Tuesday, June 26, 2007

Setelah Mulyana, Siapa Lagi?

Oleh Moh Samsul Arifin

SEORANG
reporter televisi swasta tergesa-gesa masuk ke kantor Transparency International Kamis pekan lalu. Reporter itu sedang menguber Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Teten Masduki untuk dimintai keterangan terkait penangkapan Mulyana W. Kusumah yang dituduh menyuap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Yang dicari tengah sibuk rapat bersama sejawat LSM lainnya, semacam Hadar N. Gumay (Cetro) dan Emmy Hafild (TI) untuk menyikapi kasus Mulyana pula. Sang reporter sempat minta foto Mulyana untuk membikin feature sosok anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu. Namun, sayang staf TI menyatakan kantornya tak memiliki foto dimaksud.

Begitulah riuh-rendah media memberitakan kasus penyuapan Mulyana sepekan terakhir. Publik terheran-heran dengan kasus tersebut sebab Mulyana--setidaknya yang tertangkap dalam pemberitaan media selama ini--tergolong figur yang bersih. Kriminolog dari Universitas Indonesia ini termasuk tokoh yang membesarkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) semacam YLBHI atau KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu).

Ia ikut mendorong gerakan demokratisasi di tanah air. Sumbangsih pemikirannya juga cukup didengar khalayak. Pantas jika kemudian ia dipercaya untuk menjadi salah satu anggota KPU, mewakili unsur LSM.

Tapi, Mulyana terpeleset Jumat dua pekan lalu. Ia dituduh menyuap Khairiansyah, Ketua Subtim Pemeriksaan Kotak Suara Pemilu Legislatif 2004 BPK. Ketika digerebek KPK di kamar 609 Hotel Ibis Slipi Jakarta, terdapat uang berceceran di atas kasur Mulyana. Jumlahnya sebanyak Rp 150 juta, Rp 50 juta berupa uang cash dan Rp 100 juta berupa traveller's cheque (Pikiran Rakyat, 11/4). Empat lembar dengan nilai masing-masing Rp 25 juta.

Bukti tersebut membuat ia digelandang ke kantor KPK dan selanjutnya ia dikirim ke Rumah Tahanan Salemba Jakarta. Sebuah hotel prodeo yang juga dihuni Abdullah Puteh (Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam nonaktif), tersangka kasus korupsi dalam pengadaan helikopter Mi-2 Mil Rostov. Puteh telah divonis hukum sepuluh tahun oleh Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Senin pekan lalu.

Joel Krieger (1993) menyatakan, hakikatnya korupsi dapat dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, korupsi eksortif (extortive corruption) yang merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memeroleh sesuatu atau mendapatkan perlindungan atas hak-hak dan kebutuhannya.

Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption) yang merujuk pada usaha kotor yang dilakukan seseorang untuk memengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Dan ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption) yang merujuk pada perlakukan istimewa yang diberikan kepada anak-anak, keponakan, atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon.

Di samping itu ada pula korupsi subversif, yakni bentuk pencurian terhadap kekayaan negara. Korupsi ini dilakukan oleh pejabat, dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan mereka. Korupsi jenis ini bersifat subversif atau destruktif, karena negara akan dirugikan secara besar-besaran dan dalam jangka panjang dapat membahayakan eksistensi negara (Kata Pengantar M. Amien Rais dalam Proses Suksesi Politik, 1995)

Apa yang dilakukan Mulyana, termasuk kategori suap (bribery). Dengan cara tersebut, si pelaku ingin dibebaskan atau dilindungi dari kemungkinan dituduh telah melakukan korupsi. Dalam hal ini, tudingan korupsi oleh BPK telah dilawan dengan melakukan korupsi baru, yakni penyuapan. Inilah korupsi eksortif yang dicoba dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun bocor karena pihak yang hendak disuap tidak seia sekata.

Tuduhan korupsi terjadi karena kesalahan pemberian skor oleh KPU yang tidak berdasarkan kemampuan produksi secara faktual kepada PT Survindo Indah Prestasi (SIP). Kesalahan ini menyebabkan pembengkakan biaya hingga Rp 120 miliar.

Menurut Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih, pada 21 November 2003, KPU menetapkan PT SIP sebagai pemenang tender kotak suara. Namun, PT SIP gagal menyelesaikan pekerjaan yang mengakibatkan KPU mengalihkan pengadaan kotak suara ke PT Tjakrindo dan CV Almas. Pada 12 Mei 2004, terjadi selisih harga per unit antara PT Tjakrindo dan CV Almas sebesar Rp 1.315,00/unit. Negara dirugikan Rp 2,13 miliar. Seterusnya pada Juli 2004, biaya pengadaan kotak suara membengkak dari Rp 235,6 miliar menjadi Rp 355,62 miliar, naik Rp 120 miliar atau 51 persen. Demikian pula, biaya pengadaan bilik suara membengkak menjadi Rp 55,601 miliar. Negara dirugikan sekitar Rp 7,915 miliar (Media Indonesia,12/4).

Kasus suap Mulyana sekali lagi membuka tabir bahwa tindakan korupsi bisa dilakukan siapa saja dan di institusi apa pun. Entah itu lembaga perbankan, departemen pemerintah, badan usaha milik negara, perusahaan swasta, atau komisi-komisi bentukan pemerintah. Kalau kita mengikuti logika KPK yang menempatkan Mulyana sebagai tersangka, jelas ini merupakan pukulan telak terhadap tiga hal, yakni Komisi Pemilihan Umum, kredibilitas pemilu dan lembaga swadaya masyarakat.

Nila setitik rusak susu sebelanga. Apa yang dilakukan Mulyana bisa saja dimanfaatkan sebagian pihak yang apriori dengan KPU untuk mendelegitimasi peran penting lembaga tersebut. Seorang tokoh menyebut, "Nah lo benar kan KPU korupsi" untuk menyindir kredibilitas lembaga tersebut. Bisa saja hal tersebut diteruskan menjadi, "bagaimana kinerja mereka dapat dipertanggungjawabkan kalau pemilu dilaksanakan oleh oknum-oknum korup".

Dalam tradisi tumpas-kelor, pekerjaan oknum bisa digeneralisasi sebagai laku lembaga. Ini membahayakan dan dapat memercik konflik yang lain. Kasus suap ini haruslah dikunci sebagai tindakan individu--ataupun institusi jika nanti terbukti--dan tak harus mencederai peran dan kerja yang telah dilaksanakan institusi tersebut.

Karena itu tepat kalimat Hadar N Gumay, "tangkap tikusnya, jangan bakar rumahnya". Ini adalah persetujuan untuk mendukung pemberantasan korupsi, namun sebuah interupsi untuk tak melakukan generalisasi yang berujung delegitimasi terhadap KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum.

Bagaimanapun peran strategis KPU harus diselamatkan sebab sekarang saja ia ingin dikerdilkan lewat UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 Tahun 2005 berkaitan dengan pilkada. Mereka sekarang adalah penonton pilkada sebab pesta daerah ini tidak dimasukkan dalam rezim pemilu. Peran mereka makin mandul setelah Kepmendagri No. 120.05-110 Tahun 2005 menginstruksikan pembentukan Desk Pilkada yang terdiri atas unsur Depdagri, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan ahli. Desk ini memiliki tiga tugas, yaitu sosialisasi dan fasilitasi, politik dan kamtibnas, serta advokasi.

By the way, Mulyana memang menjadi pesakitan. Namun demikian, institusi tempat ia bekerja juga menanggung risikonya. Apalagi selama ini sejumlah pihak sudah mencibir di KPU terdapat oknum-oknum korup. Kredibilitas lembaga tersebut boleh jadi menuju titik nadir dengan tertangkapnya Mulyana. Maklumlah, Mulyana sebetulnya hanya kepanjangan tangan dari KPU, sehingga hal-ihwal yang dilakukan dia berkonsekuensi terhadap lembaga.

Mungkin karena itulah, dalam siaran pers tertulisnya, Jumat (15/4), Mulyana menyatakan bahwa seluruh proses serta pengambilan keputusan yang berujung penangkapannya sudah dibahas secara kolektif di lingkungan internal KPU. Mulyana menyebut proses penangkapannya telah melewati tujuh tahapan. Dalam tahapan tersebut, Mulyana menengarai muncul pemerasan dari sikap auditor yang kemudian dipersepsikan sebagai desakan "penawaran" tinggi. KPU secara kolektif lalu menerima "penawaran" tersebut berikut jumlah uang, proses, dan aktor eksekusi dari staf Sekretariat Jenderal KPU.

Kata Mulyana, ia terjebak karena tiba-tiba pegawai Sekretariat Jenderal KPU yang semula bertugas menyerahkan uang Rp 300 juta mendadak cuti, sementara auditor BPK hanya mau berhubungan dengan Mulyana. Putri sulung Mulyana, Gina Santiyana menyebut apa yang menimpa bapaknya sebagai pengorbanan dramatik (dramatic victimization) yang mustahil menempatkan Mulyana sebagai pengambil inisiatif dan proaktif karena terdapat sejumlah aktor yang intensif bergerak dalam proses tersebut (Kompas, 16/4).

Yang dilakukan Mulyana ini sebetulnya, pertama adalah pengumuman bahwa dirinya hanya "dikorbankan". Kedua, Mulyana ingin mengatakan bahwa apa yang terjadi tersebut merupakan keputusan kolektif KPU sebagai lembaga. Ketiga, ada skenario besar yang tengah berproses, dengan antara lain mengorbankan dirinya,dalam kasus tersebut. Ia ingin menyebut ada konspirasi, tapi dibahasakan secara halus dalam tujuh tahapan yang disiarkan ke pers.

Suara lirih Mulyana tersebut bagaimanapun harus dicamkan oleh KPK jika serius memberantas korupsi yang "beranak sungai" di tanah air. Mulyana sekadar kunci untuk membuka korupsi yang melibatkan banyak oknum di KPU. Di sini sisi keadilan harus diperjuangkan, jangan sampai Mulyana menjadi tujuan itu sendiri. Bagaimanapun memberantas korupsi seperti dikumandangkan Robert Klitgaard adalah projek melawan rasa malu, apatis, dan sia-sia.

Penangkapan Mulyana akan sia-sia jika KPK berhenti pada mantan pentolan KIPP itu. Sebagai lembaga "suberbody" KPK perlu didorong untuk menggunakan kewenangannya yang besar. Apalagi Keppres No. 59/2004 telah memberikan kewenangan besar kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai partner KPK. Pengadilan tipikor bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 2). Selain itu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar wilayah negara RI oleh warga negara Indonesia (Pasal 4).

Dalam skenario pemberantasan korupsi Presiden Yudhoyono juga telah menerbitkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004. Tak lama lagi Yudhoyono akan mengeluarkan instruksi yang akan jadi senjata Mabes Polri dan Kejaksaan Agung untuk mencokok para tersangka korupsi lain. Upaya ini akan memperkuat barisan pencokok korupsi, satu di tangan KPK dan pengadilan tipikor. Dan satu lagi di tangan Mabes Polri dan Kejaksaan Agung.

Dengan instrumen tersebut, bukan hanya Mulyana yang bisa dicokok. Para tersangka kasus BLBI semacam Sjamsul Nursalim, Bambang Sutrisno, Andrian Kiki Ariawan, Agus Anwar, Usman Admadjaja, Eko Adi Putranto, Samadikun Hartono, David Nusa Wijaya atau Shemy Konjongiang tinggal menunggu waktu untuk dibui. Apabila mereka itu dapat dicokok, acungan jempol publik bukan miliki Khairiansyah semata. Presiden Yudhoyono pun akan disanjung dan dipuji. Semoga ini bukan mimpi. [Pikiran Rakyat, 18 April 2005]

No comments: