Wednesday, July 18, 2007

Dualisme Struktural Partai Kebangkitan Bangsa

Oleh Moh Samsul Arifin

DI
gedung megah di bilangan Kramat Raya, Jakarta Pusat itu duduk tiga orang kiai. Yang satu bertindak sebagai tuan rumah dan dua lainnya adalah tamu penting. Sang tamu, yakni K.H. Muhaiminan Gunardo dan K.H. Ubaidilah Faqih, menyerahkan sepucuk surat kepada K.H. Abdurrahman Wahid. Surat yang dibungkus map cokelat besar ini merupakan hasil pertemuan Forum Musyawarah Kiai Langitan (FMKL) yang berlangsung di kediaman Gus Ubaidilah, di Widang, Tuban, 15 Maret lalu.

Apa isi surat yang ditulis dengan huruf Arab pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa, red) itu? Kabarnya adalah desakan dari Kiai Langitan agar DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengembalikan kembali fungsi serta tugas Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP PKB. Kiai Langitan menilai, keputusan DPP PKB menonaktifkan Alwi Shihab dari Jabatan Ketua Umum PKB dan pencopotan Saifullah sebagai Sekretaris Jenderal PKB tidak sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan aturan partai. Apabila usulan tersebut tidak dihiraukan, Kiai Langitan mengancam akan men-support langkah Alwi dan Saifullah menempuh jalur hukum atau somasi.

Seperti diketahui, Alwi dan Saifullah dicopot dari jabatannya setelah keduanya menerima "pinangan" Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk bergabung dalam skuad Kabinet Indonesia Bersatu. Alwi kini memegang pos penting sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) sedangkan Saifullah menjabat Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal.

Mereka dikeluarkan dari kepengurusan, sebab DPP PKB menolak praktik rangkap jabatan. Lagi pula, secara institusional PKB tidak mendukung SBY-Jusuf Kalla dalam pilpres tahun lalu. PKB saat itu memutuskan untuk mem-back up penuh Wiranto dan Solahuddin Wahid. Karena khawatir masuknya Alwi-Saifullah itu memiliki konsekuensi politis bagi partai, yakni harus mendukung pemerintah yang berkuasa. DPP PKB menggelar rapat untuk menonaktifkan keduanya dari jabatan di Dewan Tanfidziyah.

Kata salah seorang Ketua DPP PKB, Andi Muawiyah, "Sewaktu pemecatan, dia hadir, dia telah menerima, bahkan mengusulkan penggantinya. Kalau kemudian ia (merencanakan-red) menggugat ke pengadilan, itu urusan lain" (Pikiran Rakyat, 8/4).

Sudah rahasia umum, surat Kiai Langitan ini memiliki nilai politis. Apabila surat yang akan dibawa Gus Dur ke Rapat DPP PKB Senin (11/4) itu dikabulkan seluruhnya, dipastikan akan semakin banyak calon yang akan bertarung dalam pemilihan ketua umum (Dewan Tanfidziyah). Sejauh ini sudah beredar nama antara lain Muhaimin Iskandar, Ali Masykur Musa, Moh Mahfud MD, AS Hikam, dan Lalu Misbakh. Tiga nama yang disebut pertama ditengarai mendapat "restu" Gus Dur untuk memimpin Dewan Tanfidziyah.

Sebaliknya, jika rapat itu tidak menerima sama sekali surat tersebut maka konflik yang kesekian di tubuh PKB akan segera merebak. Tentu saja dengan intensitas konflik yang tinggi dibandingkan dengan perseteruan Gus Dur dan Matori Abdul Djalil tempo lalu. Jika kita membuka sejarah PKB, bukan kali ini saja Saifullah, masih keponakan Gus Dur, dicopot dari jabatannya sebagai Sekjen. Pada 1 September 2003, Dewan Syura yang dipimpin oleh Gus Dur mencopot Syaifullah sebagai Sekjen DPP PKB lewat pemungutan suara. Waktu itu Saifullah bergeming, karena tindakan DPP tidak memenuhi ketentuan pasal 20 ayat 11c AD/ART PKB. Dalam pasal itu disebutkan keputusan baru sah, jika didukung paling kurang 2/3 anggota yang hadir.

Bahkan berkat dukungan dari kiai di struktural PKB dan kiai-kiai di Jawa Timur, Rapat Pleno Gabungan pada 19 September 2003 gagal mereposisi ketua GP Anshor itu. Rapat memutuskan untuk menunda reposisi Saifullah. Dan sampai Pemilu 2004 (April-September), mantan anggota DPR dari PDIP ini tak pernah turun dari jabatannya sebagai Sekjen. Saifullah yang pernah berseteru dengan Alwi Shihab, calon Gus Dur dalam Muktamar Luar Biasa di Yogyakarta (2002), ikut mempertahankan suara elektoral partai nahdliyin ini pada Pemilu 2004. Apabila suara PDIP, PPP dan PAN mengalami penurunan signifikan, PKB justru tetap berkibar di urutan 3, persis dengan torehan mereka pada Pemilu 1999. Mereka memperoleh 11.994.877 suara, setara dengan 52 kursi DPR.

Di tingkat akar rumput, Saifullah memiliki konstituen yang luas. Ia jauh lebih diterima ketimbang Alwi Shihab yang jauh lebih mentereng dari segi intelektualitas. Apalagi kini, Saifullah terpilih kembali sebagai Ketua GP Anshor. Dengan keunggulan tersebut pantas jika calon-calon lain yang akan bertarung dalam Muktamar ke II di Semarang (16-18 April) nanti menilai Saifullah sebagai ancaman. Kartu as lain yang dikantongi Saifullah, adalah posisinya sebagai unsur kabinet. Ini sama dengan dukungan pemerintah (baca: Presiden Yudhoyono).

Misalkan saja yang diaktifkan kembali oleh DPP adalah Alwi. Maka faktor Saifullah tetap harus dihitung oleh para calon yang akan bertarung. Melihat sepak terjang Saifullah, jika Alwi dapat masuk pertarungan, maka dukungan dari Saifullah (otomatis beserta sumber daya politik di belakang ketua GP Anshor itu) akan disetor ke Alwi. Apalagi kini mereka adalah partner kerja di kabinet dan sudah bekerja sama sejak MLB di Yogya.

Namun, jika mereka (baik Alwi dan Saifullah) tak diaktifkan kembali oleh DPP PKB, maka suara Saifullah kemungkinan akan disetir oleh Kiai Langitan. Pun demikian, tidak diaktifkannya mereka tidak memiliki konsekuensi keduanya (Alwi dan Saifullah) terlarang untuk bertarung dalam muktamar.

Andai keduanya tertahan, sebetulnya yang akan menentukan ke mana suara muktamirin bergerak adalah Kiai Langitan, Gus Dur dan struktural PKB (DPP hingga DPC). Konstituen PKB, yakni para nahdliyin di akar rumput sebagaimana biasanya akan tetap menjadi "penonton" karena konflik yang selalu terjadi di PKB pada hakikatnya telah menjadikan mereka apolitis terhadap hajatan sepenting muktamar.

Buat saya agenda pertama yang harus dibahas dalam muktamar Semarang justru adalah soal konstituen ini. Pertama, tergolong pemilih yang setia kendatipun dalam pemilu suara mereka masih tergantung dan dipengaruhi bagaimana patron (kiai-kiai di tingkat lokal) mereka memberikan dukungannya. Saya melihat memang ada pergeseran, suara warga nahdliyin makin mandiri. Namun pergeseran itu belum begitu luas, karena baru golongan terpelajar (kalangan pemuda, mahasiswa dan intelektual) yang memiliki kemandirian secara politik.

Kedua, bagaimanapun PKB mesti mengurangi ketergantungannya pada figur kharismatik, entah itu di kepengurusan maupun dalam memberdayakan masyarakat pendukungnya. Masih terjalinnya hubungan patron-klien dalam hubungan politik, mengurangi nilai suara dari setiap individu secara elektoral. Setiap warga negara dalam politik demokratis memiliki nilai suara yang sama, karena mereka merupakan satu unit politik. Ini diterjemahkan dalam kredo one man, one vote, one value.

Dalam perkara PKB yang disokong penuh para ulama dan kiai tradisional NU, nilai satu orang kiai di tingkat lokal sama dengan sekian ribu santri, sekian ribu jiwa dan kerabatnya. Bagi patron (kiai) dan institusi (parpol), hal tersebut merupakan advantage yang menjadi penyumbang bertahannya PKB di urutan ke-3 dalam Pemilu 2004. Namun, bagi para klien (warga di akar rumput) bertahannya pola demikian membuat mereka tidak mandiri. Saatnya agar pilihan mereka disetir sendiri oleh hati nurani dan rasionalitas politik yang dinalar mereka sendiri.

Agenda ketiga yang teramat penting untuk dilupakan adalah bagaimana muktamar kali ini memutus dualisme kepemimpinan di PKB. Ada arus opini --meskipun kecil-- yang berkembang untuk mengkritisi dua struktur yang kini masih bertahan, yakni Dewan Syuro dan Dewan Tanfidziyah. Alwi Shihab misalnya, melempar gagasan agar K.H. Abdurrahman Wahid (Ketua Dewan Syura) tidak terlalu dilibatkan dalam urusan-urusan kecil di tubuh partai yang dilahirkan Nahdlatul Ulama (NU) itu.

Kemudian Kaukus DPW (gabungan 16 DPW PKB) mengusulkan agar muktamar Semarang hanya memilih ketua umum dewan syuro dan selanjutnya dibentuk tim formatur untuk menyusun kepengurusan, termasuk menentukan ketua umum dewan tanfidz.

Usulan kaukus yang antara lain dipelopori DPW Banten dan Jawa Barat ini merupakan koreksi terhadap MLB PKB di Yogyakarta (2002) yang memberikan kelonggaran pada peserta muktamar untuk memilih sendiri siapa yang akan memimpin dua struktur di partai tersebut, yakni ketua dewan syuro dan ketua dewan tanfidziyah. MLB di kota pelajar inilah yang mengantar Alwi merengkuh kursi ketua umum PKB. Dan K.H. Abdurrahman Wahid kembali menjabat Ketua Dewan Syuro. Sebaliknya dalam Muktamar pertama PKB di Surabaya tahun 2000, muktamirin hanya memilih Dewan Syuro. Dan dewan inilah yang selanjutnya membentuk Dewan Tanfidz.

Struktur partai yang dualistis bukan dominan PKB. PKS pun memiliki struktur yang "adikuat" pada apa yang disebut Majelis Syuro. Struktur yang dimiliki oleh PKB dan PKS ini berperan bak "struktur moral" bagi dua partai itu. Di sanalah sebuah keputusan penting, pelik, dan strategis dicarikan pemecahannya. Pada hal-hal tertentu, adanya struktur tersebut telah membatasi demokratisasi internal di parpol itu. Kesan yang tertangkap, struktur tersebut memberi keistimewaan pada sebagian kecil orang, dan mengacuhkan persamaan hak antarsesama kader partai.

Dalam struktur PKB, dewan syura, menduduki posisi yang strategis. Ia dapat dibandingkan dengan struktur dewan pembina dalam kepengurusan Golkar sepanjang Orde Baru. Bedanya, dewan pembina merupakan lembaga yang powerfull, sehingga secara mutlak menentukan garis kebijakan partai. Sedangkan, dewan syura PKB merupakan otoritas moral yang berposisi sebagai "dewan moral" bagi DPP. Orang-orang yang duduk di dewan syura adalah tokoh-tokoh yang menjadi panutan masyarakat, bermoral dan memiliki integritas yang tinggi.

Umumnya, dewan syura diduduki para ulama sepuh di kalangan NU. Tidak keliru jika ada sebagian kalangan menyebut dewan syura sama dengan rais aam di NU. Oleh karena itu, segenap kebijakan partai (DPP atau tanfidziyah), mesti memperhatikan saran dan rekomendasi dari dewan ini. Jikalau DPP bergerak di luar anasir dewan syura, maka dengan sendirinya setiap kebijakan yang ditempuhnya kurang memiliki legitimasi moral yang cukup.

Adanya struktur tersebut membuat Gus Dur bak superman. Dia dituntut menyelesaikan semua hal, termasuk urusan teknis yang cakupan soalnya bersifat lokal dan kecil. Berkumpulnya tuntutan kepada satu tangan, pada sisi lain menyebabkan Gus Dur sangat adikuat, dengan atau tanpa dukungan anggota dewan syuro. Kolektivitas acap menjadi prosedural semata dalam proses pengambilan kebijakan partai, sementara sang ketua tanfidziyah terkungkung sehingga tak mampu mandiri. Satu kalimat bersayap dari Alwi di atas dalam artian tertentu adalah semacam interupsi agar PKB dapat keluar dari problem dualisme itu.

Sayangnya, pembahasan tentang hal ini kurang menyedot perhatian. Panitia Pengarah Muktamar kurang kuat mewacanakan dualisme struktur ini. Demikian pula media. Buat saya, andaipun dua struktur itu dipertahankan, minimal ketua dewan tanfidziyah (harian) tetap dipilih langsung oleh muktamirin dan bukan dikembalikan kepada dewan syuro. Mekanisme demokratis yang telah berhembus sejak MLB di Yogja itu jangan dilenyapkan. [Pikiran Rakyat, 11 April 2005]

1 comment:

odionjacobowitz said...

Bet365 casino - Sites that accept Paypal (Dec 2021)
Bet365 Casino 양주 출장마사지 UK Review: 슬롯 Claim a bonus, 용인 출장마사지 free spins 경상북도 출장샵 and welcome bonus. Bet365 부천 출장안마 Casino is an online gambling company that is owned by Ladbrokes and operates