Thursday, June 7, 2007

Golput Bukan Gerakan Oposisi

FENOMENA Golongan Putih (Golput) senantiasa menghantui setiap kali kita akan menggelar pesta Pemilu. Sebagian pengampanye Golput atau kalangan politisi meramalkan jumlah Golput akan naik sekira 10-20 persen dalam Pemilu 2004 nanti. Saking prihatinnya dengan Golput, Wakil Presiden Hamzah Haz, yang juga Ketua Umum PPP, berujar “Kalau banyak yang Golput, ngapain ada pemilu”.

Golput adalah terminologi politik khas Indonesia di mana seseorang menanggalkan hak untuk memilih dalam momen demokrasi Pemilu. Akan tetapi bagi pencetus dan penganutnya, Golput dipahami sebagai hak pilih itu sendiri, yakni memilih untuk tak memilih.

Soal tingginya ancaman Golput dapat dikonfirmasi dari gejala dini yang sudah terlihat dewasa ini seiring berkembangnya sinisme terhadap partai politik. Berbagai survey, jajak pendapat (polling) oleh media massa, lembaga-lembaga penelitian sampai perguruan tinggi menunjukkan masyarakat saat ini tak lagi percaya pada partai politik. Kinerja parpol yang jeblok, perilaku elite politik yang tak memerhatikan konstituen alias lebih berorientasi pada kepentingan sendiri maraknya politik uang serta pelbagai penyimpangan yang kerap dilakukan aktivis parpol mengantarkan popularitas partai politik sebagai “kendaraan demokrasi” ke titik nadirnya.

Sebuah polling oleh sebuah lembaga riset pers baru-baru ini menyajikan temuan yang mencengangkan. Sebanyak 44,4 persen responden menyatakan tidak akan menggunakan hak pilihnya. Mayoritas responden beralasan bahwa parpol yang ada tidak lagi memperjuangkan aspirasi rakyat, termasuk PDI Perjuangan. Alasan lain adalah parpol hanya bertengkar untuk memperebutkan kekuasaan.

Hasil jajag pendapat BEM UGM Jogjakarta juga cukup mengejutkan, yakni 36 persen mahasiswa UGM tidak memilih dalam Pemilu. Temuan itu tidak jauh berbeda dengan polling Bonar Tigor Naipospos yang pernah dimuat Majalah Balairung (1987) yang menghasilkan data 40 persen lebih mahasiswa UGM Golput. Bahkan hasil penelitian Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya di Universitas Indonesia juga menyodorkan data 48,7 persen mahasiswa UI memilih Golput (M. Khoidin, 2003).

Kendatipun pelbagai hasil survey diatas baru sebatas sebagai data potensial yang belum tentu terjadi (empiris). Data tersebut dapat dijadikan rujukan awal (referensi) untuk meneropong seberapa jauh potensi Golput dalam Pemilu 2004 nanti. Artikel ini mencoba memahami fenomena Golput dari perspektif lain di luar mainstream yang mengemuka di ruang publik.

Dalam hemat saya, pendapat yang mengaitkan kinerja parpol yang jeblok sebagai faktor yang memengaruhi kenaikan jumlah Golput ada benarnya, walau bukan satu-satunya jawaban yang sahih dan memuaskan. Jika kita buka kalendar politik, sejarah Golput sudah ada sejak Pemilu 1971, kala Soeharto tengah melapangkan jalan untuk melanggengkan kekuasaannya dengan sistem politik otoriter. Saat itu, Golput adalah bentuk pembangkangan (bisa disebut oposisi) terhadap pemerintah Soeharto yang merekayasa Pemilu untuk memenangkan partai tertentu.

Artinya, Golput kala itu bukannya tak percaya pada parpol, tapi gerakan menentang rezim. Pada Pemilu 1971, memang ada sekira 10 parpol, termasuk Golkar, yang menjadi kontestan. Para elite yang menahkodai parpol-parpol itu, dapat dikatakan berada dalam keadaan transisi seperti sekarang. Namun demikian, kehadiran mereka di panggung politik ditunggu-tunggu publik. Jadi, elite parpol itu bukan merupakan masalah bagi publik.

Partisipan Golput sejak awal adalah kalangan terpelajar (mahasiswa) dan masyarakat perkotaan yang relatif melek politik. Di kampus-kampus, tradisi Golput sudah menyejarah. Di sana, kuantitas pemilih Golput kadang-kadang rasional, tapi kerap kali dihasilkan dari pandangan yang sifatnya apriori. Maksud saya, adakalanya pilihan mahasiswa untuk tidak menggunakan hak pilih pada Pemilu itu tidak selalu berkaitan dengan realitas politik yang tengah terjadi. Para mahasiswa semacam ini yang tinggal di menara gading kelewat berpikir berdasarkan idealitas politik yang dibacanya, tanpa mengaitkannya dengan realitas politik.

Sedangkan mereka yang rasional umumnya adalah para aktivis yang membenturkan dua hal tadi, tapi mereka sama sekali tidak percaya Pemilu dapat memecahkan persoalan di lanskap kebangsaan. Saya kurang yakin kalau mayoritas Golput di kampus adalah mahasiswa yang rasional. Kebanyakan pemilih Golput adalah mahasiswa yang sekadar “membebek”, “membeo” alias ikut-ikutan.

Kian hari saya memeroleh kesan, para konstituen Golput yang bertahan hingga kini adalah kalangan yang apriori dan bukan golongan yang realistis. Kalangan inilah yang memerlukan sosialisasi intensif dari segenap pihak, khususnya dari partai politik, agar tidak terjebak pada sikap-sikap yang kurang produktif. Tapi, bagaimana mungkin sosialisasi itu dapat dilaksanakan jika tak ada media untuk itu?

Untuk menjembatani hal itu, sebenarnya kampanye di kampus adalah jawaban yang tepat. Sayang, apresiasi kalangan kampus terhadap ide tersebut sejauh ini kelewat minor. Kalau kampanye bisa dilaksanakan di kampus, kecenderungan apriori tadi mungkin saja dapat dikikis. Paling tidak, masyarakat kampus dapat lebih fair menilai performance parpol yang kerap ditanggapi sinis setelah mengetahui sejumlah faktor dan kendala yang membuat kinerjanya kurang maksimal. Jadi, jangan langsung dipenalti, karena performance parpol tidak seperti yang diinginkan, maka tidak penting lagi menyalurkan aspirasi via parpol.

Sebagai calon penerus bangsa, masyarakat kampus mesti tahu seluk-beluk persoalan dan kendala menjalankan demokrasi tadi, agar ketika mereka mengganti estafet kepemimpinan negeri ini tidak kaget dan mengulangi kesalahan serupa.

Kecuali timbunan sejarah di atas, pencitraan Golput sebagai oposisi, saya kira juga mengeskalasi dorongan untuk memilih Golput tersebut. Di masa Orde Baru, terminologi oposisi barangkali masih relevan disematkan pada Golput, karena kala itu gerakan yang dipopulerkan tokoh oposan Arief Budiman ini memang menentang sistem politik otoriter rezim Soeharto. Sedangkan, pada Pemilu 2004, apakah Golput masih tepat dipandang sebagai oposisi terhadap rezim yang tengah berkuasa?

Dalam hemat saya, andaipun terbukti bahwa angka Golput di Pemilu 2004 nanti signifikan sekira 10-20 persen seperti didengungkan para penganutnya. Golput tak pernah punya validitas untuk disebut gerakan oposisi yang memberi daya dukung terhadap perkembangan demokrasi di tanah air. Pertama, Golput adalah gerakan sporadis yang tak terorganisir dan tidak memiliki sasaran politik yang jelas.

Kedua, di tengah perubahan-perubahan positif dalam lima tahun terakhir ini, Golput sama dengan bunuh diri hak politik kita sebagai warga negara. Kelewat memprihatinkan, jika perubahan-perubahan positif yang terjadi dalam lima tahun terkahir ini tidak diapresiasi oleh para konstituen fanatis Golput dan kalangan yang mengampenyakan Golput.

Pemilu 2004 adalah momen politik yang berbeda sama sekali dengan pemilu-pemilu sebelumnya sepanjang republik ini berdiri. Saat itu akan dilaksanakan pemilihan legislatif (anggota DPR, DPD, DPRD I, DPRD II) serta pemilihan eksekutif (Presiden/Wapres). Dalam Pemilu 2004, peran rakyat (pemilih) jauh lebih besar daripada parpol yang selama pemilu di masa Orde Baru begitu dominan.

Dalam memilih anggota DPR, DPRD I dan DPRD II, kita tak lagi sekadar mencoblos tanda gambar partai, tapi juga mencoblos gambar calon (sistem proporsional terbuka). Yang lebih maju, nanti kita bakal memilih DPD secara langsung (sistem distrik berwakil banyak). Rakyat juga dapat memilih presiden/wapres-nya sendiri secara langsung. Perubahan ini kendatipun belum maksimal, terjadi karena rezim Megawati yang kini berkuasa juga awas dengan keterbukaan politik yang berlangsung di negeri ini sejak 1998 silam. [Sriwijaya Post, 3 September 2003]

No comments: