Wednesday, June 6, 2007

Tiga Soekarnoputri dalam Pemilu 2004

Oleh Moh Samsul Arifin

PERHELATAN Pemilu 2004 nanti diwarnai persaingan tiga putri proklamator Bung Karno. Tiga perempuan politisi itu akan membawa biduk partai sendiri. Megawati Sukarnoputri menahkodai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rachmawati Sukarnoputri mengawal Partai Pelopor (PP) dan Sukmawati Sukarnoputri memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenis.

Dengan bantuan analisis ”pola partai politik” Kevin R Evans (2003), ketiga partai ini dapat dimasukkan sebagai kelompok nasionalis. Konfigurasi politik menjelang 2004 sekurang-kurangnya terbelah menjadi tiga kelompok. Pertama, nasionalis-sekuler. Tiga partai yang digawangi ”tiga Sukarnoputri” masuk di dalamnya. Partai yang lain adalah Partai Golkar, PKPI, PKPB, Partai Patriot Pancasila, Partai Demokrat, PPDK, PPIB, PPD, PPDI, PBSD, Partai Merdeka, dan PSI.

Kedua, Kelompok Islam, yakni PPP, PBB, PKS, PBR, dan PPNUI. Dan ketiga, adalah kelompok nasionalis-religius ada tiga partai. PKB dan PAN datang dari kelompok nasionalis religius bercorak Islam. Dan Partai Damai Sejahtera (PDS), nasionalis religius berbasis Kristen.

Kelahiran PDIP, Partai Pelopor dan PNI Marhaenis dapat dikatakan memiliki hubungan sejarah dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang dikendalikan Sukarno paruh pertama abad ke-20. Perbedaannya, dua partai, PDIP dan Partai Pelopor menggunakan Pancasila sebagai asas. Sedangkan PNI Marhaenis, bersama Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (Eros Djarot) mengusung asas Marhaenisme ajaran Bung Karno.

Di antara tiga putri orator ulung di atas, menurut Roeslan Abdulgani, hanya Rachma yang cukup paham tentang Marhaenisme. Kendatipun tak pernah ikut kursus ”Kader Pelopor Marhaenisme”—demikian pula Mega dan Sukma—yang diselenggarakan PNI zaman Sukarno, Rachma gemar belajar sendiri. Jangan heran, kalau Rachma disebut-sebut paling artikulatif membicarakan ajaran Marhaenisme yang dalam derajat tertentu memiliki titik singgung dengan Marxisme itu.

Yang jadi pertanyaan, mengapa Partai Pelopor yang dipimpinnya tidak menggunakan asas marhaenisme? Apakah berarti Rachma bukan seorang formalis? Namun, mengapa Sukma menempatkan dirinya sebagai simbol kaum marhaenis Indonesia? Sementara Mega, yang tak sebagus Rachma dan Sukma dalam memahami Marhaenis, justru menjadi ikon kelompok nasionalis di tanah air, terbukti kepemimpinannya di PDIP sanggup membawa partai itu jadi pemenang Pemilu 1999? Adakah positioning ini sengaja dilakukan oleh perempuan politisi tersebut?

Marhaenisme dipahami sebagai teori perjuangan, sekaligus sebagai teori politik, oleh para penganutnya. Marhaenisme lahir sebagai jawaban terhadap praktis kolonialisme dan imperialisme penjajah Belanda di tanah air. Tiang penyangga ajaran ini adalah sosionasionalisme dan sosio demokrasi. Oleh karena itu, penganut marhaen (Marhaenis), acapkali menyimpulkan marhaenisme sebagai ”Pancasila Besar”. Maksudnya, apa yang terkandung di dalam lima sila (Pancasila) sudah tercantum dalam ajaran Marhaenisme. Seorang marhaenis fanatis, punya rumus yang baik untuk itu: Pancasila + Ketuhanan yang Maha Esa = Marhaenisme.

Ajaran ini sendiri secara sosiologis digali Sukarno dari rahim budaya Indonesia. Kebetulan di masa-masa pergerakan nasional, Sukarno (bersama istrinya Inggit Garnasih), sangat intim bergaul dengan budaya lokal Sunda, karena mereka memang tinggal di Bandung. Sebuah kotakota kembang itulah ia menuntut ilmu (kuliah) dan menemukan jodohnya. yang bersejarah bagi sang putra fajar itu, sebab di

Suatu waktu, Sukarno berjalan di persawahan di daerah Bandung Selatan. Di sana, ia berkenalan dengan seorang petani. Dalam perbincangan dengan petani itu, Sukarno memperoleh jawaban yang nantinya menjadi salah satu pilar ajaran Marhaenisme. Petani itu punya sawah sendiri, memiliki cangkul dan rumah sebagai tempat tinggal. Akan tetapi, sekalipun memiliki alat produksi sendiri, kehidupan sang petani itu sangat jauh untuk dikatakan hidup layak (baca; kekurangan). Di ujung pembicaraan Sukarno menanyakan nama petani itu. ”Abdi Marhaen, Pak (Saya Marhaen, Pak),” ujarnya.

Dalam tilikan Sukarno, masa itu mayoritas penduduk Indonesia, entah itu buruh, tukang becak, tukang asongan, nelayan, hingga insinyur hidup seperti Pak Marhaen tadi. Mereka memiliki alat produksi, namun hal itu tak menolong mereka untuk hidup layak. Akhirnya, ajaran ini diberi nama ”Marhaenisme”. Misi ajaran ini adalah terbitnya kesejahteraan sosial (sosio demokrasi) pada seluruh kaum marhaen yang mengalami penindasan dan pengisapan di bumi pertiwi ini.

Apabila perjuangan kaum Marxis (yang dibawa Karl Marx) bertumpu pada golongan buruh semata, maka Marhaenisme melebarkan konstituen pada nyaris seluruh lapisan masyarakat. Seperti Marxis, sifat perjuangan kaum marhaenis, adalah revolusioner.

Kata marhaenis sejati, selama di muka bumi ini ada praktik-praktik imperialisme, kolonialisme dan feodalisme, ajaran tersebut tetap relevan. Inilah yang ingin dihidupkan kembali oleh parpol semacam PNI Marhaenis dan PNBK (Eros Djarot) yang lolos Pemilu 2004.

Secara genealogis, para nasionalis yang sekarang ini menghuni partai semacam PDIP, PPDI (Partai Penegak Demokrasi Indonesia), atau Partai Pelopor (Rachmawati Sukarnoputri) adalah para Sukarnois. Bentuk nasionalisme tiga partai itu sangat berbeda apabila dibandingkan dengan dengan kubu nasionalis lain semacam Partai Golkar, PKPI, PKPB, Partai Patriot Pancasila, Partai Demokrat, PPDK, PPIB, PPD, PBSD, Partai Merdeka, dan PSI. Partai-partai ini juga warga nasionalis, tapi mengambil inspirasi dari beragam sumber; sejak dari Soeharto hingga sosial demokrat. Dari pemisahan Kiri-Kanan (Sekuler-Islamis), partai-partai ini ada di tengah-tengah (di sebelah kanan kubu sekuler dan di sebelah kiri kubu Islam).

Demikian pula Marhaenisme dan Pancasila (dasar negara kita), merupakan ajaran yang digali oleh Sukarno. Jadi, kalau orang semacam R Hartono/PKPB (dalam talk show ”Duduk Perkara” di TV 7), mengatakan ”partainya tidak akan berkoalisi dengan partai yang tidak berasas Pancasila”. Apakah itu berarti ”partai berasas Marhaenisme ajaran Bung Karno bukan Pancasilais?” Apakah ada ”Pancasila lain”, di luar yang ditorehkan Bung Karno bersama Muhammad Yamin, dkk?

Ajaran-ajaran Sukarno tak dapat disangkal merupakan sesuatu yang hidup di Indonesia.sebagai ”Nasionalis”, ”Marhaenis” atau bahkan ”Pancasilais” menjual di mata pemilih dalam pemilu tahun depan? Persoalannya, pemosisian diri

Dalam hemat saya, seperti Pemilu 1955 dan Pemilu 1999, kubu nasionalis akan memenangkan kembali Pemilu 2004. PDIP masih terlalu tangguh untuk dikalahkan. Kalaupun ada penurunan, hal itu tak akan lebih dari 5-10 persen.

Dalam Pemilu 1999, kubu nasionalis sekurang-kurangnya memperoleh 59 persen (PDIP, 34 persen dan Partai Golkar 25 persen). Suara Partai Golkar tidak mungkin turun, sehingga kelompok Marhaenis (PNI Marhaenis dan PNBK) serta Partai Pelopor (yang dipimpin seorang Marhaenis) sekadar memperebutkan suara lepas, sekira 5-10 persen dari PDIP tadi. Kubu ”Sukarnois” lain semacam Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), reinkarnasi PDI, akan ikut merebut suara lepas ini. Kecuali itu, PPDI tak akan melepas konstituen fanatisnya yang telah memberikan 1 persen suara dalam Pemilu 1999 lalu.

Kinerja PDIP yang kurang baik adalah alasan, lepasnya suara partai banteng kepala bulat itu.Dalam hal peluang, Partai Pelopor (dibandingkan PNI Marhaenis, PNBK dan PPDI) kemungkinan besar mampu mengambil suara lepas tadi. Selain kepemimpinan Rachma jauh lebih prospektif, Partai Pelopor didukung infrastruktur politik yang lebih baik. Bergabungnya mantan pentolan PDIP DKI Jakarta, Tarmidi Suhardjo, adalah sedikit contoh kekuatan Partai Pelopor.

Kans PNI Marhaenis, PNBK dan PPDI jauh lebih rendah sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, penganut Marhaenisme ajaran Bung Karno ditaksir tidak begitu banyak dan fanatis. Mereka bukanlah konstituen jadi seperti massa pendukung PDIP.

Kedua, ketokohan Eros Djarot (PNBK) dan Sukmati Sukarnoputri (PNI Marhaenis) relatif kurang populer, mereka hanya dikenal sebagian kelompok masyarakat. Kelebihan PNI Marhaenis dan PNBK adalah kedua partai terkait dengan masa lalu. PNI Marhaenis mengusung ”memori” tentang PNI di masa jayanya. Dan PNBK relatif tahu banyak peta politik (basis PDIP), sebab sang ketua umum bekas orang dalam PDIP.

Saya menduga, ruang politik yang tersedia bagi Partai Pelopor, PNI Marhaenis, PNBK dan PPDI sangat sempit. Sangat tidak mungkin, bila mereka bersaing dengan Partai Golkar untuk memperebutkan konstituen tradisional partai beringin itu. Ingat konstituen partai ini, bukanlah nasionalis tulen. Mereka melintang dari nasionalis hingga Islamis.

Satu lagi yang tak boleh dilupakan, pemilih (145 juta) sepenuhnya bukanlah pemilih yang rasional. Pilihan politik mereka masih tergantung tokoh (kharisma), hubungan patron-klien bahkan kadang mistik. [Sinar Harapan, 9 Desember 2003]

No comments: