Sunday, June 24, 2007

Menghapus Nomor Urut Saja Tidak Cukup!

Oleh Moh Samsul Arifin

MERANCANG sistem pemilu yang representatif, sekaligus responsif terhadap konteks kebutuhan zaman dan masyarakat selalu tidak mudah. Patut ditimbang secara cermat, apakah yang dikehendaki adalah sistem yang mencerminkan keterwakilan secara proporsional atau sistem mayoritas (distrik) di mana sang pemenang mendapatkan semuanya. Memilih distrik atau first past the post (FPTP) berarti harus menerima risiko banyaknya suara yang hilang di sebuah daerah pemilihan (distrik).

Partai kecil, partai baru atau partai gurem yang belum mapan (establish) cenderung kurang diuntungkan dalam sistem pemilu legislatif yang menerapkan sistem distrik. Penyebabnya, sistem distrik tidak menghitung suara di luar milik parpol atau caleg yang menang di distrik tersebut. Beda, jika yang digunakan adalah sistem proporsional (tertutup) dengan mekanisme stembus accord (suara parpol dikumpulkan sehingga dapat dikonversi dengan kursi di parlemen).

Tapi, bukan sistem distrik saja yang ‘menghilangkan’ suara. Sistem proporsional (setengah) terbuka pun (seperti yang diterapkan pada Pemilu 2004) mengidap ‘penyakit’ sama. Saat itu, pemilih (voter) sudah dapat melihat daftar caleg dalam kertas suara. Pemilih tidak lagi membeli “kucing dalam karung” seperti dalam pemilu antara 1971 hingga 1999. Namun, sekalipun bisa mencoblos nama/tanda gambar caleg, pemilih tetap harus mencoblos tanda gambar parpol. Tanpa itu, suara pemilih tersebut dinyatakan tidak sah.

Sistem ini makin bermasalah ketika nomor urut masih diterapkan. Inilah yang membuat instrumen kuota atau bilangan pembagi pemilihan (BPP) kurang efektif. Kuota adalah harga satu kursi di sebuah daerah pemilihan. Kuota atau BPP merupakan bilangan yang diperoleh dari hasil pembagian antara total suara sah di sebuah daerah pemilihan (DP) dengan jumlah kursi yang tersedia di DP tersebut.

Bayangkan saja, pada 2004 lalu hanya dua anggota DPR yang mampu melewati kuota. Selebihnya, 548 anggota DPR lolos ke Senayan karena “diuntungkan” nomor urut. Menurut UU 12/2003, apabila tak ada caleg yang sanggup menembus kuota di daerah pemilihannya (DP). Maka kursi yang diraup partai politik diserahkan kepada caleg pemilik nomor urut jadi.

Para caleg sulit sekali menembus kuota, karena ambigunya sistem proporsional terbuka yang dianut negeri ini pada Pemilu 2004. Di satu sisi, membuka nama caleg kepada pemilih. Tapi, di sisi lain, mengharuskan pemilih mencoblos tanda gambar parpol. Bahkan, pemilih yang hanya mencoblos tanda gambar parpol, maka suaranya dinyatakan sah. Akibatnya kuota sulit ditembus dan caleg pemilik nomor urut jadi berjaya.

Kegagalan sistem proporsional (semi) terbuka itu dapat ditutup dengan penghapusan nomor urut caleg seperti diakomodasi dalam draf RUU Pemilu yang diajukan Pemerintah kepada DPR. Penghapusan nomor urut ini didukung oleh PAN, PKB dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi. Dengan cara tersebut, setiap caleg memiliki kesempatan sama untuk merebut satu kursi yang diperoleh parpol tempat dia mencalonkan di daerah pemilihan tertentu. Caleg yang nangkring di peringkat pertama perolehan suara, berhak atas satu kursi. Kuota tak lagi berlaku bagi caleg, tapi hanya berlaku untuk parpol. Dalam arti kuota itu menjadi instrumen untuk menentukan harga satu kursi di daerah pemilihan tersebut.

Tapi, menutup satu lubang saja tidak cukup. Sebab, toh sistem pemilu legislatif yang dioperasikan pada Pemilu 2004 lalu menyimpan banyak lubang (baca: celah). Pertama, seperti disebut di muka, masih berlakunya nomor urut membikin mekanisme kuota “memakan” korban penangguk suara terbesar.

Kedua, alokasi dan mekanisme penyebaran kursi untuk setiap provinsi. Ketiga, penetapan daerah pemilihan beserta alokasi kursinya. Keempat, cara perhitungan atau pendistribusian kursi pada partai politik dan caleg.

Pada 2004 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) direpotkan dengan mekanisme penyebaran kursi untuk setiap provinsi. Alokasi kursi provinsi dihitung berdasarkan tingkat kepadatan penduduk. Provinsi padat penduduk kuota maksimalnya 425 ribu jiwa. Sedangkan provinsi dengan kepadatan penduduk rendah, kuotanya 325 ribu jiwa.

Namun kuota itu tak langsung dapat dioperasikan. Sebab, masih berlaku syarat lain: Jumlah kursi setiap provinsi dialokasikan tidak kurang dari jumlah kursi provinsi tersebut pada Pemilu 1999. Dan provinsi baru hasil pemekaran setelah Pemilu 1999 memperoleh sekurang-kurangnya tiga kursi.

Prinsip perimbangan wajar itu sebetulnya ingin mengurangi ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa. Namun, ternyata masih dijumpai harga satu kursi di luar Jawa masih lebih mahal dari satu kursi di Jawa. Misal harga satu kursi untuk Provinsi Sulawesi Tengah setara dengan harga satu kursi DPR di Provinsi DKI Jakarta. Harga satu kursi di Sulteng sebesar 420.175,40 dan DKI Jakarta 420.705,11. (Ingat ini harga satu kursi sebelum pencoblosan, jadi bukan harga satu kursi aktual).

Daerah pemilihan juga penting. Sejumlah ahli pemilu di mancanegara justru getol mencermati elemen-elemen teknisnya, seperti besar daerah pemilihan (district magnitud) dan cara perhitungan suara. Sebab besar daerah pemilihan akan menentukan siapa yang akan menghuni parlemen, di tingkat nasional dan lokal. Semakin kecil besar daerah pemilihan, kesempatan partai baru atau partai gurem untuk melenggang ke parlemen kian kecil. Sebaliknya jika besar daerah pemilihan memperebutkan banyak kursi, peluang partai kecil, partai baru atau partai gurem makin terbuka.

Tengoklah Turki. Pada Pemilu 1986, besar daerah pemilihan dibatasi tujuh kursi. Hasilnya, parpol yang berhasil memperebutkan 400 kursi di negeri itu hanyalah parpol-parpol besar atau parpol yang berbasis massa di daerah. Selanjut pada Pemilu 1987, nafsu menghadang partai-partai gurem kian membesar.

Besar daerah pemilihan digembosi menjadi enam kursi saja, sementara anggota DPR-nya digelembungkan menjadi 450 orang. Praktis, parpol yang masuk ke parlemen, mayoritas (288 anggota) berasal dari parpol kelas kakap. Inilah yang membuat Mahkamah Konstitusi negeri Mustafa Kemal Attaturk itu mengeluarkan fatwa agar besar daerah pemilihan tidak dimain-mainkan dalam Pemilu 2005. Setelah itu besar daerah pemilihan ditingkatkan. Setiap daerah pemilihan dialokasikan diatas sepuluh kursi. Cara ini mendorong partai gurem ikut mewarnai parlemen Turki. [Juni 2007]

No comments: