Wednesday, June 27, 2007

Akankah Mimpi Menjadi Nyata di Aceh?

Oleh Moh Samsul Arifin

SEBUTLAH Juha Cristensen (47), dipastikan publik akan geleng-geleng kepala mendengarnya. Sosok satu ini kalah populer dengan Martti Ahtisaari, bekas Presiden Finlandia yang memfasilitasi perundingan maraton Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berakhir 17 Juli lalu. Memakai nakhoda Crisis Management Inisiative (CMI), Ahtisaari telah menggalang damai di bumi Serambi Mekah sejak 27 Januari atau sebulan selepas tsunami menghumbalang Aceh.

Juha adalah orang di balik layar yang menghubungkan tiga pihak, yakni Ahtisaari (CMI), sebuah keluarga Makassar yang tinggal di Helsinki serta tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Swedia. Profesi Juha adalah konsultan bisnis di Helsinki dan termasuk salah satu staf ahli di CMI. Juha mengenal Makassar, sebab di tahun 1990-91 silam, ia pernah menemani istrinya, Pirkko Christensen (43), untuk meneliti bahasa di ibukota Sulawesi Selatan itu.

Karenanya, tak heran jika pasangan ini tetap menjalin kekerabatan dengan satu keluarga Indonesia asal Sulawesi yang kebetulan tinggal Helsinki. Kenalan Juha ini nantinya mengontak kerabatnya, seorang pejabat yang juga asal Makassar, Farid Husain. Dirjen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI ini lalu mengontak Jusuf Kalla yang merespons baik usulan penyelesaian Aceh lewat perundingan. (selengkapnya lihat majalah ACEHKITA, edisi khusus terbit Agustus 2005).

Selain Ahtisaari dan Juha, perundingan informal di Helsinki menjadi mungkin--dan karenanya rasional di mata para pihak konflik--berlaitan perubahan karakter konflik yang telah bertakhta di Aceh hampir tiga dekade.

Paling kurang ada dua penjelasan mengapa karakter konflik berubah. Selepas tsunami menerjang tanah rencong, daerah ini telah menjadi daerah terbuka. Masyarakat internasional (LSM-LSM asing) dan pasukan asing berebut "kaveling" untuk membantu masyarakat korban tsunami dalam misi kemanusiaan. Kecuali pasukan asing yang telah keluar Aceh, sejak 26 April silam, LSM-LSM internasional tetap bermukim di bumi Teuku Umar ini.

Keterbukaan ini telah "memaksa" dua pihak untuk kembali ke meja perundingan, karena hirau dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi di provinsi yang kini intim dengan gempa tersebut. Pascatsunami menurut BMG setempat sedikitnya 5.627 kali gempa mengguncang Aceh. Indonesia memiliki kepentingan untuk menarik kepercayaan (trust) negara internasional agar komitmen bantuan yang dijanjikan benar-benar dapat dicairkan.

Sebaliknya GAM yang memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat korban tsunami, tak mungkin menutup mata dengan bencana yang membikin Aceh rata dengan tanah tersebut. Inilah mengapa GAM--yang sudah lemah (versi TNI tinggal 1.212 personel dengan 445 pucuk senjata)--meminta gencatan senjata sejak awal tsunami. Dan seterusnya, GAM makin realistis dengan menurunkan tuntutan mereka dalam perundingan Helsinki (I-IV). Opsi merdeka ditutup rapat, sebaliknya GAM gencar meminta partai politik lokal.

Dalam Helsinki V (12-17 Juli), kedua pihak sepakat untuk menuangkan butir-butir yang disepahami dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang akan ditandatangani Agustus mendatang. MoU melingkupi beberapa hal seperti pemerintahan di Aceh, termasuk hukum, partisipasi politik, ekonomi, dan penegakan hukum. Kedua pihak juga sepakat menuangkan masalah hak-hak asasi manusia, amnesti dan mengintegrasikan kembali GAM ke dalam masyarakat, pengaturan masalah keamanan, pembentukan Misi Pemantauan Aceh (Aceh Monitoring Mission), dan permasalahan permukiman/perumahan.

Sebelum Helsinki V, pemerintah menawari GAM untuk bisa ikut dalam pilkada di Aceh. Selain jabatan gubernur, mereka boleh berpartisipasi asal dicalonkan melalui parpol yang telah ada. Seterusnya kedua pihak dikabarkan sepakat soal partai lokal ini, dan RI akan memberi kata putus dalam 18 bulan mendatang. Tentu saja setelah mendapat persetujuan parlemen (DPR).

Saking banyaknya pihak yang kontra soal partai lokal ini, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) menyatakan, dalam perundingan informal di Helsinki tidak ada kesepakatan terkait pembentukan partai politik (parpol) lokal. Menurutnya, hak dan kewajiban mantan anggota GAM sama dengan warga negara Indonesia lainnya jika mereka sudah mendapatkan amnesti (Pembaruan, 22/7).

Partai lokal memang sensitif. Sejauh ini, UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum mengaturnya. Untuk bisa terdaftar di Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan HAM), sebuah partai mesti mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah provinsi, 50 persen dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25 persen dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan (Pasal 2 ayat 3 huruf b).

Itu artinya parpol yang diakui harus bersifat nasional dan karena memiliki kantor pusat di Jakarta. Agar partai lokal hadir di Aceh, paling kurang harus dilakukan amendemen terhadap UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otsus atau UU Parpol.

Tapi secara sosiologis, partai lokal sebetulnya bukan barang baru dalam sejarah pemilu (politik elektoral) di Indonesia. Ini dapat ditilik dari sejarah dan fakta selama pemilu 1955 hingga era reformasi. Pada hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, karakter parpol yang bersifat "nasional" menurut UU No. 31 Tahun 2002 itu sebetulnya banyak beraroma "kedaerahan".

PAN sebetulnya layak disebut sebagai partai lokal Sumatera Barat pada Pemilu 1999. Demikian pula PKB, pada Pemilu 1999 dan 2004 konstituen partai bintang sembilan ini terkonsentrasi di Jawa Timur. Dalam Pemilu 1955, bahkan kita memiliki partai lokal yang memiliki suara signifikan di daerahnya.

Damai di Aceh

Helsinki adalah jalan kesekian dari proses menuju damai di Aceh. Sebelum Presiden Abdurrahman Wahid sudah mencobanya ketika RI-GAM menandatangani CoHA (Cessation of Hostilities Agreement), 9 Desember 2002 di Jenewa, Swiss. Saat itu dibentuk Komisi Keamanan Bersama (Joint Security Committee/JSC) terdiri atas unsur TNI/Polri, GAM de-ngan Henry Dunant Centre (HDC) sebagai fasilitator.

Tak ketinggalan dihadirkan personel militer asing untuk mengawal proses damai. Namun, CoHA berantakan ketika sudah sampai di fase demiliterisasi. Seorang aktivis mahasiswa Aceh bilang CoHA efektif selama dua pekan. Selebihnya pelanggaran demi pelanggaran dilakukan oleh kedua pihak, sehingga menggergaji proses damai.

Menurut hemat penulis, ada tiga pihak yang harus dicermati dalam rangka menciptakan damai di Aceh. Pertama, pemerintahan Jakarta, termasuk parlemen. Akibat tidak dilibatkannya parlemen dalam proses di Helsinki, beberapa anggota DPR meminta pemerintah menjelaskan secara detil butir-butir yang telah disepahami oleh RI-GAM. Satu fraksi yakni, PDI Perjuangan bahkan, tegas menolak perundingan dengan GAM.

Jusuf Kalla memang mengacuhkan PDI Perjuangan, karena baginya tanpa mereka, sudah 80 persen dukungan diperoleh pemerintah. Kalla bahkan mengatakan penandatanganan perjanjian damai RI-GAM pada 15 Agustus tidak memerlukan persetujuan DPR.

"Proses penyusunan dokumen perjanjian penghentian konflik sepenuhnya wewenang pemerintah. Jika perubahan undang-undang, baru kewenangan DPR. Intinya, sistem dengan DPR ratifikasi namanya. Ratifikasi itu dilakukan setelah undang-undang ditandatangani. Bukan sebelumnya dan bukan prosesnya. Semua proses dijalani, nanti ratifikasinya di DPR, bukan prosesnya diikuti DPR," ujarnya seperti dikutip Media Indonesia (23/7).

Kedua, sikap TNI/Polri. Sejauh ini TNI menyatakan akan mengikuti pemerintah. Pandangan demikian mesti dibuktikan di lapangan, sebab sungguh perlu keberanian besar untuk menarik pasukan, khusus non organik, yang ditaksir berjumlah 35-50 ribu personel. Dalam episode Aceh pasca-DOM (Daerah Operasi Militer) 1998, Presiden Habibie dan Jenderal Wiranto, berjanji menarik TNI dari Aceh. Kenyataannya selain ada penarikan, ada pasukan yang dikirim ke Aceh. Selepas DOM, kekerasan bukannya mereda. Namun, kian menganga.

Ketiga, GAM harus membuktikan bahwa mereka solid, perjuangan bawah dan atas (Swedia) adalah koheren dan bukan terbelah. Jika ada satu faksi saja di lapangan yang oposisi terhadap keputusan petinggi di Swedia, maka proses damai menjadi taruhan. Selebihnya, semua mata publik harus mengawasi front-front sipil yang kerap mengambil inisiatif namun kontraproduktif dengan misi perdamaian.

Kelewat sering Cut Nyak menangis. Momentum 17 Agustus 2005 nanti layak kita gunakan untuk "menggulung lengan baju" permusuhan. Rakyat Aceh sejak dulu sudah memberikan baktinya kepada Indonesia. Jangan lagi kepercayaan terhadap pemerintahan Yudhoyono-Kalla tercoreng pihak-pihak yang mengambil keuntungan di simpang jalan. [Pikiran Rakyat, 25 Juli 2005]

No comments: