Friday, June 22, 2007

Nalar Demokrasi Bertemu Nalar Rakyat

Oleh Moh Samsul Arifin

GEGERKALONG, Sukasari Bandung, seorang suami istri bergegas memasuki TPS 04. Mereka membawa selembar kartu pemilih tanpa surat "undangan" pemilih sebagaimana warga masyarakat kebanyakan. KPPS setempat cukup tanggap menghadapi "pemilih dadakan" seperti itu. Ia menghitung warga terdaftar yang sudah mencoblos, menghitung yang belum menggunakan hak politiknya serta menghitung surat suara sah cadangan. Mereka cermat sekali secara administratif dan memahami antusiasme pasangan tersebut. "Oke, Anda berdua boleh mencoblos di sini," ujar salah seorang anggota TPS.

Saya menyaksikan semacam korelasi antara tertib administrasi TPS tersebut dengan kesadaran politik warga masyarakat. Rakyat, seperti suami-istri di atas, menunaikan hak politiknya dengan satu pemahaman. Mencoblos berarti ikut menentukan pemimpin bangsa lima tahun ke depan. Kandidat yang dipilih mereka diharapkan dapat mengerti kebutuhan rakyat, paling kurang ekspektasi 155.048.803 pemilih (Pikiran Rakyat, 5/7). Menggunakan hak politik berarti "merestui" perjalanan demokrasi Indonesia.

Bukan hanya rakyat awam, penyelenggara dan pemantau pemilu (dalam dan luar negeri) yang antusias dengan pemilu langsung pertama dalam sejarah Indonesia ini. Seluruh kandidat presiden dan wapres pun mencoblos dengan perasaan suka. Megawati Sukarnoputri, Hamzah Haz, Wiranto, Salahuddin Wahid, Jusuf Kalla, Siswono Yudo Husodo dan Agum Gumelar memilih di Jakarta. Susilo Bambang Yudhoyono mencoblos di Bogor. Amien Rais di Sleman Yogyakarta. Dan Hasyim Muzadi di Malang. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tampak sumringah.

Sepintas kita melihat nalar rakyat "memeluk erat" nalar demokrasi. Pemilu 5 Juli ini dinilai sebagai koreksi terhadap pelaksanaan pemilu selama republik ini berdiri. Serta jadi pembuktian, bahwa negara kepulauan seluas Indonesia bisa pula melaksanakan model demokrasi negara-kota Athena ini.

Dapat dibilang penyelenggaraan pilpres lebih tertib ketimbang pemilu legislatif. Penyediaan logistik tepat waktu, dan hanya pada sedikit wilayah pemilu susulan harus dilaksanakan. Menyusul aktivitas gunung Egon di desa Egon Gahar dan Hale, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, dua desa tersebut tak dapat mencoblos tepat waktu (Tempo Interaktif, 5/7). Sementara di daerah rawan konflik seperti Aceh, Poso, Maluku dan Papua, aktivitas pemilu tidak mengalami gangguan.

Bertemunya dua nalar di atas bukan sesuatu yang tiba-tiba. Ada jalan berkelok yang harus dilalui. Di tingkat institusi politik, sistem demokrasi langsung baru disepakati dalam ST MPR 2002. Padahal di tingkat sosiologis, demokrasi langsung sudah mengakar telah jauh-jauh hari, yakni dalam tradisi pemilu kepala desa/lurah di Nusantara. Mari kita buka kalendar sejarah.

Di Bratislava, Slovakia kira-kira dua tahun lampau, Presiden Megawati Sukarnoputri merisaukan kesiapan masyarakat mengikuti pemilihan secara langsung pada Pemilu 2004. Sekelompok konservatif di parlemen (DPR) pun, mengeluarkan segenap daya untuk menahan laju pembaruan politik yang cukup deras pasca 1998. Bahkan, sebagian di antara mereka merekomendasikan agar sang presiden mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Megawati mengabaikan suara sumbang itu dan pada akhirnya ia setuju dengan gagasan demokrasi langsung dalam sesi pemilihan presiden dan wakil presiden. Presiden perempuan ini akan tercatat dalam lembar sejarah bangsa kita sebagai pemimpin yang mengiyakan kehendak zaman (zeit geist) ihwal demokrasi.

Negara kontinental seperti Amerika Serikat punya tradisi kuat menyelenggarakan demokrasi langsung. Akan tetapi belum ada yang sekolosal Indonesia. Bayangkan demokrasi langsung tahun ini diselenggarakan hanya lima tahun sejak sistem otoriter ditumbangkan. Pemilu 2004 akan diikuti tak kurang 150 juta pemilih dari negara berpenduduk 220 juta jiwa. Diselenggarakan serentak dalam setahun -- hanya berjarak tiga bulan dengan pemilu legislatif. Dan harus dilakukan pemilu tahap kedua jika tidak ada yang memeroleh suara di atas 50 persen. Bahkan pemantau dari Uni Eropa tak sungkan menyebut Pemilu 2004 sebagai pesta demokrasi paling kompleks (rumit) di jagad.

Semacam loncatan kuantum tampak mencolok dalam sistem demokrasi kita. Pasangan futurulog Alvin dan Heidi Toffler mengusulkan sistem "demokrasi semi-langsung" kepada negara-negara yang masih belia menganut demokrasi. Sebuah gerakan perpindahan dari kebergantungan kepada wakil-wakil menuju perwakilan diri sendiri. Demokrasi perwakilan tetap dianut, andaikata pemilihan langsung tidak menghasilkan majoritas mutlak. Nah, campuran dari keduanya inilah demokrasi semi-langsung. Negeri ini memilih meloncat jauh, sehingga diperkirakan Pemilu 2004 kemungkinan berlangsung 2 tahap.

Di dalam perpindahan itu, kita juga menyelenggarakan proses elektoral yang rumit. Pemilu legislatif serta pemilu presiden dan wakil presiden diselenggarakan terpisah (tidak dalam hari yang sama), meski dalam tahun yang sama. Di Amerika, pemilihan anggota senat dan pemilihan presiden memiliki jarak waktu yang relatif panjang (selisih dua tahun). Sementara Filipina mampu menyelenggarakan pemilihan senat dan presiden serentak.

Pilihan ini berakibat pada penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Oleh karena itu dapat dimafhumi kalau komisi pemilihan umum (KPU) pontang-panting menyiapkan dan menyelenggarakan tahapan pemilu. Bayangkan pemilu langsung, perubahan sistem pemilu legislatif dan penambahan pemilu anggota DPD ditetapkan tahun 2002. Berarti kurang dari 2 tahun KPU menyiapkan tiga pemilu sepanjang tahun 2004.

Sebuah keputusan yang tampak tergopoh-gopoh, namun irama politik seperti ini merupakan fait accompli zaman. Jikalau keputusan itu tidak diambil ditakutkan arus sejarah bergerak ke belakang. Atas nama sakralisasi UUD 1945, pembaruan sistemik di lanskap ketatanegaraan ingin dihambat. Ketidaksempurnaan yang melingkupi penyelenggaraan Pemilu 2004 ini harus dipahami sebagai "pemutus" keragu-raguan bangsa kita menempuh demokrasi langsung. Namun demikian, kita tak boleh abai untuk terus membenahi dan menyempurnakan sistem yang telah dipilih tersebut.

Satu alasan fundamental mengapa demokrasi langsung jadi idola adalah karena kesanggupan sistem ini menghasilkan output pemimpin (presiden/wakil presiden) yang memiliki legitimasi tinggi di hadapan rakyat (demos). Dalam sistem ini, partispasi rakyat tak dapat dibatasi oleh tembok tebal bernama kongkalikong elite nasional. Penjelasan kontras dapat dirujukkan pada Pemilu 1999 lalu. Saat itu rakyat menganggap mencoblos sama dengan memilih presiden. Parpol diidentikkan dengan tokoh tertentu. Ketika realitas politik (SU MPR 1999) berkata lain, tokoh dari partai pemenang pemilu tak langsung jadi presiden, baru rakyat sadar.

Di sejumlah daerah muncul amuk ketika massa parpol tertentu merusak sarana publik. Memang dalam demokrasi perwakilan kehendak rakyat dapat dipotong dan dipelintir elite yang mewakilinya. Andai pun, sang wakil (anggota DPR) sanggup meneruskan kehendak konstituen, itu menebak-nebak belaka. Distorsi sistem perwakilan adalah ketidakmampuannya meneruskan kehendak rakyat secara utuh.

Sistem demokrasi pertama kali diterapkan di Yunani dan Romawi kira-kira 500 tahun sebelum masehi. Kemauan memberi tempat bagi partisipasi rakyat itulah yang membuat sistem itu kuat, sehingga mampu bertahan berabad-abad lamanya. Dalam terjadi korespondensi antara demokrasi dan rakyat. Partisipasi rakyat menghidupi sistem demokrasi. Dan demokrasi yang kuat (terlembaga) mampu menjamin partipasi rakyat itu sendiri.

Kata Robert Dahl (2001), demokrasi itu -- lebih-lebih demokrasi langsung -- memberikan berbagai kesempatan untuk mencegah pemerintahan kaum otokrat yang kejam dan licik; menjamin sejumlah hak asasi yang tidak diberikan dan tidak dapat diberikan sistem tidak demokratis; membantu rakyat melindungi kepentingan dasarnya; menggunakan kebebasan menentukan nasibnya sendiri; menjalankan tanggung jawab moral; menjamin persamaan politik; serta cenderung memakmurkan negara-negara yang menggunakan sistem ini.

Sebagai sistem, demokrasi sangat akuntabel. Ia memungkinkan kontrol, evaluasi dan bahkan pembubaran terhadap dirinya sendiri. Akan tetapi semua kata akhir diputuskan oleh rakyat, dan bukan golongan arisktokrat atau teokrat. Demokrasi dapat disentuh semua pihak, tak terkecuali orang tak melek huruf, memiliki kendala fisik serta papa. Sistem itu memberi akses kepada semua pihak untuk mendapatkan hak politik yang sama. Dan karena, kata putusnya adalah rakyat (dan itu berarti mayoritas populasi), maka output proses demokrasi tidak menjamin lahirnya kepemimpinan yang baik serta amanah.

Dalam proses elektoral (pemilu), pemenang adalah pemilik angka terbesar dari suara yang sah. Demokrasi menghasilkan angka statistik dan dengan cara itu sang pemimpin ditetapkan. Kandidat yang cerdas tidak pasti terpilih. Demikian pula, kandidat yang dinistakan belum tentu terjungkal. Angka statistik lah yang akan menentukannya. Ini celah -- kalau bukan paradoks -- sistem demokrasi yang belum mampu ditutup oleh teoritisi dan praktisi politik. Pada sistem monarki dan aritokrasi hanya sebagian kecil manusia yang dianggapkan memiliki kapasitas memimpin. Sistem teokrasi menafikan kemungkinan cacat pada kalangan rohaniwan, sebagai wakil Tuhan di bumi.

Centang perenang itulah yang membuat Plato menyusun dua "bangun demokrasi". Pertama, demokrasi dari negara yang memiliki undang-undang. Kedua, demokrasi dari negara yang tidak memiliki undang-undang. Pada yang pertama, menurut penulis Republic ini, sistem demokrasi tidak lebih baik dari monarki dan aritokrasi. Sedangkan dalam negara yang tak mengenal hukum, sistem demokrasi justru lebih unggul dari oligarki dan tirani. Sinyalemen Plato itu menggabarkan kepada kita bahwa tak ada sistem yang sempurna. Yang adipurna cuma prosedur dan prosesnya belaka.

Proses elektoral, seperti Pilpres 5 Juli 2004, adalah kemewahan di balik labirin celah ketidasempurnaan semua sistem politik yang ada. Sistem demokrasi langsung paling kurang mengubur peluang kongkalikong elite yang kerap mengakali rakyat setiap kali pemilu. Dalam pilpres kali ini, lima kandidat yang tersedia menyediakan diri untuk dipilih dengan sejumlah kelebihan dan kelemahan yang dimiliki.

Kandidat yang tersedia pastilah tak pernah ideal, setidak idealnya sistem demokrasi itu sendiri. Paling kurang, demokrasi langsung, memberi keleluasaan pada rakyat untuk menentukan sendiri siapa tokoh yang akan menakhodai bangsanya lima tahun ke depan.

Dalam berbagai cara -- kehendak rakyat -- diekspresikan melalui pemungutan suara (pemilu) yang tidak sepenuhnya dapat menerjemahkan secara baik siapa yang memegang kekuasaan dan kebijakan apa yang akan dijalankan. Jika posisi-posisi yang memberi kekuasaan riil diokupasi oleh mereka yang bukan pejabat-pejabat resmi terpilih atau bukan oleh otoritas resmi lainnya, proses elektoral tidak memiliki kemampuan untuk menentukan kekuasaan yang efektif.

Itu terjadi di sebagian besar Eropa abad ke-19, di mana institusi warisan monarki membagi panggung publik dengan mendirikan lembaga parlementer. Pada saat yang sama ada sebagian bangawan (monarki) yang ikut cawe-cawe dalam penunjukan menteri-menteri serta pejabat-pejabat negara yang lain, ikut menentukan anggaran dan pajak, mengontrol militer dan kekuatan polisi serta mengeluarkan dekrit (John Markoff, 2002). Demokrasi langsung mampu menerjemahkan kepada siapa suara rakyat diberikan. Presiden terpilih nanti akan lebih mandiri dari rongrongan para pelancong politik yang oportunis (tidak seperti Presiden Abdurrahman Wahid tempo hari yang harus memperhatikan koalisi pelanginya dalam menetapkan kebijakan).

Tanggung jawab pemilih adalah mencari pemimpin yang kira-kira mampu membawa perubahan bagi bangsa kita dan bukan pada keberlangsungan sistem itu. Output proses elektoral adalah meletakkan amanat kekuasaan pada tiga cabang kekuasaan Montesquei, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Siapa yang terpilih berhak atas kekuasaan. Sebuah kepemimpinan akan efektif sangat bergantung pada jalannya tiga kekuasaan tersebut. Sebuah kekuasaan hanya dapat dikontrol (check and balances) dengan kekuasaan pula. Inilah jawaban yang tersedia dalam sistem demokrasi hingga abad ke-21.

Rakyat telah menggunakan hak politiknya. Pekan-pekan mendatang kita bakal menyaksikan kepada siapa amanah itu diberikan. Kalaulah tidak ada pemenang mayoritas dalam pemilu 5 Juli ini, rakyat kita harapkan tetap sabar menjalani pilpres tahap kedua. Demokrasi Indonesia membutuhkan partisipasi rakyat. Tanpa itu, nalar demokrasi langsung bakal kehilangan keabsahannya! [Pikiran Rakyat, 6 Juli 2004]

No comments: