Thursday, July 5, 2007

Subsidi BBM & Kebijakan Ikat Pinggang

Oleh Moh Samsul Arifin

DENGAN
alasan mengurangi subsidi tahun anggaran 2003, pemerintah mengeluarkan kebijakan pengencangan ikat pinggang. Lewat Keppres No 90/2002, pemerintah menaikkan harga BBM dengan kisaran 3-23 persen (antara Rp 60- Rp 440 per liter). Harga baru itu efektif per 2 Januari 2003. Ini berarti revisi harga yang ke-13 sejak 2002.

Dijelaskan oleh Wakil Ketua Tim Sosialisasi Kebijakan Subsidi BBM DESDM (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral), Hardi Prasetyo, kenaikan harga BBM sampai di tingkat harga yang diberlakukan saat ini diperlukan untuk menekan jumlah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah. "Tanpa kenaikan harga BBM, subsidi BBM tahun 2003 akan mencapai Rp 30,4 triliun. Tetapi dengan kenaikan, subsidi bisa ditekan menjadi Rp 13,4 triliun," tegasnya (Pembaruan, 8/1).

Kebijakan tak populer ini mengagetkan publik. Masalahnya kemampuan ekonomi rakyat sedang di titik nol. Tak heran, jika kelompok masyarakat, dari mahasiswa, buruh, pengusaha dan LSM menumpahkan kekesalannya dengan menggelar aksi demonstrasi menuntut dibatalkannya kenaikan BBM, serta TDL dan telepon yang telah dinaikkan pemerintah sejak fajar tahun Kambing merekah pada 1 Januari 2003.

Sampai dengan 9 Januari 2003, saat gelombang demokrasi di titik kulminasi, pemerintah tetap pada keputusannya sekalipun muncul tuntutan para pendemo yang mengartikulasikan kepentingan publik luas sejak pelayan hingga buruh tekstil itu. Pemerintah tak akan membatalkan atau pun menunda kenaikan harga dan harga BBM, tarif listrik dan telepon meski aksi unjuk rasa menentang hal itu semakin banyak, ujar Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Jusuf Kalla.

Menurut pemerintah bukan harga BBM yang harus direvisi, melainkan mekanisme subsidinya. Untuk itulah pemerintah menganggap perlu meneruskan program subsidi langsung lewat program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak (PKPS-BBM). Subsidi langsung mesti dilakukan, karena selama ini subsidi BBM tidak tepat sasaran dan tidak mencerminkan asas keadilan. Maklum, subsidi BBM tersebut selama ini dinikmati seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali golongan menengah ke atas yang sebetulnya mampu membeli BBM sesuai dengan harga pasar, seperti diterapkan di dunia internasional. Versi Bank Dunia, subsidi BBM lebih dari 60% dinikmati oleh masyarakat golongan menengah ke atas. Daripada subsidi tersebut tidak tepat sasaran dan merongrong anggaran negara, maka mekanisme subsidi langsung ditempuh oleh pemerintah.

Percepat Pencairan

Kendati tak membatalkan kenaikan harga BBM, tarif listrik dan telepon, pemerintah mempercepat pencairan dana PKPS-BBM lebih awal. Khusus untuk program Raskin (Beras untuk Rakyat Miskin) telah mulai 10 Januari 2003. Ini berarti maju empat bulan, karena dana tersebut semula direncanakan cair mulai April hingga Juni 2003. Selain mempercepat pencairan dana kompensasi BBM, Rakor Kesra (9/1) memutuskan menaikkan dana kompensasi BBM 2003, dari semula Rp 4 triliun menjadi Rp 4,430 triliun.

Apabila dibandingkan dengan alokasi dana kompensasi BBM tahun anggaran 2002 (Rp 2,85 triliun), berarti dana kompensasi BBM tahun ini 55,45%.

Sejarah mencatat selama kurun waktu 27 tahun terakhir (sejak 1975), rakyat kita menikmati murahnya harga BBM dari subsidi pemerintah. Kebijakan itu pada gilirannya terus membengkakkan anggaran negara pada setiap tahun anggaran baru. Data Hardi Prasetyo (2002), menunjukkan di masa-masa dekade 70-an masih memperoleh laba bersih dari penjualan BBM. Pada tahun anggaran 1972/1973, laba yang diperoleh berkisar Rp 31 miliar. Tahun anggaran 1973/1974 meningkat kembali Rp 34,2 miliar.

Setelah itu kita mengalami masa-masa di mana laba bersih penjualan BBM tidak terjadi lagi, di sinilah awalnya dari fenomena subsidi BBM di mana Pemerintah harus selalu menyediakan subsidi karena hasil total penjualan lebih kecil dari total biaya pokok. Dengan menyubsidi harga BBM, berarti pemerintah mesti membayar sebagian harga BBM yang dibeli masyarakat.

Pada tahun anggaran 1975/1976 jumlah subsidi BBM baru sebesar Rp1,3 miliar. Secara eksplosif, subsidi BBM melonjak sampai Rp1,5 triliun pada tahun anggaran 1981/1982. Penurunan terjadi pada tahun anggaran 1982/ 1983 menjadi Rp924 miliar. Kemudian subsidi BBM meroket sejak pertengahan tahun 1997, saat krisis moneter menerpa bangsa ini, dengan melemahnya nilai rupiah dari sekitar Rp 2.500 menjadi di atas Rp 10.000.

Selama era reformasi, subsidi yang mesti dikeluarkan pemerintah terus merayap naik. Pada tahun anggaran 2000, subsidi BBM mencapai Rp 51 triliun (26% dari Belanja Negara APBN TA 2000, atau hampir 2 kali lipat Pinjaman Luar Negeri APBN TA 2000). Berikutnya tahun anggaran 2001, subsidi BBM sudah bertengger di angka Rp 53,8 triliun. Mulai tahun silam, seiring kebijakan memperketat anggaran, subsidi BBM dipatok Rp 32,3 triliun (sumber: BBMwatch, 2002).

Beban Utang

Di atas permukaan, seolah-olah kebijakan mengurangi subsidi BBM membenarkan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Namun, benarkah demikian? Sebetulnya structure adjustment (kebijakan pengencangan ikat pinggang) itu juga terkait dengan tingginya beban utang yang wajib dibayar oleh pemerintah. Hal itu karena APBN kita, sekarang ini, menanggung utang sekira Rp 650 triliun. Untuk membayarnya, pemerintah harus mengeluarkan uang sebesar antara Rp 60 hingga Rp 80 triliun berikut bunganya setiap tahun.

Dengan menaikkan harga BBM, setidaknya Rp 17 triliun dapat dihemat pemerintah untuk menambal anggaran tahun berjalan. Jadi, pemerintah mengkonversi beban utang itu ke pundak rakyat. Mestinya, kalau pemerintah peduli terhadap rakyat, uang sebesar Rp 17 triliun berkat kenaikan harga BBM itu kembali diserahkan pada rakyat lewat program PKPS-BBM. Yang terjadi, program PKPS-BBM hanya menerima dana Rp 4,43 triliun (26,05%). Angka sebesar itu jauh dari memadai untuk menolong penderitaan rakyat. Program PKPS-BBM, jadinya hanya retorika ekonomi-politik pemerintah yang meninabobokan rakyat!

Katakanlah, program PKPS-BBM benar-benar efektif, seberapa besar ia memenuhi aras keadilan? Konglomerat yang menenggak dana BLBI saja dibebaskan dari proses dan tuntutan hukum (Release and discharge), padahal merekalah sesungguhnya penyumbang terbesar krisis yang menimpa bangsa ini. Rp 140 triliun yang ditenggak konglomerat itu, sungguh bermanfaat jika digunakan untuk menolong perekonomian rakyat.

Akan tetapi, pemerintah selalu menganak-emaskan mereka, kendatipun dana BLBI itu belum jelas dapat dikembalikan atau tidak. Jika didesak menindak konglomerat-konglomerat itu, pemerintah justru menyebut, inilah biaya krisis!. Adanya fakta seperti itu, tak berlebihan kalau kalangan kritis terhadap pemerintah menyebut program PKPS-BBM itu hanya lips service. Program itu barat setitik air di padang pasir, sehingga tak sanggup memuaskan dahaga rakyat yang dihimpit kesulitan ekonomi.

Daripada terus bertahan dengan langkah konservatif itu, saya kira, tidak terlalu jelek kalau pemerintah bersedia membicarakan lagi APBN 2003. Revisi moderat atas APBN 2003 masuk akal menimbang dampak besar kenaikan harga BBM ini. Dengan cara itu, bisa saja pemerintah dapat mempertahankan pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kalau betul keputusan menaikkan TDL dan harga BBM sudah disepakati antara pemerintah dan DPR, secara teknis pemerintah dan DPR dapat merevisi APBN 2003, entah itu dengan membatalkan kenaikan harga BBM, TDL, dan telepon atau menundanya sampai waktu yang tepat.

Dalam konteks pengetatan anggaran, okelah rasionalisasi subsidi (di banyak bidang) mesti tetap dilakukan. Tapi, bukankah pemerintah perlu melihat kenyataan yang sebenarnya hidup di tengah masyarakat. Ambil contoh, program bantuan khusus murid sekolah dasar dan menengah diserahkan ke penerimanya. Murid penerima itu, misalkan dapat bantuan Rp 10.000 setiap bulan. Penerima itu, pasti menyerahkan bantuan ke orang tuanya.

Nah, kalau orang tua mereka kesulitan ekonomi, uang itu bukannya digunakan bagi pendidikan anaknya, tapi justru untuk membeli kebutuhan pokok yang kini membubung tinggi. Kenyataan ini, mesti didalami pemerintah, agar tidak mengeluarkan kebijakan the homeless. Toh, pemberian subsidi masih dapat dibenarkan sepanjang dirancang untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. [Suara Pembaruan, 14 Januari 2003]

No comments: