Monday, June 4, 2007

Ambalat, Demi Kedaulatan atau Minyak?

TIBA-tiba saja nasionalisme bangsa Indonesia menggelegak akhir-akhir ini. Bukan sebab naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) atau merangkaknya harga-harga kebutuhan pokok (sembako), tapi karena sebuah nama yang tak pernah kita dengar. Apa itu? Ambalat. Sebuah teritori yang sangat sulit dilacak dalam peta Indonesia, nun jauh di antara Pulau Kalimantan dan Sulawesi sana.

Klaim Pemerintah Malaysia atas blok Ambalat (kawasan laut kaya migas) membuat pemerintah Indonesia meradang. DPR meminta pemerintah bertindak tegas, termasuk mengambil tindakan militer. DPD pun mendesak pemerintah agar memobilisasi massa untuk menjaga kedaulatan nasional. Sementara itu aksi demonstrasi disertai pembukaan Posko Ganyang Malaysia merebak di sekujur negeri sejak Makassar hingga Bandung.

Dalam sepekan terakhir tak kurang tujuh kapal perang dikerahkan TNI AL ke Tarakan hingga Tawau. Kapal perang itu antara lain KRI Nuku, KRI Rencong, KRI Wiratno, KRI KS Tubun, KRI Tongkol, KRI Singa dan KRI Tedung Naga. Ada juga dua pesawat pengintai Nomad, dua pesawat Cassa, dan satu Heli Bolko yang disiagakan di KRI KS Tubun. Sementara TNI-AU menyiagakan pesawat Boeing 737 dan empat F-16 yang sudah dipindahkan dari Madiun ke Balikpapan (Jawa Pos, 10/3).

Sementara Malaysia mengirim tiga kapal perang, yakni KD Kerambit, KD Paus dan KD Perlis (Koran Tempo, 10/3). Menurut petugas Pos AL Sei Pacang (pos terdepan milik TNI), Kamis (10/3) negeri jiran itu menambah kapal perang lagi. Kapal perang baru Malaysia yang belum teridentifikasi nomor lambungnya itu melakukan patroli antara kawasan Karang Unarang hingga garis perbatasan Tawau dengan Pulau Sebatik. Armada TLDM (Tentara Laut Diraja Malaysia) yang melaju dari arah tenggara tersebut diduga melakukan patroli dari Pulau Sipadan dan Ligitan--dekat kawasan Karang Unarang menuju Tawau (Jawa Pos, 11/3).

Ini adalah aksi provokatif ke sekian dari Malaysia yang direspons TNI dengan melipatgandakan patroli. Yang pasti, tukas Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, pasukan marinir atau kapal perang yang dikerahkan TNI tidak akan melampaui armada Malaysia. Posisinya disetarakan, begitu kurang lebih.

Kasus Ambalat ini memang tak boleh disederhanakan sekadar sebagai persoalan kedaulatan (sovereignty). Ada beragam persoalan yang ada di bawah permukaan. Pertama, persoalan hukum terkait dengan klaim dua pihak. Kedua, kepentingan ekonomi. Ketiga, bermainnya kepentingan bisnis internasional yang memeroleh konsesi minyak dan gas dari kedua negara. Keempat, faktor xenophobia yang menghinggapi sebagian elite nasional. Dan kelima persoalan penjagaan daerah perbatasan yang lemah.

Soal hukum yang berimplikasi pada klaim dan kepemilikan blok tersebut bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan. Pasalnya, kedua negara memiliki pijakan berbeda terkait klaim terhadap blok yang menyimpan kandungan minyak sekira satu miliar barel dan gas sekira 40 triliun kaki kubik itu.

Pemerintah Malaysia menggunakan kacamata kuda sebagai dasar klaim tersebut, yakni Peta Wilayah Malaysia 1979 yang secara unilateral memasukkan wilayah Ambalat sebagai wilayahnya. Padahal peta ini sudah diprotes Indonesia sejak lama, namun tidak digubris.

Apalagi selepas itu keluar konvensi hukum laut PBB (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982. Konvensi ini memberikan pengakuan kepada Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki hak berbeda dalam penarikan garis batas wilayah. Ini diperkuat oleh sebuah fakta bahwa Indonesia sudah lama mengeksploitasi kawasan Ambalat sejak 1967. Bahkan waktu itu, ujar Hasyim Djalal (ahli hukum laut internasional) eksploitasi lebih ke arah utara. Tapi Malaysia tidak pernah protes (Kompas, 12/3).

Menilik kasus Ligitan-Sipadan yang dimenangkan Malaysia akhir tahun 2002, bisa jadi negeri jiran membawa persoalan ini untuk diselesaikan di Mahkamah Internasional. Diplomasi yang dilakukan sekarang ini agaknya sekadar inisiasi untuk menurunkan ketegangan di lapangan.

Sebagai kawasan yang kaya kandungan emas hitam, kedua negara memiliki kepentingan ekonomi di Ambalat. Indonesia sudah lebih dulu memberikan konsesi pengelolaan Blok Ambalat ke Unocal (Amerika). Sekira tahun 2001 Blok Ambalat Timur oleh Shell Indonesia dijual ke ENI (perusahaan minyak Italia). Anehnya Petronas Malaysia kemudian memberikan konsesi wilayah pertambangan itu kepada perusahaan asal Belanda Royal Dutch/Shell. Yang disebut terakhir ini mendapatkan konsesi atas kawasan Ambalat dari Pertamina pada tahun 1999. Itu berarti jejaring kepentingan bisnis ikut bermain di Ambalat. Jadi, haruskah dua negeri serumpun itu berperang demi kepentingan bisnis di luar dirinya?

Dosen Geodesi ITB Purna Bhakti, Klaas J Villanueva mengingatkan kita bagaimana memandang kasus Ambalat dengan jernih. Menurutnya, sengketa wilayah maritim di Ambalat diakibatkan karena masing-masing pihak melakukan klaim wilayah maritim tertentu. Jadi ini bukan sengketa wilayah kedaulatan dalam arti kata sovereignty, melainkan sengketa kedaulatan terbatas atau jurisdiksi untuk mengelola badan dan dasar laut, terutama hal sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya (lihat Sengketa Wilayah ZEE dan Wilayah Landas Kontinen di Ambalat, 2005).

Rebutan pengelolaan sumberdaya alam di laut itu tak harus memanaskan hubungan kedua negara. Sangat berlebihan jika masalah ekonomi ditafsirkan sebagai pelecehan terhadap kedaulatan negara. Cara penafsiran yang xenophobia (takut pada orang asing)-- dalam hal ini kehadiran kapal perang Malaysia di Ambalat--seyogiyanya dikaji ulang agar tidak melahirkan sentimen-sentimen negatif dan sikap konfrontatif.

Saya melihat elite kita di parlemen (DPR dan DPD) mulai terjangkiti penyakit xenophobia dan trauma berlebihan. Maklum, kita memiliki catatan yang gelap terkait teritori. Timor Timur lepas melalui referendum tahun 1999. Dan Pulau Sipadan dan Ligitan lepas ke tangan Malaysia tahun 2002. Celakanya kalangan DPR dan DPD bersikap reaktif dan emosional terkait Ambalat.

Pernyataan-pernyataan mereka tak pelak ikut memancing emosi massa, sehingga melahirkan sikap menerima tindakan konfrontatif dengan Malaysia. Akibatnya massa demonstran mengobarkan pekik Ganyang Malaysia, sesuatu yang mengingatkan kita terhadap seruan serupa oleh Bung Karno pada 27 Juli 1963.

Pekik "Ganyang Malaysia" itu adalah sikap nasionalisme sempit yang tidak mencerminkan level persoalan yang menggayuti sengketa Ambalat ini. Semangat nasionalisme yang hanya bertumpu pada keutuhan teritori semata sebetulnya tidak aktual dan menyelesaikan persoalan. Sebab, kadang-kadang nasionalisme seperti itu hanya mencomot anasir-anasir pihak tertentu dan jarang sekali terkait dengan kepentingan langsung (massa) rakyat. Ambalat tidak berhubungan dengan kepentingan rakyat sehari-hari.

Saya sangat bingung menalar kehendak massa demonstran. Sebetulnya mana yang lebih terkait langsung dengan dirinya, menolak kenaikan BBM atau menyetujui tindakan militer kepada Malaysia? Mengapa mereka lebih ekspresif memobilisasi massa untuk menjadi relawan ketimbang mempertanyakan carut-marut kebijakan minyak di tanah air? Mengapa mereka mau berkeringat untuk Mengganyang Malaysia, sementara demonstrasi menolak kenaikan BBM melemah hebat.

Sangat nisbi untuk mencari sebab peralihan isu tersebut. Apakah ini sekadar mewakili histeria massa yang berlindung dibalik sikap nasionalistik atau ada by design yang merancang peralihan isu tersebut. Di sinilah kita perlu menimbang nasionalisme kita agar bersifat aktual dan kontekstual.

Nasionalisme kita sekarang bukan lagi semangat heroik semata untuk mempertahankan teritori (kedaulatan) seperti tatkala negeri ini dibombardir Belanda dalam agresi I dan II. Sikap nasionalistik yang diperlukan sekarang adalah bagaimana membagi kesejahteraan pada sebanyak-banyaknya rakyat. Atau paling kurang mengurangi dampak negatif dari keburukan sebuah kebijakan pemerintah.

YB Mangunwijaya secara tepat merumuskan apa itu nasionalisme Indonesia. Menurut Romo Mangun, nasionalisme Indonesia adalah keinginan untuk terlibat dalam pembebasan orang-orang kecil dari eksplorasi kaum kaya-kuasa dalam segala bentuknya, termasuk oleh oknum/lapisan bangsa Indonesia sendiri. Yang nomor satu dari nasionalisme Indonesia yaitu tekad untuk mengangkat bangsa ini ke harkat kemanusiaan yang adil dan beradab.

Departemen Kelautan dan Perikanan RI menyebut setidaknya ada 12 pulau terluar (di perbatasan) yang memerlukan perhatian ekstra. Ke-12 pulau itu adalah Pulau Rondo (NAD), pulau Berhala (Sumut), Pulau Sekatung (Kep. Riau), Pulau Marore, Pulau Miangas dan Pulau Merampit (Sulut), Pulau Batek dan pulau Dana (NTT), Pulau Fani, pulau Fanildo dan Pulau Brass (Papua).

Pembangunan mercusuar dan penempatan armada serta patroli oleh TNI AL dan TNI AU haruslah digalakkan biar kita tidak tersangkut persoalan sama di masa mendatang. Memastikan bahwa teritori bangsa ini bukanlah terra nullius (daerah tidak bertuan) adalah kewajiban kita semua! [Pikiran Rakyat, 14 Maret 2005]

No comments: