Thursday, June 28, 2007

PKS Menang di "Rumah Sendiri"

Oleh Moh Samsul Arifin

KEHADIRAN
K.H. Abdurrahman Wahid pada kampanye pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad tak dapat mendongkrak simpati warga Depok untuk mencoblos mereka dalam pemilihan wali kota/wakil wali kota, 26 Juni lalu. Berdasarkan data yang dikumpulkan sementara ini, pasangan yang diusung oleh Partai Golkar dan PKB itu memperoleh 204.675 suara atau 38,86 persen.

Angka tersebut di bawah pasangan Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra yang memperoleh 231.819 suara atau 44,01 persen. Di belakang dua pasangan ini ada pasangan Yusuf Ruswandi-Soetadi Dipowongso dengan 34.401 suara atau 6,53 persen. Setelah itu, pasangan Abdul Wahab-Ilham Wijaya dengan 31.796 suara (6,04 persen) dan pasangan Harun Heryana-Farkhan dengan 24.003 suara atau 4,26 persen (Pikiran Rakyat, 29/6). Meski demikian, di Depok sang pemenang belum dipastikan.

Namun tidak demikian dengan pilkada di Kabupaten Sukabumi. Menurut hasil tabulasi perolehan sementara yang diumumkan Sekretariat KPUD Sukabumi, Rabu (29/6), pasangan Sukmawijaya-Marwan Hamammi meraup 423.656 suara atau 43,12 persen dari total suara yang masuk. Suara pasangan yang diusung koalisi empat partai (PKS, PKPB, PKB, dan PAN), berhasil mengungguli rival terberatnya, pasangan Lukas Mulyana-Dayat Wiranta.

Pasangan Lukas-Dayat yang dicalonkan oleh Partai Golkar memperoleh suara sebanyak 322.776 suara atau 32,85 persen dari suara yang masuk. Pasangan Ucok Haris Maulana Yusuf-Teddy Nurhadie dari PDIP menempati posisi ketiga dengan meraih 128.480 suara (13,08 persen). Urutan terakhir ditempati pasangan Asep Ruhiyat-Yusuf Puadz dari PPP (67.549 suara atau 10,95 persen).

Tingkat partisipasi warga Sukabumi dalam pilkada mencapai 70 persen, jauh lebih baik dari pilkada di Depok. Angka warga yang tak menggunakan hak pilih atau tidak mencoblos alias golput belum pasti. Namun pantauan Pusat Kajian Politik UI di 80 TPS, menemukan hampir 38 persen pemilih yang sebelumnya telah terdaftar, ternyata tidak datang untuk memberikan suara.

Data empiris di atas membuktikan dugaan saya sebelumnya (lihat "Mengapa Harus Golput?", Pikiran Rakyat, 27/6) bahwa tingkat partisipasi warga Sukabumi akan jauh lebih bagus ketimbang warga Depok. Warga Sukabumi yang sebagian besar tinggal di pedesaan (rural), tradisional umumnya lebih dapat digerakkan (dimobilisasi), dan lebih memiliki kedekatan emosional dengan daerah dan pasangan yang bersaing dalam pilkada.

Golput sekira 38 persen di Depok--sebagian lagi menyebut 40-41 persen-layak dicermati. Ini diatas rata--rata nasional. Kita sudah tahu bahwa pilkada di Depok dise-lenggarakan pada hari libur yakni hari Minggu, sehingga warga di sana tidak terkendala pekerjaan/rutinitas untuk melangkahkan kaki ke TPS. Apakah itu berarti warga Depok tengah unjuk gigi akan kemandirian mereka? Lantas, apa kemandirian atau otonomi politik itu digunakan untuk menginterupsi atau bahkan bentuk protes dan ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi yang tengah berlangsung?

Jawaban ini bisa diuji di lapangan. Seorang kawan berusia di atas 50-an berujar, "Saya tidak tertarik lagi dengan proses-proses pemilihan. Pilpres saja saya tidak mencoblos, apalagi pilkada," sebutnya. Bekas wartawan Jakarta Post ini tidak asal bicara, karena untaian kalimat tersebut berasal dari kristalisasi sikap atas pandangannya terhadap politik nasional. Meskipun sikap politiknya dekat dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tidak otomatis menggerakkannya untuk memilih pasangan Nurmahmudi-Yuyun. Pada situs milik Depok Metro, tertulis beberapa pesan warga untuk Badrul Kamal, sang incumbent yang sementara ini dikalahkan pasangan Nurmahmudi-Yuyun. Rubrik "Pesan untuk Badrul Kamal" jauh dari menyenangkan kubu incumbent.

Seorang warga menulis pesan, "Tolong pesan buat Badrul Kamal ... mending dia mundur aja jangan ikut pilkada ...siap-siap dipanggil KPK buat APBD 2003 ...(soalnya) management letterdah di meja KPK". Yang lain menulis, "Saya warga RW 10 Abadijaya, kami dan teman-teman sudah minta jalan di RW kami diperbaiki serta pengadaan gerobak sampah lewat proposal sejak bapak memerintah, kok sekarang baru direalisasikan setelah bapak tidak menjabat lagi (apa karena pilkada supaya warga kita milih bapak) jangan-jangan uangnya juga dari kas daerah tetapi diklaim dari Bapak". Dalam rubrik pesan itu banyak sekali suara-suara minor untuk Badrul, entah itu mencerminkan opini aktual warga karena ditulis mereka sendiri sebagai individu atau itu bentuk pembunuhan karakter oleh lawan/pihak-pihak yang tak menginginkan Badrul memimpin kembali Depok. dan laporan akhir

Yang pasti, jika diandaikan suara-suara itu benar alias apa adanya, ternyata warga Depok memiliki catatan atas rekam jejak (track record) para calon. Pengetahuan warga atas rekam jejak itu akan mengalihkan pilihan mereka dari incumbent ke para pasangan calon lain, khususnya yang bervisi alternatif.

Kritisisme warga Depok itulah antara lain yang membantu kemenangan Nurmahmudi-Yuyun dalam pilkada kali ini. Pasangan tersebut tercitrakan sebagai memiliki jejak rekam bersih, apalagi mereka diusung oleh PKS yang merupakan "penguasa" parlemen lokal (DPRD Kota Depok).

Bagi PKS sendiri, kemenangan mantan Presiden PKS itu ibarat kemenangan di "rumah sendiri", sebab di sinilah massa tradisional PKS terbesar berada. Depok cukup identik dengan Universitas Indonesia. Sebagian besar aktivis masjid di kota ini kalau bukan aktivis PKS, pastilah konstituen atau simpatisan PKS.

Selain modal rekam jejak yang bersih, agaknya mesin politik PKS bekerja efektif dalam memenangkan bekas presidennya ke kursi wali kota. Validasi dari statemen ini memang perlu diuji, karena kita perlu melihat kongruensi data pemilih PKS yang memberikan suara kepada partai ini dalam pemilu legislatif dan pilkada.

Bagaimana dengan popularitas? Dari sisi ini, tentu saja nama Nurmahmudi memiliki popularitas yang lebih tinggi ketimbang Yuyun. Dengan pernah menduduki jabatan tertinggi partai, nama Nurmahmudi harum, apalagi ia juga bekas menteri di Kabinet Persatuan Nasional di masa Gus Dur. Dalam pola pemilihan paket seperti pilkada langsung ini, secara tidak langsung mata warga akan tertuju kepada nama calon wali kotanya (orang nomor satu).

Namun demikian, tidak fair jika Yuyun dianggap tak memiliki peran dan kontribusi. Sistem paket bagaimanapun meniscayakan kepaduan antara dua nama yang diajukan sebagai calon wali kota/wakil wali kota. Jusuf Kalla dalam pilpres lalu telah membuktikan bahwa sekalipun ia diplot (dan cocok) sebagai wapres, tidak berarti posisi tawarnya di hadapan pasar politik kecil. Kalla diperebutkan banyak calon presiden saat itu: sejak Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Karena Mega lambat melamar, maka Kalla memutuskan mengambil pinangan Yudhoyono. Pilihan itu ternyata berharga tinggi di pasar politik, sehingga mereka terpilih sebagai presiden dan wapres. Pascapilpres, mereka saling melengkapi untuk membentuk kinerja kabinet Indonesia Bersatu yang solid.

Pilkada di Depok dan Sukabumi melambungkan PKS. Berkoalisi dengan PKPB, PKB, dan PAN, partai dakwah tersebut mengantar Sukmawijaya-Marwan Hammami ke kursi bupati/wakil bupati di Sukabumi. Ini memastikan "dominasi" PKS di daerah lingkaran/seputar Jakarta seperti Pemilu 2004. Khusus di Jawa Barat, dalam pemilu legilatif lalu, PKS menguasai Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Depok, Bekasi. Pantas kalau Golkar jauh lebih mewaspadai PKS ketimbang partai besar lainnya, karena partai dakwah ini memiliki organisasi yang rapi dan didukung konstituen yang fanatis.

Pada pilkada di 121 kabupaten dan kota sepanjang Juni 2005, dari 82 kabupaten dan kota yang dipantau, Partai Golkar hanya menguasai 29 kabupaten dan kota. Padahal, pada pemilu legislatif April 2004, partai ini menguasai hingga 50 kabupaten/kota. Bukan hanya Golkar yang kelimpungan, PDIP dan PKB juga merasakan hal sama. Sebagai "Partai penguasa Jawa Timur", PKB kalah di Lamongan, Surabaya, Sumenep, Situbondo, Banyuwangi. Diduga ini tidak terlepas dari kemelut yang terjadi dalam tubuh partai ini, setelah terjadi pro- kontra atas kemimpinan dua kubu berbeda, Muhaimin Iskandar dan Alwi Shihab (Pembaruan, 1/7).

Ada isyarat, partai politik tidak lagi mengakar dalam pilkada. Namun, partai-partai kecil yang memiliki calon populer di masyarakat berhasil menempatkan calonnya sebagai pemenang. Di kabupaten Sintang, Kalimantan Barat misalnya, calon yang diusung PDS dan Partai Pelopor berhasil mengalahkan pasangan calon partai-partai besar. Demikian juga di Minahasa Utara atau Seluma (Kompas, 28/6).

Pola yang sama sudah terjadi di Depok dan Sukabumi, dengan PKS sebagai the ruling party. Apakah dalam pilkada di Kabupaten Bandung, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Karawang, pola sama akan terjadi? Partai-partai kecil pengusung nama popular bakal merontokkan keperkasaan mesin politik partai besar. Kelewat berspekulasi apabila dijawab sekarang. Selain tiga kabupaten tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan dua daerah yang telah menyelenggarakan pilkada, proses politik pilkada di daerah yang dikuasai Golkar dan PDIP lagi berlangsung.

Dari tiga daerah yang akan menyelenggarakan pilkada tersebut patut dicermati. Apakah sang incumbent akan kembali bertarung. Di Indramayu misalnya, bupati yang sempot bikin heboh karena edisi Alquran yang dilengkapi foto dirinya akan ikut bertarung lagi, termasuk juga kemungkinan di Karawang dan Kabupaten Bandung. Betulkah incumbent akan kembali menjabat, waktu yang akan menjawabnya. [Pikiran Rakyat, 4 Juli 2005]

1 comment:

azfaAZ said...

gak ada berita-berita baru....??? :))