Tuesday, June 5, 2007

Beban Baru Kepulangan TKI Ilegal

SEANDAINYA politik konfrontasi Soekarno terhadap Malaysia tahun 1960-an silam berhasil, barangkali tak akan ada pengusiran anak bangsa (baca: tenaga kerja Indonesia/TKI ilegal) seperti terjadi saat ini. Namun, acuhkan pikiran imperialisme picik semacam itu. Carilah pemecahan masalah yang menalar banyak konteks, dari sejarah hingga sosial-ekonomi.

Selintas bangsa ini harus malu karena sebagian anggotanya, yakni TKI ilegal yang bekerja di Malaysia dicari-cari, digerebek, ditangkap, ditahan hingga diusir oleh pemerintah Malaysia setelah tenggat waktu amnesti usai pada 31 Januari lalu. Ini toleransi kedua yang dipatok 31 Desember 2004. Sebelum itu, pemerintah Malaysia memberi kelonggaran kepada para TKI untuk pulang ke tanah air antara 29 Oktober hingga 14 November 2004. Kawat terakhir yang dilansir Liputan Enam SCTV (5/2) menyebutkan, pemerintah Malaysia tidak akan menangkap para TKI ilegal sampai dengan 8 Februari ini. Deadline amnesti itu terus diperpanjang karena pemerintahan Susilo Bambang Yusdhoyono-Jusuf Kalla berhasil "memaksa" negeri jiran itu untuk memahami persoalan TKI yang melibatkan dua negara.

Kini, sudah 300-an TKI bermasalah (nama halus dari ilegal) ditahan dan menunggu pengampunan dari Pemerintah Malaysia. Hingga Jumat (4/2), kata Kepala Bidang Imigrasi KBRI di Kuala Lumpur, Arihken Tarigan, sudah 335.461 TKI mengurus SPLP (surat perjalanan laksana paspor) di lima perwakilan imigrasi di Malaysia, yaitu di Kuala Lumpur, Penang, Johor, Kuching dan Tawau.

Sampai dengan 3 Februari 2005, sudah ada 328.132 orang TKI ilegal yang pulang ke tanah air memanfaatkan amnesti dari pemerintah Malaysia. Masih ada sekira 300-400 ribu orang lagi TKI yang tidak memiliki dokumen dan harus angkat kaki dari kerajaan tersebut. Untuk mengusir tenaga kerja ilegal ini tidak tanggung-tanggung Malaysia sampai merekrut 400 ribu tenaga relawan untuk membantu pihak imigrasi melakukan penggerebekan dan pemeriksaan. Itu artinya setiap dua orang tenaga kerja ilegal diawasi oleh seorang sukarelawan yang dikerahkan pemerintahan PM Abdullah Badawi.

Di antara mereka, ada yang pulang lewat Dumai. Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau menyatakan, sejak Oktober 2004 hingga Februari ini terdapat 37.800 TKI ilegal yang kembali ke Indonesia melalui Dumai. Hal sama juga terjadi di Nunukan, konsentrasi terbesar jalur keluar TKI dari Malaysia. Sedikitnya 65 ribu orang TKI pulang via Nunukan. Sementara mereka yang pulang lewat Pelabuhan Tanjung Perak dan Bandara Juanda, Surabaya hingga 2 Februari 2005 mencapai 44.619 orang. Dinas tenaga kerja Jatim menyebutkan sekira 80.057 orang TKI asal provinsi ini telah pulang.

Pemerintah sendiri menyediakan 11 titik untuk para TKI ilegal yang akan pulang ke kampung halamannya. Sebelas titik itu adalah Pelabuhan Belawan, Tanjung Uban, Tanjung Priok, Semarang, Surabaya, Pontianak, Nunukan, Pare-Pare, Mataram, Kupang dan Dumai. Untuk membantu kepulangan TKI tersebut, tak kurang Rp 140-200 miliar harus dirogoh pemerintahan Yudhoyono. Pemerintah provinsi (pemprov) di mana para TKI itu berasal juga mesti mengalokasikan dana yang tak sedikit jumlahnya. Pemprov Jatim menyediakan anggaran sebesar Rp 5 miliar untuk memulangkan TKI yang dideportasi pemerintah Malaysia, hingga ke daerah asalnya masing-masing. Mereka yang dideportasi (dipulangkan paksa) diberi uang Rp 25 ribu per orang. Sedangkan TKI ilegal yang pulang karena memanfaatkan amnesti, tidak semua diberi bantuan karena memiliki kemampuan finansial.

Adanya pengiriman tenaga kerja ke luar negeri bukannya tak memberikan berkah bagi pemerintah. Para tenaga kerja itu, yang kebanyakan perempuan, kerap menjadi pahlawan devisa. Menurut Depnaker (2004), hingga Agustus 2004 sebanyak 222.517 orang yang bekerja di luar negeri telah menyumbang devisa sebesar 159,65 juta dolar AS atau Rp 1.357 milyar (sesuai kurs rupiah saat itu). Angka disumbang dari tenaga kerja sektor formal (32,83 persen) dan sektor informal (67,17 persen). Tahun sebelumnya (2003) devisa yang dihasilkan tenaga kerja yang di luar negeri hanya 75.639.513 dolar AS. Devisa dua tahun terakhir ini masih lebih kecil dibandingkan tahun 2002 yang mencapai 907,67 juta dolar AS (lihat tabel ).

Dalam hal penanganan kepulangan TKI ilegal, diplomasi ekstra seyogianya ditempuh pemerintah, khususnya Menakertrans Fahmi Idris. Kemanusiaan harus diutamakan di atas hukum sekalipun. Saya melihat proses "pengusiran" ini sudah overacting dan dapat melukai bangsa kita sebagai negara berdaulat. Kita berprasangka baik dengan pengerahan 400 ribu relawan oleh pemerintah Malaysia untuk "mengusir" TKI ilegal. Namun demikian, hukum Malaysia masih bukan semacam Judge Bao di layar televisi bung! Keberadaan TKI Malaysia itu tidak berdiri sendiri. Artinya jika ada saja majikan nakal yang menggunakan TKI ilegal, proses ilegal itu akan terus terjadi.

Kita harus menagih janji pemerintah Malaysia yang berencana menindak tegas majikan perseorangan dan perusahaan di negara itu yang mempekerjakan pekerja asing ilegal. Meraka yang menampung satu sampai lima pendatang ilegal akan dikenai denda 10 ribu ringgit per orang atau hukuman penjara 12 bulan. Sementara majikan yang menggaji lebih dari lima orang diancam hukuman penjara 6 bulan - 5 tahun atau dicambuk. Dan perlu dicamkan, aturan itu sudah berlaku sejak 2002, tapi tidak efektif menjerat majikan nakal.

Pendampingan hukum terhadap para TKI ilegal yang kini ditahan perlu dilakukan agar para tenaga kerja itu tidak merasa ditinggal sendirian di kampung orang. Acungan jempol patut dilayangkan kepada pemerintah kita yang akan menyiapkan 50 pengacara untuk membela TKI yang dianiaya atau diperlakukan tidak adil di Malaysia.

Nasib para TKI ilegal yang pulang kampung itu mesti diperhatikan pemerintah. Sudah jamak bahwa keberadaan di TKI terkait erat dengan problem kemiskinan dan ketidakadaan tenaga kerja di dalam negeri. Laporan Bank Dunia (world Bank) tahun 2003 menyebutkan, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 42 juta orang lebih, sementara tingkat kemiskinan mencapai 51,5 persen. Tak heran kalau dari tahun ke tahun jumlah TKI ke luar negeri makin bertambah, karena sempitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri, di samping kondisi kemiskinan yang makin melilit. Konon, tenaga kerja sudah bekerja di Malaysia sejak tahun 1972. Setelah itu, saat booming ekonomi Malaysia pada dekade 1980-an dan 1990-an, TKI kita terus berdatangan dari pelosok Jawa dalam jumlah banyak. Jumlah TKI di Malaysia pernah mencapai 980 ribu.

Coba lihat Peta Kemiskinan 2000, ternyata Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi termiskin di Indonesia, penduduk miskin di kota mencapai 30,3 persen, dan di pedesaan mencapai 50,2 persen. Sementara itu di pulau Jawa, provinsi Jawa Tengah penduduk miskin di kota mencapai 29,7 persen, dan di pedesaan mencapai 27,6 persen. Berikutnya Jawa Timur, penduduk miskin di kota 24,9 persen, sedangkan di pedesaan 32,0 persen. Daerah Istimewa Yogyakarta, penduduk miskin di kota mencapai 21,3 persen, sedangkan di pedesaan 33,6 persen. Jawa Barat, penduduk miskin di kota 19,6 persen, sedangkan di pedesaan 18,4 persen, dan penduduk miskin di Jakarta hanya 4,3 persen. Berarti dari 100 penduduk di Ibu Kota, hanya lima orang penduduk miskin. Apabila kita mengaitkan data tersebut dengan jumlah TKI yang kini ada di Malaysia, ternyata memiliki korelasi positif. Ternyata jumlah penduduk Jawa Timur yang bekerja di Malaysia lebih banyak ketimbang jumlah penduduk Jawa Barat atau Jakarta yang kerja di negeri jiran itu.

Dengan konteks persoalan semacam ini, Esbeyenomics yang secara konsep pro ekonomi kerakyatan (atau pedesaan) agaknya mesti segera banting setir. Target pertumbuhan sebesar 5,5 persen tahun ini mestinya diarahkan untuk memberdayakan sektor-sektor ekonomi kerakyatan yang notabene kerap kalah melawan ekonomi pasar. Untuk itu, Presiden Yudhoyono harus mengganti menteri bidang ekonomi atau mengambil alih arah ekonomi Indonesia. Tanpa itu, kenaikan harga gabah sebesar Rp 100 per kilogram jangan-jangan tidak menciptakan stimulan bagi ekonomi pedesaan. Bapak Presiden, dua sampai tiga bulan para TKI ilegal yang pulang kampung itu masih memiliki jaring pengaman sosial (JPS) lewat sistem kekerabatan di pedesaan. Tapi, setelah itu siapa yang akan mengacuhkan nasib mereka? [Pikiran Rakyat, 7 Februari 2005]

No comments: