 persen), Kebumen (72,16 persen) dan Indragiri Hulu 60,58 persen.

Sepekan berselang, terjadi perubahan, lebih tepat disebut pergerakan, data tingkat partisipasi sebagai berikut. Di Kukar, dari 375.925 jiwa terdaftar, terdapat 29,3 persen atau 110.241 orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Selanjutnya angka Golput di Cilegon (23,7 persen), Pekalongan (32 persen), dan Kebumen (28,2 persen). Data Golput di Indragiri Hulu tidak tercantum. Kita anggap saja tetap seperti data Desk Pilkada (39,42 persen), berasal dari jumlah pemilih terdaftar dikurangi tingkat partisipasi.

Data tersebut kita tambahkan dengan data sementara hasil pilkada di tiga kabupaten di Bangka. Merujuk data KPUD setempat diperoleh data berikut: angka Golput di Bangka Tengah (41 persen), Bangka Selatan (30 persen), dan Bangka Barat (32 persen). Dari hasil pilkada di delapan kabupaten/kota tersebut, ternyata angka golput cukup tinggi, yakni antara 23,7 sampai 41 persen. Rerata angka golput sekira31,95 persen. Ini jauh lebih tinggi dari pemilu 2004 lalu. Dalam pemilu legislatif, angka golput tercatat 34.509.246 suara, terdiri dari pemilih terdaftar yang tidak datang ke TPS 23.551.321, ditambah suara tidak sah 10.957.925. Persentasenya 23,34 persen terhadap total pemilih terdaftar.

Apabila kita membaginya menurut geografi politik: Jawa dan luar Jawa, ternyata angka golput di luar Jawa jauh lebih besar (34,34 persen). Sedangkan di Jawa, angka golput "hanya" 27,96 persen. Apa artinya angka tersebut? Dan mengapa hasilnya demikian?

Secara sangat kasar, dapat dikatakan, ternyata tingkat partisipasi warga dalam pilkada di Jawa sedikit lebih baik ketimbang luar Jawa (sekira 72,04 persen). Ini diduga terkait dengan "pengetahuan" publik atas informasi (well informed) pilkada itu sendiri yang jauh lebih baik. Masyarakat tahu apa itu pilkada, kapan dilaksanakan, siapa kontestannya, hingga mengapa mereka perlu berpartisipasi dalam proses demokrasi di tingkat lokal tersebut.

Akan tetapi, jika kita menghadap-hadapkan per kabupaten (dalam hal ini hanya ada 8 sampel), banyak alasan untuk menjelaskan mengapa partisipasi politik masyarakat di Kukar, Kalimantan Timur lebih tinggi daripada partisipasi masyarakat di Pekalongan, Jawa Tengah. Padahal Pekalongan jauh lebih dekat dengan Jakarta, ketimbang Kukar yang ribuan kilometer jauhnya dari ibu kota Republik. Dugaan kita aksesibilitas warga Pekalongan kepada informasi (khususnya pilkada di daerahnya) jauh lebih baik ketimbang warga Kukar. Nyatanya tidak, maklumlah siraman informasi dan sosialiasi pilkada di Kukar jauh lebih riuh-rendah, bahkan jika dibandingkan dengan sosialisasi pilkada di Cilegon, yang notabene berhasil menarik partipasi politik masyarakat paling tinggi dalam pilkada yang sudah dilaksanakan.

Sosialisasi pilkada di Kukar, secara tak langsung bahkan ikut dinaikkan oleh konflik soal penunjukan penjabat bupati di daerah tersebut yang sudah pecah sejak November 2004. Publik nasional, bahkan baru mendengar bahwa di Pekalongan, Kebumen dan Cilegon ada pilkada menjelang hari H pencoblosan. Ini menjelaskan bahwa, informasi, sekurangnya pemberitaan media, memiliki pengaruh tidak kecil (meski tak langsung) pada partisipasi warga masyarakat dalam pilkada.

Jika kita menggunakan dua variabel, yakni kedekatan geografis dan siraman informasi untuk membandingkan partisipasi di Kukar dengan di Indragiri Hulu, dan tiga kabupaten di Bangka maka tesis kita benar: sosialisasi pilkada niscaya untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik warga masyarakat.

Ini pun bukan jawaban tunggal, sebab partisipasi politik tak secara otomatis berasal dari kesadaran politik. Adakalanya, partisipasi merupakan akibat dari sebuah mobilisasi atau partisipasi yang dikerahkan (mobilized participation). Jenis partisipasi semacam ini terjadi mana kala elite-elite politik mengadakan ikhtiar untuk melibatkan massa rakyat ke dalam kegiatan politik. Bentuk partisipasi ini dalam pilkada, setidaknya tampak dari membengkaknya jumlah pemilih. Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di Provinsi Sulawesi Utara, terdapat pembengkakan jumlah pemilih hingga 20.000 orang menjelang pilkada. Selain itu ditemukan hilangnya hak pilih warga yang tidak terdaftar, padahal dalam pemilihan presiden mereka terdaftar (Kompas, 23/6).

Bertolak belakang dengan partisipasi di atas, Samuel Huntington dan Joan M. Nelson menyebut partisipasi otonomis (autonomous participation) sebagai yang dibutuhkan dalam proses demokrasi. Inilah kemandirian politik, sesuatu yang dapat tumbuh karena adanya pendidikan politik dari stakeholder pilkada, entah itu parpol, KPUD, desk pilkada ataupun Depdagri.

Secara sederhana dapat digambarkan, pendidikan akan melahirkan pemahaman yang berujung pada pencerahan. Seorang individu yang mengalami pencerahan dia sangat mandiri untuk mengambil keputusan. Dari sana akan lahir sikap: menggunakan hak pilih atau menanggalkannya. Yang terakhir ini acap dinamakan sebagai golput. Pendidikan terhadap pemilih itu antara lain dapat dilakukan lewat sosialisasi yang kreatif dan efektif. Sosialisasi adalah proses "potong kompas" karena didesak dan terbentur oleh waktu penyelenggaraan pilkada.

Mengapa warga yang tak menggunakan hak pilihnya sampai 31,95 persen? Pertama, sosialisasi pilkada kurang, untuk tak mengatakan tidak segegap gempita pilpres lalu. Kedua, kampanye pasangan calon tidak memikat publik. Andaipun dilaksanakan kampanye, masyarakat tidak simpatik, sehingga tak percaya dengan proses politik yang tengah berlangsung.

Ketiga, masyarakat malas dan jenuh alias skeptis dengan hajatan demokrasi tersebut. Boleh jadi skeptisisme itu merupakan turunan dari sosialisasi yang kurang serta model kampanye yang ditampilkan tak mampu menggerakkan warga masyarakat untuk datang ke TPS saat hari H pencoblosan. Bisa pula karena, warga masyarakat kurang memiliki informasi sekitar rekam jejak para calon yang bersaing dalam pilkada. Ketika informasi tentang calon minim, maka pilihan masyarakat akan jauh berkurang. Tidak menggunakan hak pilih menjadi alasan yang masuk akal, ketimbang menyerahkan mandat kepada para calon yang dianggapnya tidak sesuai dengan harapan mereka.

Keempat, menanggalkan hak pilih dirasakan sebagai bentuk protes terhadap proses politik yang tengah berjalan. Maklumlah, di sejumlah kabupaten pasangan calon tidak begitu banyak dan tokoh-tokoh yang mencalonkan di luar ekspektasi masyarakat setempat. Pejabat lama (incumbent) ikut bertarung kembali, sedangkan rakyat yang menghendaki tokoh/figur alternatif tak memeroleh banyak pilihan. Sebagai akibat proses pencalonan yang hanya menggunakan satu pintu (baca: partai politik), calon independen tak dapat masuk. Sekalipun, mereka masuk lewat parpol, kadang mereka kalah, baik sebab sikap konservatif parpol/gabungan parpol maupun karena yang bersangkutan tak memiliki cukup rupiah untuk "menyewa" perahu parpol.

Bagi saya, rata-rata partisipasi politik yang di bawah 70 persen bukan problem besar, asalkan proses pilkada dapat berlangsung luber dan jurdil. Dalam artian, ketentuan hukum yang berlaku tidak dilanggar, money politics surut, kampanye hitam mengecil serta prosedur demokrasi baku dijalankan oleh penyelenggara pilkada. Partisipasi politik yang tinggi tak selalu berarti pilkada yang diselenggarakan berkualitas. Yang pantas dikedepankan kalau rendahnya partisipasi tersebut akibat sosialisasi yang minim. Di sini kita mesti menggugat para stakeholder pilkada, khususnya parpol, KPUD dan desk pilkada yang diberi kewenangan Depdagri untuk cawe-cawe mengurus sosialisasi.

Partisipasi tidak langsung terkait dengan keabsahan sebuah proses politik. Dalam pengambilan keputusan rapat/sidang di DPR/MPR misalnya digunakan istilah kuorum untuk mengambil keputusan. Tapi, proses pemilihan (election) tak mengenal istilah kuorum. Demokrasi tidak menuntut partisipasi penuh, bulat (100 persen). Dengan partisipasi kurang 50 persen pun, keabsahan pilkada tak dapat diganggu gugat. Maka, ketika hasilnya ditetapkan: proses demokrasi (baca: pilkada) itu mengikat seluruh warga masyarakat, bahkan yang tak ikut mencoblos sekalipun.

Tepat di sini layak dipertanyakan: apakah memilih atau tidak memilih merupakan keputusan bijaksana. Khusus kepada yang melakukan golput sebagai protes kita boleh bertanya: Apakah anda memiliki kesadaran semacam ini saat tak melangkahkan kaki ke TPS?

Di atas segalanya pengalaman delapan kabupaten itu laik kita jadikan pelajaran. Lebih-lebih bagi warga Depok dan Sukabumi yang akan (dan telah) menggelar pilkada. Apabila stakeholder pilkada di daerah setempat sudah menjalankan sosialisasi secara optimal, maka hari H pencoblosan merupakan ujian bagi mereka.

Di atas segalanya, sekali lagi ingin saya katakan, tingkat partisipasi politik warga masyarakat bukan ukuran satu-satunya untuk menakar pilkada itu sukses dan berkualitas. Karena itu, tidak pen-ting jika KPUD menargetkan tingkat partisipasi sebagai ukuran keberhasilan kerja mereka. Tingkat partisipasi sebagai ukuran hanya berlaku pada pemilu di masa Orde Baru, sebuah masa di mana pemilu (general election) dilaksanakan untuk merelegitimasi kekuasaan Soeharto. Ini zaman baru yang meniscayakan semangat dan paradigma baru. [Pikiran Rakyat, 27 Juni 2005]

No comments: