Thursday, June 7, 2007

Baca Al quran dan Politik Elektoral

Oleh Moh Samsul Arifin


APA hubungannya antara kemampuan membaca kitab suci Al Quran dengan politik elektoral (baca: Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada atau Pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh/Pilkapa) di Nanggroe Aceh Darussalam yang akan berlangsung serentak Desember nanti? Adakah kemampuan membaca Al quran menentukan karier politik warga Aceh yang melintang dari Aceh Barat ke Aceh Timur dan dari Sabang hingga Aceh Selatan?


Pun, berartikah instrumentasi kemampuan membaca Al quran yang distandardisasi oleh Tim Penilai Baca Al Quran Pilkada Aceh yang diketuai Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman bagi proses demokratisasi dan perdamaian di Aceh?


Sejumlah pertanyaan di atas segera menyeruak ketika salah seorang bakal calon gubernur, Mediati Hafni Hanum membocorkan kepada media massa bahwa dirinya termasuk yang tak lulus tes baca Al Quran. Anggota Dewan Perwakilan Daerah ini mengatakan itu sebelum Komite Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh Nanggroe Aceh Darussalam mengumumkan secara resmi pada 14 Oktober 2006. Interupsi Mediati ini tak lain dan tak bukan merupakan protes yang datang terlambat setelah persyaratan itu justru menjadi batu sandungan bagi proses pencalonannya.


Tidak Pemilihan Presiden secara langsung 2004, tidak pula Pilkada Aceh jika sebuah ketentuan merugikan diri si kandidat, maka meluncurkan segenap protes. Anehnya mengapa protes atas ketentuan/persyaratan itu tak dilakukan jauh-jauh hari sebelum yang bersangkutan mengikuti tes/ujian dilakukan.


Abdurrahman Wahid yang berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim harus melupakan mimpinya berpartisipasi dalam Pilpres 2004 karena menurut Komisi Pemilihan Umum Gus Dur tak memenuhi persyaratan sehat jasmani. Kini Mediati hampir pasti mengalami nasib serupa dengan konteks yang berbeda.


Apakah dengan demikian Mediati dan puluhan bakal calon lainnya yang tersebar di Banda Aceh, Sabang, Aceh Besar, Pidie, Langsa, Aceh Utara mengalami diskriminasi? Tentu saja tidak. Sebab, persyaratan bahwa seorang calon kontestan Pilkada Aceh harus mampu membaca Al quran sudah ada sebelum Mediati Cs mendaftarkan diri.


Persyaratan itu juga tak mengikat sebagian calon saja, melainkan seluruh bakal calon. Ketentuan ini diatur dalam Qanun Aceh 7/2006 tentang Perubahan Kedua atas Qanun 2/2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, Walikota/Wawali di Provinsi Aceh. Pasal 33 ayat 2 huruf b Qanun itu berbunyi “Menjalankan syariat agama dan mampu membaca Alquran bagi yang beragama Islam.”


Dalam konteks semacam ini, interupsi dari Mediati Cs berikut cara media massa memberitakan protes itu patut dipertanyakan. Demokrasi selalu memerlukan perangkat hukum. Dan hukum yang berlaku sesungguhnya merupakan “kehendak” warga setempat. Seproblematis apapun persyaratan kemampuan baca Al quran dimasukkan sebagai ujian terhadap bakal calon kontestan Pilkada Aceh, ketentuan itu harus ditaati sebagai konsekuensi setiap warga negara tidak berada diatas hukum. Media massa seharusnya mengambil posisi yang tepat, dan tidak justru menjadi “corong” bagi sikap dan tindakan-tindakan yang sentimentil.


Pilkada Aceh yang berlangsung serentak secara khusus memang menjadi eksperimen bagi demokrasi di tingkat lokal. Akan tetapi, proses elektoral itu haruslah ditempatkan sebagai kelanjutan belaka dari Pilkada secara langsung—mengacu pada UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah—yang telah dimulai sejak Juni 2005 lalu. Artinya problem yang timbul sebetulnya tidak berdiri sendiri. Adalah benar bahwa dimasukkannya kemampuan membaca Al quran merupakan sesuatu yang spesifik Aceh. Namun, pengalaman dan budaya politik dari bakal calon kontestan Pilkada Aceh tak ada bedanya dengan pelakon politik lokal di antero Indonesia.


Tak ada yang otentik sama sekali dari calon pelakon Pilkada Aceh, kecuali mereka bersambungan secara sosiologis (lahir, besar dan memiliki ikatan batin) dengan Aceh. Ada politisi Jakarta yang turun gunung, ada bekas stakeholder konflik yang menguyak Aceh sejak 1976, ada akademisi dan tokoh masyarakat hingga mereka yang berkecimpung di LSM dan perkumpulan massa.


Berhadapan dengan aktor politik semacam itu, kekhususan lewat pemasukan kemampuan membaca Al quran dalam persyaratan bagi calon kontestan Pilkada Aceh, tak mungkin dipahami secara tunggal. Pastilah ada perlawanan, dari yang bersifat simbolis sampai dengan aksi massa. Mereka ini ingin menghadap-hadapkan “kekhususan” yang diadaptasi Qanun 7/2006 dengan “kekhususan lain” yang diberi jalan masuk lewat Nota Kesepahaman RI-GAM di Helsinki dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.


Menurut dua dokumen hukum yang terakhir, pelibatan kemampuan baca Al quran dalam persyaratan bagi calon kontestan Pilkada Aceh dirasa tidak perlu. Sebab, itu sama sekali tidak substantif bagi masa depan politik Aceh. Apalagi pula, bagi sementara kalangan hanya sebagian saja nilai-nilai Islam yang menggarami politik Aceh. Inilah kumpulan yang menolak kekhususan Aceh sama dengan keleluasaan untuk memasukkan syariat Islam berikut turunannya dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik di tanah rencong.


Tapi, menolak sama sekali “kekhususan” itu (baca: atributif Islam) sudah tentu membohongi sejarah yang membentuk Aceh. Sejak abad ke-1 Hijriah (15 abad lalu), Islam telah menjadi agama (institusi dan nilai) yang membentuk Aceh sekarang ini, Aceh yang telah mengalami pukulan-pukulan berat lewat tsunami dan konflik atas bawah Jakarta-Aceh. Bermula di Kecamatan Samudra, Aceh Utara—tak jauh dari Lhokseumawe—Kerajaan Islam Samudra Pasai mengabarkan kepada dunia bahwa Aceh terlibat secara intim dan sekaligus berkorespondensi dengan Islam.


Bahwa dalam keintiman itu ada protes keras, sejatinya itu perlu dipahami sebagai dialektika yang mendewasakan. Persoalannya, jika kekhususannya ditolak—tentu saja kita tak menempatkan Islam sebagai sesuatu yang diciutkan menjadi syariat semata (eksoterik)—dengan apa kita menanda Aceh?

Apakah posisi geografisnya yang langsung terhubung dengan lautan/samudra, dan karenanya Aceh dikesankan memiliki modal budaya kosmopolit, itu menolak Islam? Apakah kosmopoliltanisme itu berlawanan dengan Islam?


Dengan asumsi Islam justru menghidupi kosmopolitanisme, penulis sangsi dan heran mengapa masih ada orang Aceh—kebetulan bertitel tokoh—yang tak menguasai baca Al quran (dalam pengertian membaca teks saja dan bukan menafsirkan teks)? Betulkah karena mereka tinggal dan menetap di luar Aceh seperti disebut seorang aktivis Aceh?


Apabila proposisi itu benar adanya, apa pula yang menyambungkan orang Aceh yang lama menetap di luar (daerah dan luar negeri) dengan ke-Aceh-an? Bukankah ikatan tempat lahir dan daerah asal sangat superfisial, sekalipun dengan ini nasionalisme berjaya dan mengilhami perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia? Sampai di sini, saya terus menerka. [acehkita.com, 22 Oktober 2006]

No comments: