Tuesday, June 19, 2007

Mendamba Calon Independen

Oleh Moh Samsul Arifin

Seberapa jauh jarak Jakarta dengan Nanggroe Aceh Darussalam? Apabila pertanyaan ini dialamatkan kepada para pihak yang mendamba adanya calon independen atau pasangan calon non-parpol dalam Pilkada DKI Jakarta, Agustus mendatang, sudah pasti mereka bakal menjawab, “Aceh sungguh sangat jauh. Bahkan mungkin tak terjangkau.”

Harapan itu sedikit gelap setelah KPU DKI Jakarta menutup pendaftaran calon pada 7 Juni lalu. Apalagi KPU DKI Jakarta menyatakan tidak akan memverfikasi calon independen atau nonparpol. Artinya peluang warga Jakarta memilih di luar pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar nyaris tertutup.

Kini, dua pintu lagi menjadi taruhan para penyokong calon independen. Pertama, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi (judicial review) oleh Lalu Ranggalawe dkk atas Pasal 56, 59 dan 60 UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Anggota DPRD Kabupaten Lombok, Nusa Tenggara Barat ini menilai syarat yang diatur UU 32/2004 itu bertentangan dengan Pasal 18 ayat 4 dan Pasal 28 UUD 1945. Ketiga pasal menghambat warga negara untuk berpartisipasi dalam politik elektoral di tingkat lokal.

Kedua, Pansus RUU Pemerintahan DKI Jakarta menyelipkan poin dibolehkannya calon perseorangan berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah di ibukota. Andai Pansus yang diketuai Effendi MS Simbolon itu memasukkan calon perseorangan dalam RUU tersebut dan disahkan, diperlukan terobosan tak kurang berani. Yakni mengganti secara radikal sistem demokrasi perwakilan yang dianut UU 34/1999 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan demokrasi langsung.

Sebagaimana dimaklum, Pasal 16 ayat 1 UU 34/1999 menyatakan “Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berlaku pula bagi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta”. Pasal ini mengacu pada UU 22/1999 yang masih menetapkan bahwa pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta dilakukan oleh DPRD. UU 22/1999 telah direvisi dengan UU 32/2004 tentang Pemda, di mana seluruh kepala daerah—tingkat provinsi, kabupaten dan kota—dipilih secara langsung oleh rakyat.

Di sini, UU 34/1999 menyimpan “api dalam sekam”. UU yang mengatur ketentuan pemilihan gubernur lewat sistem perwakilan ini masih merupakan hukum positif. Selama UU ini belum dapat direvisi lewat kerja keras Pansus DPR dan pemerintah, benturan hukum tak terelakkan. Dengan kata lain, terhambatnya revisi atas UU 34/1999 akan “menginterupsi” proses dan tahapan Pilkada 2007 yang diselenggarakan KPU DKI Jakarta. Bagaimana mungkin proses Pilkada 2007 yang merujuk UU 32/2004 dilaksanakan, jika UU 34/1999 belum direvisi.

Adalah tugas sejarah dari para pihak pembahas RUU Pemerintahan DKI Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Kerja keras mereka sangat fundamental guna mewujudkan satu keadaan: Pilkada 2007 di DKI Jakarta tidak cacat hukum. Kabar yang beredar Pansus RUU Pemerintahan DKI Jakarta baru dapat merampungkan pembahasan dan mengesahkan RUU itu pada Juli mendatang.

Ada dua kemungkinan yang diambil Pansus. Pertama, menjadikan UU 32/2004 sebagai rujukan. Dalam konteks itu, UU Pemerintahan DKI Jakarta yang baru merujuk pada UU 32/2004 sehingga menetapkan demokrasi langsung sebagai cara menetapkan gubernur dan wakil gubernur ibukota.

Kedua, lebih substantif dari itu, Pansus mengakomodasi calon perseorangan untuk berpartisipasi dalam Pilkada DKI Jakarta. Apa yang terjadi jika kemungkinan kedua diputuskan DPR? Apakah dengan demikian “menginterupsi” tahapan Pilkada 2007 yang dilaksanakan KPU DKI Jakarta?

Tentu saja para pihak yang terkait dengan Pilkada 2007, khususnya mereka yang tersingkir dalam pencalonan via partai politik, berkepentingan agar calon perseorangan diakomodasi, sekaligus bisa langsung dilaksanakan dalam Pilkada tahun ini.

Dalam horizon yang lebih jauh, dibolehkannya perseorangan atau calon independen dapat melepas dahaga warga Jakarta atas minimnya calon-calon pemimpin yang sangat nyata menuju pada oligarkhi parpol. Bagi saya, mengumpulnya dukungan 20 parpol terhadap Fauzi Bowo-Prijanto, merupakan fenomena tak biasa yang mempertegas bahwa parpol-parpol di Jakarta mengidap syndrome “rendah diri”—memiliki sumberdaya politik memadai tapi tak menggunakannya.

Lihatlah peta sebaran suara dan kursi pada Pemilu 2004 untuk DPRD DKI Jakarta. Ada dua parpol yang bisa mendaftarkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, karena sanggup memenuhi kuota 15 persen yang diatur Pasal 59 ayat 2 UU 32/2004. Partai Keadilan Sejahtera (23,34 persen suara) dan Partai Demokrat (20,15 persen suara) tak perlu berkoalisi untuk mendaftarkan pasangan calon. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (13,47 persen suara), hanya perlu menggamit Partai Damai Sejahtera (5,74 persen suara) untuk mengusung pasangan calon. 20 Parpol di luar PKS, Demokrat, PDIP dan PDS masih bisa mendaftarkan setidaknya dua pasangan calon, total suara yang tersisa ada 37,3 persen.

Namun, parpol-parpol Jakarta tak melakukan hal tersebut. Alih-alih menggunakan sumberdaya politik mereka, sekaligus membuat peta persaingan menjadi multipolar. Parpol-parpol di Jakarta terseret pada pengkutuban politik yang terbatas (bipolar). Dampaknya, warga Jakarta “dipaksa” kekurangan preferensi politik untuk memilih dalam Pilkada 2007. Padahal survei teranyar Lembaga Survei Indonesia mengonfirmasikan, warga Jakarta mengharapkan hadirnya calon independen dalam Pilkada DKI Jakarta tahun. Dalam survei yang berlangsung 23-29 Mei 2007 itu, 64 persen warga Jakarta tak memercayai kapasitas pasangan calon dari parpol.

Kembali pada calon independen, penulis tidak yakin DPR akan mengakomodasinya. Jakarta bukanlah Aceh yang memiliki keistimewaan dan karenanya mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Lagi pula, proses negosiasi untuk menggolkan calon independen lewat UU Pemerintahan DKI Jakarta tak sesistematis Aceh kala mendesakkan urgensi calon independen.

Tawar-menawar antara Aceh dan Jakarta berlangsung dalam kondisi yang asimetris dengan posisi “Jakarta-lokal” dengan “Jakarta-pusat” saat ini. Kalau bukan tak bisa diperbandingkan. Hadirnya calon independen pada Pilkada Aceh adalah side effect dari tegangan politik Aceh-Jakarta yang berlangsung puluhan tahun.

Hemat saya, mengerucutnya desakan agar calon independen ikut serta dalam Pilkada Jakarta saat ini reaksi belaka dari proses politik yang tidak transparan melalui parpol. Ketika parpol tak mungkin lagi menjadi kendaraan, calon independen dilirik. Ini kentara menjadi logika sementara kalangan. Tidak keliru jika isu calon independen kali ini diterima sebagai usulan yang terkesan partisan, dan tak diniatkan untuk menyemai benih demokrasi substantif di negeri kita.

Sejak awal tak ada upaya mengapungkan calon independen dan memperjuangkan ide ini agar menjadi diskursus publik lewat pembahasan RUU Pemerintahan DKI Jakarta. Isu tersebut bahkan “kalah seksi” dibandingkan pembahasan mengenai konsep megapolitan yang ditabuh Gubernur Sutiyoso. Sungguh sulit membayangkan sebuah isu dapat menjadi fakta politik, jika tak di-maintenance secara baik. Memberi ruang calon independen berkiprah dalam demokrasi langsung di tanah air adalah keniscayaan, tapi ikhtiar tak kurang penting untuk mencapai cita-cita! [Juni, 2007]

No comments: