Monday, June 11, 2007

Mega Dikepung Gerakan Pembaruan

Oleh Moh Samsul Arifin

ARIFIN Panigoro dan kawan-kawan tak hanya menerbitkan buku untuk menyebarkan perlunya pembaruan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun juga melakukan manuver "desa mengepung kota" dengan mendeklarasikan Gerakan Pembaruan PDIP di Gedung Panti Marhaenis, Jalan Brigjen Katamso, Semarang (11/2).

Setelah Semarang, Gerakan Pembaruan PDIP akan dideklarasikan di Surabaya. Kemungkinan besar deklarasi serupa akan digulirkan di seluruh tanah air hingga dilangsungkan Kongres PDIP di Bali, Maret mendatang. Hadir dalam acara deklarasi Gerakan pembaruan PDIP di Semarang antara lain mantan Ketua DPD PDIP Jateng, Mardijo, yang dipecat DPP PDIP saat mencalonkan diri dalam Pemilihan Gubernur Jateng, Koordinator Pembaruan PDIP Pusat, Didik Supriyanto S.H., dan wakil dari Aceh dan Sumatra Barat (Pikiran Rakyat, 12/2).

"Gerakan ini hanya untuk mengevaluasi dan mengoreksi kebijakan partai dari dalam. Gerakan ini akan mengembalikan partai pada aras-nya, kepada ideologi partai yang sebenarnya," tutur mantan Ketua DPD PDIP Jawa Tengah, Mardijo. Menurutnya, dia dan kawan-kawannya hanya melaksanakan dan menindaklanjuti kebijakan dari Jakarta (Sinar Harapan, 11/2).

Yang dikatakan Mardijo ini mewakili pertanyaan besar kepada partai dengan lambang Banteng gemuk dalam lingkaran yang ditekuk Partai Golkar dalam Pemilu 2004: Apa sebetulnya persoalan yang membelit PDIP? Apakah wacana pembaruan itu serius didengungkan atau hanya "jualan murah" menjelang Kongres Bali? Pembaruan seperti apa yang dikehendaki partai yang dihuni para nasionalis ini? Seterusnya apa yang mesti dilakukan partai tersebut untuk menuju partai masa depan?

Persoalan serius PDIP, sebagaimana kebanyakan parpol di tanah air, adalah ketergantungan kepada figur karismatik yang ditabalkan sebagai simbol dari partai tersebut. Megawati Soekarnoputri dalam hal ini adalah figur tak tergantikan di PDIP, bahkan oleh Guruh Soekarnoputra yang saat ini mulai dielus-elus sejumlah pihak untuk memimpin partai wong cilik itu atau setidaknya mau dicalonkan dalam kongres nanti.

Dalam deklarasi Gerakan Pembaruan PDIP di Semarang itu, sejumlah kader yang hadir jelas-jelas memakai kaus bergambar "Guruh Soekarnoputra". Sebuah perlambang bahwa sebagian pihak menginginkan agar seniman serba bisa ini maju dalam perebutan kursi kepemimpinan PDIP di kongres Bali.

Ada beberapa pengertian terkait dengan ide pembaruan yang diusung Arifin Panigoro dan kawan-kawan. Pertama, "pembaruan" berarti mengganti Megawati Soekarnoputri dengan figur-figur lain semacam Guruh, Sophan Sophiaan, atau Arifin Panigoro sendiri.

Kedua, "pembaruan" adalah mengganti Megawati dari posisi ketua umum lalu membuatkan pos baru semacam Dewan Penasihat di Partai Golkar atau Dewan Syura di PKB kepada mantan presiden tersebut. Ketiga, pembaruan menyatakan tekad kuat untuk mereorientasi ideologi dan arah perjuangan partai. Pada yang terakhir ini termuat semangat untuk melabuhkan partai ini menjadi partai modern.

Seberapa besar peluang terjadinya tiga kemungkinan di atas sejauh ini masih abu-abu. Memang ada risiko sekaligus tantangan yang harus dicermati oleh elite PDIP sebelum menentukan pilihan. Jika Megawati dilengserkan dan tak diberi posisi baru, konsolidasi partai akan menemui kendala. Lagi pula, Megawati-lah yang hingga saat ini berhasil menarik para Soekarnois dan nasionalis, setidaknya ini dibuktikan dalam Pemilu Legislatif 2004.

Saat itu ada tiga Soekarnoputri yakni Megawati, Rachmawati, dan Sukmawati yang memimpin partai dan terjun dalam Pemilu 2004. Apa hasilnya? Partai Pelopor dan PNI Marhaenis tidak lolos alias hanya menjadi "partai nol koma".

Sekalipun dua saudara Mega itu mengklaim jauh lebih Soekarnois ketimbang Mega. Fakta di lapangan mengatakan lain, massa rakyat memilih PDIP (yang disimbolisasi figur Mega), kendatipun kemudian tak mampu mempertahankan Mega sebagai RI 1.

Kita dapat perdebatkan soal apakah figur memiliki signifikansi dalam perolehan suara partai, sebab dalam pemilu legislatif tahun lalu sudah digunakan sistem proporsional terbuka di mana pemilih bisa langsung mencoblos nama calon legislatif. Namun, politik Indonesia, sebagaimana karakter pemilih umumnya, memiliki anomali yang melampaui garis normal.

Saya melihat bahwa pemilih Indonesia masih dikendalikan figur karismatik, sekalipun mereka diberi pilihan bebas untuk mengabaikan figur dengan ditampilkannya nama-nama caleg di surat suara. Ada saja pendukung PDIP yang mencoblos nama Taufik Kiemas atau Marissa Haque karena pesona Megawati.

Yang ingin saya katakan, perubahan sistem pemilu--apalagi yang serba tanggung seperti di Indonesia--kecil kontribusinya untuk memotong pengaruh figur karismatik. Jika ini itu diturunkan pada level yang lebih sosiologis, akan kita temukan lagi deretan figur karismatik di tingkat lokal yang sangat memengaruhi pemilih.

Dengan karakter pemilih yang demikian, melengserkan Mega berpeluang menjauhkan pemilih tradisional itu dari PDIP. Namun demikian, memberikan posisi baru kepada Megawati bukannya tanpa masalah.

Pertama, apakah figur ketua umum yang akan muncul dapat diterima oleh Megawati. Kedua, seberapa besar proporsionalitas peran Megawati (katakanlah sebagai Dewan Penasihat) dengan peran Ketua Umum baru. Misalkan saja yang terpilih sebagai Ketua Umum adalah Guruh Soekarnoputra, maka hakikatnya Megawati tetap mengendalikan partai ”Banteng Bulat” itu.

Sebaliknya jika ketua umum dipegang Arifin Panigoro atau Sophan Sophiaan, PDIP akan mengalami kesulitan dalam memutuskan persoalan-persoalan strategis partai. Apalagi selama ini keputusan penting partai kerap ditentukan Megawati, yang memiliki hak prerogatif.

Penulis melihat, peta politik di PDIP belum berubah banyak. Megawati masih cukup kuat, kendatipun mulai dirongrong oleh "faksi indekost" yang dipelopori Arifin Panigoro. Megawati juga memiliki ambisi politik, setidaknya dapat bertarung dam Pemilu 2009 nanti.

Megawati, sebagaimana pernah dibisikkan oleh Amien Rais, tentu merasa belum terlalu tua untuk bersaing kembali memperebutkan tampuk kepemimpinan nasional untuk kali ketiga, setelah 1999 dan 2004. Ketua umum terpilih sejak Kongres I di Denpasar, Bali, 1998 ini juga paham betul bahwa masih banyak kalangan elite PDIP, termasuk Kwik Kian Gie, Soetardjo Soerjogoeritno atau Sutjipto yang tak masalah kalau Kongres III kembali memilihnya.

Megawati juga memiliki kartu truf yang cukup piawai untuk mengendalikan partainya, yakni figur Taufik Kiemas, sang suami yang berperan besar mengantarkan dirinya sebagai Presiden RI ke-5. Kiemas adalah tokoh berpengaruh di PDIP dan ia bisa mengerahkan kekuatannya untuk mem-back up penuh Mega.

Sekarang Kiemas memang belum turun gelanggang. Tapi sekali ia terjun, maka dapat dipastikan Gerakan Pembaruan PDIP yang didorong Arifin Panigoro dkk. akan memperoleh perlawanan hebat. Dan, satu lagi yang harus dihitung oleh kalangan Asal Bukan Mega (ABM), ialah banyaknya anggota parlemen (DPR RI) dan elite PDIP yang berutang budi pada Megawati.

Dalam penentuan calon legislatif jadi menjelang Pemilu 2004 lalu, Megawati merupakan tangan pertama yang menentukan apakah seorang tercantum dalam nomor urut atas atau dicoret dari daftar caleg. Nah, apabila Megawati bisa memaksimalkan potensi dukungan dari orang-orang yang punya utang budi, susah sekali untuk mendongkel mantan presiden itu.

Kwik Kian Gie, kubu kritis di luar Arifin Panigoro dkk., yang juga mengumandangkan wacana pembaruan juga menguntungkan Megawati. Kwik tampaknya lebih tertarik membahas pembaruan PDIP bersama Megawati, ketimbang melengserkan ketua umum yang acap kali dipanggil "ibu" itu.

Transformasi ide-ide pembaruan yang digalang Kwik seperti pemberantasan korupsi di internal partai, lalu negara, menurut kubu Kwik, masih dapat ditampung dengan Mega tetap sebagai ketum PDIP. Persoalan Kwik adalah, ia cenderung bergerak sendirian (single fighter) sehingga wacana pembaruan yang ia khotbahkan sering membentur pintu. Apabila sikap oposan Kwik mampu diturunkan, ia akan memiliki pintu masuk kembali ke lapisan dalam Megawati Soekarnoputri.

Buat saya, apa yang dilakukan Gerakan Pembaruan PDIP adalah bentuk tekanan politis terhadap Megawati dan skuad utamanya. Ini tak ubahnya Forum Pembaruan Golkar (FPG) yang digalang Fahmi Idris kala dipecat Akbar Tandjung tahun lalu. FPG itu, setidaknya dari pengamatan penulis, mati muda dan tidak berkembang menjadi faksi yang serius hendak memperbarui Golkar.

Terlemparnya Akbar Tandjung untuk digantikan oleh Jusuf Kalla tak dapat dikatakan sebagai keberhasilan FPG. Karena lompatan politik yang dilakukan Kalla berada dalam ruang politik yang serba spontan, artinya tidak direncanakan secara sistematis.

Apakah nasib Gerakan Pembaruan PDIP akan sama dengan FPG, atau yang lebih radikal lagi menerbitkan partai baru pecahan PDIP. Saya sendiri sangsi Gerakan Pembaruan tersebut merupakan langkah sistematis menyiapkan partai baru, seperti dilakukan Dimyati Hartono ketika membentuk PITA.

Paling banter, Gerakan Pembaruan itu adalah bargaining terhadap Megawati dalam rangka pembaruan terbatas di dalam tubuh PDIP. Sulit sekali mencari pembenaran bahwa Gerakan Pembaruan itu akan berhasil jika jalan yang diambil adalah melengserkan Megawati.

Dwi Ria Latifa, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dikenal dekat dengan Megawati, bahkan menyindir isu pembaruan tersebut sangat tidak tepat karena diusung oleh orang-orang lama. Menurutnya, isu pembaruan dalam tubuh PDIP hanya masuk akal jika diusung oleh orang-orang baru, bukan justru oleh kelompok yang menjadi bagian dari kelompok lama tersebut.

Idealnya PDIP dipimpin oleh tokoh baru. Persoalannya PDIP ibarat kereta api yang sudah disesaki orang-orang Mega. Bagaimana mengganti masinis, ketika para penumpang--khususnya kelas eksekutif--masih mengharapkan Megawati terus memimpin.

Terus terang saya tidak melihat peluang melengserkan Megawati dari tampuk Ketua Umum PDIP, termasuk dengan menghadapkan Guruh Soekarnoputra dengan Mega. Jangan-jangan kemunculan Guruh jelang kongres ini, hanyalah taktik belaka dari kubu Mega untuk memecah suara. Ketika perhelatan kongres digelar, bisa jadi Guruh akan kembali merapat ke Mega. Saya tidak berani membayangkan Megawati terguling, ia bahkan tak mungkin digantikan oleh Taufik Kiemas sekalipun. [Pikiran Rakyat, 14 Februari 2005]

No comments: