Wednesday, June 13, 2007

Bisnis Militer di Masa Transisi

Oleh Moh Samsul Arifin

Penelitian mutakhir Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Yayasan Penguatan Partisipasi dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) bekerja sama dengan National Democratic Institute (NDI) menghasilkan kesimpulan yang mengejutkan ihwal bisnis militer. Berdasarkan penelitian terhadap unit usaha yayasan-yayasan di bawah naungan TNI (tiga angkatan, AD, AL, dan AU) disimpulkan, pendapatan yang diperoleh mereka tidak mampu menutup kekurangan anggaran pertahanan, karena keuntungannya tidak signifikan.

Dalam kurun waktu empat tahun terakhir tercatat kontribusi unit usaha di bawah Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) berkisar Rp 142,331 miliar. (Kompas, 26/11). Jumlah ini berarti hanya 1,2 persen dibanding dengan anggaran militer dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai sekitar Rp 12 triliun. Padahal YKEP yang berada di bawah kendali TNI AD, sejak Orde Baru merupakan ladang yang subur bagi militer untuk memburu rente ekonomi.

Kondisi setali tiga uang dialami beberapa "sekoci bisnis" unit-unit usaha yang dikelola TNI AL. Dikhabarkan tak kurang 13 dari 29 unit usaha Yayasan Bhumyamca, salah satu yayasan yang dimiliki Angkatan Laut, bakal ditutup. Sisanya akan segera disusulkan.

Bayangkan saja, sebuah usaha (Yala Ghitatama) yang dibangun dengan modal Rp 200 juta hanya sanggup meraih untung Rp 6,4 juta. "(Ini) cuma bisa buat beli permen karet. Buat bayar gaji pegawai saja enggak cukup," ujar Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Bernhard Kent Sondakh. (Tempo, 17 November 2002).

Adalah sesuatu yang tak terbantah bahwa keterlibatan militer (individu atau institusi) dalam dunia bisnis di negeri kita telah menyejarah. Di lain pihak, kita tidak menyaksikan adanya rambu-rambu yang secara tegas mengatur keterlibatan militer dalam bisnis serta apa itu bisnis militer. Oleh karena itu, tak heran, jika segalanya masih tampak remang-remang.

Namun demikian, apabila kita menelisik arus opini ihwal militer dan keterlibatan militer dan keterkaitan dengan bisnis, setidaknya ada tiga pendapat yang menyeruak. Pertama, bisnis militer terus berlangsung karena pemerintah tak kunjung berhasil menyediakan biaya operasional TNI. Disebut-sebut dana yang disediakan pemerintah cuma 30 persen dari total yang dibutuhkan TNI. Mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono merupakan tokoh yang kerap melansir pendapat ini.

Kedua, bisnis militer yang dimanifestasikan oleh yayasan-yayasan di ketiga angkatan layak diteruskan mengingat kontribusinya dalam meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI. Pendapat ini dianut oleh kalangan dalam militer sendiri, termasuk Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto.

Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa keterlibatan militer (secara institusional dan individual) dalam bisnis tidak punya keabsahan sama sekali. Kalangan ini meminta diberlakukan supremasi sipil atas militer, karena itu mereka menuntut militer kembali ke barak. Bagi mereka keterlibatan militer dalam bisnis hanya akan memperkuat intervensi militer dalam politik nasional.

Pada kenyataannya, tuntutan tersebut tak lagi memadai ketika UU Yayasan diundangkan oleh pemerintah beberapa waktu lalu. Alih-alih mengatur bisnis militer, UU Yayasan justru memberikan landasan hukum bagi keterlibatan militer dalam bisnis. Tentara yang
dilarang berbisnis melalui PP Nomor 6 Tahun 1974 justru diizinkan berbisnis melalui yayasan dengan ketentuan maksimal penyertaan 25 persen dari total kekayaan yayasan.

Perbedaan pendapat ihwal pengaturan militer serta keterlibatan mereka di panggung bisnis tentu saja tak boleh dibiarkan begitu saja. Dibutuhkan konsensus minimal di antara politisi sipil dan para jenderal (militer) untuk mengaturnya. Artinya, secara normatif (teoritis) harus disepakati dalam kredo dan nilai-nilai apa keterlibatan militer dalam bisnis masih dapat ditoleransi. Jika militer mesti di bawah supremasi sipil, kaum politisi di parlemen (DPR) perlu membuat instrumen legal yang mengatur bisnis militer.

Kenapa? Pasalnya, merujuk pengalaman di sejumlah negara, aktivitas bisnis militer masih dapat ditoleransi asalkan dilakukan dalam kondisi "transisional".

Kondisi transisional adalah kondisi di mana keterlibatan militer dalam tugas non-
tradisional (non-tempur) dibutuhkan bangsa ini, karena diduga kalau militer tidak turun, mudharatnya jauh lebih besar bagi kehidupan bangsa dan negara. Persoalannya adalah apakah sekarang ini tergolong kondisi "transisional" atau tidak. Sementara, demokrasi menghendaki misi non-tempur harus dikurangi pada tingkat yang minimal, kalau perlu ditiadakan sama sekali.

Seperti dikemukakan pengamat militer AS, Louis W Goodman (1995), militer diperbolehkan mengurus bisnis asal tidak menerabas tiga pantangan. Pertama, keterlibatan militer (dalam bisnis) menghalangi kelompok lain untuk mengambil peran dalam persoalan tersebut, sehingga menghambat organisasi sipil untuk mengembangkan kemampuan kritisnya dan menghambat perluasan peran sipil dalam masyarakat.

Kedua, pihak militer mendapat privilese tambahan sehubungan peran non-tempur (bisnis) tersebut, sehingga membuat enggan mereka untuk melepaskannya.

Ketiga, angkatan bersenjata terlibat terlampau jeluk (deep) dalam misi non-tempur itu, sehingga mengabaikan misi utamanya, yakni pertahanan.

Sejauh ini, merujuk track record militer dalam bisnis, khususnya di era Orde Baru, tiga 'grendel' itu tidak dihiraukan TNI. Bahkan ada kesan kuat, muncul resistensi dari kalangan militer, terutama yang menikmati manisnya bermain bisnis dengan di-back up kekuasaan (power) warisan Orde Baru.

Seperti diketahui, semasa Orde Baru intensitas keterlibatan militer dalam bisnis disokong oleh kekuasaan. Maklumlah, seperti dikonfirmasi oleh Studi Cholisin (2002), pola hubungan antara politik dan ekonomi di Indonesia saat itu cenderung mengarah pada politisisme: Siapa yang punya power (politik), dia akan mudah memperoleh akses ekonomi.

Setelah empat tahun reformasi, ada kesan kuat bisnis militer terus melaju. Dalam pada itu, sejumlah kesulitan mengemuka dalam proses pemisahan militer dari bisnis. Kondisi yang sudah kusut-masai itu tentu saja membutuhkan kearifan untuk memecahkannya.

Argumentasi di kalangan militer diwakili Panglima TNI bahwa institusinya "terpaksa" menjalankan aktivitas bisnis pada satu sisi mungkin dapat dibenarkan. Hanya saja, apakah hal itu sudah disertai sebuah konsensus antara pihak sipil dan militer. Apabila seluruh biaya operasional militer mesti disediakan pihak sipil (pemerintah), seperti yang dituntut militer, apakah itu sesuai dengan kondisi keuangan pemerintah.

Demikian pula, kalau masalah penyediaan biaya operasional bersifat patungan, berapa persentase dana yang mesti dianggarkan pihak sipil sehingga militer tak perlu berbisnis lagi.

Sebelum membangun konsensus dengan kalangan sipil, tidakkah olengnya "kapal bisnis" Angkatan Darat serta "sekoci bisnis" Angkatan Laut seperti diungkap ICW dan Tempo diatas mengingatkan kalangan militer bahwa mereka sebaiknya angkat kaki dari dunia yang memang tak dikuasai mereka itu? Bagaimana mungkin, meminjam kalimat KSAL, "Orang yang sekolah nembak disuruh ngurusi bisnis"? [Pikiran Rakyat, 2003]

No comments: