Thursday, June 21, 2007

Menjaga Netralitas Kaum Serdadu

Oleh Moh Samsul Arifin

UNTUK menindak lanjuti hasil Rapat Pimpinan (Rapim) TNI di Cilangkap, Jakarta Timur (21/1) Mabes TNI membentuk tim yang bertugas menyosialisasikan tentang netralitas TNI dalam pemilu mendatang. Bertindak sebagai ketua tim penyelenggara sosialisasi adalah Mayjen Syamsul Ma'arif, saat ini menjabat sebagai Asisten Komunikasi Sosial (Askomsol) Kasum TNI.

Sosialisasi dilakukan di Komando Utama seperti Kodam, Koops TNI AU, Komando Armada TNI AL, Korem dan satuan TNI lainnya seperti Lanal, Lanud yang telah dimulai sejak 10 Februari dan akan berlangsung hingga 25 Februari 2004 ini. Sosialisasi dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman yang sama pada seluruh anggota dan keluarganya.

Kendatipun bersikap netral, seluruh anggota dan keluarga diharapkan tetap ikut menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2004 dengan tidak memihak kepada salah satu parpol peserta Pemilu 2004. Kecuali itu, anggota TNI dan keluarganya diimbau tidak memihak pada kontestan manapun, termasuk kepada calon presiden atau wakil presiden (Suara Karya, 12/2).

Seperti diberitakan Rapim TNI di Cilangkap Januari lalu menghasilkan dua keputusan terkait penyelenggaraan Pemilu 2004. Pertama, tentara akan bersikap netral dalam Pemilu 2004. TNI tidak akan mendukung kontestan Pemilu, baik itu partai politik, perseorangan (DPD) dan calon presiden/wakil presiden. Sikap ini diterapkan pada tingkat perseorangan, institusi terkecil, sampai tingkat Narkas Besar TNI. Siapapun, entah itu prajurit atau perwira tinggi yang melakukan penyimpangan alias memihak atau tidak menjaga netralitas akan dikenai sanksi, termasuk dipecat dari kesatuan.

Kedua, Rapim TNI mengulangi lagi sikap yang mereka tempuh kala pembahasan RUU Pemilu tahun lalu, yaitu tidak akan menggunakan hak memilihnya (hak politik) alias tidak mencoblos dalam pemilu nanti. Dalam bahasa Jenderal Endriartono Sutarto, sikap itu merupakan wujud komitmen tentara untuk tidak ikut campur dalam bidang politik, sekaligus demi fokus menjaga pertahanan negara (Media Indonesia, 23/1).

Ketentuan peralihan UU No 12 Tahun 2003 (pasal 145) memang menyebutkan, ”Dalam Pemilu 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya”. Termaktubnya ketentuan ini mengangkat citra korps tentara yang sempat digandoli sebagian kekuatan sipil (parpol di legislatif) yang menginginkan TNI menggunakan hak politiknya, sebagaimana warga sipil, dalam Pemilu 2004.

TNI keluar dari rayuan tersebut, walaupun pasca Pemilu 2004 mereka tak lagi punya wakil ‘langsung’ di legislatif. Sekadar diketahui di awal 90-an, jatah TNI di legislatif sekira 100 kursi. Setelah itu, babak akhir Orde Baru, kursi mereka tinggal 75. Dan, era reformasi kursi itu kembali digergaji sehingga tersisa 38. Tiga puluh delapan orang itulah—atas persetujuan Panglima TNI—yang mengukir ‘prestasi’ memutus keterikatan tentara dengan politik (baca politik; parlementer atau politik formal).

Warga sipil tentu saja patut bersyukur atas iktikad dan niat baik korps tentara itu. Akan tetapi, sikap formal (pernyataan di atas kertas) akankah menjadi sesuatu yang nyata? Terlalu banyak alasan yang membuka peluang tentara melepas sikap formal tersebut di tengah jalan. Tensi persaingan politik yang kelewat panas (overheating) antarpolitisi sipil, kericuhan yang menjurus rusuh kala kampanye hingga menyebab situasi tak terkendali, kondisi chaotik pasca perhitungan suara atau undangan kalangan sipil (elite politik) untuk membentuk pemerintahan transisi misalnya, bisa jadi membuat TNI tak kuasa untuk tak berkiprah dalam politik. Kudeta politik oleh TNI bukanlah isapan jempol jika faktor pemicunya tersedia.

Intervensi Tentara
Dalam kaitan Pemilu 2004, suatu waktu KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu mengatakan kemungkinan ada kekuatan tertentu yang ingin menyabotase atau menggagalkan pesta demokrasi tahun ini. Sekilas wanti-wanti seperti itu baik, namun bukanlah proporsi tentara (militer) untuk memrediksi—apalagi mengarahkan pandangan publik ihwal situasi dan politik yang tengah dan akan terjadi di lanskap kebangsaan.

Apabila jenderal, yang notabene merepresentasi kesatuan elite, dalam hal ini angkatan darat-AD, memberikan statement tersebut maka korps tentara bisa dituduh mengintervensi politik, ipso facto kebijakan-kebijakan terkait dengan politik yang dikeluarkan pemerintahan sipil. Kian sering petinggi tentara ikut meramal, menganalisis dan mengarahkan opini publik di luar ruang lingkup tugas mereka, maka peluang menjaga netralitas di hadapan kelompok kepentingan, partai politik dan calon presiden/calon wakil presiden akan menemui kendala di tataran implementasinya.

Secara psikologis, netralitas TNI juga amat rentan sehubungan dengan banyaknya para purnawirawan tentara yang bergabung ke partai politik dan menjadi calon anggota legislatif. Nyaris seluruh kontestan pemilu dihuni oleh para purnawirawan. Di antara mereka banyak yang menduduki jabatan-jabatan penting di parpol. Sua-ra mereka mewarnai dan menentukan kebijakan parpol di mana mereka menjadi anggota.

Kesabaran Tentara
Di atas segalanya, kita berharap tentara sabar dan tekun dalam mencermati situasi yang tengah terjadi di percaturan politik nasional. Sikap reaktif bukan saja tidak produktif, justru dapat menimbulkan kerumitan baru yang menambah benang kusut hubungan sipil militer di negeri kita. Apalagi, negeri ini baru tiba di fase yang masih ”hijau” dalam demokrasi. Demokrasi di negeri kita bukan saja belum terkonsolidasi, tapi kerap kali masih mencari bentuk agar benar-benar operasional di tengah bangsa yang majemuk ini.

Demikian pula Pemilu 2004, tak bisa dibilang sebagai pesta demokrasi yang memiliki derajat kepastian tinggi untuk membantu negeri ini keluar dari krisis multidimensi. Pemilu tahun ini, tetap harus disadari sebagai ”pemilu transisi”—karena itu di sana sini banyak dijumpai kekurangan, entah itu suprastruktur (Undang-undang), infrastruktur (logistik pemilu sejak surat suara, kotak suara, bilik suara atau tempat pemungutan suara-TPS) atau manajemen pemilu yang kurang rapi hingga aktor (penyelenggara dan kontestan pemilu) yang kerap kurang profesional.

Bagaimanapun Pemilu 2004 membutuhkan uluran tangan setiap pihak, termasuk tentara, agar berlangsung luber dan jurdil. Seperti dikemukakan Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono, dewasa ini kita menghadapi tiga ancaman terkait penyelenggaraan Pemilu 2004; ancaman politik uang (money politics), penyimpangan wewenang/kekuasaan (abuse of power) hingga kekerasan. Itu artinya kaum serdadu (yang disebut Niccolo Machiavelli wajib dibentuk oleh setiap negara berdaulat) mesti disiagakan untuk menangkal situasi tak terkendali yang menjurus chaos.

Catatannya, TNI baru turun mengamankan Pemilu jika diundang oleh pihak kepolisian. TNI diturunkan menurut kebutuhan. Ketika kepolisian masih sanggup menguasai keadaan, TNI tak perlu turun ke lapangan. Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka membantu pemerintah daerah dan Polri untuk mengamankan Pemilu 2004 misalnya, hendaklah didasarkan atas permintaan kepada Panglima TNI sesuai mekanisme dan profesionalisme TNI. Agar semuanya sesuai jalur dan tak menyalahi aturan yang ada. [Sinar Harapan, 1 Maret 2004]

No comments: