Thursday, June 14, 2007

Sesat Pikir dalam Pencalonan DPD

Oleh Moh Samsul Arifin

KITA menyaksikan geliat antusiasme masyarakat untuk mendaftar sebagai calon anggota DPD--yang baru ditutup 8 September 2003--di sejumlah daerah demikian tinggi. Namun, di balik riuh rendah itu, proses pendaftaran tersebut rawan pelbagai penyimpangan, seperti manipulasi KTP, pencantuman bukti diri palsu dari calon yang semula anggota PNS, TNI/Polri, atau terlibat sebagai pengurus parpol tertentu.

Di Jawa Timur, pendaftaran anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diwarnai pencatutan nama. Seorang pakar statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tercantum di antara 126 nama pendaftar di KPU Daerah Jawa Timur, padahal yang bersangkutan tak pernah mengambil formulir pendaftaran (Surya, 15/8).

Selain itu, money politics dalam bentuk jual-beli atau sewa KTP merebak di sejumlah daerah. Persyaratan harus melampirkan antara 1.000-5.000 lembar foto kopi KTP pendukung calon yang tersebar di 25 persen jumlah kabupaten/kota di provinsi asal calon membuka peluang kepada para calon pendaftar untuk mengambil jalan pintas. Amat susah bagi para calon untuk mengumpulkan KTP sebanyak itu, apalagi mesti tersebar di 25 persen jumlah kabupaten/kota.

PELBAGAI penyimpangan terkait persyaratan administratif itu masih belum seberapa. Kini sedang merebak pembusukan politik (political decay) yang jauh lebih membahayakan eksistensi lembaga hasil amandemen ke-4 UUD 1945 ini.

Pertama, partai politik (yang notabene terwakili dalam DPR) ternyata ikut turun tangan dalam mem-back up proses pendaftaran calon anggota DPD. PDI-P misalnya, dalam rakornas yang berlangsung di Hotel Sheraton, Tangerang, Senin (30/7), tegas-tegas berniat mendukung (back up) langkah para pendaftar calon anggota DPD. Partai ini siap membantu calon agar dapat duduk di kursi lembaga itu asal si calon bersedia menjadi simpatisan partai berlambang kepala banteng bila nanti terpilih. Bentuk bantuan itu antara lain memenuhi berbagai persyaratan pendaftaran kepada para calon. Anggota partai politik (parpol) bisa dikerahkan untuk memberi tanda tangan, cap jempol, atau fotokopi KTP sebagai bukti dukungan terhadap calon.

Kedua, di sejumlah daerah (seperti Jawa Barat)--saya mememperoleh kabar dari seorang kawan di KPUD Jabar--DPD ternyata menjadi ajang kembalinya elite lama (old crack), entah itu mantan birokrat, politisi, hingga akademisi yang sudah malang melintang di daerah itu. Sementara, muka-muka baru yang mewakili kelompok masyarakat (civil society) atau intelektual mudah relatif absen dari riuh rendah itu.

Dalam hemat saya, dua hal ini amat merisaukan. Pasalnya, ini sudah menggunting sebuah dimensi yang amat paradigmatis. Dengan masih cawe-cawe-nya parpol dalam proses pendaftaran anggota DPD, kemungkinan besar raison d’etre dibentuknya lembaga itu akan semakin mengalami hambatan.

Selain itu, double representative pun tak terhindarkan. DPD dan DPR sarat kepentingan parpol. Padahal, menurut UUD 1945 hasil amandemen (atau Konstitusi 2002), DPD merupakan lembaga yang niscaya mewakili keterwakilan wilayah (ruang), dalam hal ini daerah provinsi. Adapun DPR murni mewakili keterwakilan politik (jumlah penduduk).

Sebagai kamar baru (kameral) dalam badan perwakilan kita, lembaga ini diharap dapat mengimbangi superioritas DPR yang kini cukup sentral. Namun, idealisasi ini tak terpenuhi karena DPD sekadar jadi lembaga kedua, kalau bukan "lembaga konsultasi" DPR, yang punya kewenangan terbatas. Dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen (dikukuhkan Pasal 39 UU Susduk MPR, DPR, DPD, DPRD I/DPRD II) disebutkan, dan hanya punya wewenang mengajukan RUU yang berkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkait dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Jika parpol sukses menggolkan salah seorang calon yang didukung menjadi anggota DPD, orang itu tentu punya "utang politik" pada parpol itu. Ini akan mengurangi independensi calon yang berhasil duduk di DPD. Bayangkan, DPD itu sedang membahas RUU soal otonomi daerah bersama DPR. Sebuah fraksi DPR yang mewakili parpol tertentu punya interes terhadap RUU itu. Seorang anggota DPD yang punya utang pada parpol itu, pasti akan mendukung usulan dan inisiatif yang berasal dari fraksi parpol bersangkutan. Memang, hubungan ini bukan sebuah kausalitas langsung yang linier. Tetapi, hubungan emosional mereka punya kontribusi untuk kian melemahkan peran, fungsi, dan tugas lembaga yang sudah kerdil sejak dilahirkan itu.

DI sini, saya melihat betapa sesatnya parpol bila harus turun tangan mem-back up calon anggota DPD. Ini adalah bentuk "sesat pikir" yang dapat memperkeruh tatanan pemerintahan kita yang sudah dicap "abu-abu" oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Rupanya budaya demokrasi di sebagian parpol kita cuma isapan jempol belaka. Retorika muluk para elite politik hanya ada dalam wacana, bukan dalam praktik nyata. Berhadapan dengan hasrat korup yang ditopang semangat "mumpungisme", parpol di negeri ini tak mampu membedakan antara jalan politik lurus dan politik kotor.

Seluruh ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2003 tak melarang keikutsertaan parpol mendukung calon anggota DPD. Bahkan, anggota parpol pun tak dilarang mendaftarkan diri jadi calon anggota DPD. Pasal 63 (b) dan Pasal 146 UU No 12/2003 hanya mensyaratkan, calon tidak boleh orang yang menjadi pengurus parpol. Alih-alih celah ini ditutup, justru parpol kita mengeksploitasi kekurangan yang ada demi melapangkan jalan bagi kepentingannya yang sempit dan miopik. Dalam sebuah masyarakat korup, celah tak dipahami sebagai aib, tetapi dijadikan pembenar bagi tindakannya.

Soal kurangnya kalangan muda (kasus di Jawa Barat) mendaftar menjadi calon anggota DPD, saya memperoleh kesan hal ini terkait persyaratan administrasi yang susah seperti dijelaskan di muka. Kalangan muda kurang punya aksesibilitas karena mereka relatif tidak berduit, selain kalah pengalaman, terutama dalam penguasaan wilayah yang akan dijadikan basis dukungan.

Betul, bahwa kalangan muda banyak mendiami ranah civil society, seperti LSM atau organisasi kepemudaan. Tetapi, basis dukungan terhadap mereka kurang luas, bila tidak minoritas dibandingkan generasi "sepuh" yang jauh lebih familiar terhadap parpol. Seorang mantan gubernur atau wakil ketua MPR yang kini mendaftar jadi calon anggota DPD di KPUD Jawa Barat amat mudah memenuhi persyaratan administratif ketimbang penggerak LSM yang hanya dikenal dalam jaringan hubungan terbatas.

Selain itu, mewabahnya sindrom "emoh parpol" adalah faktor lain yang mengurangi aksesibilitas kalangan muda atas produk-produk politik. Penyakit ini, bagaimana pun telah meminggirkan mereka sehingga tak salah kalau peran pemuda kurang menonjol dalam ikut menentukan proses pembuatan kebijakan publik. Dalam kondisi seperti itu, jangan pernah berharap kita dapat meregenerasi elite Indonesia. [Kompas, 2 September 2003]

No comments: