Monday, June 11, 2007

"Menggangsir" Prerogatif Presiden

Oleh MOH SAMSUL ARIFIN

MULANYA amandemen ketiga UUD 1945. Pada Sidang Tahunan, 1-9 November 2001, MajelisPermusyawaratan Rakyat menetapkan untuk menambah satu ayat pada Pasal 17 yang mengatur tentang kementerian negara. Ayat 4 Pasal ini menyatakan, "Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang". Pasal ini lalu menjadi sumber perdebatan antara Pansus RUU Kementerian Negara dan Pemerintah (Mensesneg Yusril Ihza Mahendra).

Bagi DPR pasal ini menjadi alasan untuk menerbitkan UU Kementerian Negara. Namun demikian, DPR menginterpretasikan bahwa presiden harus sepenuhnya "diatur" dalam menyusun portofolio kabinet, mana kementerian yang tak boleh diganggu gugat hingga keharusan presiden meminta persetujuan DPR untuk menyusun kabinet. RUU membagi kementerian dalam tiga pilar, yakni kementerian utama, kementerian pokok dan kementerian khusus. Sedangkan Menteri Koordinator (yang telah dibentuk sejak masa Soekarno), berikut Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Sekretaris Kabinet dicoret.

Presiden tak boleh lagi mengubah dan membubarkan nama suatu kementerian utama. Dus, kementerian pokok dan kementerian khusus hanya boleh diubah dan dibubarkan presiden dengan persetujuan DPR (pasal 13-15). Kementerian utama misalnya terdiri atas kementerian dalam negeri, pertahanan, luar negeri, hukum, keuangan, dan agama.

Lalu berkembang usulan untuk "menyelipkan" kementerian khusus, yakni Menteri Penerimaan Negara sekaligus menjadi Kepala Badan Penerimaan Perpajakan. Alasannya, beban tugas Menteri Keuangan kelewat banyak, dari mengurus perbendaharaan, utang hingga penerimaan negara. Nah, Menteri Penerimaan Negara ini akan diserahi tugas mengelola pajak hingga cukai (Kompas, 25/1).

Selain lima kementerian utama, RUU mencantumkan 13 kementerian pokok dan 11 kementerian khusus. Yang termasuk kementerian khusus, misalnya kementerian yang menangani urusan-urusan perencanaan pembangunan nasional, perundang-undangan, ilmu pengetahuan, teknologi dan riset, pariwisata, perumahan rakyat, transmigrasi, lingkungan hidup, pemuda, perempuan, dan olah raga.

Sejauh ini Mensesneg beradu punggung dengan aspirasi parlemen. Menurut Yusril, seorang presiden dalam sistem presidensial tidak perlu meminta persetujuan DPR untuk menyusun kabinetnya. Jika itu dilakukan, bukan hanya sistem berubah menjadi parlementer, tetapi bahkan bisa membubarkan pemerintahan atau membuat pemerintahan tidak berjalan. Agaknya Pansus RUU ini akan terus melanjutkan proses pembahasan kendati pemerintah banyak menyatakan ketidaksetujuannya terhadap sejumlah pasal yang diusulkan DPR itu (Kompas, 15/3).

Sepanjang republik ini, presiden sangat powerfull, baik di masa Soekarno (parlementer), atau masa Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono (presidensial). Presiden leluasa melaksanakan hak prerogatifnya. Itulah mengapa Soekarno dapat membentuk 100 menteri. Pada 1999, Abdurrahman Wahid dengen entengnya membubarkan Departemen Penerangan, Departemen Sosial dan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, dan saat bersamaan mendirikan departemen baru (Departemen Kelautan dan Perikanan).

Setelah itu, Juli 2001, Megawati Soekarnoputri menghidupkan kembali sejumlah departemen yang dilikuidasi Gus Dur. Seandainya UU Kementerian Negara telah berlaku sebagai hukum positif, putri proklamator itu bisa dituding melanggar konstitusi saat dia memimpin Kabinet Gotong Royong. Memang, pasca-Soeharto mulai ada "cawe-cawe" partai politik dalam pembentukan kabinet. Partai politik masuk secara intim ke Istana Negara, dalam arti sangat berpengaruh dan ikut menentukan kabinet berikut siapa saja yang akan ditunjuk seorang presiden di departemen atau kementerian tertentu.

Secara simbolis, peran partai politik (baca: banyak partai) itu terlukis dalam nama kabinetnya. Gus Dur memberi nama Kabinet Persatuan Nasional. Megawati menyebut kabinet yang dipimpinnya Kabinet Gotong Royong. Dan Susilo Bambang Yudhoyono menjuluki kabinetnya, Kabinet Indonesia Bersatu. Di balik Kabinet Persatuan Nasional tersimpul satu isyarat bahwa partai-partai yang bersatu mendukung Gus Dur (utamanya Poros Tengah) memperoleh jatah di kabinet. Di masa Gus Dur, bukan rahasia lagi jika pembentukan kabinet menyertakan tokoh-tokoh politik sebagai penjaminnya.

SBY lebih smart dalam membentuk Kabinet Indonesia Bersatu. Tangan-tangan partai tak kelihatan secara telanjang. Dia memulai babak baru, dengan menyeleksi sendiri orang-orang yang akan membantunya. Diadakanlah screening atau lebih tepatnya fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan).

Banyak tokoh diundangnya ke Cikeas. Mereka, dari parpol pendukungnya pada Pemilu 2004, harus ikut fit and proper test. Dengan cara itu SBY menerbitkan tradisi baru, setidaknya menggunting tradisi Gus Dur dan Megawati yang memberi keleluasaan kepada kalangan parpol untuk mengintervensi pembentukan kabinet.

Namun, tradisi baru dari presiden pilihan rakyat tersebut sedikit kurang efektif saat-saat akhir pengumuman kabinet. SBY harus "mengocok" kembali orang-orang yang akan dipilihnya menjadi pembantunya di kabinet. Situasi ini kontras dengan pembentukan Kabinet Pembangunan I-VII, di mana Soeharto "sendirian" dalam memilih para pembantunya.

Poin dari cerita di atas: sekalipun presiden memiliki hak prerogatif, perubahan politik tahun 1998 memberi pintu masuk bagi "intervensi" parpol dalam pembentukan kabinet. Bagaimana jika DPR (sebagai institusi) diperkenankan UU untuk ikut-ikutan menyusun postur, organisasi dan visi serta misi dari kabinet? Apa pengaruhnya terhadap sistem presidentil yang dianut negara ini?

Dalam demokrasi memang diperlukan parlemen (legislatif) yang berdaya. Namun, itu tak berarti dengan memangkas hak dan wewenang dari (presiden) eksekutif. Harus diingat dalam kata presiden terkandung dua hal: subjek presiden sebagai individu (menunjuk pada nama) dan presiden sebagai lembaga (institusi). Sebagai lembaga presiden mendapatkan hak prerogatif dalam menyusun kabinetnya.

Sejauh ini DPR sudah sangat jeluk masuk dalam wilayah eksekutif. Misalnya presiden harus mendapat persetujuan dari DPR dalam mengangkat duta besar atau memberikan grasi, amnesti, abolisi (Pasal 4-16 UUD 1945 dan Hasil Perubahannya).

Di manakah letak pembagian kekuasaan antara tiga cabang kekuasaan di negeri ini, jikalau DPR cawe-cawe membuat portofolio kabinet. Buat saya, ini bukan persoalan excecutive heavy atau parliament heavy, namun masalah ketaatan terhadap konstitusi. Dalam hal ini, kita hendaknya kembali ke pengertian yuridis (yuridische begrip) dari konstitusi sebagai naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.

James Bryce menyebut konstitusi sebagai "A frame of political society, organized trough and by law, that is to say on which law has established institutions with recognised function and a definite right".

Dapat dipahami bahwa fungsi legislator (DPR) dapat berkembang sesuai kompleksitas masyarakat modern dan seiring dengan tuntutan untuk membuat hukum demi kebaikan sosial. Tapi, harus ada batas yang jelas mana yang boleh dimasuki legislator dan mana yang tidak. Penting bagi kita untuk kembali kepada konstitusi.

Menurut UUD 1945, presiden adalah eksekutif tunggal. Presiden pula yang bertanggung jawab atas segala pelaksanaan pemerintahan. Dalam menjalankan tugasnya, Presiden dibantu oleh para menteri yang diangkat dan bertanggung jawab kepadanya, sehingga para menteri itu tidak bertanggung jawab kepada DPR. Dengan kriteria tersebut, maka sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem presidensial (lihat kajian "Tim Bidang Hukum Masyarakat Transparansi Indonesia", tahun 1999).

Jika kita membuka Pasal 17 ayat 2 UUD 1945 soal ini juga telah diatur dengan tegas. "Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden". Itu menegaskan hak prerogatif presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Presiden mandiri dan tak dapat "diintervensi" DPR untuk menyusun organisasi menteri atau membentuk kabinet.

Hak prerogatif presiden diartikan sebagai kekuasaan mutlak presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Ini adalah hak istimewa yang dimiliki lembaga presiden dan tak dapat digugat oleh lembaga negara lain, termasuk DPR.

Seyogianya, pihak-pihak terkait menimbang spirit dari ayat 2 di atas dan menganggapnya senafas dengan ayat 4. Karena itu UU Kementerian Negara sebaiknya hanya mengatur mekanisme, syarat dan sistem pembentukan, serta penggabungan kementerian negara. Sedangkan urusan organisasi hingga portofolio dan jumlah kementerian (departemen) diserahkan kepada presiden. [Pikiran Rakyat, 21 Maret 2007]

No comments: